Jumaat, 15 Julai 2022

Sebuah karya Melayu tentang hukum Islam dari Aceh

Pada abad ke-16 kesultanan Aceh di pantai utara Sumatera tumbuh menjadi kerajaan Muslim yang paling kuat di Asia Tenggara dan pusat besar untuk studi dan pengajaran Islam. Salah satu ulama dan penulis paling terkenal dari Aceh adalah Abdul Rauf ('Abd al-Ra'f ibn 'Alī al-Jāwī al-Fanṣurī al-Sinkīlī), yang lahir di Singkil di pantai barat Sumatera sekitar tahun 1615. 

Seperti banyak intelektual dari dunia Melayu, Abdul Rauf melakukan haji dan menghabiskan beberapa tahun perjalanan belajar dengan sukses. Guru pertama di Yaman dan kemudian di Jeddah, Mekah dan Madinah di semenanjung Arab. Setelah sembilan belas tahun di Timur Tengah, pada tahun 1661 Abdul Rauf kembali ke Aceh pada masa pemerintahan ratu pertama, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (memerintah 1641-1675), putri penguasa Aceh yang paling terkenal, Iskandar Muda (memerintah 1607- 1636).

Abdul Rauf menyusun banyak karya dalam bahasa Melayu dan Arab, termasuk interpretasi Melayu pertama terhadap Al-Qur'an,Tarjuman al-mustafidi, berdasarkan Tafsir al-Jalālayn. Atas perintah Sultanah Safiatuddin Syah pada tahun 1663, ia juga menulis sebuah karya tentang fikih (fiqh), berisi pedoman kewajiban agama dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan syariat Islam.

Berjudul Mir'āt al-ṭullāb fi tashīl ma'rifat al-aḥkām al-shar'iya lil-mālik al-wahhāb,'Cermin para pencari ilmu hukum Allah'. Ditulis untuk melengkapi karya Nuruddin al-Raniriirāṭ al-mustaqīm, karya Melayu populer lainnya di fiqh disusun di Aceh pada tahun 1644 yang hanya berfokus pada kewajiban agama,Mir'āt al-ṭullāb mencakup topik yang jauh lebih luas yang mempengaruhi kehidupan sosial, politik dan ekonomi, diatur dalam bagian-bagian tentang hukum komersial, perkawinan dan pidana.

Mulai dari naskah Mir'āt al-ṭullāb. Ini adalah halaman kedua dari buku aslinya, karena pada awalnya akan ada halaman pertama yang dibuka di sebelah kanan, dengan bingkai bercahaya yang mencerminkan dekorasi pada halaman yang masih ada. Iluminasi biasanya bergaya Aceh, dengan palet warna merah, hitam, kuning, dan putih. Perpustakaan Inggris, Atau. 16035, f. 1r .noc

Meski disusun di Aceh,Mir'āt al-ṭullāb berpengaruh di seluruh kepulauan Melayu, termasuk daerah-daerah yang jauh ke timur seperti Gorontalo di Sulawesi Utara dan Mindanao. 27 salinan manuskrip dari Mir'āt al-ṭullāb diketahui sejauh ini, diadakan di perpustakaan di Jakarta, Aceh, Kuala Lumpur, Berlin, Leiden dan London (untuk daftar lengkap lihat Jelani 2015: 132-134). Naskah London, yang disimpan di British Library sebagai Or. 16035 , kini telah sepenuhnya didigitalkan dan dapat dibaca di sini . Menurut kolofon itu disalin pada 14 Muharam 1178 (14 Juli 1764), dan dari iluminasi dan ciri-ciri kodikologis lainnya ditulis dengan jelas di Aceh.

Naskah tradisional Melayu tidak menggunakan tanda baca, paragraf, atau penomoran halaman. Selain rubrikasi – penyorotan dengan tinta merah pada kata-kata penting – ada beberapa alat bantu visual untuk membedakan antara bagian-bagian teks yang berbeda, dan sulit untuk membayangkan dengan tepat bagaimana pembaca awal berhasil menjelajahi buku-buku panjang. Uniknya, dalam beberapa manuskrip dari Aceh, kami menemukan sistem marginalia yang berkembang, yang secara visual menandai awal topik baru dalam teks kepada pembaca. 

Foto Mir'āt al-ṭullāb oleh Abdul Rauf dari Singkel, dengan indikator subjek marginal kaligrafi.  Perpustakaan Inggris, Atau.  16035, dst.  74v-75r.

Sumber Fb : Malikul Mubin

Ahad, 3 Julai 2022

Pemupusan Sejarah Acheh Terus Berlanjut

Jaya Islam Di jazirah nusantara berkaitan dengan jaya acheh. Pemupusan sejarah acheh sama dengan pemupusan sejarah turki utsmani. Sama² bertujuan untuk menghilang jejak power islam. Jadi, untuk mempublikasi negara baru maka wajib di hilangkan sejarah negara lama. Dan untuk terbinanya khilafah UN(PBB), maka wajib di hapusnya Khilafah Utsmani. Bukankah selepas runtuhnya turki utsmani langsung terbentuknya khilafah UN ! Dan bukanlah selepas runtuhnya kerajaan acheh langsung di ikuti dengan terbinanya kerajaan(negara) indonesia !. 

Sedangkan dalam otak kita, khasnya untuk kelahiran 1940-an ke atas hanya di provokasi dengan isu Komunis yg di mobilisasi oleh agen demokrasi. Yg menghasilkan kesimpulan kpd generasi 40-an, perjuang pertama yg berapi-api di semenanjung asia tenggara hanya ketika belanda dan british mememasuki jazirah ini.
----------------------------------------------


Penulis : Mapesa Acheh

Tembok Istana Daruddunia yang masih tersisa di seputaran kawasan pendopo Gubernur Aceh sekarang. Tinggalan arkeologi periode peradaban islam ini belum mampu memikat lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penelitian.

Daruddunia di mana para sultan agung Aceh mengeluarkan putusan-putusan yang menentukan dalam sejarah. Tembok tinggi yang mengelilingi Dalam Kesultanan Aceh diruntuhkan dan lenyap. Tidak sedikit masyarakat Aceh, di dalam maupun di luar Kota Banda Aceh, mempertanyakan mana bekas tapak Dalam Kesultanan Aceh yang pernah menghebohkan dunia. Ada semacam kerinduan dan gairah yang mendalam untuk dapat menyaksikan bekas kediaman sultan-sultan Aceh yang legendaris sekalipun cuma reruntuhan. Reruntuhan itu, setidaknya, mampu membangun sebuah imajinasi historis akan kebesaran masa silam, dan imajinasi tersebut pada gilirannya mampu mengembalikan rasa percaya diri serta kemauan keras sebuah bangsa yang dalam sejarahnya pernah sampai ke puncak kejayaan.

Untuk melakukan kerja penyelidikan, penelitian, dan pelestarian Mapesa memiliki gayanya tersendiri, Mapesa tidak pernah menunggu "pencairan dana" dari pihak pemerintah sekalipun tetap membuka diri untuk berbagai bentuk dukungan dari pelbagai pihak, pemerintah maupun masyarakat.

Kerja ini, hakikatnya, merupakan kerja pelestarian yang besar faedahnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penyingkapan nilai-nilai budaya yang Islami serta pengokohan kepribadian bangsa.

Foto-foto oleh Irfan M Nur

#RevitalisasiBandarAcehDarussalam