Perang memang selalu melahirkan korban nyawa, tak terkecuali wartawan, seperti yang dialami oleh juru kamera dan reporter senior RCTI, Fery Santoro dan Sori Ersa Siregar, yang menjadi sandera pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Nasib keduanya beda, satu selamat, satu tewas diterjang peluru.
Bagaimana kisah kematian Sori Ersa Siregar bisa dibaca dalam buku yang ditulis Fery Santoro yang selamat. Buku itu diberi judul, Antara Hidup dan Mati, 325 Hari Bersama GAM. Keduanya disandera GAM pada pertengah tahun 2003.
Fery Santoro mengakui meski mereka diperlakukan dengan sangat baik oleh GAM, tapi keselamatan mereka tetap terancam, karena setiap saat bisa saja terjadi perang antara pasukan GAM dengan TNI.
Kekhawatiran itu menjadi nyata, saat pasukan GAM membebaskan mereka, mengantarnya ke daerah penjemputan, pada 29 Desember 2003, ternyata diketahui oleh TNI, sehingga kontak senjata terjadi. Dan dalam perang itu Sori Ersa Siregas tewas terkena terjangan peluru TNI, sementara Fery Santoro selamat.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu mengakui bahwa Sori Ersa Siregar tewas karena peluru TNI. "Kan, Ersa ada di pihak GAM. Resikonya pelor. Kalau enggak mau tertembak, ya tak usah jadi wartawan perang," kata Ryamizard kepada awak media di Jakarta, sehari setelah penembakan itu.
Fery Santoro dalam bukunya mengungkap secara detail kisah penyanderaan bermula. Saat hari kejadian penyanderaan, para anggota GAM menghadang mobil Kijang lalu masuk ke dalam mobil yang ditumpangi Ersa, Ferry dan penumpang lain. Ersa yang duduk di kursi depan ditarik dan didorong untuk kemudian duduk di kursi paling belakang. Begitu pula dengan sang sopir.
Salah satu anggota GAM mengambil kemudi, satunya duduk di depan. Safrida dan Soraya duduk di tengah, diapit dua personel GAM. Ersa, Rahmatsyah, Ferry, dan satu anggota GAM duduk berdesakan di belakang.
Mata mereka ditutup dan baru dibuka saat tiba di lokasi tujuan—hamparan sawah yang sangat luas. Kelimanya tak tahu mereka ada di mana. Mereka lalu diinterogasi. Usai diinterogasi, mereka diajak berjalan menelusuri sawah, lalu ke perbukitan dan gunung di ujungnya. Sampai tibalah mereka di satu gubuk. Di gubuk itu, Safrida diinterogasi lagi. GAM curiga ia adalah mata-mata. Safrida adalah istri tentara, begitu juga adiknya, Soraya.
Mobil Kijang ditinggalkan, suatu hari, ia ditemukan TNI di tengah kebun sawit dan ditutupi semak-semak. Pada Kamis, 3 Juli 2003, Ersa diberi kesempatan untuk bicara dengan rekannya di RCTI. Ia memberitahu bahwa mereka dalam keadaan sehat. Ia juga meminta rekannya menyampaikan kabarnya kepada keluarga di Jakarta.
Mereka juga sempat bertemu dengan Ishak Daud, sang Panglima. Lewat buku Catatan Harian Sandera GAM: Kisah Nyata Safrida dan Soraya, Safrida menggambarkan Ishak sebagai sosok yang tenang dan sopan. Ishak memperlakukan mereka dengan baik.
Tepat sepekan setelah penculikan, 6 Juli 2003, Ishak menggelar konferensi pers dengan RCTI guna memberitahu publik bahwa Ersa, Ferry, dan tawanan lainnya dalam keadaan sehat dan diperlakukan dengan baik. Mereka dibolehkan bicara apa saja, kecuali satu hal, memberitahu di mana mereka berada.
Pada hari itu juga, mereka diberi kesempatan menelepon keluarga mereka. Ersa menelepon anaknya. “Apa kabar, Nak? Gimana SPMB-nya? Udah mulai ujiannya?” ia langsung menghujani anaknya dengan pertanyaan. “Baik-baik di rumah, dijaga Inang [ibu] di rumah ya. Jangan nakal-nakal,” ujar Ersa menutup pembicaraan.
Panglima GAM Wilayah Pereulak, Aceh Timur Ishak Daod menyetujui pembebasan dengan syarat gencatan senjata selama dua hari di lokasi pembebasan tawanan. Tapi pihak TNI tak setuju. Mereka meminta para tawanan diletakkan di satu tempat, lalu dijemput. Sementara pihak GAM bersikeras untuk menyerahkan langsung.
Pada 17 Desember 2003, Rahmatsyah, sang sopir Ersa dan Ferry dibebaskan. Bebasnya sopir memberi harapan bagi keluarga dan pihak RCTI. Mereka yakin Ersa dan Ferry juga akan segera dibebaskan.
Pada Sabtu, 27 Desember, Ishak Daod bilang akan menyerahkan tawanan lewat TNI. Namun, sampai Senin pagi, 29 Desember 2003, belum juga ada kesepakatan antara TNI dan GAM. Komando Operasi TNI masih meminta GAM untuk meletakkan para tawanan di satu tempat saja. Sementara GAM bersikeras untuk menyerahkan langsung.
Siang harinya, terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI di Desa Kuala Manihan, Simpang Ulim, Aceh Timur. Ersa ada di lokasi, bersama sejumlah anggota GAM. Naas, Ersa tertembak dan tak selamat bersama satu anggota GAM. Dua peluru TNI menembus leher dan dada Ersa.
Begitulah kisah tewasnya jurnalis Sori Ersa Siregar reporter senior RCTI yang selama 325 hari berada dalam pasukan GAM. Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.
( iskandar norman)
Sumber Fb Ar Rijal
Tiada ulasan:
Catat Ulasan