Zawiyah ( Dayah) Adalah Lembaga Pendidikan Resmi Kesulthan Achèh.
Di masa kesultanan Aceh, sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh pada awalnya melalui pusat-pusat pengaji-an di meunasah atau rumah-rumah, lalu berkembang hingga berlangsung di 'rangkang' (semacam balai-balai -red). Pengajaran paling awal dimulai dengan pengajian al-Qur'an dengan lafal bacaan bahasa Arab yang mengikuti aturan-aturan ilmu tajwid.
Pada setiap kampung di Aceh terdapat satu meunasah yang di sana diadakan pendidikan dasar bagi anak laki-laki. Gurunya adalah teungku imum meunasah yang dibantu beberapa orang lainnya. Di rumah teungku imum pun diadakan untuk pendidikan bagi anak-anak perempuan dan yang menjadi gurunya adalah istri dari sang teungku imum.
Disamping mengajarkan al-Qur'an, sebagian teungku imum juga mengajarkan kitab-kitab Jawi (kitab berbahasa Melayu dengan aksara Arab). Untuk tingkat pemula pendidikan seperti kitab Masailal Muhtadi (memakai sistem tanya jawab, yang dimulai dari masalah tauhid, hukum yang terkait masalah ibadah seperti salat dan puasa).
Selanjutnya kitab pula kitab-kitab yang lebih tinggi, seperti kitab Bidayah, Miftahul Jannah, Sirath Sabilal Muhtadin, Kitab Delapan, dan Majmu '. Bagi yang sudaah pandai membaca kitab-kitab tersebut biasanya akan disebut malem Jawoe ( A'lim Jawi).
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi adalah dayah, biasanya terdapat di dekat masjid. Tetapi ada juga yang berada di dekat rumah teungku(tengku) yang mempunyai dayah itu sendiri. Pelajarannya tentu sudah meningkat pula, misalnya sudah mulai belajar pelajaran sharaf; The learning that about pembahasan word from one words to some words by kaidah-kaidah that were ready to formed and menghafalnya as well. Pelajaran sharaf umumnya berguna untuk melihat asal kata kata dapat menyempurnakan kamus.
Setelah itu baru mempelajari pengetahuan, yaitu tata bahasa Arab. Orang yang sudah menguasai ilmu ini disebut malèm(faham) nahu. Kitab yang dipakai untuk itu dimulai dengan kitab Aljarumiyah, Mukhtasar, Matammimah, hingga akhirnya Alfiyah. Setelah itu mengajar fikih --- yakni pelajaran mengenai hukum-hukum ibadat --- yang dimulai dengan kitab Safinatun Naja, Matan Taqrib. Kemudian Fathur Qarib, Fathur Muin, Tahrir, Iqna, Fathu al-Wahab, Mahally, Tuhfan, dan Nihayah. Baru setelah itu pelajaran pelajaran tafsir al-Qur'an dan al-Hadits.
Lembaga pendidikan dayah di Aceh sudah ada sejak awal berdirinya Kesulthanan Islam pertama di asia tenggara. Popularitas Dayah-dayah tersebut di berbagai wilayah dan sangat memegang peranan penting dalam penyebaran Islam ke berbagai wilayah Nusantara.
Sebelum Belanda masuk, Aceh merupakan daerah kesulthanan. Kesulthanan tersebut menganut keberagamaan sistem keberagamaan Islam, sehingga pendidikan yang berjalan dengan sendirinya adalah pendidikan yang bernuansa Islam. Tempat pendidikannya dimulai terutama di meunasah, rangkang, dan dayah.
Dayah-dayah yang terkenal di berbagai wilayah di Aceh sangat menentukan watak keislaman yang kemudian berkembang.
Pada masa itu, Pusat Pendidikan Tinggi Dayah Cot Kala merupakan pusat pendidikan tinggi Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini banyak berjasa dalam organisasi Islam dengan banyaknya ulama dan alumni yang kemudian menjadi pendakwah Islam sampai ke berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan hingga seberang selat Malaka. Dakwah yang mereka lakukan menstimulasi kerajaan-kerajaan Islam di daerah. Sebut saja seumpama Kerajaan Islam Samudera Pasai, Kerajaan Islam Benua, Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Islam Darussalam, dan Kerajaan Islam Indra Jaya.
Berbagai kerajaan ini akhirnya melebur atau disatukan menjadi satu kerajaan besar pada awal abad ke XVI dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam. Ali Mughayatsyah yang bergelar Sultan Alaiddin Ali Mughayatsyah dinobatkan sebagai sultan (raja) pertama. Ia memerintah dalam rentang waktu 9l6-936 H atau 1511-1530 M.
Karena segala sumber hukum bagi Kerajaan Aceh Darussalam adalah al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas maka dengan sendirinya Islam menjadi dasar pendidikan di wilayah ini. Jadi, kalau Islam telah menjadi dasar pendidikan, maka pendidikan itu tentu saja bertujuan untuk membina manusia-manusia yang sanggup menjalankan ajaran Islam. Qanun Meukuta Alam (disebut juga Adat Meukuta Alam dan kadang-kadang disebut Adat Aceh) adalah sebuah undang-undang dasar kerajaan sebagai penyempurnaan peraturan-peraturan yang telah dibuat sebelumnya.
Dalam Qanun Meukuta Alam ini diatur segala ihwal yang berhubungan dengan negara secara garis besar, baik mengenai dasar negara, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan dalam negara, dan lembaga-lembaga negara.
Pada masa Ratu Safiatuddin menjadi sulthanah, Qanun Meukuta Alam disempurnakan lagi. Dalam undang-undang tersebut di antaranya tertulis ulama dan raja tidak boleh jauh atau tercerai, sebab kalau ada jarak di antara mereka niscaya binasalah negara. Itu berarti raja dan ulama harus bersama-sama menjadi pimpinan. Dengan kata lain, hal ini dapat ditamsilkan pula bahwa dalam diri seorang penguasa harus ada bersamanya, kekuasaan dan keilmuan.
Dalam Qanun Meukuta Alam edisi "revisi", dibuat juga persyaratan-persyaratan untuk menjadi sultan. Setidaknya ada 21 syarat, di antaranya adil, berhukum dengan yang di ajarkan oleh Allah melalui rasulNYA, serta seluruh perintah agama Islam. Ada pula 10 syarat untuk menjadi wazir. Syarat itu, misalnya, adalah "alim (paham) pada ilmu dunia dan ilmu akhirat, dapat memegang amanah, tiada khianat". Untuk menjadi qadhi yang ditetapkan dalam qanun ini. Di syaratnya adalah "adil, alim pada pekerjaan dunia dan akhirat dan melihat ia atas pekerjaan yang diserahkan oleh kerajaan kepadanya dan dapat ia berhubungan dengan adil".
Ketika Malaka ditaklukkan Portugis, ulama-ulama dan muballigh Islam dari Malaka pindah ke Achèh, lalu bersama-sama dengan kalangan terdidik kerajaan mendidik calon ulama di dayah-dayah.
Pada masa itu, tingkatan pendidikan dalam Kerajaan Aceh Darussalam terdiri atas:
- Meunasah atau madrasah yaitu pendidikan permulaan yang terdapat di tiap-tiap gampong (kampung). Di sana anak-anak diajarkan membaca al-Qur'an, menulis dan membaca huruf Arab, cara beribadat, akhlak, rukun Islam, dan rukun iman.
- Rangkang, yaitu pondok-pondok yang ada di sekeliling masjid sebagai asrama. Di sana diajarkan fikih, ibadat, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/umum, bahasa Arab. Buku-buku pelajarannya terdiri dari bahasa Melayu dan bahasa Arab.
- Dayah, terdapat dalam tiap-tiap daerah, tetapi ada juga yang berpusat pada mesjid bersama rangkang. Kebanyakannya terdapat terpisah dari lingkungan mesjid dan menyediakan sebuah balai utama sebagai aula yang digunakan sebagai tempat belajar dan tempat shalat berjamaah.
Di dayah, semua pelajaran diajarkan dalam bahasa Arab dan mempergunakan kitab-kitab berbahasa Arab juga. Mata pelajarannya terdiri dari ilmu fikih muamalat, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu tatanegara, dan bahasa Arab. Terdapat pula dayah-dayah yang mengajarkan ilmu umum seperti ilmu pertanian, ilmu pertukangan, dan ilmu perniagaan (ekonomi).
- Dayah Teungku Chik, yakni satu tingkat lagi di atas dayah dan kadang-kadang disebut juga Dayah Manyang(tinggi). Dayah ini tidak begitu banyak. Di sana diajarkan mata pelajaran antara lain bahasa Arab, fikih jinayah (hukum pidana), fikih munakahat (hukum perkawinan), fikih duali (hukum tatanegara), sejarah Islam, sejarah negara-negara, ilmu manthiq, tauhid, filsafat, tasawuf/akhlak, ilmu falaq, tafsir, dan hadits.
- Jami'ah Baiturrahman. Jami'ah ini terdapat di ibukota negara yang merupakan satu kesatuan mesjid Jami' Baiturrahman. Jami'ah Baiturrahman ini mempunyai bermacam-macam "Daar" yang kira-kira kalau disetarakan sama dengan fakultas. Ada 17 "Daar" yang di-dirikan ketika itu, yakni: (1) Daar al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits), (2) Daar al-Thibb (Kedokteran), (3) Daar al-Kimya (Kimia), (4) Daar al-Taarikh (Sejarah), (5) Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti), (6) Daar al-Siyasah (Politik), (7) Daar al-Aqli (Ilmu Akal), (8) Daar al-Zira'ah (Pertanian), (9) Daar al-Ahkaam (Hukum), (10) Daar al-Falsafah (Filsafat), (11) Daar al-Kalaam (Teologi), (12) Daar al-Wizaraah (Ilmu Pemerintahan), (13) Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan Perbendaharaan Negara), (14) Daar al-Ardhi (Pertambangan), (15) Daar al-Nahwi (Bahasa Arab), (16) Daar al-Mazahib (Ilmu-ilmu Agama), dan (17) Daar al-Harbi (Ilmu Peperangan).
Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah berkuasa (1016-1045 H/1607-1636 M), guru-guru besar jami'ah tersebut selain terdiri dari ulama-ulama Aceh, juga didatangkan dari luar seperti dari Arab, Turki, Persia, dan India. Berdasarkan catatan yang dapat ditelusuri, tak kurang dari 44 orang guru besar yang didatangkan dari luar negeri pada masa itu.
Demikianlah gambaran pendidikan di Aceh yang dilaksanakan oleh orang-orang terdahulu. Dalam hal ini, ulama dan sulthan memegang peranan penting untuk memajukan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang berbentuk dayah. Mereka mendatangkan guru-guru besar dari luar sehingga taraf pendidikan pun mencapai kemajuan bahkan berhasil melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang diperhitungkan dunia luar.
Begitulah Kerajaan Aceh Darussalam sangat mementingkan ilmu pengetahuan bagi setiap orang, terutama bagi pejabat-pejabat (sultan, menteri, qadhi). Itu benar-benar menjadi suatu hal yang aneh jika Kerajaan Aceh Darussalam kemudian melahirkan ulama-ulama dan sarjana-sarjana bertaraf intemasional sehingga Aceh menjadi terkenal terutama pada masa Sultan Iskandar Muda. Banyak orang dari luar datang ke Aceh untuk belajar.
Wallaahu a'lam.