* Disarikan oleh Tgk Tarmizi Thaib
Abuya Muda Waly adalah seorang Ulama Kharismatik, Waliyullah yang sangat dihormati lagi dicintai, khususnya oleh masyarakat Aceh. Beliau bernama lengkap Syekh H. Muhammad Waly bin Teungku Syekh H. Muhammad Salim bin Teungku Malem Palito, berasal dari Batu Sangkar, Sumatera Barat.
Sedangkan Ibunda beliau bernama Janadat binti Keuchik Nyak Ujud, berasal dari Kota Palak kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Abuya Muda Waly lahir di desa Blang Poroh, kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917 M. Menurut anak kandung beliau yakni Abuya Prof. Dr. H. Muhibuddin Waly, didalam bukunya yang berjudul “Maulana Teungku Syekh H. Muhammad Waly Al-Khalidy”, tidak seorang pun dari famili yang tahu persis tentang hari, tanggal dan bulan kelahiran sang Ayahanda.
Dimasa kecilnya Abuya Mudawaly sering dipanggil dengan sebutan Angku Mudo atau Muda atau Muhammad Waly. Santri dan masyarakat pada umumnya memanggil beliau dengan sebutan Abuya atau Buya, yang berarti Guru atau Maha guru. Adapun panggilan yang paling masyhur lagi ma’ruf terdengar dari masyarakat Aceh hingga sampai saat ini adalah Abuya Mudawaly.
Abuya Muda Waly rahimahullah berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 28 maret 1961 M/11 Syawal 1381 H hari selasa jam 15.30 WIB dalam usia 44 tahun, dan dimakamkan ditengah komplek Dayah Darussalam.
Hingga sampai saat ini makam beliau tidak pernah sepi dari para penziarah, baik dari kalangan Ulama, santri maupun masyarakat umum. Beliau meninggalkan 19 orang anak dan lima isteri, salah seorang diantaranya cerai sebelum menikahi isteri yang kelima.
Riwayat Pendidikan
Abuya sering berpindah dari satu dayah ke dayah lainnya untuk menuntut ilmu. Sebelum menyelesaikan Vervold School di Kuta Trieng, beliau juga belajar di pesantren Jami’ah Al-Khairiyah, satu-satunya pesantren di Labuhan Haji saat itu.
Lalu melanjutkan pendidikannya di Ponpes Bustanul Huda Blang Pidie yang diasuh oleh seorang Ulama besar bernama Syekh H. M. Mahmud, atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Syekh Mud. Tiga tahun setelahnya, Abuya berangkat ke Kuta Raja -sekarang Banda Aceh- untuk melanjutkan pendidikannya di Dayah Abu Krueng Kalee dan Abu Hasballah Indrapuri, Aceh Besar sekitar tahun 1933 M.
Selanjutnya Abuya Muda Waly dikirm ke Normal Islam di Padang oleh Aceh Study Fond saat itu. Namun beliau bertahan di sekolah tersebut hanya sekitar 3 bulan saja, karena terjadi perbedaan paham dengan pimpinan Normal Islam yang saat itu dijabat oleh H. Mahmud Yunus.
Akhirnya beliau melanglang buana dengan berdakwah keliling dan belajar di pesantren lainnya, seperti Dayah Syekh Mohd. Jamil Jaho di Padang Panjang, serta berguru thariqat kepada Syekh Abdul Ghani Kampary, di Batu Basurek, Bangkinang, Riau.
Kemudian Abuya sempat melanjutkan pendidikannya di Mekkah Mukarramah, berguru kepada Syekh Ali Maliki pengarang kitab Hasyiah Asybah wan-Nadhair karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan kepada Ulama lainnya yang beliau jumpai disana. Lalu beliau kembali ke Sumatera Barat, kemudian ke tanah kelahirannya, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Abuya Muda Waly adalah Ulama yang sangat teguh lagi Konsisten dalam mengimplementasikan Iman, Islam dan Ihsan sesuai dengan sunah Nabi. Yakni menyangkut dengan ‘ubudiyah/bidang syari’at beliau berpedoman kepada mazhab Syafi’I, dalam masalah aqidah berpedoman kepada Ahlussunnah wal jama’ah, serta istiqamah mengamalkan thariqat Naqsyabandiyah dalam bidang tasawuf/kesufian.
Kekukuhan pendirian beliau ini membuatnya sidak sungkan-sungkan menulis namanya dengan sebutan Tgk. Syech H. Muda Waly Asy-Syafi’I Al-Asy’ari Al-Khalidy. Dengan maksud, Syekh Mudawaly adalah penganut mazhab Syafi’I dan paham Ahlussunnah wal jama’ah dengan berthariqat Al-Khalidiyyah Naqsyabandiyyah.
Kiprahnya Untuk Agama, Bangsa dan Negara
Kemenonjolan Abuya Muda Waly bukan hanya dalam bidang agama saja, melainkan juga dalam bidang politik dan ideologi Negara. Dalam bidang politik beliau memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi.
Indikasinya, selain sebagai pelopor Partai Islam (PI) Persatuan Tarbiyah Islamiah (PERTI) yang pernah menang dalam pemilu di pantai Barat Selatan. Sebab PERTI sejak saat itu identik dengan amaliah dan aqidah Ahlussunnah wal jama’ah.
Demikian pula ketika meletusnya pemberontakan DI/TII yang dicetuskan oleh mantan Gubernur Aceh, Langkat dan Tanah karo, Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tahun 1953, Abuya Mudawaly termasuk salah seorang Ulama yang menentangnya. Meski beliau terkadang kurang setuju dengan kebijakan pemerintahan Orde Lama.
Dalam rangka menghadapi kebrutalan pasukan DI/TII yang saat itu kebanyakan mereka menggunakan senjata api, Abuya terpaksa membentuk pasukan khusus yang diberi nama pasukan Peudeung Panyang (Pedang Panjang) yang didalamnya terdiri dari orang-orang sakti.
Bahkan beliau pernah diundang ke Cipanas, Bogor tahun 1955 oleh Menteri Agama yang saat itu dijabat oleh KH. Masykur untuk menghadiri rapat akbar Ulama se-Indonesia, dan beliau setuju memberi gelar Ulil Amri kepada Presiden Soekarno dengan syarat harus ditambah dengan adh-dharuriy bisy-syaukah.
Abuya Muda Waly tidak hanya berkiprah melalui dakwah dan seminar, akan tetapi beliau juga aktif berdakwah secara langsung atau yang disebut dengan dakwah bil-hal. Beliau tidak segan-segan untuk turun tangan secara langsung dalam memberantas kesyirikan, kemaksiatan, khurafat dan lain sebagainya.
Beliau senantiasa menentang pemujaan-pemujaan. Bahkan beliau pernah memecah batu besar yang telah lama dipuja sebahagian penduduk di daerah singkil, dan juga menebang sebatang pohon kayu raksasa yang telah dipuja sebagian penduduk Aceh Barat bertahun-tahun lamanya, yang mana sebelumnya tak ada orang yang berani menebangnya termasuk paranormal hebat sekalipun, karena takut kepada kekuatan ghaib.
Karya-karya Abuya Muda Waly diantaranya: Al-Fatawa (beberapa fatwa agama), Tanwirul Anwar (Aqidah), Tuhfatul Muhtaj (fiqh) serta beberapa kitab tashawwuf lainnya.
Sepulangnya dari Mekah, Abuya mendalami ilmu thariqat ke daerah Riau, beliau berguru kepada Syekh H. Abdul Ghani al-Kamfari. Setelah menamatkan suluknya dan mendapatkan ijazah thariqat, barulah Abuya kembali ke Padang dan mendirikan pesantren di Padang yang bernama Busthanul Muhaqqiqin di daerah Lubuk Bagalung Padang.
Murid-murid yang belajar di pesantren itu cukup banyak. Bahkan banyak yang berdatangan dari Aceh. Tetapi ketika Jepang masuk ke Padang, yang diduga mempunyai niat tidak baik terhadap Ulama yang berpengaruh di Sumatera Barat, maka Abuya mengambil keputusan untuk kembali ke Aceh, karena di Aceh beliau merasa tenang dan aman untuk mengamalkan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan yang beliau pelajari.
Beliau kembali ke Aceh Selatan sekitar akhir tahun 1939 dengan naik perahu layar dari padang ke Aceh di kecamatan Labuhan Haji. Setelah beberapa hari berada didesa kelahirannya, Abuya Mudawaly mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Dayah darussalam alwaliyah . Sedikit demi sedikit pesantren tersebut semakin berkembang, sehingga para pelajar dari luar daerah pun berdatangan untuk nyantri disana.
Dari didikan Abuya Muda Waly lahirlah banyak tokoh Ulama yang terkemuka. Yang kemudian juga mendirikan pesantren di daerah mereka masing-masing yang tersebar keseluruh penjuru Aceh, bahkan sampai keluar negeri seperti di Thailand, Malaysia dan lain-lain.
Demikian sekilas mengenai sejarah Ulama Kharismatik asal Aceh yang namanya masih sangat harum hingga saat ini, yang sangat berjasa bagi Agama Islam dan Bangsa Indonesia terkhusus bagi bangsa Aceh sendiri.
Semoga Allah SWT senantiasa mengampunkan dosa-dosa beliau dan kita semuanya, dan semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan ilmu Abuya Mudawaly kepada kita semua. Hingga kelak kita semua dikumpulkan di Syurga-Nya bersama para Nabi, Para Wali Allah, Shiddiqin, Abuya dan para Kekasih Allah Ta’ala yang lainnya. wallahua’lambisshawab!
(Disarikan dari buku Al-Fatawa yang diterjemahkan oleh Abuya Habibie Muhibbuddin Waly, S.Th, pada lampiran “Biografi Abuya Syeikh H. Muda Waly al-Khalidy”. Dan sebahagiannya dari buku “Maulana Teungku Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy” yang disusun oleh Abuya Prof. Dr. H. Teungku Muhibuddin Waly)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan