Masjid An-Nabawi, 1908. Sumber:ar.wikipedia.org/wiki/ |
Sudah sejak berabad lamanya, dua Tanah Haram, Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah, merupakan dua pusat keilmuan Islam di Hijaz. Ulama-ulama dari berbagai pelosok Dunia Islam telah datang ke kedua kota suci ini untuk mengajarkan ilmu-ilmu Islam, begitu pula para penuntut ilmu yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia.
Masjid Al-Haram dan Masjid An-Nabawiy telah mengisi peran besar dalam memajukan dunia ilmu pengetahuan, tidak saja pada masa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam tapi juga pada masa Khulafa’ur Rasyidin dan setelah mereka sampai dengan masa-masa paling kemudian.
Di sekitar kedua masjid ini juga telah dibangun berbagai madrasah yang pada gilirannya telah ikut meningkatkan kepesatan gerak keilmuan. Namun, tidak sedikit para ulama yang memandang mengajar di Masjid lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih besar pahalanya daripada mengajar di madrasah-madrasah. Di samping itu, mengajar di Masjid merupakan amal sukarela yang tidak terikat dengan berbagai aturan, serta terbuka untuk semua orang tanpa pembatasan.
Namun, sebelum dilanjutkan, saya akan mengemukakan lebih dahulu alasan mengapa topik ini yang akan dibicarakan.
Ahad yang lalu, Mapesa dan Komunitas Pakaian Adat-Pidie telah melakukan meuseuraya atau kegiatan gotong-royong membersihkan serta menata ulang letak nisan-nisan yang terdapat di satu kompleks makam bersejarah di Gampong Sanggeu, Pidie. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membalas kebaikan dan perwujudan kesetiaan tersebut dengan sebaik-baik balasan dari sisi-Nya.
Salah satu makam yang terdapat dalam kompleks itu adalah makam seorang ulama besar, Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, yang wafat pada 943 Hijriah (1537 Masehi).
Meuseuraya Mapesa dan Komunitas Pakaian Adat-Pidie di Kompleks Makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, Sanggeu, Pidie. Salam hormat dan rindu! |
Keberadaan makam ulama besar ini sudah diketahui sejak 2008. Saat itu, saya bersama Teungku Razali Ismail dari Bireuen, dalam sebuah lawatan singkat yang hanya memakan waktu satu hari di Pidie. Tujuan lawatan adalah untuk mengunjugi Klibeut sampai dengan Batee, tepatnya Kuala Geunteing . Sangat perlu saya ungkapkan di sini—dengan disertai rasa syukur dan doa kebaikan—bahwa motivator di belakang lawatan ini tidak lain adalah tulisan Almarhum H. M. Zainuddin, salah satu di antara para “penyimpan kenangan” di abad ke-20 yang lalu—semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat dan keampunan kepadanya. Lawatan itu adalah untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang disebutkan H.M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara. Tempat-tempat itu, antara lain adalah: Makam Sultan Ma’ruf Syah di Klibeut, Jrat Putroe Bale di Sanggeu, satu bangunan kuno di Batee, dan Kuala Geunteing. Segala puji kepada Allah Rabbul ‘Alamin, atas anugerah dan kemudahan dari-Nya, semua tempat ini telah sempat dikunjungi pada waktu itu.
Satu hal yang tidak terduga-duga, dalam waktu kami berada di Sanggeu setelah berkunjung ke kompleks makam Putroe Balee, dan belum seberapa jauh meninggalkan kompleks tersebut untuk keluar menuju Groenggroeng lantas ke Batee, mata kami sontak menjurus ke satu kompleks makam di sisi kiri kami. Nisan-nisan kuno dalam kompleks itu selain tidak terurus, bagian puncaknya pun rata-rata sudah cacat berat akibat dijadikan sebagai batu pengasah benda-benda tajam.
Tidak jauh dari situ, kami kemudian juga melihat satu kompleks lain dengan batu nisan yang unik. Bentuknya lebih kurang seperti bentuk tharbusy (tharbusy: diarabkan dari kata dalam bahasa Persia, “sarbusy”, yang berarti penutup kepala). Itulah kali pertama saya melihat nisan semisal itu, dan tidak pernah ditemukan di kawasan peninggalan sejarah Samudra Pasai.
Kedua nisan masih sangat utuh, cuma saja posisi berdirinya yang sudah tidak tegak lagi, bahkan sudah sangat condong. Lumut juga sudah tampak menebal di beberapa bagian permukaan batu. Masih utung, lumut tebal itu tidak merusak inskripsi yang terdapat di bagian bawah (pinggang) kedua nisan.
Tulisan Penuh klik Disini
Tiada ulasan:
Catat Ulasan