Berkat perhatian Tan Sri Dato’ Seri Haji Sanusi Bin Junid, bersama dengan tokoh masyarakat aceh lainnya yang berada di Kampong Aceh, Yan, Keudah, Malaysia, yang selalu bersedia mem-fasilitasi mempererat tali silaturahmi, meberikan motivasi tersendiri bagi masyarakat lainnya untuk ikut melakukan hal yang sama. Alhasil dari pada ikatan silaturrahmi yang tak pernah terputus, kita masih dapat melihat jiwa keacehan yang masih kental, yang tercermin dari adat, budaya dan bahasa, meskipun telah terasing satu abad lebih dari kampong halaman indatu.
Apabila kita berkunjung ke kampung Aceh, Yan Keudah, Malayasia, saya yakin kita akan mejumpai banyak hal yang serupa dengan yang ada di Aceh sekarang. Bahkan mungkin yang kita jumpai di Aceh sudah sedikit memudar, akan tetapi kita akan jumpai kekentalannya di kampung Aceh, Yan, Keudah.
Setelah acara selesai, para tamu dijamu dengan jamuan makan siang bersama. Yang menarik dalam jamuan tersebut adalah satu menu merupakan makanan khas Aceh yaitu kuah pliek, yang dimasak oleh masyarakat setempat, dengan rasa dan kualitas tak jauh beda dengan kuah pliek yang sering kita jumpai di Aceh. Rupanya tidak hanya kuah pliek yang menjadi keahlian mereka dalam bidang masakan Aceh, masih banyak makanan khas Aceh lain yang membuktikan bahwa mereka betul-betul masih berdarah kental Aceh, dan bangga dengan ciri khas Aceh.
Nilai keacehan
Nilai keacehan lain yang masih terlihat akrab dengan mereka adalah, santun kata dan adab peujamee (menyambut tamu). Penggunaan bahasa murni, yang boleh dikatakan sudah kurang lazim digunakan dikalangan masyarakat Aceh, yang menghuni tanah Indatu sendiri, tapi itu terlihat seperti kelaziman sehari-hari masyarakat Yan, Keudah, misalnya: pasai (sebab), meucheen (rindu), cut (kecil), gata (panggilan anda untuk memuliakan yang lebih muda), dan lain-lain. Begitu juga dalam hal peujamee, cara penyambutan membuat kita seolah-olah sedang berada di Aceh.
Di sisi lain, mereka tidak hanya setia dengan warisan indatu, tapi mereka juga setia untuk Negara kelahiran. Banyak di antara mereka yang telah menyumbang jasa untuk Negara Malaysia, dan sebahagia dari mereka telah mendapat penghargaan gelar Dato’ dan Tan Sri. Sebagai contoh, almarhum Tan Sri P Ramlee, seorang tokoh seni yang dibanggakan oleh seluruh masyarakat Malaysia, dan masih dikenang sampai saat ini.
Contoh lain, Tan Sri Dato’ Seri Haji Sanusi Bin Junid, beliua adalah orang terdekat Dr. Mahathir (mantan perdana mentri Malaysia), beliau juga pernah menjabat sebgai Mentri Besar Keudah. Sampai saat ini beliau merupakan seorang yang disegani, baik oleh lawan maupun kawan dalam politik. Dan masih banyak tokoh-tokoh lain yang menjadi tonggak keberhasilan Negara Malaysia seperti yang kita lihat pada hari ini.
Meskipun telah banyak di antara mereka yang sukses, namun mereka masih ingat dengan tanah kelahiran indatu mereka. Saya melihat dari cara berbira cara, dan cara mereka bertanya, terkesan ada rasa rindu yang besar terhadap Aceh. Pascadamai, ramai di antara mereka yang telah melampiaskan rasa rindu dengan sawee syedara, berkujung ke Aceh.
Rasa rindu yang meterbenam dalam jiwa mereka membuat kita kagum. Sejak lahir mereka telah berbaur dengan masyarakat yang berbeda adat, budaya dan bahasa. Secara otomatis, mereka telah menjadi hidup dengan gaya yang berbeda, namun demikian, ada ruang waktu bagi mereka dalam mencari jadi diri yang sebenarnya. Saya kira ini hal yang sulit kita lakukan, sengkiranya tidak ada prinsip hidup yang berbalut dengan kebanggan. Kisah indah di masa silam mungkin salah satu penyebab yang membuat mereka tidak goyang dengan prinsip.
Secara jujur, kita yang dilahirkan dari darah Aceh, juga memiliki perasaan yang sama, tapi kadang kala kita hanya memangkas pada rasa bangga yang menenggelamkan tanpa berbalut prinsip yang kokoh. Sehingga timbullah pengadaan adat, budaya, dan bahasa, yang semakin lama, semakin jauh daripada dari prinsip hidup yang sebenarnya.
Saya rasa, ada realitas terbalik terhadap rasa kepedulian ke-Aceh-an, antara sebahagian kita yang dilahir di bumi, dan darah Bansa yang sama, dengan sebahagian mereka, yang dilahirkan di bumi yang berbeda, dan keturunan yang sama. Ibarat kata pepatah “lebih kehihatan Semut diseberang lautan, ketimbang Gajah di depan mata”, philosofi dari pepatah ini kemungkinan sedang, dan juga mungkin akan terjadi, sengkiranya kita tidak lagi saling peduli.
Strategi perjuangan
Menurut sebuah sumber, pada zaman penjajah Belanda, Kampong Aceh, Yan, Kedah juga menjadi satu tempat mengatur strategi perjuangan, bahkah beberapa ulama besar, di antaranya Tgk Syeikh H Hasan krueng Kalee dan Tgk Chik Pantee Kulu, pernah singgah di Kampong Yan. Konon, Hikayat Prang Sabi karya Tgk Chik Pantee Kulu disusun saat beliau berada di Kampong Aceh.
Sepintas lalu, kita dapat meraba haluan garis besar yang membuat mereka sampai saat ini masih merasa dirinya bagian dari orang Aceh ialah perhatian tentang silsilah yang terus menerus disegarkan dari generasi ke generasi. Cerita tengtang silsilah yang tak pernah putus, diikuti dengan pengamalan sikap dan prilaku dari sumber silsilah mereka berada, terbentuklah sebuah pelestarian komplit yang sederhana dan sempurna.
Sebagai keturunan Aceh, yang tidak lupa tentang asal-usul, yang memandang kita sebagai saudara. Sudah sepatutnya kita berikan apresiasi atas pelestarian sesama warisan leluhur. Setidaknya, mereka yang telah jauh dengan kita, ada pengalaman yang berbeda yang bisa kita bagi setiap waktu. Saya rasa, nantinya akan terbentuk sebuah perpaduan yang melahirkan sebuah inovasi yang berkualitas, dalam menjaga apa yang telah dititipkan oleh leluhur kita. Wallahu’alam bits-tsawab.
* Miksalmina Budiman, Mahasiswa Program Master Political Sciences, Internatonal Islamic University Malaysia (IIUM), Gombak, Kuala Lumpur, dan Peutua Chiek Peureumeuen Keuneubah Indatu (PKI). Email: mechalbb@yahoo.com
Sumber Berita : Serambinews
Link Video : Video 1
Tiada ulasan:
Catat Ulasan