Membaca terus-menerus, bikin mengantuk. Lalu minum kopi. Setelah minum kopi, jadinya ingin membaca terus. Lalu, membaca terus-menerus bikin kantuk datang lagi. Kemudian minum kopi lagi. Jadinya, ingin terus membaca lagi.
Begitulah di hari Ahad itu, ia sudah terlalu banyak minum kopi sehingga sudah terlalu banyak membaca. Dan ketika Abu tiba di warung kopi tepian sawah itu, si anak muda bertanya:
“Abu, apa efek baik dari terlalu banyak minum kopi?”
“Efek baiknya: kamu cenderung berpikir tentang hal-hal yang bersifat radikal.”
“Lalu, apa efek buruk dari terlalu banyak minum kopi?”
“Efek buruknya: kamu cenderung radikal dengan pikiran-pikiranmu itu, sehingga akhirnya kamu cenderung menjadi pemberontak.”
Si pemuda membatin, “Jawaban Abu ternyata singkron dengan antara membaca dan minum kopi. Yakni, kalau banyak minum kopi, akan banyak membaca; kalau banyak membaca, akan menjadi manusia ‘pemberontak’.”
***
***
“Oya, Abu. Kenapa di Aceh banyak warung kopi?”
“Pertanyaanmu melangkahi urutan silogisme hipotesa. Ayo, bertanya secara sistematis.”
“Oh, sorry Abu. Baik, saya revisi: kenapa orang Aceh suka memberontak pada Pusat?”
“Karena di Aceh banyak warung kopi.”
Si pemuda membatin, “Jawaban Abu memang praduga yang bersifat humor. Tapi jangan-jangan ini malah sebuah hipotesis yang kuat.”
***
***
“Oya, Abu, kenapa di dataran tinggi Aceh, di Tanah Gayo khususnya, orang suka minum kopi asli?”
“Di sini berudara dingin; minum kopi asli pun tak bikin otak panas.”
“Lalu, kenapa di jalur Pantai Utara-Timur orang lebih cenderung minum kopi yang sudah dicampur dengan bahan-bahan lain seperti beras, jagung, gambir, pinang dan berbagai rempah?”
“Itu untuk menjinakkan zat kafein agar tidak terlalu merangsang psikoaktifmu. Ini hasil warisan pemikiran dan kearifan Indatu orang Aceh sejak zaman dahulu. Pantai Utara-Timur adalah jalur Aceh pesisir yang berudara panas. Di sini, minum kopi campuran saja namun begitu banyak muncul pemberontak. Bayangkan jika mereka tiap hari minum kopi arabica asli.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan