Rabu, 11 Mei 2022

Mengapa Belanda Sampai Membuat Sayembara Penulisan Sejarah Aceh.

Foto bawah Prof Raden Husein Djajadiningrat [Sumber: Collectie Tropenmuseum]

Penulis : Iskandar Norman.

Belanda ingin mengubah sejarah Aceh menurut versi mereka. Upaya untuk mengubah sejarah Aceh ini dilakukan oleh orientalis Belanda setelah menemukan berbagai kitab klasik peninggalan Kerajaan Aceh ketika perang Aceh dengan Belanda berlangsung.

Manuskrip dan kitab-kitab klasik Aceh dan Melayu itu menggambarkan kemegahan Aceh pada masa lalu, hal yang tidak diyakini oleh Belanda, makanya Belanda kemudian mendirikan “Atjeh Institute” menariknya lembaga ini didirikan di Den Haag, Belanda, bukan di Aceh, lembaga yang dikhususkan mengkaji tentang Aceh.

Atjeh Institute dibangun pada 31 Juli 1914 atas prakarsa Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje, yang kemudian ditetapkan dengan surat keputusan KB nomor 61 oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itu perang Aceh dengan Belanda masih berlangsung.

Pengurusan Atjeh Institute ketika itu adalah Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje sebagai ketua, Dr C Janssen sebagai sekretaris dan Prof JV van Werde C J Haselman sebagai Bendahara. Kesungguhan pemerintah kolonial Belanda dalam mendalami dan meneliti karakteristik dan budaya Aceh, tercermin dari lembaga ini, tulisan-tulisan tentang Aceh yang ditulis oleh ahli ketimuran, dan sumber-sumber Melayu dibedah habis-habisan. Berbagai buku tentang Aceh kemudian ditulis ulang dan diterbitkan dalam bahasa Belanda. Isinya bisa ditebak, sejarah Aceh versi Belanda.

Enam tahun sebelum Atjeh Institute didirikan, Fakultas Sastra Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1908 juga membuat sayembara menulis sejarah Aceh berdasarkan manuskrip-manuskrip Melayu dan sumber-sumber Eropa. Salah satu pemenang sayembara ini adalah Raden Hoesein Djajadiningrat, karyanya kemudian diterbikan dalam bentuk buku dengan judul “Kesultanan Aceh”

Buku ini pada tahun 1984 diterbitkan kembali oleh Museum Negeri Aceh dengan nomor seri 12. Apa yang ditulis Raden Hoesein Djadjadiningrat? Ternyata isi manuskrip-manuskrip Aceh dan Melayu dengan fragmen-fragmen sejarah dari sumber Eropa menemukan titik temu, kebesaran Kerajaan Aceh pada masa lalu juga ditulis dalam karya-karya penulis klasik Eropa.

Ketika meniliti dan menulis buku “Kesultanan Aceh” Raden Hoesein Djajadiningrat disponsori oleh Fakultas Sastra Universitas Leiden, Belanda. Edisi aslinya ditulis dalam bahasa Belanda, sementara seri yang diterbitan oleh Museum Negeri Aceh merupakan edisi terjemahan yang diterjemahkan dari buku aslinya oleh Teuku Hamid dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Pada bagian pertama (BAB I) membahas tentang sejarah tertua Kerajaan Aceh sampai tahun 1607. Sementara bagaian dua (BAB II) membahas Kerajaan Aceh pada periode tahun 1607 hingga 1699. Sedangkan bagian ketiga (BAB III) membahas Kerajaan Aceh dalam periode 1699 hingg 1824.

Menariknya, buku ini diperkuat dengan lampiran-lampiran dari manuskrip dan naskah lama sebagai pendukung, seperti: ikhtisar kronologis dari para Sultan Aceh, serta berbagai lampiran pendukung lainnya, yang membuat buku ini kaya dengan referensi dari manuskrip-manuskrip lama.

Pada permulaan buku ini juga mengutip keterangan Prof Snouck Hurgronje dalam Bijdr van het Kon, Instituut 7 VI halaman 52 yang meragukan riwayat para Sultan Aceh, sehingga harus dilakukan penulisan dengan sumber-sumber otentik dari Eropa dengan sumber-sumber Melayu sebagai perbandingan. Sumber-sumber dari fragmen-fragmen sejarah bangsa Eropa yang pernah bersentuhan dengan Aceh dikumpulkan untuk dianalisa dan dicocokkan dengan sumber-sumber di Aceh yang bersifat legendaris.

Salah satu referensi yang diambil oleh Raden Hoesein Djajadjiningrat adalah kitab Bustan as-Salatin (Taman Para Raja) yang ditulis oleh Mufti Kerajaan Aceh Syeikh Nuruddin Ar Raniry pada masa Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani, naskah kitab tersebut sampai kini masih disimpan di Unversitas Leiden, Belanda dan di Royal Asiatic Society, London, Inggris.

Isi buku ini yang menjelaskan tentang periode Kerajaan Aceh antara tahun 1600 hingga 1680 dinyatakan seluruhnya dapat dipercaya, setelah dibandingkan dengan sumber-sumber Eropa. Inilah yang membuat buku “Kesultanan Aceh” karya Raden Hoesein Djadjadiningrat ini masih dijadikan rujukan dalam menulis sejarah Aceh hingga sekarang.

Oya, pendapat-pendapat Snouck Hurgronje tentang sejarah Aceh kemudian juga dibantah oleh pakar sejarah Asia Tenggara kelahiran Slandia Baru, Anthony Reid dalam buku dalam buku The Contest for Sumatra, diterbitkan di Kuala Lumpur oleh University of Malaya Press pada tahun 1969. Serta sejarawan Prancis Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Jaman Sulthan Iskandar Muda, diterbitkan di Jakarta pada tahun 1986 oleh Penerbit Balai Pustaka.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan