Jumaat, 22 April 2022

Menguak Misteri Rumoh Geudong

Diantara sederet kisah luka di Aceh, Rumoh Geudong memang memiliki sebuah kisah dan sejarah tersendiri bagi rakyat Aceh. Ditengah isu politik pada masa akan dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) pada tanggal 7 Agustus 1999 saat jendral Wiranto menjabat, semakin terbuka peluang atas pengungkapan berbagi kasus kejahatan HAM yang terjadi di Aceh.

Rumoh Geudong terletak di desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, atau berjarak 125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Kabupaten Pidie ini menempati posisi Lintang Utara 4,39-4,60 derajat dan Bujur Timur 95,75-96,20 derajat.

Menurut alkisah dari penuturan ahli waris Rumoh Geudong ini dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, putera seorang hulubalang yang tinggal di Rumoh Raya sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong. Pada masa penjajahan oleh Belanda, rumah tersebut sering digunakan sebagai tempat pengatur strategi perang yang diprakarsai oleh Raja Lamkuta bersama rekan-rekan perjuangannya.

Namun, Raja Lamkuta akhirnya tertembak dan syahid saat digelarkan aski kepung yang dilakukan oleh tentara marsose di Pulo Syahi, Keumala berkat adanya informasi yang di dapat dari informan (cuak, dalam bahasa Aceh). Jasadnya Raja Lamkuta dikuburkan dipemakaman raja-raja di Desa Aron yang tidak jauh dari Rumoh Geudong.

Tidak berhenti begitu saja perjuangan Raja Lamkuta, adiknya Teuku Cut Ahmad akhirnya mengambil alih lagi ketika baru berusia 15 tahun untuk memimpin perjuangan terhadap Belanda, namun beliau juga syahid ditembak oleh Belanda yang mengepung Rumoh Geudong.

Pada masa-masa berikutnya, Rumoh Geudong ditempati secara berturut-turut oleh Teuku Keujren Rahman, Teuku Keujren Husein, Teuku Keujren Gade. Selanjutnya pada masa Jepang masuk dan menjajah Indonesia hingga merdeka, rumah tersebut ditempati oleh Teuku Raja Umar (Keujren Umar) anak dari Teuku Keujren Husein. Setelah Teuku Raja Umar meninggal, rumah ini ditempati anaknya Teuku Muhammad.

Pengurusan Rumoh Geudong sekaran ini dipercayakan kepada Cut Maidawati anaknya dari Teuku A. Rahman. Teuku A. Rahman mewarisi rumah tersebut berdasarkan musyawarah keluarga, dari ayahnya yang bernama Teuku Ahmad alias Ampon Muda yang merupakan anak Teuku Keujren Gade.

Laksana Peti Mati


Sebelum Rumoh Geudong digunakan sebagai pos militer (Pos Sattis) sejak April 1990. Masih menurut ahli waris, penempatan sejumlah personal aparat militer pada saat itu hanya sementara, tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebenarnya pemilik Rumoh Geudong merasa keberatan, namun para anggota  yang terlanjur menjadikan rumah tersebut menjadi pos militer sekaligus “rumah tahanan” dan tidak mau pindah lagi.
Baru pada tahun 1996, dibuatlah sebuah surat pinjam pakai rumah yang ditandatangani Muspika setempa, tetapi sayang tanpa ada tanda tangan pemilik rumah. Rumah ini juga terkenal angker karena dihuni oleh makhlus halus, sehingga para anggota aparat yang bertempat disitu sering diganggu.

Memang ikhwal adanya sebuah peti mati yang berisikan kain kafan berlumuran darah di Rumoh Geudong cukup membuat mistis para penghuninya. Dari peti mati inilah sering keluar makhlus halus yang berwujud harimau. Menurut penuturan dari pemilik rumah ini, kain kafan yang berlumuran darah dalam peti tersebut merupakan milik nenek dari hulubalang pemilik Rumoh Geudong yang meninggal dunia karena diperlakukan secara kejam oleh Belanda.

Ada gangguan yang memang dirasakan oleh para aparat di tempat itu, misalnya aparat yang beragama non muslim yang tidur di rumah atas (rumah Aceh), secara tiba-tiba ‘diturunkan’ ke rumah bawah.

 Pada tahun 1992, sempat terjadi juga penembakan yang dilakukan oleh seorang anggota yang menembak mati temannya sendiri karena ia bermimpi didatangi harimau yang menyuruhnya menembak temannya itu.

Karena beberapa peristiwa ini sering mengganggu, aparat militer hanya bertahan beberapa bulan saja di Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron dan kemudian terpaksa pindah ke Desa Amud. Namun, karena alasan kurang strategis untuk sebuah pos operasi militer, anggota memindahkan lagi posnya dari Amud ke Rumoh Geudong dengan meminta bantuan seorang ulama untuk memindahkan makhlus halus yang sering menghantui mereka yang berada di dalam peti mati melalui sebuah acara ritual kenduri (hajatan kecil).

Selasa 18 agustus 1998, Dua anggota masih mencoba menculik keluarga salah seorang korban di Desa Nibong, Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara, kendati pasukannya sudah akan ditarik dari Pidie ke Lhokseumawe. Korban penculikan itu adalah keluarga Mohammad Yunus Ahmad, korban penculikan, 28 Maret 1998 lalu yang hingga kini belum kembali. Rumah Yunus di Desa Nibong, didatangi dua anggota yang mengendarai mobil Toyota Kijang bernomor polisi BK 1655 LR.

Anggota semula hendak mengangkut istri Yunus, Ny Zaubaidah Cut (37 tahun). Zaubaidah kebetulan tak ada di rumah. Karena kecewa,anggota yang dari Pos Sattis Bilie Aron itu, mengambil ibu Ny. Zaubidah dan seorang anak Yunus yang masih berusia 15 tahun. Karena belum berhasil membawa Ny Zaubaidah, dua anggota itu memarkir mobilnya di simpang jalan Blang Malu menunggu kedatangan Ny Zaubaidah.

Penduduk yang mengetahui penculikan ibu, anak dan rencana penculikan Ny Zubaidah, menunggu Ny Zaubaidah di persimpangan lainnya dan mencegat perempuan itu pulang ke rumah. Penduduk kemudian membawa Ny Zaubaidah ke Sub Den-POM, Sigli. Kepala Sub Detasemen Polisi Militer (POM) Sigli Lettu CPM Hartoyo, menelepon Koramil Mutiara agar mobil Kijang Kopassus itu ditahan.

Dua anggota Koramil Mutiara dengan sepeda motor menahan dua anggota  itu. Petugas Koramil itu kemudian menggiring mobil Kijang hingga ke Markas Koramil Mutiara. Namun, sebelum petugas POM datang ke Koramil Mutiara, kedua angota sudah kabur. “Saya akan cari mereka itu. Saya belum tahu namanya. Bisa jadi mereka oknum, atau cuak-cuak itu,” kata Hartoyo.***

Tak Ada Lagi Jerit Kesakitan Di Rumoh Geudong

Warga sekitar Rumoh Geudong (rumah gedung), markas yang dipakai sebagai tempat penahanan dan penyiksaan terhadap masyarakat Aceh, tidak lagi mendengar teriakan kesakitan dan menyaksikan penyiksaan , Perasaan lega masyarakat itu muncul seiring ditariknya pasukan ABRI dari seluruh wilayah Aceh.

“Kami sudah tak sanggup lagi mendengar dan menyaksikan orang-orang disiksa di Rumoh Geudong itu. Kalau malam, tidur kami sering terganggu karena mendengar jeritan-jeritan orang yang disiksa. Atau mendengar lagu-lagu dari tape yang diputar keras-keras waktu penyiksaan,” kata seorang warga Desa Aron, tempat mereka berada. Kepergian anggota dari Aron disambut gembira masyarakat sekitar. Namun begitu, pemilik Rumoh Geudong mengeluh.anggota meninggalkan tagihan jutaan rupiah untuk rekening telepon.

“Mereka suruh kami menagih pembayarannya sama bupati,” kata pemilik rumah itu.

Selama operasi Jaring Merah dilancarkan di wilayah itu, Pemda Pidie sudah cukup banyak mengeluarkan dana untuk biaya operasional . Dana yang sebenarnya milik rakyat Pidie itu dipakai untuk membayar rekening telepon, listrik, sewa rumah, kendaraan, dan sebagainya. “Tragisnya dana milik rakyat itu dipakai untuk membunuh, menyiksa dan memperkosa rakyat,” ujar seorang warga. ***

Berakhirnya Tanda Luka

Pos Sattis atau lebih dikenal dengan Rumoh Geudong menjadi ‘neraka’ bagi masyrakat Pidie. Meledaknya pengungkapan kejahatan kemanusiaan di rumah yang mempunyai luas tanah 150 x 80 meter yang tidak jauh dari jalan raya Banda Aceh – Medan sungguh telah mengores luka berat. Tidak hanya masyarakat di luar Aceh, bahkan bagi masyarakat Aceh pun kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat negara telah melampaui akal sehat mereka.

Menurut keterangan masyarakat setempat, sejak Maret 1998 sampai DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 (sekitar lima bulan, sebelum rumah itu dibakar massa), Rumoh Geudong telah dijadikan tempat tahanan sekitar lebih dari 50 orang laki-laki dan perempuan yang dituduh terlibat dalam Gerakan Pengacau Keamana-Aceh Merdeka (GPK-AM). Namun, dari penuturan seorang korban, ketika korban yang sempat ditahan di Pos Sattis selama tiga bulan, dia telah menyaksikan 78 orang dibawa ke pos dan mengalami penyiksaan-penyiksaan. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang telah disiksa atau pun dieksekusi di tempat ini jika kembali dihitung mulai tahun 1990 sejak pertama kali Pos Sattis digunakan sampai tahun 1998.

Saat Tim Komnas HAM melakukan penyisiran dan penyelidikan ke Rumoh Geudong, tim juga menemukan berbagai barang bukti seperti kabel-kabel listrik, balok kayu berukuran 70 cm yang sebagian telah remuk serta bercak-bercak darah pada dinding-dinding rumah.

Selain itu, tim juga melakukan penyisiran dengan penggalian tanah di halaman Rumoh Geudong yang diduga dijadikan tempat sebagai tempat kuburan massal. Setelah dilakukan penggalian, tim hanya menemukan tulang jari, tangan, rambut kepala dan tulang kaki serta serpihan-serpihan tulang lainnya dari kerangka manusia.

Bagi masyarakat Aceh, kebencian terhadap Rumoh Geudong menjadikan mereka sangat mudah disulut provokasi oknum-oknum yang punya kepentingan untuk memusnahkan bukti kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang pernah dterjadi di rumah itu.

Tepat tanggal 12 Agustus 1998, sekitar 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin oleh Baharudin Lopa meninggalkan lokasi rumah tersebut dalam rangka mencari bukti-bukti kebenaran, akhirnya dibakar oleh massa. Tentu hal ini sangat disayangkan, karena telah hilangnya bukti penanda sejarah atau monumen historis adanya kekejaman dan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi di tempat ini.

Namun, lain lagi menurut ahli waris Rumoh Geudong. Pembakaran rumah tersebut ternyata sejak tahun 1945, pernah dicoba baka oleh sekelompok orang, lagi-lagi hasil itu gagal karena tiba-tiba muncul tiga ekor harimau dari rumah dan menyerang para pelakunya. Dan entah kenapa setelah dijadikan sebagai Pos Sattis oleh aparat, Rumoh Geudong malah justru dapat dibakar.

Menurut penuturan terakhir dari ahli waris, Teuku Djakfar Ahmad: “Mungkin Rumoh Geudong itu sendiri yang ‘minta dibakar’, karena tak ingin sejarahnya ternoda. Kalau dibikin monumen, mungkin orang hanya ingat Rumoh Geudong sebagai tempat pembantaian. Sedangkan sejarah perjuangannnya bisa-bisa dilupakan orang.”

Inilah kisah tragis Rumoh Geudong, pada masa Belanda dan Jepang, rumah besar ini justru menjadi pusat perjuangan membela agama dan merebut kemerdekaan Indonesia.

Semoga kisah ini menjadi sebuah sejarah yang tidak pernah dilupakan oleh rakyat Aceh, kenangan yang telah membekas menjadi satu pelajaran yang bisa diambil untuk anak cucu nantinya.

Selasa, 19 April 2022

Sultan Aceh Tidak Menyerah.

Foto bawah Sultan Muhammad Daud Syah didampingi Mayor K van der Maaten di Sigli, Pidie. Dok. KITLV

10 Januari 1903: Sultan Aceh Dipaksa Tunduk oleh Belanda, tapi Perang Tak Usai.

Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah dipaksa tunduk ke Belanda karena keluarganya ditawan. Sultan tak menyerahkan kekuasaan, perjuangan rakyat terus bergelora. Perang dengan Belanda tak berhenti hingga kelak Aceh jadi wilayah Indonesia.

Catatan sejarah di tahun-tahun penghabisan abad 19. Belanda terus menggempur Aceh. Perang telah dideklarasikan sejak 1873. Kali ini Belanda kembali merebut ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam di Kuta Keumala Dalam.

Daerah pegunungan yang kini jadi Kecamatan Keumala, Kabupaten Pidie, itu jadi pusat pemerintahan Kesultanan Aceh selama 20 tahun, sejak ibu kota Bandar Aceh jatuh ke tangan Belanda pada 1874.

Setelah Keumala juga diambil alih Belanda, pejuang Aceh--termasuk Sultan Muhammad Daud Syah--berpindah-pindah markas: ke Reubee dan Padang Tiji.

Selain ibu kota, pada tahun-tahun itu Aceh turut kehilangan sejumlah tokoh pemimpin perang. Misalnya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman pada 1891, Panglima Polim Cut Banta, dan Tuanku Hasyim. "Dengan kehilangan tokoh-tokoh berat Aceh maka dapat dipahami betapa menyusutnya tenaga brilian pihak Aceh," tulis Mohammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua (1985).

Sejak 1900 hingga 1901, Sultan Muhammad Daud Syah berpindah-pindah tempat. Belanda terus memburunya, tapi tak berhasil. Dari Pidie, Sultan bergeser ke Samalanga, Peudada, Peusangan, hingga ke dataran tinggi Gayo. Akhir 1901, Sultan kembali ke Pidie.

Menurut Mohammad Said, pasukan Belanda dipimpin Kapten Kramers menyerang markas Sultan di Panteraja, Pidie. Sultan lolos. Namun, pejuang Aceh menyebarkan isu bahwa Sultan luka-luka sehingga meninggal dunia. Sebuah kuburan di sana dikatakan milik Sultan.

Isu itu rupanya tak mudah dipercaya Belanda. Gubernur militer dan sipil Belanda di Aceh Joannes Benedictus van Heutsz--kelak jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda--mendorong semua pasukan mencari Sultan sampai ke pedalaman.

Belanda Menculik Dua Istri Sultan
Untuk menekan Sultan, Kapten Hans Christoffel menculik seorang istri Sultan, Pocut Putroe, pada 26 November 1902, di Glumpang Payong, Pidie. Ia kemudian dibawa ke Sigli, lalu ke Ulee Lheue, Banda Aceh.

Sebulan kemudian, pada 25 Desember 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor van der Maaten menculik lagi istri Sultan: Pocut Murong di Lamlo, Pidie. Bersamanya turut disandera anak Sultan yang masih kecil: Tuanku Ibrahim.

"Van Heutsz mengumumkan bahwa semua keluarga yang menjadi tangkapannya itu tidak akan dibunuh seandainya Sultan sendiri datang melapor dan menyerah diri sebagai penebusnya," tulis Mohammad Said.

Pada 6 Januari 1903, Sultan bersurat ke van Heutsz bahwa bersedia menyerah. Sultan lalu dijemput di Desa Arusan, Ie Leubeue, Kembang Tanjong, Pidie, oleh sejumlah pejuang Aceh. Mereka membawa Sultan ke Sigli dan disambut Mayor van der Maaten pada Sabtu, 10 Januari 1903.

Pada 13 Januari, Sultan, Pocut Murong, Tuanku Ibrahim, dan sejumlah pejuang Aceh lainnya berjumlah 175 orang dibawa dengan kapal perang Sumbawa ke Ulee Lheue. Dari sana, mereka naik kereta api ke Bandar Aceh yang saat itu berganti nama menjadi Kutaraja. Sultan lalu menempati rumah yang disediakan Belanda di Gampong Keudah.

Upacara penyerahan Sultan Muhammad Daud Syah digelar pada 15 Januari 1903. Pihak Belanda, menurut Mohammad Said, menyebut Sultan menandatangani pengakuan bahwa Aceh menjadi bagian Hindia Belanda dan Sultan memperoleh tunjangan 1.000 gulden per bulan. Anak Sultan, Tuanku Ibrahim, berusia 14 tahun, dibawa ke Jakarta untuk dididik sesuai kedudukan sebagai putra Sultan.

Menurut Said, Belanda tidak pernah membuktikan penandatanganan itu. "Seandainya suatu surat pengakuan Sultan dimaksud ada, tentu dengan mudah Belanda dapat memamerkan originalnya atau klisenya, sehingga bisa terbukti apa yang sudah disebut-sebut dalam surat pengakuan penyerahan diri tersebut," tulisnya.

Perang Aceh Berlanjut oleh Ulama
Meski Sultan Aceh terakhir menyerah, perang melawan Belanda di Aceh tak usai. Ibrahim Alfian dalam buku Perang di Jalan Allah (1987) menulis rakyat Aceh tetap mengangkat senjata dan berjuang tanpa kenal menyerah. Orang-orang Aceh memilih jalan mati syahid di medan perang.

Kendati sudah menyerah, Sultan masih bisa bergerak bebas di Aceh Besar. Namun, ia harus punya izin dari Belanda kalau keluar dari kawasan itu. Sultan beberapa kali diizinkan pergi ke Pidie dan Lhokseumawe. Belanda mengendus Sultan tetap berhubungan dengan pejuang Aceh.

"Sultan membantu mereka dengan uang dan bantuan lainnya untuk meneruskan perlawanan terhadap Belanda," tulis Ibrahim Alfian.

Semangat itu kemudian mengilhami pejuang Aceh untuk menyerang Kutaraja, kota yang dikuasai Belanda, pada 6 Maret 1907. Tahun itu, sejumlah serangan juga terjadi di sejumlah titik di Aceh Besar. Para ulama Aceh menganggap 1907 sebagai tahun yang membawa angin baik bagi pihak muslimin untuk mengusir kompeni, asalkan umat Islam di Aceh bersatu.

Belanda menyelidiki semua serangan itu. Hasilnya: semua bermuara ke Sultan Muhammad Daud Syah. Walhasil, pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan ke Ambon. Bersamanya turut serta sejumlah pejuang Aceh lainnya, seperti Tuanku Husin, T Johan Lampaseh, Keuchik Syekh, dan Nyak Abas.

Dari Ambon, Sultan Muhammad Daud Syah dipindah ke Batavia (Jakarta) sampai akhirnya wafat pada 6 Februari 1939. Sementara itu, perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung hingga Aceh kelak bergabung dan menjadi daerah modal kelahiran Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. []

Sumber : AcehKini.com

Ahad, 17 April 2022

Penaklukan Baitul Maqdis

Hari ini 1,428 tahun Hijrah yang lalu, dipercayai tarikh Saidina Umar al-Khattab RA memasuki Baitulmaqdis buat kali pertama.

Selepas berjaya menakluk Syria, tentera Islam mengepung Baitulmaqdis yang ditadbir oleh kuasa Byzantine. Selepas 4 bulan, akhirnya Byzantine menyerah kalah tanpa sebarang pertumpahan darah.

Bagaimanapun, Sophonius, pemimpin Gereja Kristian Baitulmaqdis tidak mahu menyerahkan kunci kota kepada tentera Islam di situ melainkan ke tangan khalifahnya, Umar RA sendiri.

Angkatan Islam melihat permintaan ini sesuatu yang sukar, kerana jarak antara Baitulmaqdis dengan Madinah yang begitu jauh. Namun mengambil kira kepentingan kota itu, Umar RA setuju untuk menurutinya.

Beliau berangkat ke Baitulmaqdis tanpa rombongan besar, hanya bersama seorang khadam & seekor unta. Sepanjang perjalanan, beliau & khadamnya saling bergilir menunggang unta & berjalan kaki.

Beliau juga hanya memakai pakaian biasa seperti khadamnya. Kesederhanaan itu mengagumkan warga Baitulmaqdis tatkala beliau tiba di kota itu & disambut oleh Sophonius.

Umar RA dibawa melawat sekitar kota termasuk Gereja Makam Suci tempat Nabi Isa AS disalib. Setibanya waktu solat, Sophonius menjemput Umar RA bersolat di dalam gereja itu namun beliau menolak.

Ini kerana kata Umar RA andai beliau berbuat demikian, umat Islam akan menuntut tempat itu sebagai milik mereka & menjadikannya masjid. Maka beliau bersolat di luar gereja & ruang tersebut kemudian menjadi Masjid Umar.

Beliau juga meminta dibawa ke batu suci 3 agama di mana lokasi Rasulullah SAW diangkat ke langit semasa Isra’ Mikraj. Beliau mengarahkan sekitar kawasan itu dibersihkan & dibina Masjid al-Aqsa tidak jauh dari situ.

Penaklukan Baitulmaqdis itu menjadi rasmi dengan termeterainya Perjanjian Umar, menggariskan bahawa semua agama boleh diamalkan di kota itu, asal patuh kepada undang-undang serta membayar cukai.

Selepas 500 pemerintahan tidak adil Empayar Rom di kota itu, akhirnya Islam, Kristian & Yahudi dapat hidup aman bersama di Baitulmaqdis.

Sumber: Al Arabiya, Egypt Today, Saudi Gazette

Gaza Benteng Utama Ustnaniyah

Hari ini 105 tahun yang lalu, bermulanya Pertempuran Gaza kedua.

Gaza menjadi benteng pertahanan utama Uthmaniyah di selatan Palestin daripada kuasa Bersekutu yang dikepalai British semasa Perang Dunia I, yang melancarkan percubaan pertama untuk menembus Gaza pada 26 Mac 1917 namun gagal.

Bagaimanapun Komander British di wilayah itu, Archibald Murray memberikan gambaran situasi yang salah kepada London. Ketika jumlah kematian tentera British pada angka 4,000 nyawa, beliau melaporkan angka korban Uthmaniyah lebih tinggi walhal hanya 2,400.

Dek salah maklumat itu, Pejabat Perang British menganggap mereka hampir berjaya membolos Gaza, maka diarahkan Murray untuk menyusun semula barisannya & melancarkan gelombang kedua serangan, kali ini Baitulmaqdis sebagai sasaran utama.

Tersentak dengan serangan pertama, tetapi tidak buat kali kedua. Pertahanan Uthmaniyah di Gaza dapat membaca strategi British itu & memperkukuh serta memperluas barisan mereka di bawah pimpinan General Jerman, Kress von Kessenstein.

Dengan kekuatan 18,000 anggota iaitu 2 kali ganda kekuatan Uthmaniyah, British mula menyerang pada 17 April 1917 dalam 3 divisyen infantri dibantu 8 kereta kebal Mark I & 4,000 bom gas. 3 hari bertempur, namun British sekali lagi menemui kegagalan.

British menanggung padah terbesar, 6,444 tentera mereka maut sementara Uthmaniyah hanya hilang 1/3 daripada angka itu. Dengan kekalahan itu, British memanggil pulang Murray ke London & mempersiapkan semula barisan dengan memanggil sekutu mereka.

Di bawah pimpinan komander baharu, Edmund Allenby, angkatan British yang diperkuat dengan tentera Perancis & Itali melancarkan serangan ke-3 yang akhirnya menyaksikan Gaza tumbang & jatuh ke penguasaan mereka pada November tahun itu.

Ia membolehkan angkatan Bersekutu meneruskan kemaraan ke Baitulmaqdis lalu menawan kota suci itu pada 9 Disember 1917.

*Gambar memaparkan barisan kor mesingan Uthmaniyah mempertahankan Gaza pada 1917.

Sumber: FirstWorldWar, History