Pemberontakan Daud Beureueh itu terjadi 21 September 1953. PM Ali Sastro Amidjojo menyebut peristiwa itu sebagai “Peristiwa Daud Beureueh” tapi rakyat Aceh lebih senang menyebut “Peristiwa Berdarah”.
Daud memproklamasikan daerah Aceh dan sekitarnya menjadi bagaia dari Negara Islam Indonesia Kartosuwirjo di Jawa Barat. Gerakan Daud Beureueh didukung oleh hampir seluruh aparat pemerintahan, dari wedana sampai ke camat dan lurah. Namun di Jakarta, PM Ali menyatakan “bukan pemberontakan rakyat Aceh”
Dan toh Ali terpaksa terkejut ketika koran-koran New York, AS, memuat berita tentang usaha memasukkan peristiwa Aceh ke dalam forum PBB. Gerakan ulama-rakyat secara intelektual terkesan low- profile ini sempat pula menyentak perhatian Internasional.
Usaha merebut simpati internasional itu tentu saja gagal. Tapi pemberontakan sempat memakan waktu 9 tahun dan tak pernah terpadamkan. Peristiwa yang telah banyak menelan jiwa dan harta itu termasuk pembantaian Cot Jeumpa yang menewaskan 99 rakyat tak berdosa berkahir dengan damai.
Daud turun gunung, bukan karena surat Syafrudin Prawiranegara dan M.Natsir – setelah mereka menyerah kepada pemerintah dari pemberontakan PRRI-Permesta melainkan oleh persetujuan Daud Kol. M. Yasin. Yang terakhir ini menjabat Pangima Kodam 1 Iskandar Muda ketika meletusnya pemberontakan.
Lima bulan sebelum pemberontakan, di Medan Daud justru menyerukan kerjasama dengan pemerintah untuk Amar ma’ruf nahi mungkar.
Lalu Mengapa Dia Berontak?
Pemberontakan itu adalah refleksi kekecewaan historis rakyat Aceh. Daud dan kawan-kawan muncul mewakilinya. Sejak pertengahan abad 18, rakyat Aceh telah berjuang melawan Belanda. Menjelang pendaratan Jepang (1942) rakyat di bawah ulama berjuang mengusir Belanda dari Aceh untuk selama-lamanya. Dan ketika Jepang pergi, hanya Aceh satu-satunya daerah Indonesia yang bebas merdeka.
Dalam posisinya yang strategis ini toh Aceh menolak seruan Belanda membentuk Negara Sumatera.
Daud yang pada waktu itu menjabat Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan tanah Karo sebenarnya bisa bertindak leluasa. Tapi dia bahkan menganjurkan rakyat membeli obligasi yang dikeluarkan guna menutup kebangkrutan pemerintah. Pembelian itu dilakukan rakyat dengan menjual kebun, sawah dan ladang serta perhiasan yang ada pada mereka.
Hasilnya dipakai sebagai biaya pemerintahan PDRI dan menggaji staf Angkatan Laut dan Angkatan Udara RI yang – oleh alasan keamanan terpaksa bermarkas di Kutaraja, Aceh. Bahkan biaya perjuangan Dr. Sudarsono (Ayah Dr. Yuwono Sudarsono) ke India dan L.N Palar ke PBB, juga dibiayai oleh rakyat Aceh.
Tidak sedikit dollar yang mengalir dari Aceh ke India dan New York demi Indonesia Raya. Rakyat Acehlah yang menyumbangkan hartanya untuk membeli dua pesawat terbang, hanya karena dua patah-kata dari Soekarno ketika berkunjung ke Aceh (1947). “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antarpulau.”
Permintaan ini dipenuhi rakyat hanya dalam tempo satu hari. Uang untuk membeli pesawat itu telah tersedia. Itulah sebabnya Soekarno menyebut Aceh sebagai “Daerah Modal” dan karena itu juga, Syafruddin Prawira Negara, wakil PM (1949) menunjuk Aceh sebagai daerah “provinsi.”
Tetapi kegembiraan itu tidak lama. Justru setelah penyerahan kedaulatan, Provinsi Aceh dibubarkan dan Aceh hanya menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Keruan saja, sikap semacam ini menimbulkan kemarahan rakyat Aceh. Terlebih kemarahan ini dijawab pemerintah dengan latihan Mobrig secara besar-besaran di Aceh. Tampaknya pemerintah ingin melakukan tekanan psikologis terhadap rakyat Aceh dengan show of force-nya itu.
Latihan itu bukan tanpa reaksi. Berbarengan atau beberapa saat setelah latihan itu, muncul pula latihan pramuka di seluruh Aceh yang dilakukan anak-anak Aceh. Suatu usaha unjuk gigi untuk menyatakan tidak gentar melawan tentara. Keadaan semakin runcing oleh tindak penggeledahan rumah-rumah.
Anehnya justru rumah para ulama lebih banyak yang digeledah. Termasuk rumah Daud Beureueh. Dan karena perundingan pemerintah pusat dengan Aceh selalu mengalami deadlock, Daud Beureueh dan kawan-kawan berontak mewakili kekecewaan historis masyarakat Aceh.
sebenarnya pemberontakan itu tak perna terjadi andaikata pemerintah cukup memahami aspirasi masyarakat Aceh. Yakni memberikan otonomi bagi Aceh untuk mengatur hukum-hukum Islam berlaku di sana, sesuai dengan Piagam Jakarta.
Tapi justru itulah yang tidak dipahami baik oleh Gubernur Sumatara Utara maupun pemerintah pusat. Bahkan tindakan kekerasan Pemerintah dianggap turut mendorong Daud Beureueh dan kawan-kawan naik gunung.
Daud Beureueh telah lama turun gunung. Tokoh yang bila dilihat dari sudut non-politis berhasil menggalang partisipasi masyarakat dalam membangun – bukan hanya masjid – jalan-jalan raya sepanjang 28 km dan jaringan irigasi seluas 122 km tanpa bantuan pemerintah itu, telah tua-renta.
Dan bukan atas kemauannya sendiri, Daud disinggahkan ke Jakarta selama beberapa tahun. Berdiri terbungkuk dengan sepotong tongkat, ia manatap Indonesia dengan nanar. Dibenaknya masih teringat sebuah lagu perang:
“Hateebeu teutap beusenggoh-sunggoh/Surak beurioeh hai pahlawan/Dum geutanyoe pahlawan gagah/Ta manou darah cit ba’ masa prang.”(fahri Ali Tempo 1982)