(Memperingati Hari Warisan Dunia)
Dari 4 Warisan Dunia di Indonesia untuk kategori cagar budaya, satupun tidak ada warisan tinggalan Islam di dalamnya. Merujuk pembagian periode kebudayaan yang umumnya dipakai, yaitu Pra-Sejarah, Klasik Hindu/Buddha, Islam dan Kolonial, hanya warisan Islam yang sama sekali tidak ada. Ke-4 warisan yang masuk daftar Warisan Dunia tersebut ke-empatnya juga hanya berputar di wilayah Jawa dan Bali yaitu Situs Sangiran (Pra-Sejarah), Candi Borobudur (Buddha), Candi Prambanan (Hindu), dan Lanskap Kultur Provinsi Bali (Hindu). Sedangkan untuk di Sumatera baru beberapa tahun yang lalu, hanyalah tinggalan kolonial Belanda yang masuk dalam daftar Warisan Dunia yaitu, Kota Tambang Sawah Lunto, di Sumatera Barat. Tidak adanya warisan tinggalan Islam yang masuk dalam Situs Warisan Dunia UNESCO bukan karena tidak ada warisannya, tapi karena tidak ada kepedulian yang besar dari negara bekas jajahan Belanda ini.
Padahal di Pulau Sumatera ada warisan Islam yang menjadi salah satu mata rantai paling penting dalam Sejarah Islam Dunia. Tidak lain adalah Kota Sumatra, sebuah bandar (kota pelabuhan) di pantai timur bagian utara Aceh yang menjadi pusat peradaban Islam sejak abad ke-13 sampai kuartal pertama abad ke-16. Yang menjadi cikal bakal lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera dan Asia Tenggara. Begitu pentingnya kota ini terlihat dari banyaknya catatan penjelajah dunia yang menuliskan laporan tentang Kota Sumatra. Contoh yang paling terkenal adalah catatan Ibnu Baththuthah, Marcopolo, Tome Pires, dan Sulaiman Al-Mahri. Belum lagi ditambah catatan dari negara lain saat itu. Bukan hanya itu, jejak warisannya sampai sekarang masih dapat di saksikan, berupa struktur-struktur bangunan yang tidak pernah serius diteliti, kanal-kanal kuno, artefak budaya dan perdagangan, serta yang paling utama adalah kompleks makam kuno.
Warisan sejarah Islam di Kota Sumatra yang paling penting adalah kompleks-kompleks makam kuno yang sangat banyak jumlahnya. Untuk melihat betapa pentingnya kompleks makam ini sebagai bukti kemasyhuran kota Sumatra akan kami cantumkan sedikit beberapa daftar kecil kompleks makam tersebut.
Kompleks ini terdapat dua makam yang memuat nama sultan, yang pertama adalah makam Sulthan Al-Malik Ash-Shalih (w.696 H/1297 M) yang dicatat sebagai Sultan atau raja Islam pertama di Asia Tenggara. Makam kedua adalah makam putra beliau yang juga seorang sultan yaitu Sulthan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad (w. 726 H/1326 M) beliau tercatat sebagai raja yang bergelar syahid paling awal di Asia Tenggara.
Kompleks Makam Kesultanan Periode II Dari Daulah Shalihiyyah Sumatra
Di kompleks ini dari puluhan pasang nisan yang memuat belasan nama tokoh penting, di antaranya ada 5 makam yang memuat nama penguasa (sultan) yaitu, Sulthan Zain Al-'Abidin (w.808 H/1406 M), Al-Malikah Al-Mu'azhzhamah Nahrasyiah (w.831 H/1428 M), Sulthan Zain Al-'Abidin II (w.841 H/1438 M), Khawaja Sulthan Al-'Adil Ahmad (w.868 H/1464 M), dan Sulthan Zain Al-'Abidin III (w.878/1474 M). Dalam kompleks ini memuat beberapa monumen makam (cenotaph) yang didatangkan khusus dari kota pelabuhan Khambhat (Cambay) di Gujarat, yang satu di antaranya diakui sebagai nisan paling indah di Asia Tenggara.
Kompleks Makam Kesultanan Periode III Dari Daulah Shalihiyyah Sumatra
Kompleks yang membujur panjang (timur ke barat) ini sangat luar biasa, karena terdapat ratusan pasang nisan dan memuat puluhan tokoh penting. Dari daftar tokoh yang dimakamkan di kompleks tersebut tidak kurang dari 11 nama sultan telah dipahat di dalamnya. Yang juga tercatat sebagai kompleks makam yang memuat daftar sultan paling banyak di Asia Tenggara.
Kompleks Makam Shadrul Akabir
Kompleks makam keluarga ini begitu luar biasa, karena telah memuat nama seorang dari tokoh penting dunia. Makam yang terbuat dari marmer yang didatangkan khusus dari Khambhat, Gujarat ini bernama 'Abdullah bin Muhammad (w.816 H/ 1416 M). Di Kota Sumatra Beliau menyandang gelar Shadrul Akabir yang bermakna Pemuka Pembesar, ia adalah keturunan lurus dari Al-Mustanshir bi-Llah Khalifah 'Abbasiyyah di Baghdad. Di sampingnya bersemayam makam istrinya yang adalah salah satu anak seorang tokoh yang digelari Raja Dipertuan Agung (Al-Malik Al-Mu'azhzham), dan makam putranya yang juga ikut mengekalkan gelar "Al-Mustanshir bi-Llah" pada nisannya.
Kompleks Makam Sayyid Syarif
Dari beberapa nisan yang ada dalam komplek makam ini, dua diantaranya monumen makamnya juga telah didatangkan khusus dari Khambhat (Gujarat), salah satunya memuat nama Sayyid 'Imaduddin bin Sayyid 'Izzuddin bin Ishaq Al-Hasani Al-Husaini (w.827 H/1424 N). Berdasarkan gelar dan tahun wafatnya beliau tercatat sebagai ahlul bait keturunan Rasulullah S.A W. yang paling awal di Asia Tenggara berdasarkan bukti epigrafi.
Selain kompleks makam di atas ada pula Kompleks Makam Khawaja Tajuddin, Kompleks Makam Tajul Muluk, Kompleks Makam Na`ina Husamuddin, Kompleks Makam Raja Khan, Kompleks Makam Raja Kanayan dan masih banyak lagi kompleks makam penting lainnya, yang masing masing kompleks makam sebagian besar memuat banyak nama tokoh penting yang tidak mungkin dapat ditulis dalam catatan kecil ini.
Kompleks-kompleks makam di atas hanyalah daftar pendek dari banyaknya tinggalan sejarah Kota Sumatra yang tokoh-tokohnya terkoneksi dengan pusat-pusat Peradaban Islam di dunia. Daftar itu hanyalah dimaksudkan untuk memberi sedikit gambaran betapa pentingnya dan betapa layaknya Kota Sumatra menjadi Situs Warisan Dunia, yang selama ini terpinggirkan dalam ruang kebudayaan. Jangankan untuk dikenal masyarakat dunia atau kawasan regional Asia Tenggara, untuk kancah nasional bahkan untuk di wilayah Sumatra saja, kota Islam bersejarah ini tenggelam dan seperti sengaja ditenggelamkan.
Pikiran semacam itu tidak dapat dihindarkan, karena kenyataan yang terjadi memanglah demikian. Jika kita lihat daftar Warisan Dunia di atas tentulah akan menambah lagi suatu keterangan bahwa warisan kebudayaan Islam di negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia ini sama sekali belum mendapat tempat, atau sama sekali tidak ada tempat untuk ia dapat disejajarkan dengan kebudayaan lainnya seperti kebudayaan Hindu/Buddha misalnya. Wajah kebudayaan Indonesia masih kental sekali didominasi oleh kebudayaan tertentu, juga bahkan kebudayaan suku bangsa tertentu yang secara rakus telah melumat kebudayaan suku bangsa lainnya. Padahal doktrinasi tentang "Kebhinekaan" selalu keras dan lantang dikemukakan setiap waktu dalam seluruh ruang apapun.
Ketidak-adilan, atau pembagian porsi yang tidak seimbang dalam bernegara, terlebih bagi hal kebudayaan telah menimbulkan rasa kecewa bagi banyak anak bangsa. Karena keadilan adalah pokok dari konsensus kita dalam bernegara, sesuatu yang menciderainya tentunya akan menimbulkan banyak hal yang tidak kita inginkan. Seperti timbulnya pikiran dan sekaligus semangat; bahwa untuk dapat membangun wilayah dan agar dapat berdiri sejajar dengan wilayah lainnya, suatu bangsa layak untuk berdiri di kakinya sendiri, lepas dari organisasi besar masyarakat (negara) demi mencapai keadilan untuk masyarakat di wilayahnya. Tentunya kita tidak ingin hal ini terulang dan terjadi. Tapi, semangat-semangat demikian sulit pula untuk diheentikan ketika rasa keadilan terusik.
Pemimpin Yang Adil
Dalam seluruh sistem tata kelola komunitas apapun di dunia ini termasuk negara, jenis kepemimpinan paling ideal adalah pemimpin yang adil. Karena itu pula Indonesia menempatkan banyak kata "adil" dalam dasar negaranya. Walapun sayangnya, kata itu masih sebatas untuk meramaikan ruang-ruang seminar, penataran, dan bahkan kebanyakan baru sebatas terpajang usang ditembok-tembok bangunan publik. Padahal negara dapat bercermin pada sejarah Kota Sumatra, kata keadilan itu telah lama disematkan untuk pemimpin-pemimpin Islam masalalu. Para sultan telah digelari oleh masyarakatnya Al-Malik Al-Adil (Raja Yang Adil) pada batu-batu nisannya. Dalam hal membangun perekonomian, khususnya kebijakan fiskal dan moneter, otoritas kesultanan selalu memuat tulisan "Al-Malik Al-'Adil" dalam koin-koinnya sebagai pengingat, untuk memaknai dan melaksanakan kepemimpinan berdasarkan keadilan yang tentunya dilandaskan atas teks-teks hukum tertinggi, yaitu kitab suci (Al-Quran) dan suri tauladan Nabi (Sunah), yang juga ditambah oleh konsesus ulama (Ijma'), serta dilengkapi dengan sumber hukum seperti Qiyas.
Pada peringatan Hari Warisan Dunia ini, kami sekedar ingin mengingatkan kepada seluruh masyarakat, terutama kepada penguasa, dan para-para pemimpin. Negara kita memiliki warisan kebudayaan Islam yang sungguh luar biasa. Sebuah permata di jalur sutra bahari dunia, kota Islam yang masyhur dan sangat bersejarah. Kota beradab yang telah merubah wajah Asia Tenggara, dan yang menentukan identitas ratusan juta masyarakatnya. Jejak dan warisan itu sangat pantas untuk ikut berdiri sejajar dalam kesatuan identitas kebudayaan bangsa di kancah dunia. Kota Islam Sumatra yang karena keagungan, peran besar, dan pengaruhnya itu namanya telah diabadikan untuk menyebut salah satu pulau terbesar di dunia. Tapi kini wilayahnya menjadi daerah terpencil dan tersingkir di suatu negara merdeka, dan hanya pasrah menunggu keadilan.
Karena keadilan yang ditunggu tidak pernah hadir, dan sampai kini tidak juga terlihat tanda-tanda akan hadir, sambil menunggu tanah negeri ini benar-benar mandiri dan berdiri di kakinya sendiri, biarlah kami yang akan terus memberinya makna dan nilai, biarlah hanya kami yang mendaulatnya sebagai Kota Warisan Dunia.
Penulis : Arya Purbaya
Tiada ulasan:
Catat Ulasan