Jumaat, 24 Disember 2021

Al-Qur'an Peninggalan Sunan Gresik


Qur'an tertua peninggal Syehk Maulana Malik Ibrahim di desa mugo Aceh barat sebelum beliau hijrah untuk mengislamkan pulau Jawa Sampai kini, telah tercatat sebanyak 13 orang keturunan yang menjadi penjaga Quran tua tersebut, yakni, 1. Tgk. Cik Adam, 2. Tgk. H. Ibrahim, 3. Tgk Keumala, 4. Tgk. Jambo Awe, 5. Tgk Baha, 6. Tgk Paneuk, 7. Tgk. Mansur, 8. Tgk. Acek, 9. Tgk. Cut Tanglong, 10. Tgk. Akop, 11. Tgk. Cut Him, 12. Tgk. Maneh, dan 13. Tgk Meurah Hasan.

Kisahnya, ketika masa penjajah belanda, quran ini pernah dibawa keluar sesaat dari Panton Reu, demi menghindari upaya Belanda untuk memusnahkannya. Dan pernah disimpan di Desa Sawang Rambot, Kecamatan Kaway XVI. Namun, usai keadaan kondusif, Quran ini kembali sendiri ke Panton Reu tanpa dipulangkan. “Makanya dulu sempat heboh dan diutarakan kalau Quran ini bisa terbang,” ujar Tgk. Meurah Hasan mengenang sejarah.

Ukuran Quran yang diyakini berusia 700 tahun tersebut, panjang 25 centimeter, lebar sekitar 20 centimeter, dengan 30 juz. Kitab ini hasil ukiran tangan di atas kertas hasil tempahan dari kulit sebuah batang kayu.

Sumber FB Atjeh Darussalam

Ahad, 19 Disember 2021

Sang Mujahid Albaltaji.


Ketika diberi peluang membela diri di dalam mahkamah, pemimpin Ikhwan, Dr Muhammad Al Baltaji dengan lantang berucap:

“Aku adalah pelajar keenam terbaik seluruh negara dalam peperiksaan sijil menengah (seperti SPM di Malaysia).

Selama 6 tahun berturut-turut aku adalah mahasiswa perubatan terbaik. Aku adalah seorang doktor pakar. Aku juga seorang professor pengajian perubatan di Universiti Al Azhar.

Aku turut mengusahakan pusat perubatan antara yang terbaik di Mesir (memberikan khidmat percuma kepada pesakit miskin). Aku terlibat dalam pelbagai aktiviti kemanusiaan di negara ini.

Lalu kalian tangkap aku! Selepas 22 hari, aku dihadapkan dengan 25 pertuduhan jenayah di 25 daerah! Seolah-olah aku adalah ketua mafia dunia!

Segalanya berlaku selepas kalian membunuh anak perempuanku (Asma’) di dataran Rabiah Al Adawiyah. Kalian siksa anak lelakiku! (Anas dan Khalid).

Kalian tekan isteri dan keluargaku! (isterinya dihukum penjara 6 bulan). Kalian bakar klinikku dan rumahku!

Adakah kalian menyangka aku berdiri di sini untuk membela diri?! Aku bersumpah dengan nama Allah, sama ada kalian menjatuhkan hukuman mati ke atasku atau kalian membebaskan aku, sama sahaja bagiku!

Aku berjuang pada jalan Allah untuk negara ini. Biarlah generasi ummah akan datang mengetahui siapakah yang berdiri dalam saf yang benar dan siapa yang berdiri dalam barisan yang batil!

وَسَیَعۡلَمُ ٱلَّذِینَ ظَلَمُوۤا۟ أَیَّ مُنقَلَبࣲ یَنقَلِبُونَ

"... Dan (ingatlah), orang-orang yang melakukan kezaliman, akan mengetahui kelak, ke tempat mana, mereka akan kembali."

Al-fatihah buat Allahyarham Prof. Dr. Muhammad Al Baltaji. 🤲

Kredit : Facebook Ustaz Aris Hazlan Ismail

Isnin, 6 Disember 2021

Ulama Acheh Yang Di Segani Musuh

TEUNGKU CHIK DI AWE GEUTAH


Di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, ada rumah adat asli Atjeh yang masih berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun lamanya. Namun, dibalik itu banyak yang tidak mengetahui riwayat tentang pendirinya, Teungku Chik Awe Geutah, seorang ulama yang sangat berperan dalam mengembangkan agama Islam di Atjeh.

Sayangnya jasa-jasa Teungku Awe Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang menulis riwayat tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk melihat pesona Rumoh Atjeh yang masih terpelihara keasliannya sampai kini. Tanpa ada yang mau peduli untuk mengabadikannya untuk kita kenang sepanjang masa. Sehingga dikhawatirkan sejarah tentang tokoh ulama besar Atjeh tersebut akan punah ditelan masa.
Pihak keluarga Teungku Chik Awe Geutah sendiri sudah banyak yang tidak mengetahui lagi secara mendetail tentang riwayat ulama yang dikenal keramat itu. Makanya untuk menulis kisah tentang Teungku Chik Awe Geutah sangat sulit. Sebab, tidak ada literatur atau referensi sebagai pedoman untuk menguatkan kebenaran penulisan sejarahnya itu.

Untunglah ada seorang peminat sejarah, khususnya tentang riwayat Teungku Chik Awe Geutah, yang masih tersisa di sana. Namanya Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom. Sebenarnya dia bukan bukan keturunan Teungku Chik Awe Geutah. Tapi kakeknya dulu pernah tinggal bersama anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah.

Dari cerita-cerita kakeknya itulah dia banyak mengetahui sejarah Teungku Chik Awe Geutah. Malah buruh kilang padi itu punya dokumentasi khusus, dan mengetahui silsilah Teungku Chik Awe Geutah sampai tujuh keturunan hingga saat ini. Nah, tulisan ini berdasarkan penuturannya kepada saya beberapa waktu lalu di bawah rumah Atjeh tersebut. Keterangan laki-laki berusia 70 tahun itu, juga dibenarkan beberapa anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah yang mendampingi kami ketika itu.

Dikisahkan Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal di sana. Namun tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.

Perjalanannya mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.

Mereka meninggalkan tanah kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk agama Islam di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah Abdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah ke tempat lain.

Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Atjeh Besar.

Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.

Sedangkan pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah. Di sana mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.

Rombongan Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun, Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di sungai dengan berkemben (memakai kain yang menampakkan bagian dada atas). Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap. Negeri itu sudah laklim.

Lalu mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan Sawang, Kabupaten Atjeh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).

Sedangkan satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.

Namun setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat arah penjuru mata angin.

Malam pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana, namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya, pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.

Malam kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut. Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara. Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.

Baru pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang permanen.
Maka keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.

Saat itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.

Seorang di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama. Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usulan itu pun diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah.

Sabtu, 4 Disember 2021

PENAKLUK ALAM MELAYU DARI KESULTANAN ACHEH



Acheh boleh dikatakan merupakan warisan kepada Kerajaan Melayu Pasai yang bermukim di utara Pulau Sumatera. Ketika Kesultanan Melayu Melaka tumbang dan juga Pasai dilanggar oleh Portugis, kerajaan yang menghalang kemaraan Portugis di utara Sumatera ketika itu ialah Kesultanan Acheh dibawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Shah yang berjaya mengalahkan Portugis dalam medan perang pada tahun 1521 Masihi sebelum meluaskan kekuasaan Acheh ke atas beberapa wilayah Sumatera utara seperti Pasai, Pedir, Daya dan Deli. Tidak cukup dengan itu, Acheh dibawah pemerintahan baginda turut menyerang Potugis beberapa kali dan hampir sahaja menakluk kota A’Famosa pada tahun 1574 Masihi.

Namun, selepas pemerintahan baginda, kekuasaan Acheh kembali malap dengan huru-hara yang berlaku dalam negeri dan konflik perebutan takhta sehinggalah lahir seorang penakluk hebat alam Melayu yang dikenali sebagai Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang memerintah Acheh daripada 1607 Masihi sehinggalah 1636 Masihi. Seperti mana-mana kisah penakluk lain dalam dunia, mereka tidak akan mampu untuk menakluk kerajaan lain disekitar kerajaan mereka tanpa menyatukan dahulu rakyat dan pembesar dalam kerajaannya tersendiri.

Sebagai contoh, Genghis Khan dari Monggol tidak akan mampu membina empayar agung daratan terbesar dalam sejarah kalau tidak menyatukan puak-puak Monggol yang sering kali bertelagah itu. Begitu juga dengan Sultan Iskandar Muda ini, apabila telah berjaya menyatukan sekurang-kurangnya [ 73 orang hulubalang (uleebalang) yang seringkali bertelagah dan beperang antara satu sama lain merebutkan kawasan pemakanan dan pemukiman antara satu sama lain ]]

Faktor penaklukan baginda dapat dilihat atas beberapa faktor, dan antaranya ialah penguasaan ekonomi ke atas Alam Melayu. Sebagai contoh, perdagangan lada hitam merupakan antara sumber utama kekayaan ekonomi Kesultanan Acheh. Justeru, baginda telah menyerang beberapa buah negeri Melayu seperti Kedah dan menakluknya pada 1619 Masihi. Antara negeri awal lain yang ditakluk oleh baginda ialah Johor pada tahun 1613 Masihi dan 1615 Masihi, serta tidak ketinggalan Pahang pada tahun 1618 Masihi dan membawa pemerintahnya yang bernama Sultan Ahmad Syah ke Acheh. Bahkan lebih awal, negeri-negeri Melayu di Sumatera seperti Aru dan Deli turut ditakluk oleh baginda. Baginda juga telah menakluk Perak pada tahun 1620 Masihi demi menguasai perniagaan bijih timahnya.

Kekuatan ketenteraan yang dimiliki oleh baginda dipercayai kerana kekuatan angkatan lautnya. Dikatakan setiap kapal Acheh dikendalikan oleh lebih kurang 600-800 orang, tentera berkuda Acheh (cavalry) ketika itu menggunakan baka kuda Parsi, mempunyai tentera bergajah serta menjalankan kerahan tentera kepada setiap rakyatnya. Mungkin sebab ini jugalah di mana kita perlu menyaksikan bagaimana untuk mengalahkan Acheh dibawah pemerintahan baginda sahaja, Johor sebagai musuh ketatnya terpaksa menjalinkan kerjasama dengan Pahang, Palembang, Jambi, Inderagiri, Kampar dan Siak.

Seperti mana raja-raja Acheh yang sebelum ini, Sultan Iskandar Muda tetap meneruskan legasi menyerang Portugis dan cuba menakluk Melaka dari kekuasaan penjajah tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 1629 Masihi, dicatatkan bahawa Sultan Iskandar telah memimpin 236 buah kapal bersama dengan 20, 000 orang tentera namun serangan baginda berhasil dengan kegagalan. Namun, kita tidak boleh menafikan keluasan empayar baginda sehinggakan dalam surat baginda yang dikirimkan kepada Ratu Elizabeth dari England berbunyi seperti berikut:

“Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam.”

Namun pastinya yang paling diingati tentang baginda ialah kisah cinta baginda dengan seorang puteri Pahang, yang kisahnya persis seperti puteri Amythis dan raja Babylon bernama Nebuchadnezzar II yang menciptakan sebuah taman tergantung untuk Amythis hanya kerana wanita itu merindukan tanah airnya yang subur berbeza geografi dengan pasang pasir Mesopotamia.

Kisahnya, ketika Puteri Pahang yang merupakan isteri baginda yang digambarkan kecantikannya tidak berbelah bagi ketika zaman tersebut merindukan bentuk muka bumi kerajaan Pahang yang berlatarbelakangkan banjaran Titiwangsa yang bergunung-ganang berbanding Acheh itu, maka Sultan Iskandar Muda dengan rela hati membina sebuah gunung kecil (Gunôngan) sebagai miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Puteri Pahang di Pahang dahulu.

Betapa bahagianya si isteri selepas menerima persembahan cinta daripada Sultan Iskandar Muda. Bangunan ini berbentuk enam segi, menyerupai bunga dan bertingkat tiga dengan tingkat utama berbentuk mahkota . Pada dindingnya ada sebuah pintu masuk berukuran rendah yang selalu dalam keadaan terkunci. Dari lorong pintu itu ada sebuah tangga menuju ke tingkat tiga Gunongan.

Baginda bukan sahaja penakluk hebat alam Melayu dan suami yang romantis, malah merupakan pemerintah yang sangat disegani dan dikagumi. Baginda juga seorang pemerintah yang sangat mengangkat nilai islamik dalam pemerintahan. Antara langkah mengangkat agama Islam yang diterapkan baginda di dalam Kesultanan Acheh ialah memastikan bahawa setiap kampong di dalam Empayar Acheh mempunyai sebuah masjid dan surau yang mempunyai madrasah. 

Guru-guru agama yang berwibawa akan dihantarkan di setiap madrasah. Beberapa buah kampong akan dikenali sebagai mukim yang akan diketuai oleh hulubalang kecil. Gabungan beberapa buah mukim akan dikenali sebagai Sagi dan diketuai oleh Hulubalang Besar

Baginda juga dibantu oleh Wazir Sultan, Perdana Menteri, Kadi Malikul Adil bersama dengan empat orang mufti dalam pentadbirannya. Antara ulama hebat yang diambil oleh baginda sebagai penasihatnya ialah Syamsudin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf As-Singkili

Kitab-kitab agama Islam ketika itu dikarang oleh ulamak-ulamak hebat ini dalam bahasa Melayu dan banyak mempengaruhi perkembangan agama Islam dalam Tamadun Melayu. Balai Laksamana pula akan mengetuai tentera laut dan tentera darat, manakala Menteri Dirham yang peranannya pada hari seperti Menteri Kewangan akan mengendalikan Baitulmal dan hal ehwal kewangan Empayar Acheh.

Ketika era pemerintahan baginda, terdapat tiga buah badan yang diamanahkan untuk menjalankan dasar-dasar pentadbiran negara seperti Balairung yang terdiri daripada empat hulubalang terbesar Acheh yang akan mengendalikan isu pertahanan Acheh, Balai Gading yang terdiri daripada dua orang ulamak besar untuk mengendalikan isu agama dan Balai Majlis Mahkamah Rakyat yang terdiri daripada wakil-wakil mukim di seluruh wilayah Acheh. Balai Majlis Mahkamah Rakyat fungsi utamanya ialah mengurus masalah dan urusan rakyat di setiap kerajaan Acheh itu sendiri.

Baginda juga dilihat menghapuskan adat-adat zalim yang diwarisi sejak dari zaman Hindu-Buddha yang pernah mewarnai tamadun Melayu yang bertentangan dengan syariah agama Islam itu sendiri dalam pentadbiran Acheh. Misalnya, sebelum itu dikatakan bahawa setiap saksi dalam sebuah pengadilan diminta untuk mencelupkan tangan ke dalam minyak panas dan menjilat besi panas demi menguji kebenaran kenyataan para saksi ini.

Bahkan, ketegasan dan teguhnya Sultan Iskandar Muda pada agama Islam sangat disanjung terutama ketika dalam isu baginda menghukum mati anak sulung kerana telah berzina dengan seorang wanita yang merupakan isteri orang. Sebab itu pewaris takhta baginda ialah anak angkat baginda yang merupakan anakanda kepada Sultan Ahmad Syah. Biar mati anak, jangan mati adat. Mungkin ungkapan itu boleh disematkan pada situasi Sultan Iskandar Muda. Adat ketika, itu juga bermaksud undang-undang maka apabila tindakan anakandanya melanggar undang-undang, hukuman tetap harus dijalankan meskipun statusnya sebagai putera raja. Bezanya, lafaz keramat yang terluah dari mulut baginda ialah, “mati anak jelas kuburannya, hilang adat ke mana hendak dicari.”

Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Johan Berdaulat akhirnya mangkat pada tahun 1636 Masihi dan menurut Bustanus Salatin yang dikarang oleh Syeikh Nuruddin ar Raniri, pada hari Sabtu waktu zuhur pada Hijrat seribu empat puluh enam tahun (1046 H). 

Sebelum mangkat, baginda sempat menamakan menantu baginda yang bernama Raja Mughal sebagai pengganti baginda di atas takhta kerajaan. Raja Mughal yang berasal dari Pahang ini kemudiannya memakai gelaran Sultan Iskandar Thani Alauddin Mughayat Shah Johan Berdaulat.

Rujukan:

1. Raja Mohd Afandi (1974). Tokoh-Tokoh Melayu Yang Agung Dalam Sejarah. Dewan Bahasa Dan Pustaka hlmn 80-84

2. M.C. Ricklefs. (1994) A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press.

3. J.M. Barwise and N.J. White. (2002) A Traveller’s History of Southeast Asia. New York: Interlink Books.

4. Rusdi Sufi (1995). Pahlawan Nasional: Sultan Iskandar Muda. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta.

Sumber : thepatriot

Note "Setahu kami, acheh bukan menyerang  sesama muslim dan merampas harta muslim, tetapi menyerang penguasa asing dan talibarut asing yang menjajah tanah melayu. Seperti portugis, brithish dan talibarut keduanya"

Ruju' 👉 Aceh Darussalam Academy supaya tiada unsur manipulasi sejarah yang mengarah kepada adu domba silam.🤝

Pantõn Aceh


Aléh (١ )hai aneuk tungkat abuwa.
miseu huruf ب peuraho  laweung 
Nyoe ت hai adék meutiték dua.
Teuma huruf ث meuji_'ei linteung.

Nyoe ج ngon خ ح keunoeng that lagè.                                 
tincu that ulè meuprut jih cateun.
Nyoe huruf ذ د meupingkoe-pingkoe.
teuduk meuranjoe ban adoe aduen.

Miseu huruf ر parang cah duroe.
Miseu huruf ز parang cah uteun.
di س deungon ش meu gigoe-gigoe.
lagė gögajoe ngoen koh-koh papeun.

Di ص deungoen ض umpama sadeup.
teumpat mat meugup teu eh teulinteung.
Nyoe ط deungoen ظ ureung raya prut.
nibak gurè beut euntreuk tatumeung.

Di ع deungoen غ meutamse uleue.
teungoh 'eu-'eu rab bineh ateung.
Dihuruf ق ف umpama jalô.
atawa peurahô ka meupök kareung.

Teuma huruf ك hai bungong padé.
babat ngon cah gle hana hi  peudeung.
Teuma huruf ل wahé boh hatě.
ban mata kawé hanalé beuneung.

Meunyoe huruf م lagè glang tanoh.
meunan keuh contoh di dalam jangeun.
Tahafai hai neuk malam ngon beungoh.
mangat tatu'oh watę gop yue kheun.

Nyoe ن teulinteung meutalum titék.
Nyoe و hai adék meubungkôk udeung.
Meunyoe ھ èk leuk ban reuhueng bintéh.
Meunyoe لا rampagoe pineung.

Nyoe ء hai nyak  meuduroe kawat.
Nyoe ي saban that iték lague krueng.
Ngon ُوَالسّلام karangan tamat
Meunan geu surat le gurė zameun.

Sumber : Ayah Simuda