Setiap manusia normal tentu merasa risih dan tidak nyaman saat berhadapan dengan sosok-sosok manusia sombong. Dan bahkan manusia sombong sekali pun pada hakikatnya juga sangat membenci kesombongan yang dipraktikkan di hadapannya, meskipun ia sendiri tetap kekal dengan kesombongannya.
Sebab-sebab kesombongan itu sendiri beragam rupa. Sebagian orang sombong karena kelebihan fisiknya, sehingga merasa ganteng, cantik, manis, mancung, putih dan lentik. Sementara sebagian yang lain, sombong sebab kelebihan otaknya sehingga merasa pandai, ahli, teliti dan telaten. Selain unsur dari dalam, kesombongan juga disebabkan oleh kelebihan yang datang dari luar dirinya, semisal kekayaan dan jabatan.
Jadi, kesombongan muncul akibat “merasa lebih” dari orang lain, baik lebih parasnya, lebih otaknya, lebih hartanya atau pun lebih jabatannya. Singkatnya, manusia-manusia sombong adalah mereka-mereka yang takluk pada perasaannya yang belum tentu benar. Artinya, seorang yang sombong sebab merasa cantik misalnya, belum tentu dia benar-benar cantik. Demikian pula mereka yang sombong karena merasa pandai pun belum tentu ia benar-benar pandai.
Ada banyak cara bisa digunakan untuk mengobati diri dari kesombongan. Salah satunya dengan belajar pada buku-buku. Kita bisa menyaksikan bagaimana buku-buku berbaris rapi dalam rak tanpa saling menyombongkan diri. Mereka saling mengisi dan saling melengkapi.
Buku hasil karangan seorang doktor terkenal lulusan Harvard dengan judul “Money Politik” bisa saja mengambil posisi di samping buku “Cara Caleg Bagi-Bagi Uang”, karya anak kuliahan yang sudah tiga kali terancam drop out. Demikian pula dengan buku karangan seorang perdana menteri yang berjudul “Cinta Para Raja” bisa saja hidup bertetangga dengan buku “Manisnya Selingkuh” karangan sanstrawan jalanan. Buku-buku itu senantiasa terlihat setara dalam rak dan lemari-lemari kaca.
Jika membangun komunikasi dengan manusia-manusia sombong itu terlihat sulit, maka segera beralih pada buku-buku, sebab buku tidak pernah sombong. Buku Samuel P. Huntington misalnya tidak mesti dibaca oleh mereka-mereka yang mengaku sebagai pakar politik internasional, tapi bisa saja diselami oleh “anak-anak OSIS.” Demikian pula dengan buku “Demokrasi untuk Indonesia” karya Hasan Tiro pun tidak hanya menjadi bacaan kader Gerakan Aceh Merdeka atau alumnus UII, tapi ia tetap nikmat dilahap oleh siapa pun yang mengklaim diri sebagai “Tirois.”
Mulai hari ini, jika saudara-saudara anda sombong, rekan-rekan anda sombong dan atasan-atasan anda sombong, maka segeralah beralih pada buku-buku, sebab buku tidak pernah sombong. Buku-buku, sehebat apa pun dan setinggi apa pun isinya, ia tetap membuka dirinya untuk dibaca oleh siapa pun, tak peduli latar belakang pendidikan dan gelar akademik yang disandang oleh pembacanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan