Kerajaan Aceh telah menyadari bahwa Belanda yang sudah lebih dua setengah abad (lebih 250 tahun) menguasai/menjajah nusantara, lambat laun pasti akan menyerang Aceh. Satu-satunya Kerajaan di nusantara yang masih merdeka. Belanda tidak bisa menyerang Aceh karena Kerajaan Aceh terikat perjanjian kerja sama dengan Kerajaan Inggris. Perjanjan itu dikenal sebagai “Traktrat London”.
Meski demikian, pasca dibukanya Terusan Suez, keberadaan Selat Malaka menjadi jalur perdagangan dunia yang paling sibuk. Kerajaan Aceh yang berada di pintu masuk Selat Malaka di sebelah barat memegang peranan penting perdagangan dunia masa itu. Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pesisir Aceh ramai disinggahi kapal dari Amerika dan Eropa.
Belanda dengan VOC-nya yang ingin memonopoli perdagangan, berusaha memprovokasi Kerajaan Aceh di Selat Malaka, citra Aceh di mata internasional ingin diperburuk, seolah Aceh tidak mampu menjamin keamanan di Selat Malaka. Namun provokasi-provokasi Belanda itu tidak berhasil.
Belanda akhirnya melobi Inggris untuk membuat perjanjian yang dikenal dengan “Traktat Sumatera” yang isinya Inggris seolah-olah Inggris telah secara sepihak mengesampingkan “Traktrat London”. Berbekal perjanjian itu Belanda kemudian mencari cara untuk memerangi Aceh.
Menyadari langkah Inggris dan Belanda itu, ketika Kerajaan Aceh hendak diperang oleh Belanda, Sulthan Aceh membentuk kabinet perang, dan mengangkat Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh.
Untuk menghadapi serangan Belanda, Tuanku Hasyim Banta Muda memperkuat benteng pertahanannya. 15.000 pucuk senapan dan mesiu didatangkan dari Penang. Senjata-senjata itu dibeli secara barter dengan rempah-rempah dari hasil perkebunan yang dibangunnya.
Dan agresi militer pertama Belanda ke Aceh pada 26 Maret 1873 gagal total, Panglima Perang Belanda, Mayor Jendral JHR Kohler tewas ditembak pejuang Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Kekalahan Belanda pada agresi pertama itu, membuat berang Kerajaan Belanda. Pengalaman mereka selama 250 tahun menjajah nusantara, sama sekali tak berarti apa-apa ketika berhadapan dengan Aceh. Kemudian Belanda datang lagi dengan agresi militer kedua ke Aceh, dengan jumlah pasukan dan kapal perang yang lebih banyak. Dan sejak saat itu Belanda terus menghadapi peperangan yang melelahkan selama 69 tahun di Aceh.
Sumber : FB Malikul Mubin
Tiada ulasan:
Catat Ulasan