Aceh dan Belanda awalnya adalah sekutu, Aceh kerajaan pertama di Asia yang mengakui kemerdekaan Belanda dari Spanyol, tapi persoalan dagang kemudian melahirkan pertentangan yang berujung pada perang panjang selama 69 tahun (1873-1942).
Oleh : Yopi Ilhamsyah*
Sore hari pada pertengahan Maret 2020 di pantai Ulee Lheue Banda Aceh di tengah pemberitaan kunjungan Pangeran Belanda Willem-Alexander ke Indonesia diikuti permohonan maaf, saya teringat rentang Maret-April adalah periode awal sejarah panjang perang Belanda di Aceh. Uniknya dalam rentang 1602-1869, Kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda justru bersahabat.
Cornelis de Houtman sebagai orang Belanda pertama yang tiba di Nusantara dalam ekspedisinya sebelum bertolak kembali ke Belanda singgah di Aceh guna membeli lada. Kekacauan yang ditimbulkan armada dagang de Houtman membuat Pangeran Maurits menyampaikan permohonan maaf kepada Sultan Aceh. Niat baik sang pangeran disambut raja Aceh, Sultan Alaidin Almukamil Riayat Syah Lillahi Fil Alam mengirimkan delegasi Kesultanan Aceh ke Belanda pada 1602.
Pemimpin delegasi Aceh Abdoes Zamat (Abdul Hamid) malah meninggal di Belanda. Untuk menghormati duta kerajaan Aceh itu, dilakukan penguburan secara militer di Gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland. Sejak itu, dua kerajaan ini bermitra, hingga 30 Maret 1857 kembali disepakati niaga damai di Riau di mana salah satu poinnya Belanda tetap mengakui Kesultanan Aceh yang berdaulat.
Sejak dibukanya terusan Suez pada 1869, posisi Aceh dalam jalur perdagangan dunia menjadi sangat strategis. Belanda yang ingin sepenuhnya menguasai Selat Malaka mulai memfitnah Kesultanan Aceh sebagai perompak yang mengganggu maskapai dagang asing terutama Belanda.
Pada 07 Maret 1873, tiga kapal perang uap dan satu kapal layar bertolak dari Batavia/Jakarta menuju Aceh dan tiba pada 22 Maret 1873 setelah transit di Singapura dan Pulau Penang, Malaysia. Belanda mengirim surat kepada Sultan Aceh dengan tuntutan pengakuan kedaulatan Belanda atas Aceh dalam tempo 24 jam dan menyatakan perang jika tidak dipenuhi. Sultan Aceh merespons agar Belanda tetap mematuhi perjanjian pada 1857.
Pada Rabu, 26 Maret 1873 bertepatan dengan 26 Muharram 1290, Belanda menyatakan perang dengan kerajaan Aceh. Maklumat perang dibacakan dari geladak kapal perang Citadel vab Antwerpen yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh.
Pernyataan itu perang diumumkan oleh Komisaris Pemerintah merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, FN Nieuwenhuijzen. Sebulan kemudian Senin, 6 April 1973, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue di bawah pimpinan Mayor Jenderal JHR Kohler.
Belanda mengobarkan perang diiringi tembakan meriam dari kapal Citadel van Antwerpen yang berlabuh di lepas pantai Ulee Lheue sebelah barat Krueng Aceh. Pasukan Aceh membalas lewat tembakan meriam dari Benteng Pantai Ceureumen dan Benteng Meugat, beberapa peluru menghujam kapal-kapal Belanda.
Dalam buku The Dutch Colonial War in Aceh diungkapkan, pada penyerangan pertama ke Aceh itu, Belanda mengerahkan enam kapal perang, yakni Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan kapal perang Sumatera. Ditambah Siak dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda.
Selain itu ada lima barkas, delapan kapal ronda, satu kapal komando, enam kapal pengangkut, serta lima kapal layar, yang masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut. Tiga di antaranya untuk mengangkut pasukan alteleri, kavelari, dan para pekerja, satu untuk amunisi dan perlengkapan perang, serta satu kapal lagi untuk mengangkut orang-orang sakit.
Armada Belanda tersebut dipimpin oleh Kapten laut JF Koopman dengan kekuatan 168 orang perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa, serta 28 orang Bumiputera, 3.198 pasukan yang 1098 di antaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 orang tentara dari bumi putera, yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.
Pasukan itu juga diperkuat dengan 31 ekor kuda perwira, 149 kuda pasukan, 1.000 orang pekerja dengan 50 orang mandor, 220 wanita dari Jawa yang masing-masing ditempatkan 8 orang untuk satu kompi tentara Belanda, serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira Belanda. Dalam penyerangan perdana Belanda ke Aceh itu, Kohler dibantu oleh Kolonel EC van Daalen, Wakil Panglima merangkap Komandan Infantri.
Saya mencoba membayangkan posisi kapal-kapal Belanda kala itu. Kendati posisi persis tidak diketahui, saya berasumsi kapal-kapal tersebut memenuhi perairan antara Pulo Aceh dan Pulau Weh, Sabang. Argumen saya dirasa cocok dengan ilustrasi lawas Pusat Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV) yang menggambarkan suasana di perairan ujung Aceh yang ramai oleh kapal-kapal militer Belanda kala pendaratan April 1873. Pada 06 April 1873, Belanda dibawah komando Jenderal berpengalaman Kohler mendaratkan bala tentara berkekuatan lebih dari 3 ribu orang, dilengkapi artileri dan senjata modern dan canggih.
Saya melihat kembali lukisan KITLV yang menggambarkan front pertempuran yang sangat ramai di pantai ini. Belanda merebut kedua benteng pesisir. Teuku Nek Meuraksa, Uleebalang di sekitar Ulee Lheue berkhianat dan mendukung Belanda, jadilah mereka memegang kendali atas pantai Aceh. Ribuan orang-orang pendukung operasi mulai turun ke darat. Mereka berkemah di Pantai Ceureumen.
Sejenak saya membayangkan suasana yang pastinya sangat ramai di Pantai Ceureumen April 1873. Namun sayang selepas tsunami 2004, pantai ini hancur. Situs sejarah ini hilang seiring tenggelamnya sebagian pantai Ulee Lheue ke dalam laut. Dengan bersepeda motor, saya mencari tahu keberadaan atau setidaknya tapak benteng-benteng namun tidak ketemu. Pasti ada di antara semak-semak atau alue yang berada di selatan pantai atau sudah beralih menjadi bangunan.
Saya berpikir situs-situs yang mengingatkan kita akan peperangan ini perlu dibangun. Situs ini dapat berwujud monumen. Setahu saya, selain Kerkhof Peucut dan monumen Kohler yang tewas pada 14 April 1873, hanya ada satu monumen se-Banda Aceh, yaitu tugu tewasnya Jenderal Pel di lokasi bekas bivak Belanda di Alue Naga yang dikenal sebagai Kuta Kaphe. Dalam Perang Aceh pertama, lokasi bivak sawah tentara Belanda yang diduga di Punge juga tidak diketahui. Belum lagi lokasi bersejarah lainnya seantero Aceh.
Situs-situs ini dapat dikemas dalam bentuk wisata sejarah dilengkapi peta-peta yang memuat rute perjalanan, lokasi persis serta cerita dari waktu ke waktu. Referensi dari sejarawan Belanda dan Aceh kembali dikumpulkan guna merekonstruksi kejadian perang ini. Tampilkan peta-peta sejarah ini di Pelabuhan Ulee Lheue, bandar udara, Masjid Raya Baiturrahman atau pusat-pusat keramaian, saya yakin banyak yang tertarik melakukan napak tilas jejak Perang Aceh nan legendaris ini.
Perang Aceh telah menginspirasi banyak penulis Belanda untuk membukukannya, selama 69 tahun perang Aceh, Belanda mengakui telah kehilangan bintang terangnya. Pengalaman 250 tahun menguasai Nusantara tak berarti sama sekali ketika berhadapan dengan Aceh. Bisa dibaca dalam buku EB Kielstra, Beschrijving van den Atjeh-oorlog, 1883, Jilid I, kemudian buku GB Hooyer, De Krijgeschiedenis van Nederlandsch-Indie van 1811 tot 1894, lalu buku GDEJ Hotz, Beknop Geshiedkundig Overzicht van den Atjeh-Oorlog, buku HC Zentgraaff, Atjeh, serta MH du Croo dalam bukunya Marechaussee en Atjeh. Herinneringen en Ervaringen van den Eersten Luitenan en Kapitein van het Marechaussee van Aceh en Onderhoorigheden HJ Schmidt, van 1902 tot 1918.
Perang Aceh juga diabadikan oleh para sastrawan, sebut saja Marah Rusli lewat novelnya “Kasih Tak Sampai” dan Pramoedya Ananta Toer dalam “Bumi Manusia” selain itu ada juga sineas Belanda yang memproduksi film berlatar Perang Aceh berjudul “In Naam der Koningin” tahun 1996.
Film ini mengadopsi sejarah Perang Aceh dari buku De Atjeh Oorlog karya Paul van’t Veer, meski syuting dilakukan di Filipina tapi merefleksikan Perang Aceh seutuhnya, terlihat penataan yang menyerupai kondisi tempo dulu seperti kampung dan rumah Aceh, bivak/benteng, pakaian berikut tokoh ulama dan orang-orang Aceh, orang rantai, serdadu pribumi sampai serdadu Belanda yang mampu berbicara bahasa Aceh kepada penduduk lokal atau penunjuk jalan. Mengingatkan saya akan sosok si Tuan Pedoman, Kapten Veltman yang fasih berbahasa Aceh yang diceritakan dalam buku Atjeh karya Zentgraaff.
Sebenarnya Aceh dan Belanda awalnya adalah rekanan. Namun, ketamakan Belanda merusak hubungan yang telah terjalin selama dua setengah abad. Mari rekonstruksi kembali dan lestarikan situs sejarah Aceh__
Sumber : PortalSatu
Tiada ulasan:
Catat Ulasan