Jumaat, 24 Disember 2021

Al-Qur'an Peninggalan Sunan Gresik


Qur'an tertua peninggal Syehk Maulana Malik Ibrahim di desa mugo Aceh barat sebelum beliau hijrah untuk mengislamkan pulau Jawa Sampai kini, telah tercatat sebanyak 13 orang keturunan yang menjadi penjaga Quran tua tersebut, yakni, 1. Tgk. Cik Adam, 2. Tgk. H. Ibrahim, 3. Tgk Keumala, 4. Tgk. Jambo Awe, 5. Tgk Baha, 6. Tgk Paneuk, 7. Tgk. Mansur, 8. Tgk. Acek, 9. Tgk. Cut Tanglong, 10. Tgk. Akop, 11. Tgk. Cut Him, 12. Tgk. Maneh, dan 13. Tgk Meurah Hasan.

Kisahnya, ketika masa penjajah belanda, quran ini pernah dibawa keluar sesaat dari Panton Reu, demi menghindari upaya Belanda untuk memusnahkannya. Dan pernah disimpan di Desa Sawang Rambot, Kecamatan Kaway XVI. Namun, usai keadaan kondusif, Quran ini kembali sendiri ke Panton Reu tanpa dipulangkan. “Makanya dulu sempat heboh dan diutarakan kalau Quran ini bisa terbang,” ujar Tgk. Meurah Hasan mengenang sejarah.

Ukuran Quran yang diyakini berusia 700 tahun tersebut, panjang 25 centimeter, lebar sekitar 20 centimeter, dengan 30 juz. Kitab ini hasil ukiran tangan di atas kertas hasil tempahan dari kulit sebuah batang kayu.

Sumber FB Atjeh Darussalam

Ahad, 19 Disember 2021

Sang Mujahid Albaltaji.


Ketika diberi peluang membela diri di dalam mahkamah, pemimpin Ikhwan, Dr Muhammad Al Baltaji dengan lantang berucap:

“Aku adalah pelajar keenam terbaik seluruh negara dalam peperiksaan sijil menengah (seperti SPM di Malaysia).

Selama 6 tahun berturut-turut aku adalah mahasiswa perubatan terbaik. Aku adalah seorang doktor pakar. Aku juga seorang professor pengajian perubatan di Universiti Al Azhar.

Aku turut mengusahakan pusat perubatan antara yang terbaik di Mesir (memberikan khidmat percuma kepada pesakit miskin). Aku terlibat dalam pelbagai aktiviti kemanusiaan di negara ini.

Lalu kalian tangkap aku! Selepas 22 hari, aku dihadapkan dengan 25 pertuduhan jenayah di 25 daerah! Seolah-olah aku adalah ketua mafia dunia!

Segalanya berlaku selepas kalian membunuh anak perempuanku (Asma’) di dataran Rabiah Al Adawiyah. Kalian siksa anak lelakiku! (Anas dan Khalid).

Kalian tekan isteri dan keluargaku! (isterinya dihukum penjara 6 bulan). Kalian bakar klinikku dan rumahku!

Adakah kalian menyangka aku berdiri di sini untuk membela diri?! Aku bersumpah dengan nama Allah, sama ada kalian menjatuhkan hukuman mati ke atasku atau kalian membebaskan aku, sama sahaja bagiku!

Aku berjuang pada jalan Allah untuk negara ini. Biarlah generasi ummah akan datang mengetahui siapakah yang berdiri dalam saf yang benar dan siapa yang berdiri dalam barisan yang batil!

وَسَیَعۡلَمُ ٱلَّذِینَ ظَلَمُوۤا۟ أَیَّ مُنقَلَبࣲ یَنقَلِبُونَ

"... Dan (ingatlah), orang-orang yang melakukan kezaliman, akan mengetahui kelak, ke tempat mana, mereka akan kembali."

Al-fatihah buat Allahyarham Prof. Dr. Muhammad Al Baltaji. 🤲

Kredit : Facebook Ustaz Aris Hazlan Ismail

Isnin, 6 Disember 2021

Ulama Acheh Yang Di Segani Musuh

TEUNGKU CHIK DI AWE GEUTAH


Di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, ada rumah adat asli Atjeh yang masih berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun lamanya. Namun, dibalik itu banyak yang tidak mengetahui riwayat tentang pendirinya, Teungku Chik Awe Geutah, seorang ulama yang sangat berperan dalam mengembangkan agama Islam di Atjeh.

Sayangnya jasa-jasa Teungku Awe Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang menulis riwayat tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk melihat pesona Rumoh Atjeh yang masih terpelihara keasliannya sampai kini. Tanpa ada yang mau peduli untuk mengabadikannya untuk kita kenang sepanjang masa. Sehingga dikhawatirkan sejarah tentang tokoh ulama besar Atjeh tersebut akan punah ditelan masa.
Pihak keluarga Teungku Chik Awe Geutah sendiri sudah banyak yang tidak mengetahui lagi secara mendetail tentang riwayat ulama yang dikenal keramat itu. Makanya untuk menulis kisah tentang Teungku Chik Awe Geutah sangat sulit. Sebab, tidak ada literatur atau referensi sebagai pedoman untuk menguatkan kebenaran penulisan sejarahnya itu.

Untunglah ada seorang peminat sejarah, khususnya tentang riwayat Teungku Chik Awe Geutah, yang masih tersisa di sana. Namanya Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom. Sebenarnya dia bukan bukan keturunan Teungku Chik Awe Geutah. Tapi kakeknya dulu pernah tinggal bersama anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah.

Dari cerita-cerita kakeknya itulah dia banyak mengetahui sejarah Teungku Chik Awe Geutah. Malah buruh kilang padi itu punya dokumentasi khusus, dan mengetahui silsilah Teungku Chik Awe Geutah sampai tujuh keturunan hingga saat ini. Nah, tulisan ini berdasarkan penuturannya kepada saya beberapa waktu lalu di bawah rumah Atjeh tersebut. Keterangan laki-laki berusia 70 tahun itu, juga dibenarkan beberapa anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah yang mendampingi kami ketika itu.

Dikisahkan Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal di sana. Namun tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.

Perjalanannya mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.

Mereka meninggalkan tanah kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk agama Islam di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah Abdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah ke tempat lain.

Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Atjeh Besar.

Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.

Sedangkan pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah. Di sana mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.

Rombongan Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun, Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di sungai dengan berkemben (memakai kain yang menampakkan bagian dada atas). Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap. Negeri itu sudah laklim.

Lalu mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan Sawang, Kabupaten Atjeh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).

Sedangkan satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.

Namun setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat arah penjuru mata angin.

Malam pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana, namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya, pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.

Malam kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut. Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara. Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.

Baru pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang permanen.
Maka keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.

Saat itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.

Seorang di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama. Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usulan itu pun diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah.

Sabtu, 4 Disember 2021

PENAKLUK ALAM MELAYU DARI KESULTANAN ACHEH



Acheh boleh dikatakan merupakan warisan kepada Kerajaan Melayu Pasai yang bermukim di utara Pulau Sumatera. Ketika Kesultanan Melayu Melaka tumbang dan juga Pasai dilanggar oleh Portugis, kerajaan yang menghalang kemaraan Portugis di utara Sumatera ketika itu ialah Kesultanan Acheh dibawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Shah yang berjaya mengalahkan Portugis dalam medan perang pada tahun 1521 Masihi sebelum meluaskan kekuasaan Acheh ke atas beberapa wilayah Sumatera utara seperti Pasai, Pedir, Daya dan Deli. Tidak cukup dengan itu, Acheh dibawah pemerintahan baginda turut menyerang Potugis beberapa kali dan hampir sahaja menakluk kota A’Famosa pada tahun 1574 Masihi.

Namun, selepas pemerintahan baginda, kekuasaan Acheh kembali malap dengan huru-hara yang berlaku dalam negeri dan konflik perebutan takhta sehinggalah lahir seorang penakluk hebat alam Melayu yang dikenali sebagai Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang memerintah Acheh daripada 1607 Masihi sehinggalah 1636 Masihi. Seperti mana-mana kisah penakluk lain dalam dunia, mereka tidak akan mampu untuk menakluk kerajaan lain disekitar kerajaan mereka tanpa menyatukan dahulu rakyat dan pembesar dalam kerajaannya tersendiri.

Sebagai contoh, Genghis Khan dari Monggol tidak akan mampu membina empayar agung daratan terbesar dalam sejarah kalau tidak menyatukan puak-puak Monggol yang sering kali bertelagah itu. Begitu juga dengan Sultan Iskandar Muda ini, apabila telah berjaya menyatukan sekurang-kurangnya [ 73 orang hulubalang (uleebalang) yang seringkali bertelagah dan beperang antara satu sama lain merebutkan kawasan pemakanan dan pemukiman antara satu sama lain ]]

Faktor penaklukan baginda dapat dilihat atas beberapa faktor, dan antaranya ialah penguasaan ekonomi ke atas Alam Melayu. Sebagai contoh, perdagangan lada hitam merupakan antara sumber utama kekayaan ekonomi Kesultanan Acheh. Justeru, baginda telah menyerang beberapa buah negeri Melayu seperti Kedah dan menakluknya pada 1619 Masihi. Antara negeri awal lain yang ditakluk oleh baginda ialah Johor pada tahun 1613 Masihi dan 1615 Masihi, serta tidak ketinggalan Pahang pada tahun 1618 Masihi dan membawa pemerintahnya yang bernama Sultan Ahmad Syah ke Acheh. Bahkan lebih awal, negeri-negeri Melayu di Sumatera seperti Aru dan Deli turut ditakluk oleh baginda. Baginda juga telah menakluk Perak pada tahun 1620 Masihi demi menguasai perniagaan bijih timahnya.

Kekuatan ketenteraan yang dimiliki oleh baginda dipercayai kerana kekuatan angkatan lautnya. Dikatakan setiap kapal Acheh dikendalikan oleh lebih kurang 600-800 orang, tentera berkuda Acheh (cavalry) ketika itu menggunakan baka kuda Parsi, mempunyai tentera bergajah serta menjalankan kerahan tentera kepada setiap rakyatnya. Mungkin sebab ini jugalah di mana kita perlu menyaksikan bagaimana untuk mengalahkan Acheh dibawah pemerintahan baginda sahaja, Johor sebagai musuh ketatnya terpaksa menjalinkan kerjasama dengan Pahang, Palembang, Jambi, Inderagiri, Kampar dan Siak.

Seperti mana raja-raja Acheh yang sebelum ini, Sultan Iskandar Muda tetap meneruskan legasi menyerang Portugis dan cuba menakluk Melaka dari kekuasaan penjajah tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 1629 Masihi, dicatatkan bahawa Sultan Iskandar telah memimpin 236 buah kapal bersama dengan 20, 000 orang tentera namun serangan baginda berhasil dengan kegagalan. Namun, kita tidak boleh menafikan keluasan empayar baginda sehinggakan dalam surat baginda yang dikirimkan kepada Ratu Elizabeth dari England berbunyi seperti berikut:

“Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam.”

Namun pastinya yang paling diingati tentang baginda ialah kisah cinta baginda dengan seorang puteri Pahang, yang kisahnya persis seperti puteri Amythis dan raja Babylon bernama Nebuchadnezzar II yang menciptakan sebuah taman tergantung untuk Amythis hanya kerana wanita itu merindukan tanah airnya yang subur berbeza geografi dengan pasang pasir Mesopotamia.

Kisahnya, ketika Puteri Pahang yang merupakan isteri baginda yang digambarkan kecantikannya tidak berbelah bagi ketika zaman tersebut merindukan bentuk muka bumi kerajaan Pahang yang berlatarbelakangkan banjaran Titiwangsa yang bergunung-ganang berbanding Acheh itu, maka Sultan Iskandar Muda dengan rela hati membina sebuah gunung kecil (Gunôngan) sebagai miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Puteri Pahang di Pahang dahulu.

Betapa bahagianya si isteri selepas menerima persembahan cinta daripada Sultan Iskandar Muda. Bangunan ini berbentuk enam segi, menyerupai bunga dan bertingkat tiga dengan tingkat utama berbentuk mahkota . Pada dindingnya ada sebuah pintu masuk berukuran rendah yang selalu dalam keadaan terkunci. Dari lorong pintu itu ada sebuah tangga menuju ke tingkat tiga Gunongan.

Baginda bukan sahaja penakluk hebat alam Melayu dan suami yang romantis, malah merupakan pemerintah yang sangat disegani dan dikagumi. Baginda juga seorang pemerintah yang sangat mengangkat nilai islamik dalam pemerintahan. Antara langkah mengangkat agama Islam yang diterapkan baginda di dalam Kesultanan Acheh ialah memastikan bahawa setiap kampong di dalam Empayar Acheh mempunyai sebuah masjid dan surau yang mempunyai madrasah. 

Guru-guru agama yang berwibawa akan dihantarkan di setiap madrasah. Beberapa buah kampong akan dikenali sebagai mukim yang akan diketuai oleh hulubalang kecil. Gabungan beberapa buah mukim akan dikenali sebagai Sagi dan diketuai oleh Hulubalang Besar

Baginda juga dibantu oleh Wazir Sultan, Perdana Menteri, Kadi Malikul Adil bersama dengan empat orang mufti dalam pentadbirannya. Antara ulama hebat yang diambil oleh baginda sebagai penasihatnya ialah Syamsudin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf As-Singkili

Kitab-kitab agama Islam ketika itu dikarang oleh ulamak-ulamak hebat ini dalam bahasa Melayu dan banyak mempengaruhi perkembangan agama Islam dalam Tamadun Melayu. Balai Laksamana pula akan mengetuai tentera laut dan tentera darat, manakala Menteri Dirham yang peranannya pada hari seperti Menteri Kewangan akan mengendalikan Baitulmal dan hal ehwal kewangan Empayar Acheh.

Ketika era pemerintahan baginda, terdapat tiga buah badan yang diamanahkan untuk menjalankan dasar-dasar pentadbiran negara seperti Balairung yang terdiri daripada empat hulubalang terbesar Acheh yang akan mengendalikan isu pertahanan Acheh, Balai Gading yang terdiri daripada dua orang ulamak besar untuk mengendalikan isu agama dan Balai Majlis Mahkamah Rakyat yang terdiri daripada wakil-wakil mukim di seluruh wilayah Acheh. Balai Majlis Mahkamah Rakyat fungsi utamanya ialah mengurus masalah dan urusan rakyat di setiap kerajaan Acheh itu sendiri.

Baginda juga dilihat menghapuskan adat-adat zalim yang diwarisi sejak dari zaman Hindu-Buddha yang pernah mewarnai tamadun Melayu yang bertentangan dengan syariah agama Islam itu sendiri dalam pentadbiran Acheh. Misalnya, sebelum itu dikatakan bahawa setiap saksi dalam sebuah pengadilan diminta untuk mencelupkan tangan ke dalam minyak panas dan menjilat besi panas demi menguji kebenaran kenyataan para saksi ini.

Bahkan, ketegasan dan teguhnya Sultan Iskandar Muda pada agama Islam sangat disanjung terutama ketika dalam isu baginda menghukum mati anak sulung kerana telah berzina dengan seorang wanita yang merupakan isteri orang. Sebab itu pewaris takhta baginda ialah anak angkat baginda yang merupakan anakanda kepada Sultan Ahmad Syah. Biar mati anak, jangan mati adat. Mungkin ungkapan itu boleh disematkan pada situasi Sultan Iskandar Muda. Adat ketika, itu juga bermaksud undang-undang maka apabila tindakan anakandanya melanggar undang-undang, hukuman tetap harus dijalankan meskipun statusnya sebagai putera raja. Bezanya, lafaz keramat yang terluah dari mulut baginda ialah, “mati anak jelas kuburannya, hilang adat ke mana hendak dicari.”

Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Johan Berdaulat akhirnya mangkat pada tahun 1636 Masihi dan menurut Bustanus Salatin yang dikarang oleh Syeikh Nuruddin ar Raniri, pada hari Sabtu waktu zuhur pada Hijrat seribu empat puluh enam tahun (1046 H). 

Sebelum mangkat, baginda sempat menamakan menantu baginda yang bernama Raja Mughal sebagai pengganti baginda di atas takhta kerajaan. Raja Mughal yang berasal dari Pahang ini kemudiannya memakai gelaran Sultan Iskandar Thani Alauddin Mughayat Shah Johan Berdaulat.

Rujukan:

1. Raja Mohd Afandi (1974). Tokoh-Tokoh Melayu Yang Agung Dalam Sejarah. Dewan Bahasa Dan Pustaka hlmn 80-84

2. M.C. Ricklefs. (1994) A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press.

3. J.M. Barwise and N.J. White. (2002) A Traveller’s History of Southeast Asia. New York: Interlink Books.

4. Rusdi Sufi (1995). Pahlawan Nasional: Sultan Iskandar Muda. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta.

Sumber : thepatriot

Note "Setahu kami, acheh bukan menyerang  sesama muslim dan merampas harta muslim, tetapi menyerang penguasa asing dan talibarut asing yang menjajah tanah melayu. Seperti portugis, brithish dan talibarut keduanya"

Ruju' 👉 Aceh Darussalam Academy supaya tiada unsur manipulasi sejarah yang mengarah kepada adu domba silam.🤝

Pantõn Aceh


Aléh (١ )hai aneuk tungkat abuwa.
miseu huruf ب peuraho  laweung 
Nyoe ت hai adék meutiték dua.
Teuma huruf ث meuji_'ei linteung.

Nyoe ج ngon خ ح keunoeng that lagè.                                 
tincu that ulè meuprut jih cateun.
Nyoe huruf ذ د meupingkoe-pingkoe.
teuduk meuranjoe ban adoe aduen.

Miseu huruf ر parang cah duroe.
Miseu huruf ز parang cah uteun.
di س deungon ش meu gigoe-gigoe.
lagė gögajoe ngoen koh-koh papeun.

Di ص deungoen ض umpama sadeup.
teumpat mat meugup teu eh teulinteung.
Nyoe ط deungoen ظ ureung raya prut.
nibak gurè beut euntreuk tatumeung.

Di ع deungoen غ meutamse uleue.
teungoh 'eu-'eu rab bineh ateung.
Dihuruf ق ف umpama jalô.
atawa peurahô ka meupök kareung.

Teuma huruf ك hai bungong padé.
babat ngon cah gle hana hi  peudeung.
Teuma huruf ل wahé boh hatě.
ban mata kawé hanalé beuneung.

Meunyoe huruf م lagè glang tanoh.
meunan keuh contoh di dalam jangeun.
Tahafai hai neuk malam ngon beungoh.
mangat tatu'oh watę gop yue kheun.

Nyoe ن teulinteung meutalum titék.
Nyoe و hai adék meubungkôk udeung.
Meunyoe ھ èk leuk ban reuhueng bintéh.
Meunyoe لا rampagoe pineung.

Nyoe ء hai nyak  meuduroe kawat.
Nyoe ي saban that iték lague krueng.
Ngon ُوَالسّلام karangan tamat
Meunan geu surat le gurė zameun.

Sumber : Ayah Simuda

Sabtu, 23 Oktober 2021

GERAKAN SEPTEMBER 1953


Pemberontakan Daud Beureueh itu terjadi 21 September 1953. PM Ali Sastro Amidjojo menyebut peristiwa itu sebagai “Peristiwa Daud Beureueh” tapi rakyat Aceh lebih senang menyebut “Peristiwa Berdarah”.

Daud memproklamasikan daerah Aceh dan sekitarnya menjadi bagaia dari Negara Islam Indonesia Kartosuwirjo di Jawa Barat. Gerakan Daud Beureueh didukung oleh hampir seluruh aparat pemerintahan, dari wedana sampai ke camat dan lurah. Namun di Jakarta, PM Ali menyatakan “bukan pemberontakan rakyat Aceh”

Dan toh Ali terpaksa terkejut ketika koran-koran New York, AS, memuat berita tentang usaha memasukkan peristiwa Aceh ke dalam forum PBB. Gerakan ulama-rakyat secara intelektual terkesan low- profile ini sempat pula menyentak perhatian Internasional.

Usaha merebut simpati internasional itu tentu saja gagal. Tapi pemberontakan sempat memakan waktu 9 tahun dan tak pernah terpadamkan. Peristiwa yang telah banyak menelan jiwa dan harta itu  termasuk pembantaian Cot Jeumpa yang menewaskan 99 rakyat tak berdosa berkahir dengan damai.

Daud turun gunung, bukan karena surat Syafrudin Prawiranegara dan M.Natsir – setelah mereka menyerah kepada pemerintah dari pemberontakan PRRI-Permesta melainkan oleh persetujuan Daud Kol. M. Yasin. Yang terakhir ini menjabat Pangima Kodam 1 Iskandar Muda ketika meletusnya pemberontakan.

Lima bulan sebelum pemberontakan, di Medan Daud justru menyerukan kerjasama dengan pemerintah untuk Amar ma’ruf nahi mungkar.

Lalu Mengapa Dia Berontak?
Pemberontakan itu adalah refleksi kekecewaan historis rakyat Aceh. Daud dan kawan-kawan muncul mewakilinya. Sejak pertengahan abad 18, rakyat Aceh telah berjuang melawan Belanda. Menjelang pendaratan Jepang (1942) rakyat di bawah ulama berjuang mengusir Belanda dari Aceh untuk selama-lamanya. Dan ketika Jepang pergi, hanya Aceh satu-satunya daerah Indonesia yang bebas merdeka.

Dalam posisinya yang strategis ini  toh Aceh menolak seruan Belanda membentuk Negara Sumatera. 

Daud yang pada waktu itu menjabat Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan tanah Karo sebenarnya bisa bertindak leluasa. Tapi dia bahkan menganjurkan rakyat membeli obligasi yang dikeluarkan guna menutup kebangkrutan pemerintah. Pembelian itu dilakukan rakyat dengan menjual kebun, sawah dan ladang serta perhiasan yang ada pada mereka.

Hasilnya dipakai sebagai biaya pemerintahan PDRI dan menggaji staf Angkatan Laut dan Angkatan Udara RI yang – oleh alasan keamanan terpaksa bermarkas di Kutaraja, Aceh. Bahkan biaya perjuangan Dr. Sudarsono (Ayah  Dr. Yuwono Sudarsono) ke India dan L.N Palar ke PBB, juga dibiayai oleh rakyat Aceh.

Tidak sedikit dollar yang mengalir dari Aceh ke India dan New York demi Indonesia Raya. Rakyat Acehlah yang menyumbangkan hartanya untuk membeli dua pesawat terbang, hanya karena dua patah-kata dari Soekarno ketika berkunjung ke Aceh (1947). “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antarpulau.”

Permintaan ini dipenuhi rakyat hanya dalam tempo satu hari. Uang untuk membeli pesawat itu telah tersedia. Itulah sebabnya Soekarno menyebut Aceh sebagai “Daerah Modal” dan karena itu juga, Syafruddin Prawira Negara, wakil PM  (1949) menunjuk Aceh sebagai daerah “provinsi.”

Tetapi kegembiraan itu tidak lama. Justru setelah penyerahan kedaulatan, Provinsi Aceh dibubarkan dan Aceh hanya menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. 

Keruan saja, sikap semacam ini menimbulkan kemarahan rakyat Aceh. Terlebih kemarahan ini dijawab pemerintah dengan latihan Mobrig secara besar-besaran di Aceh. Tampaknya pemerintah ingin melakukan tekanan psikologis terhadap rakyat Aceh dengan show of force-nya itu.

Latihan itu bukan tanpa reaksi. Berbarengan atau beberapa saat setelah latihan itu, muncul pula latihan pramuka di seluruh Aceh yang dilakukan anak-anak Aceh. Suatu usaha unjuk gigi untuk menyatakan tidak gentar melawan tentara. Keadaan semakin runcing oleh tindak penggeledahan rumah-rumah.

Anehnya justru rumah para ulama lebih banyak yang digeledah. Termasuk rumah Daud Beureueh. Dan karena perundingan pemerintah pusat dengan Aceh selalu mengalami deadlock,  Daud Beureueh dan kawan-kawan berontak mewakili kekecewaan historis masyarakat Aceh.

sebenarnya pemberontakan itu tak perna terjadi andaikata pemerintah cukup memahami aspirasi masyarakat Aceh. Yakni memberikan otonomi bagi Aceh untuk mengatur hukum-hukum Islam berlaku di sana, sesuai dengan Piagam Jakarta. 

Tapi justru itulah yang tidak dipahami baik oleh Gubernur Sumatara Utara maupun pemerintah pusat. Bahkan tindakan kekerasan Pemerintah dianggap turut mendorong Daud Beureueh dan kawan-kawan naik gunung.

Daud Beureueh telah lama turun gunung. Tokoh yang bila dilihat dari sudut non-politis berhasil menggalang partisipasi masyarakat dalam membangun – bukan hanya masjid – jalan-jalan raya sepanjang 28 km dan jaringan irigasi seluas 122 km tanpa bantuan pemerintah  itu, telah tua-renta.

Dan bukan atas kemauannya sendiri, Daud disinggahkan ke Jakarta selama beberapa tahun. Berdiri terbungkuk dengan sepotong tongkat, ia manatap Indonesia dengan nanar. Dibenaknya masih teringat sebuah lagu perang:

“Hateebeu teutap beusenggoh-sunggoh/Surak beurioeh hai pahlawan/Dum geutanyoe pahlawan gagah/Ta manou darah cit ba’ masa prang.”(fahri Ali Tempo 1982)

Isnin, 11 Oktober 2021

ACHEH SUDAH BERDAULAT SEBELUM NKRI DIBENTUK.

Bila Bangsa Aceh Bersatu dan menuntut Kedaulatannya kembali ke dunia Internasional Itu Sah – Sah Saja, dikarenakan Bangsa Aceh tidak pernah berontak pada NKRI, karena bukti sejarah mengatakan seperti itu. Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Aceh, kita sering mendengar istilah ‘pemberontakan rakyat Aceh’ atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah terutama dari Jawa dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI. Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya dan ini fakta sejarah bahwa Aceh sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda. 

NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan  Aceh sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan Qanun-nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah. Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20 ?  Aceh merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya. 

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam. Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat. Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belum lah mampu melakukannya. Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sendari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Jumaat, 17 September 2021

SEJARAH AWAL PERJUANGAN ISLAM BANGSAMORO DI SELATAN FILIPINA

Kisah tentang penindasan Bangsamoro, boleh kita mulakan dari satu nama yang dianggap satu dari seratus manusia paling berpengaruh,  oleh Michael Hart. Namanya Ferdinand Magellan (1480-1521), seorang yang mendapat sematan nama sebagai penjelajah besar yang mengelilingi dunia. Michael Hart mengarungi dunia dengan membawa lima kapal, 265 awak-awak/anak kapal selama hampir tiga tahun. Dalam kurun waktu itu, yang berhasil kembali dengan selamat hanya satu kapal, dan 18 anak buah kapal yang hidup selamat. Ferdinand Magellan sendiri termasuk yang tewas di tengah perjalanan.

Pada tahun 1509, ekspedisi Ferdinand Magellan sampai di wilayah Nusantara. Ternyata tak hanya ekspedisi, Ferdinand Magellan juga membawa misi lain, iaitu kolonialisasi Sepanyol dan misi Kristinisasi. Terjadi pertempuran di wilayah Malaka, karena rakyat menolak kedatangannya. Pada tahun 1521, ekspedisi ini diteruskan dan mereka berjaya menjejakkan kaki di kepulauan Filipina. Proses Kristianisasi dan kolonialisasi langsung terjadi di negara tersebut.

Raja Humabon, bersama rakyat Cebu berjaya dimurtadkan dari agama Islam dan dikristiankan. Bahkan Ferdinand Magellan menggelarkan bahwa rakyat Cebu adalah warga Tuhan Spanyol. Di wilayah Utara proses Kristianisasi terus berlangsung dengan lancarnya. Tapi ketika sampai di wilayah Selatan Kepulauan Filipina, terutama di Mindanao dan Sulu, rakyat yang sebahagian besar telah menjadi Muslim sejak lama memberikan perlawanan yang sengit meski dengan senjata sederhana.
Program Gold, Glory and Gospel terhenti di wilayah selatan Filipina, seperti Mindanao dan pulau-pulau di sekitarnya. Kaum Muslimin melakukan perlawanan dengan gigih dan berani, meskipun Sepanyol menyerang mereka dengan senjata canggih.
               Pejuang-pejuang BangsaMoro

Jauh sebelum Ferdinand dan penjajah Sepanyol membawa agama Kristian ke negeri ini, hampir sebagian besar penduduk kepulauan Filipina telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Jejak keislaman mereka, bahkan hingga kini masih ada dan tak mampu dihapuskan oleh penjajah. Nama ibukota Filipina misalnya, Manila diambil dari kata bahasa Arab, Amanullah yang berarti negeri Allah yang aman. Bahkan di wilayah ini pernah berdiri kerajaan Islam yang bernama Kerajaan Tondo.
        BangsaMoro adalah pelaut yang hebat

Seperti halnya Indonesia, Filipina adalah sebuah negara yang terdiri dari kepulauan dengan jumlah yang sangat besar. Tak kurang 7107 pulau berada di dalam teritorial Filipina. Islam telah berkembang di wilayah ini sejak abad ke-14. Ertinya, jauh sebelum masa itu Islam telah menjejakkan kakinya dan memberikan sentuhan dakwah pada penduduk setempat. Sampai pada satu titik, seorang raja yang sangat ternama di Manguindanao bersyadahat dan memeluk Islam. Kekuasaan sang raja membesar sampai ke Davao, Tenggara Mindanao dan Islam pun kian menyebar sampai ke Pulau Lanao, Zamboanga dan hampir ke seluruh daerah garis pantai kepulauan Filipina. Tapi ada juga legenda yang menyebutkan, Islam pertama kali dibawa oleh seorang sufi bernama Karim al-Makdum yang berlayar dengan mangkuk besi, boleh berjalan di atas air dan dikhabarkan boleh terbang oleh disebabkan karomahnya.

Sejarah mencatat, ulama-ulama Indonesia berperan besar dalam penyebaran Islam di Filipina. Bahkan disebutkan, seorang pangeran dari Menangkabaw atau Minangkabau bernama Baguinda adalah salah satu pendakwah Islam di wilayah ini, terutama di Sulu, Zamboanga dan Basilan. Kerana itu, tak hairan jika sampai hari ini kita boleh mendapatkan banyak kemiripan antara Indonesia dan Filipina, terutama di wilayah Selatan. Wajah dan postur tubuh, tak jauh berbeza. Bahasa dan kata, banyak yang sama. Contohnya, untuk hidung, mereka menyebutnya hidung. Telinga bergeser sedikit menjadi inga. Kita bahkan menggunakan kata yang sama untuk pintu, kanan, murah, mahal, gunting, balai, aku, kita dan masih banyak kata sama lainnya.

Islam pernah menjelma sebagai kekuatan besar di wilayah Filipina, dan diwakili oleh Kesultanan Sulu. Wilayah kekuasaan Sulu membentang dari Mindanao hingga Sabah di Malaysia. Kesultanan Sulu dipimpin oleh Sharif al-Hasyim Syed Abu Bakar yang menikahi putri Raja Baguinda dan kemudian mendapat gelar Paduka Maulana Mahasari. Sejarah Kesultanan Sulu menerangkan, Sharif al-Hasyim masih memiliki darah keturunan Rasulullah dari Bani Hasyim.
Dari wilayah inilah perlawanan berlangsung dengan sengit ketika penjajah Sepanyol menunjukkan kuku dan taringnya. Tak jauh berbeza dengan yang terjadi di Indonesia, penjajah Spanyol memecah belah persatuan umat Islam dan memberikan stigmatisasi yang buruk. Mereka menyebut orang-orang Islam di Filipina Selatan dengan sebutan Moro yang diambil dari kata Moor yang merujuk kaum Muslimin dalam sejarah Perang Salib.

Suku-suku diadu domba dengan pengaruh dan kekuasaan. Para Datuk yang menjadi penguasa dirasuah dengan pelbagai keuntungan serta hasutan perang suku. Tapi ada satu kekuatan yang ternyata mampu menyatukan mereka, dan itu adalah Islam. Agama Islam datang ke Filipina bukan dengan alasan penguasaan dan perampasan kekayaan, tapi dibawa dengan damai oleh pedagang dan pendakwah. Berbeza dengan Katholik yang disebarkan sebagai tulang punggung penjajahan Sepanyol.
              Tentera Islam BangsaMoro

Nama Filipina pun muncul dengan semangat penjajahan. Seorang awak kapal Sepanyol yang bernama Bernardo de la Torre memberi nama kepulauan ini dengan sebutan Filipinas, sebagai penghormatan kepada putra mahkota Sepanyol kala itu yang kelak bergelar Philip II. Kebencian orang-orang Sepanyol karena pernah ditaklukkan di Andalusia, rupanya terbawa sampai ke wilayah Nusantara. Bahkan ketika Philip II berkuasa, dalam suratnya yang dikirim untuk Conquisatador Legazpi, Raja Philip II mengizinkan penduduk Muslim diperbudak dan dirampas hartanya. Kebijakan ini hampir merata pada seluruh kepemimpinan Sepanyol di Filipina. Mereka menyebarkan kabar bahwa Islam ini adalah agama bid’ah, Islam adalah ajaran setan, kaum Muslimin adalah pembawa wabah penyakit dan lain sebagainya. Pendeta Jesuit Pio Pi menggambarkan kaum Muslimin sebagai bajak laut. Bahkan Pendeta Francisco Ducos pendakwah kristian di Illagan mengetuai pasukan militer dan selama tujuh tahun memerangi penduduk Muslim. Tapi kekuatan bersenjata Sepanyol yang demikian besar dan motivasi agama yang dikobar-kobarkan serta dicanangkan pemimpin Katholik, tak mampu menaklukkan wilayah Selatan.

Pertembungan kaum Muslimin yang diketuai oleh Sultan Sulu mampu mempertahankan wilayah ini selama peperangan yang berlangsung hampir tiga abad. Dalam peperangan yang panjang ini, terjadi solidaritas tinggi antara kaum Muslimin di seluruh wilayah Nusantara yang meliputi Indonesia, Malaysia, dan juga Brunei. Bahkan pada era 1638, Kesultanan Makassar dan Ternate berperan sangat besar dalam memberikan bantuannya kepada kaum Muslimin di Filipina.

Pada tahun 1638, ketika Gabernor Sepanyol, Corcuera menyerbu Sulu, Sultan Sulu yang bernama Raja Bongsu mendapat bantuan kiriman pasukan perajurit-perajurit Makassar yang gagah berani. Raja Bongsu memerintah sejak tahun 1612 dengan gelar Mawallil Wasit, dan sejak awal dia telah mendapat serangan dari Spaniard. 

Pada tahun 1628 misalnya, 200 perwira Sepanyol dengan 1.600 penduduk setempat yang berhasil dikristiankan menyerang Sulu dengan hebat. Tahun 1629, wilayah Sulu direbut antara Camarines, Samar, Leyte, dan Bohol. 

Pada tahun 1630, kembali Manila Spaniard menyerang, kali ini Jolo menjadi sasaran. Tapi Raja Bongsu berhasil memukul mundur bahkan melukai Lorenzo de Olaso, komandan pasukan dan mereka menarik mundur serangan. Di masa pemerintahan Raja Bongsu inilah terjadi paling banyak peperangan besar antara penjajah Kristen Spanyol dan Kesultanan Islam Sulu.
Perang Sabil, begitu rakyat Sulu menyebut zaman perang melawan kaum kafir Sepanyol. Hampir sama dengan penyebutan di Aceh, Prang Sabi. Tak jauh berbeza kerana sesungguhnya kita serumpun, satu ikatan, bahkan lebih besar lagi, satu akidah: Islam.

Tapi nampaknya perjuangan belum usai setelah Sepanyol berundur dari tanah Filipina. Sepanyol berhasil dikalahkan Amerika dan Sekutunya. Dalam Perjanjian Paris yang ditandatangani 10 Desember 1898, Sepanyol menyeranhkan Filipina kepada Amerika dengan $ 20 juta dolar. Sebenarnya, kelompok-kelompok perlawanan di Filipina pernah mengesahkan kemerdekaan pada 12 Juni 1898, tapi Amerika menolak dan tidak mengakuinya. Maka sejak 10 Desember 1898, Filipina berganti penjajah baru, Amerika Serikat.

 Amerika dikecam banyak negara Barat, kerana melanggar Doktrin Monroe yang menentang kolonialisme dan imperalisme. Tapi Amerika tak ambil pusing dengan semua gugatan dunia. Pada tahun 1919, sebuah delegasi pergi ke Amerika menuntut kemerdekaan untuk Filipina. Namun dengan sombongnya Amerika mengirimkan The Wood Forbes Mission pada tahun 1922 yang mengatakan, “Filipina belum mampu merdeka.”

Pada period berikutnya, Amerika mengalami kekalahan di wilayah Pasifik oleh negara Jepun. Pada tahun 2 Januari 1942, Manila jatuh ke tangan Jepun. Seperti yang diketahui, kekuasaan Jepun hanya setahun jagung. Akhirnya Jepun telah berjya dikalhkan dan Amerika masuk kembali ke Filipina. Pada 4 Julai 1946, Amerika melepaskan Filipina sebagai negeri jajahannya. Meskipun demikian, sampai hari ini Amerika masih meletakkan penjajahan secara halus dengan cara membangun fasiliti ketenteraan di Filipina.

Manuel Quezson menjadi presiden pertama Filipina. Hari itu tercatat sebagai hari kemerdekaan Filipina. Tapi tidak dengan kaum Muslimin di wilayah Selatan, mereka masih terjajah hingga hari ini. Ertinya, kaum Muslimin di Mindanao dan wilayah Selatan Filipina mengalami penjajahan dalam proses yang panjang. Pertama mereka dijajah Sepanyol, lalu Amerika Syarikat, setelah itu Jepun dan kembali lagi pada Amerika. Kini Bangsa Moro dijajah oleh pemerintah Filipina sendiri. Mereka dianiaya, dizalimi, dirampas dan ditindas.
Bendera Moro Islamic Liberation Front (MILF)
      Pejuang Islam Moro di kem tentera

Nasib kaum Muslimin di Mindanao tak pernah berubah, masih sama, terus terjajah. Bezanya hanya satu, kalau dulu, saudara Muslim dari Ternate, Makassar, Brunei, dan Malaysia datang membela, kini pembelaan yang dinanti itu belum tiba. Sekarang saatnya membela Muslim Filipina!

Sumber rujukan:
1.Mindanao News
2.Luwaran.com
3.Wikipedia
4.Buku-buku di MPH

p/s – Semoga perjuangan menegakkan syiar Islam oleh para pejuang Islam Moro akan berjaya suatu hari nant

Rabu, 15 September 2021

System Pendidikan Aceh Sebelum Datangnya Penjajah.

 Zawiyah ( Dayah) Adalah Lembaga Pendidikan Resmi Kesulthan Achèh.

Di masa kesultanan Aceh, sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh pada awalnya melalui pusat-pusat pengaji-an di meunasah atau rumah-rumah, lalu berkembang hingga berlangsung di 'rangkang' (semacam balai-balai -red). Pengajaran paling awal dimulai dengan pengajian al-Qur'an dengan lafal bacaan bahasa Arab yang mengikuti aturan-aturan ilmu tajwid.

Pada setiap kampung di Aceh terdapat satu meunasah yang di sana diadakan pendidikan dasar bagi anak laki-laki. Gurunya adalah teungku imum meunasah yang dibantu beberapa orang lainnya. Di rumah teungku imum pun diadakan untuk pendidikan bagi anak-anak perempuan dan yang menjadi gurunya adalah istri dari sang teungku imum.

Disamping mengajarkan al-Qur'an, sebagian teungku imum juga mengajarkan kitab-kitab Jawi (kitab berbahasa Melayu dengan aksara Arab). Untuk tingkat pemula pendidikan seperti kitab Masailal Muhtadi (memakai sistem tanya jawab, yang dimulai dari masalah tauhid, hukum yang terkait masalah ibadah seperti salat dan puasa).

Selanjutnya kitab pula kitab-kitab yang lebih tinggi, seperti kitab Bidayah, Miftahul Jannah, Sirath Sabilal Muhtadin, Kitab Delapan, dan Majmu '. Bagi yang sudaah pandai membaca kitab-kitab tersebut biasanya akan disebut malem Jawoe ( A'lim Jawi).

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi adalah dayah, biasanya terdapat di dekat masjid. Tetapi ada juga yang berada di dekat rumah teungku(tengku) yang mempunyai dayah itu sendiri. Pelajarannya tentu sudah meningkat pula, misalnya sudah mulai belajar pelajaran sharaf; The learning that about pembahasan word from one words to some words by kaidah-kaidah that were ready to formed and menghafalnya as well. Pelajaran sharaf umumnya berguna untuk melihat asal kata kata dapat menyempurnakan kamus.

Setelah itu baru mempelajari pengetahuan, yaitu tata bahasa Arab. Orang yang sudah menguasai ilmu ini disebut malèm(faham) nahu. Kitab yang dipakai untuk itu dimulai dengan kitab Aljarumiyah, Mukhtasar, Matammimah, hingga akhirnya Alfiyah. Setelah itu mengajar fikih --- yakni pelajaran mengenai hukum-hukum ibadat --- yang dimulai dengan kitab Safinatun Naja, Matan Taqrib. Kemudian Fathur Qarib, Fathur Muin, Tahrir, Iqna, Fathu al-Wahab, Mahally, Tuhfan, dan Nihayah. Baru setelah itu pelajaran pelajaran tafsir al-Qur'an dan al-Hadits.

Lembaga pendidikan dayah di Aceh sudah ada sejak awal berdirinya Kesulthanan Islam pertama di asia tenggara. Popularitas Dayah-dayah tersebut di berbagai wilayah dan sangat memegang peranan penting dalam penyebaran Islam ke berbagai wilayah Nusantara.

Sebelum Belanda masuk, Aceh merupakan daerah kesulthanan. Kesulthanan tersebut menganut keberagamaan sistem keberagamaan Islam, sehingga pendidikan yang berjalan dengan sendirinya adalah pendidikan yang bernuansa Islam. Tempat pendidikannya dimulai terutama di meunasah, rangkang, dan dayah.

Dayah-dayah yang terkenal di berbagai wilayah di Aceh sangat menentukan watak keislaman yang kemudian berkembang.

Pada masa itu, Pusat Pendidikan Tinggi Dayah Cot Kala merupakan pusat pendidikan tinggi Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini banyak berjasa dalam organisasi Islam dengan banyaknya ulama dan alumni yang kemudian menjadi pendakwah Islam sampai ke berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan hingga seberang selat Malaka. Dakwah yang mereka lakukan menstimulasi kerajaan-kerajaan Islam di daerah. Sebut saja seumpama Kerajaan Islam Samudera Pasai, Kerajaan Islam Benua, Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Islam Darussalam, dan Kerajaan Islam Indra Jaya.

Berbagai kerajaan ini akhirnya melebur atau disatukan menjadi satu kerajaan besar pada awal abad ke XVI dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam. Ali Mughayatsyah yang bergelar Sultan Alaiddin Ali Mughayatsyah dinobatkan sebagai sultan (raja) pertama. Ia memerintah dalam rentang waktu 9l6-936 H atau 1511-1530 M.

Karena segala sumber hukum bagi Kerajaan Aceh Darussalam adalah al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas maka dengan sendirinya Islam menjadi dasar pendidikan di wilayah ini. Jadi, kalau Islam telah menjadi dasar pendidikan, maka pendidikan itu tentu saja bertujuan untuk membina manusia-manusia yang sanggup menjalankan ajaran Islam. Qanun Meukuta Alam (disebut juga Adat Meukuta Alam dan kadang-kadang disebut Adat Aceh) adalah sebuah undang-undang dasar kerajaan sebagai penyempurnaan peraturan-peraturan yang telah dibuat sebelumnya. 

Dalam Qanun Meukuta Alam ini diatur segala ihwal yang berhubungan dengan negara secara garis besar, baik mengenai dasar negara, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan dalam negara, dan lembaga-lembaga negara.

Pada masa Ratu Safiatuddin menjadi sulthanah, Qanun Meukuta Alam disempurnakan lagi. Dalam undang-undang tersebut di antaranya tertulis ulama dan raja tidak boleh jauh atau tercerai, sebab kalau ada jarak di antara mereka niscaya binasalah negara. Itu berarti raja dan ulama harus bersama-sama menjadi pimpinan. Dengan kata lain, hal ini dapat ditamsilkan pula bahwa dalam diri seorang penguasa harus ada bersamanya, kekuasaan dan keilmuan.

Dalam Qanun Meukuta Alam edisi "revisi", dibuat juga persyaratan-persyaratan untuk menjadi sultan. Setidaknya ada 21 syarat, di antaranya adil, berhukum dengan yang di ajarkan oleh  Allah melalui rasulNYA, serta seluruh perintah agama Islam. Ada pula 10 syarat untuk menjadi wazir. Syarat itu, misalnya, adalah "alim (paham) pada ilmu dunia dan ilmu akhirat, dapat memegang amanah, tiada khianat". Untuk menjadi qadhi yang ditetapkan dalam qanun ini. Di syaratnya adalah "adil, alim pada pekerjaan dunia dan akhirat dan melihat ia atas pekerjaan yang diserahkan oleh kerajaan kepadanya dan dapat ia berhubungan dengan adil".

Ketika Malaka ditaklukkan Portugis, ulama-ulama dan muballigh Islam dari Malaka pindah ke Achèh, lalu bersama-sama dengan kalangan terdidik kerajaan mendidik calon ulama di dayah-dayah.

Pada masa itu, tingkatan pendidikan dalam Kerajaan Aceh Darussalam terdiri atas:

- Meunasah atau madrasah yaitu  pendidikan permulaan yang terdapat di tiap-tiap gampong (kampung). Di sana anak-anak diajarkan membaca al-Qur'an, menulis dan membaca huruf Arab, cara beribadat, akhlak, rukun Islam, dan rukun iman.

- Rangkang, yaitu pondok-pondok yang ada di sekeliling masjid sebagai asrama. Di sana diajarkan fikih, ibadat, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/umum, bahasa Arab. Buku-buku pelajarannya terdiri dari bahasa Melayu dan bahasa Arab.

- Dayah, terdapat  dalam tiap-tiap daerah,  tetapi ada juga yang berpusat pada mesjid bersama rangkang. Kebanyakannya terdapat terpisah dari lingkungan mesjid dan menyediakan sebuah balai utama sebagai aula yang digunakan sebagai tempat belajar dan tempat shalat berjamaah. 

Di dayah, semua pelajaran diajarkan dalam bahasa Arab dan mempergunakan kitab-kitab berbahasa Arab juga. Mata pelajarannya terdiri dari ilmu fikih muamalat, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu tatanegara, dan bahasa Arab. Terdapat pula dayah-dayah yang mengajarkan ilmu umum seperti ilmu pertanian, ilmu pertukangan, dan ilmu perniagaan (ekonomi).

- Dayah Teungku Chik, yakni satu tingkat lagi di atas dayah dan kadang-kadang disebut juga Dayah Manyang(tinggi). Dayah ini tidak begitu banyak. Di sana diajarkan mata pelajaran antara lain bahasa Arab, fikih jinayah (hukum pidana), fikih munakahat (hukum perkawinan), fikih duali (hukum tatanegara), sejarah Islam, sejarah negara-negara, ilmu manthiq, tauhid, filsafat, tasawuf/akhlak, ilmu falaq, tafsir, dan hadits.

- Jami'ah Baiturrahman. Jami'ah ini terdapat di ibukota negara yang merupakan satu kesatuan mesjid Jami' Baiturrahman. Jami'ah Baiturrahman ini mempunyai bermacam-macam "Daar" yang kira-kira kalau disetarakan sama dengan fakultas. Ada 17 "Daar" yang di-dirikan ketika itu, yakni: (1) Daar al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits), (2) Daar al-Thibb (Kedokteran), (3) Daar al-Kimya (Kimia), (4) Daar al-Taarikh (Sejarah), (5) Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti), (6) Daar al-Siyasah (Politik), (7) Daar al-Aqli (Ilmu Akal), (8) Daar al-Zira'ah (Pertanian), (9) Daar al-Ahkaam (Hukum), (10) Daar al-Falsafah (Filsafat), (11) Daar al-Kalaam (Teologi), (12) Daar al-Wizaraah (Ilmu Pemerintahan), (13) Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan Perbendaharaan Negara), (14) Daar al-Ardhi (Pertambangan), (15) Daar al-Nahwi (Bahasa Arab), (16) Daar al-Mazahib (Ilmu-ilmu Agama), dan (17) Daar al-Harbi (Ilmu Peperangan).

Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah berkuasa (1016-1045 H/1607-1636 M), guru-guru besar  jami'ah tersebut selain terdiri dari ulama-ulama Aceh, juga didatangkan dari luar seperti dari Arab, Turki, Persia, dan India. Berdasarkan catatan yang dapat ditelusuri, tak kurang dari 44 orang guru besar yang didatangkan dari luar negeri pada masa itu.

Demikianlah gambaran pendidikan di Aceh yang dilaksanakan oleh orang-orang terdahulu. Dalam hal ini, ulama dan sulthan memegang peranan penting untuk memajukan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang berbentuk dayah. Mereka mendatangkan guru-guru besar dari luar sehingga taraf pendidikan pun mencapai kemajuan bahkan berhasil melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang diperhitungkan dunia luar.

Begitulah Kerajaan Aceh Darussalam sangat mementingkan ilmu pengetahuan bagi setiap orang, terutama bagi pejabat-pejabat (sultan, menteri, qadhi). Itu benar-benar menjadi suatu hal yang aneh jika Kerajaan Aceh Darussalam kemudian melahirkan ulama-ulama dan sarjana-sarjana bertaraf intemasional sehingga Aceh menjadi terkenal terutama pada masa Sultan Iskandar Muda. Banyak orang dari luar datang ke Aceh untuk belajar.

Wallaahu a'lam.

Rabu, 8 September 2021

Ketika Saudara Jadi Pengkhianat.


Inilah Kami !
yang menentang setiap kebijakan Penindasan, kesewenangan dan ketidak adilan para penguasa negeri ini !

Inilah Kami !
yang kalian Lahirkan dari sebuah Perjuangan panjang sejarah Negeri ini!

Inilah Kami !
yang kalian Anggap sebagai Prajurit yang selalu taat dan Patuh pada Panglima !

Inilah Kami !
yang sekarang kalian adu domba !

Inilah Kami !
yang sekarang Kalian Khianati !

Kami yang lahir dari ujung Kalashnikov
Kami yang Berjuang dengan Sejarah dan Darah
Kami yang sekarang kalian Anggap sebagai Pengkhianat !
Kami yang sekarang berada di balik jeruji dan terali ...
 
Sahabat
Dengarkan kami !
Biarkan Kami !

Ketika Kita dulu sama-sama berteriak Kemerdekaan ..
Ketika Kita dulu sama-sama Memanggul Tandu dalam rimba tuhan ...
Ketika Kita dulu sama-sama meronta dalam dingin nya malam ...

Hari ini,
Kalian Hapus semua Ingatan ...
Kalian Hancurkan semua impian dan harapan ..
Kalian Jadikan Kami Bumerang !

Sahabat,
Genderang Perang akan berbunyi
Kita adalah kesatria sejati 
Yang tersisa
Yang dibesarkan oleh gelombang kehidupan
Gelorakan semangat perjuangan
Walau kita berada dibalik jeruji besi
Katakan pada semua orang
Bahwa kita telah dikhianati oleh kawan seperjuangan

lihatlah kebelakang disaat engkau merasa sendiri dan di tinggalkan !
Tunggu kami Penguasa !
Yakinlah Kekuatan Kami sebagai Rakyat laksana Kekuatan lebah yang melindungi sarangnya.

Inilah Kami yang Kalian Khianati !!

Source Are Lando

Ahad, 5 September 2021

GAMPONG PANDE TITIK NOL BANDA ACEH



Nisan-nisan itu membisu.

Menyisakan jejak raja diraja kerajaan Aceh yang sudah berkalang tanah.
Kuta Raja, kotanya para raja itu kini telah menapaki usia 810.

Adalah Gampong Pande, sebuah desa yang hanya terpaut sekitar 1 Km dari jantung kota yang menjadi cikal bakal kota yang kini berganti nama menjadi Banda Aceh.(dulunya Kuta Raja)

Kompleks Makam Tuan di Kandang, Putro Ijo, dan Kompleks Makam Raja-Raja Gampong Pande menjadi tempat peristirahatan terakhir yang mengingatkan akan kemasyhuran Kerajaan Aceh pada masa lampau.

Tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh pada pengujung 2004 telah mengubur sebagian bukti sejarah desa yang pada masa itu dikenal sebagai perajin emas dan pandai besi.

Manuskrib kuno hingga bangunan yang telah ada berabad abad lampau lenyap ditelan tsunami.

Kini jejak kegemilangan yang mencapai puncaknya pada masa kesultanan Iskandar Muda itu sesekali masih menyilaukan sinarnya melalui temuan koin emas, porselen, hingga pedang VOC yang menggegerkan Aceh dan dunia arkeologis.
------------------------------------------

Info lainnya tentang sejarah aceh, ikuti page Facebook Mapesa

Sabtu, 4 September 2021

FAMILI DI TIRO DALAM KAJIAN SEJARAH


Oleh Yusra Habib Abd Ghani

FAMILI di Tiro, bukan saja penyandang predikat Ulama, tetapi juga sebagai pejuang yang gigih mengusir penjajah Belanda dari Aceh. Hal ini dimulai dari karir politik Tengku Tjhik di Tiro Mhd. Saman, yang dilantik oleh Majlis Negara: Tuanku Hasjém; Teuku Panglima Polém; Tengku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abèë sebagai Kepala Negara pada tahun 1875, menggantikan Mhd. Dawud Shah yang waktu itu berusia 9 tahun dan dinilai tidak layak memimpin negara dalam keadaan perang. 

Di bawah pimpinan Thjik di Tiro Mhd. Saman, TNA berhasil mengurung serdadu Belanda selama 12 tahun [tahun 1884-1896] dalam suatu kèm yang Belanda namakan ”geconcentreerde linie” (kuta meusapat). J. Kreemer, dalam: „Atjeh“ menulis: „Dia telah memerintahkan membangun benteng-benteng kecil di sekeliling kota dimana kami terkurung semua, bahkan kalau boleh di pelupuk mata kami, sehingga mereka telah mengurung kami dengan kekuatan senjata.“ Strategi militer yang taktis dan kendali politik sudah berada di tangan Acheh.

Hanya saja, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terlalu toleran, memberi peluang kepada musuh untuk menyerah secara terhormat dengan tidak mesti membunuhnya. Dalam rentang masa 12 tahun itulah, terjadi diplomatic correspondence antara Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan pemerintah Belanda. Kepada serdadu Belanda yang terkurung disarankan supaya:
1. Menyerah kepada tentara Acheh dengan sukarela;
2. Dapat menetap dan bisa berdagang di Acheh;
3. Masuk Islam secara sukarela (tidak ada paksaan);
4. Mengakui dan patuh kepada pemerintah dan hukum negara Acheh.

Sehubungan dengan itu, Kabinet Belanda yang bersidang pada 15 Agustus, tahun 1888, memberi jawaban dengan menolak tawaran negara Acheh. (Tengku di Tiro Muhammad Hasan, LL.D, „Atjeh Bak Mata Donja“, hlm. 37-39, 1968. Institut Atjeh di Amerika.)

Ke-empat syarat yang ditawarkan, merupakan bukti nyata keagungan moral bangsa Acheh kepada musuh. Kompromi politik dan militer sebetulnya hanya terjadi, jika kuasa politik dan militer, mutlak sudah di tangan Aceh. Belanda perlu masa tiga tahun untuk memberi jawaban terakhir. Selama itu, pakar psikology perang Belanda menyusup dan meneliti karakteristik orang Acheh dan menyimpulkan: Acheh adalah bangsa yang memiliki sifat jujur, ikhlas, baik hati, pema’af, gila gelar, pangkat dan harta.
Keberagaman sifat ini, dimanfaatkan Belanda untuk kepentingan politik dan militer.

Misalnya, para Ulèëbalang di sekitar kèm disogok, diberi gelar dan pangkat dengan maksud agar tidak menyerang mereka. Disamping itu, Belanda mengulur waktu dan terus berunding. Akhirnya, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terperangkap dalam perang urat saraf yang licik. Hasilnya, Belanda secara rahasia memperalat seorang perempuan asal Sibrèh, supaya mau membunuh Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan cara membubuh racun dalam makanan. Belanda berjanji memberi emas batangan kepada pelaku. Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman akhirnya meninggal karena diracun pada 25. Januari tahun 1891. Kepada perempuan (pengkhianat) ini, Belanda hadiahkan peluru di kepalanya sampai mati. Logikanya sederhana: kepada bangsanya sendiri mau berkhianat, konon lagi kepada mereka [Belanda].

Dalam suasana berkabung, serdadu Belanda berhasil memperoleh pasokan senjata beserta 5000 serdadu asal Jawa dan Madura untuk mengepung kubu-kubu pertahanan TNA. Maka, pada 26. Maret 1896 meletus perang “Aneuk Galong” yang amat dahsyat. H.C Zentgraaf melaporkan: “Bangsa Acheh berperang seperti singa, ramai yang memilih mati dalam kota yang terbakar hangus, daripada menyerah. Perang ini adalah perang main cincang dengan senjata di tangan, pertarungan satu lawan satu yang amat dahsyat, tidak ada yang minta ampun dan memberi ampun…Diantara yang mati dalam perang ini ialah Tengku Thjik di Tiro Mhd. Amin [pen: penerus Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman (tahun 1891–1896)]. Mayat beliau diselamatkan dan dibawa oleh orang Acheh ke kampung Mureue, di sanalah beliau dikuburkan.”

Posisi Tengku Thjik Mhd. Amin di Tiro sebagai kepala negara, selanjutnya dipegang oleh Tengku Thjik Ubaidillah di Tiro (1896–1899). Malangnya, hanya menjabat kepala negara selama tiga tahun. Beliau mati syahid dalam medan perang tahun 1899. Pimpinan tertinggi negara diteruskan oleh Tengku Thjik Lambada di Tiro (1899–1904). Dalam suatu peperangan yang sengit, beliau mati syahid. Estafet kepemimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Muhammad Ali Zainal Abidin di Tiro (alias Tengku Bukét). Beliau juga syahid dalam medan perang Gunung Alimon yang meletus pada 21. Mei 1910 (1904–1910). Sesudah itu, pimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Mahjédidin di Tiro.

Ketika itulah, Belanda coba membuka rundingan. Untuk itu, Tuanku Radja Keumala, Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polém Muhammad Dawôd, disuruh Belanda menulis dan mengirim surat kepada Mahjédidin di Tiro supaya menyerah kepada Belanda. Ahli sejarah Belanda menulis: ”surat tersebut sudah diterima oleh Tengku Majét dan kita tahu bahwa beliau mengadakan musyawarah dengan ketiga orang yang sudah menyerah tersebut beserta dengan panglima-panglima lain. Tidak seorangpun diantara mereka yang mau menyerah. Tidak seorangpun yang mau meninggalkan perjuangan: semua mereka tetap bertekad untuk berperang sampai pada titik terakhir, dan sudah siap sedia menerima semua resiko apapun sebagai akibat daripada perjuangan ini sebagai kehendak daripada Allah”. Tengku Mahjédidin di Tiro tidak bergeming dari pendidiriannya dan mati syahid dalam medan perang Alue Simi, pada 5. September 1910.

Pada waktu itu, Tengku Ma’at di Tiro (16 tahun) meneruskan amanah kepemimpinan demi perjuangan dan memelihara prestige famili di Tiro. Beliau pernah ditawari Istana, wanita dan fasilitas hidup seumur hidup di Arab Saudi. Tetapi semua tawaran Belanda ditolak mentah-mentah. Beliau lebih memilih mati syahid daripada menyerah dan menginjak Istana musuh. Dalam medan perang Alue Bhôt, pada 3. Desember 1911, beliau gugur sebagai syuhada. Inilah komentar Pengarang Belanda: ”Kisah kematian Tengku di Tiro yang terakhir ini memberi bahan kepada suatu roman sejarah; begitulah, sudah tertanam dalam riwayat perang Acheh untuk menjadi bahan sejarah kepahlawanan yang begitu kuat dan luar biasa dan begitu kayanya, sehingga tidak ada lain lagi yang dapat memberi kebanggaan dan kebesaran kepada suatu bangsa.”

Famili di Tiro telah memperlihatkan keteladanan yang indah dan mengagumkan, sehingga bisa menjadi pelajaran kepada bangsa Acheh dan musuh. Colonel H.J. Schmidt mencatat: “Dari sejak permulaan perang, famili Tengku di Tiro telah memainkan peranan penting yang luar biasa bagi rakyat Aceh. Di sini, tidak ada pilihan lain kecuali: memenangkan peperangan atau mati sebagai pahlawan. Kemenangan sudah terang tidak mungkin dan tidak bisa diupayakan. Tidak, walaupun mereka berdiri tegah dan berperang seperti hero. Kendati rintangan melintang, seorang Tengku di Tiro tidak akan mengakui kemungkinan lain, kecuali memilih mati.

Maka, demi perang ini, segalanya sederhana, singkat dan kendala: dimana Tengku di Tiro yang terakhir mati syahid dalam medan peperangan... dan pemandangan ini tidak bisa dipungkiri dalam drama kelangsungan bangsa Aceh, bahwa bermula dari sekarang, tidak dapat berkiprah lebih lama lewat jalan lain.” (Marechaussee in Atjèh, 1942) Inilah pengakuan musuh terhadap famili di Tiro. Lebih jauh dikatakan: “Darah Tengku di Tiro sudah terlalu banyak tumpah. Kasihan kepada anak muda ini. Sebab itu diupayakan untuk menyelamatkan nyawanya; tapi tidak mudah, sebab tidak mau kompromi. Kita sudah memberi jaminan hidup dan status social, tapi semua ditolak mentah-mentah…. Ini sudah cukup, lebih dari cukup.”(H.C Zentgraaff, Atjèh) Sejak itu, famili Tengku di Tiro pudar dari pentas politik. Rentetan peristiwa dalam sejarah perjuangan famili di Tiro sampai 1911, terjawab sudah!

Genap 85 tahun kemudian, barulah Tengku Hasan M. di Tiro bangkit memproklamirkan Aceh Merdeka [04/12/1976] sebagai negara sambungan –successor state– yang terputus sejak 3. Desember 1911. Kini giliran Tengku Hasan M. Di Tiro tengah dalam ujian sejarah. Antara tahun 1873–1875, issue tentang Aceh gempar dalam Sidang Parlemen British, Belanda, Turki, Perancis, tidak terkecuali Gedung Putih (USA) atas serangan Belanda ke atas Aceh –negara merdeka– dan negara sahabat mereka, yang tahu membedakan antara Netherlands East Indie [NKRI] dan Aceh. Pada tahun 2005, issue Aceh gempar di Helsinki, karena GAM [baca: Aceh] menuntut jatah serpihan demokrasi, sesudah terlebih dahulu mengaku bahwa Aceh satu bagian dari NKRI dan taat kepada konstitusi positif Indonesia. Negara-negara yang sebelumya sahabat Aceh, sekarang mendukung Otonomi Aceh di bawah NKRI.

Sebagai pemimpin tertinggi GAM, inilah saat yang tepat –selama berada di Aceh– Tengku Hasan M. di Tiro menjelaskan kepada rakyat Aceh dengan terus terang tentang: keabsahan Aceh menerima Otonomi khusus [self-government] dalam NKRI atau masih menuntut kemerdekaan Aceh yang beliau proklamirkan 4/12/1976. Hal ini penting demi masa depan dan kemaslahatan rakyat Aceh.

Apalagi, Tengku Hasan M. Tiro dalam surat yang ditujukan kepada Tengku Muhammad Mahmud (Abang kandung Dr Zubir Mahmud –Menteri Sosial Aceh– (yang dilantik oleh Tengku Hasan di Tiro tahun 1976) mengatakan: ”... Saya bertanggungjawab di hadapan Allah atas matinya ribuan bangsa Aceh dalam revolusi ini…”.

Saksi dalam perkara ini ialah: saya sendiri, Bakhtiar Abdullah, Musanna Abdul Wahab dan Iqlil Ilyas Leubé. Jadi, kalau bukan sekarang, kapan lagi para korban konflik dan ahli waris menagih tanggungjawab itu. Dari surat politik pakai kop ASNLF yang dikirim kepada Yusuf Kalla (Wapres RI), adalah suatu indikasi bahwa beliau masih tetap komitmen dengan pendirian semula. Dalam soal ini: jangankan surat kepada pemimpin negara asing; surat-menyurat yang dikirim Wali Negara kepada saya sendiri pun, selalu beliau pakai kop resmi ASNLF. Beliau tahu benar menempatkan diri. Hanya saja staf terdekat beliau kerap bermain di belakang layar. Misalnya: Malik Mahmud mengirim surat susulan kepada Yusuf Kalla tanpa kop ASNLF dengan redaksi yang sama. Ini ’diplomatic correspondence’ yang a’ib dalam dunia diplomasi.

Contoh lain. Pembohongan telah berlaku atas diri beliau antara rentang masa Januari-Juli tahun 2005, dimana juru runding GAM memberi komentar: “semua perkembangan yang terjadi di meja runding [di Helsinki] tetap dilaporkan kepada Wali Negara.” Ternyata, draft MoU Helsinki baru diketahui dan dibaca oleh Tengku Hasan di Tiro pada jam: 18.30 tgl. 05/08/2008. [bukti dokumen ada di tangan saya] Dalam dunia politik, tidak mustahil terjadi pengkhianatan.

Kisah lain lagi, yang masih segar dalam ingatan saya, yakni: ketika Tengku Hasan M. Di Tiro mengirim surat bernada mengadu kepada saya yang isinya sangat memeranjatkan: ”... Sdr. Yusra..., siapa yang akan menggantikan jika saya meninggal dunia nanti. Orang-orang terdekat dan saya percayai sudah nampak tanda-tanda akan mengkhianati saya...”

Bakhtiar Abdullah dan Iqlil Ilyas Leubé menangis terisak-isak saat saya perlihatkan surat rahasia ini dan kemudian memeranjatkan Zakarya Saman dan Malik Mahmud. Ini terjadi pada pada Desember 1993. Tentang hal ni, dalam Artikel: ”Kunci-kunci Idelogo Aceh Merdeka” sudah beliau bayangkan. Famili Tengku di Tiro memang rencam dengan kepelbagaian pengalaman yang pahit dan manis.

Namun, Tengku Hasan M. di Tiro tetap mengingatkan: ”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”

”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”

Dalam perjalanan menuju Aceh, wartawan RCTI bertanya: ”apakah Tengku mendukung perdamaian? Beliau jawab: ”Tentu..., tentu” Bahkan kata beliau: ”Saya ingin Aceh selamanya damai” [Serambi Indonesia, 12/10/08]. Betapa tidak, damai adalah sunnah. Yang menolak damai berarti mengingkari Sunnah. Tetapi dalam doktrin GAM, damai bukan substansi perjuangan, oleh sebab itu soal satus Aceh, batas wilayah, bendera, logo, struktur pemerintahan dan TNA tidak semudah itu dilebur. MoU Helsinki bukanlah “Surat Keramat” yang bisa dipakai oleh juru runding atau Wali Negara sekali pun untuk menggadai Aceh kepada pihak mana pun dengan dalih apa pun. Ianya milik rakyat yang perubahannya mesti atas persetujuan rakyat melalui referendum.

[Teks tambahan: Buat apa damai kalau Aceh tergadai? ”... jadikan perang untuk damai, tetapi damai yang menang...,” kata Nietzsche dalam bukunya yang masyhur, Zarathustra. Tengku Hasan di Tiro suka mengutip ucapan Nietzsche dalam caramah politiknya.]

Kalaulah Tengku Hasan M. di Tiro berkata: “Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa perjuangan tersebut, tidak mungkin kita bisa membina hubungan dengan negara lain, seperti yang terjadi sekarang ini.” [Serambi Indonesia, 6/10/08]. Artinya, Sultan Aceh [pemimpin tertinggi negera] dalam sejarahnya, belum pernah ada seorang pun yang berkhianat kepada bangsanya. Inilah pelajaran yang didapat dari sejarah.

Akhirnya, “Bangsa Acheh sudah tentu akan memperlihatkan bukti jati dirinya bahwa mereka bukan suatu lawan yang dapat dihina. Orang Acheh adalah suatu bangsa beradab dari zaman dahulu, yang biasa berperang, sesekali menang, kadangkala kalah, tetapi biar pun menang, biar pun kalah, tidak pernah diperoleh tanpa kemuliaan ... Bangsa Acheh memang selalu terkenal karena gagah berani dan tahu menempatkan diri, lebih daripada bangsa-bangsa lain di sekeliling negara Acheh.“ Suratkabar The London Times, 29 April 1873.

Dalam konteks ini, maka Tengku Hasan M. Di Tiro sedang diuji untuk menentukan, apakah beliau mengikuti pendirian famili Tengku di Tiro sebelumnya atau sebaliknya. Sejarah akan mengukir dan mengadili. Sejarah adalah Mahkamah yang paling adil dalam peradaban manusia. Di bawah sinar Matahari, tidak ada peristiwa yang mustahil terjadi. Wallahu’aklam bissawab![]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research.
[Tabloid KONTRAS Banda Aceh, 16/10/08]

Rabu, 1 September 2021

Jadilah Diri Sendiri

Jadilah diri sendiri, untuk mendapat kawan sejati.

Jikalau orang tidak suka, maka mereka benar bukan orang yang kita kehendaki.
Jikalau orang suka, maka itulah sahabat sejati.

Menjadi orang lain, maka suka dan benci orang adalah untuk orang lain.

Dan kepura-puraan akan merubah benci menjadi suka, dan merubah suka menjadi benci.

Contoh, kita menyukai jengkol tapi berpura² suka durian. Maka kita post lah pasal durian di fb, tentu yang merapat kawan pecinta durian. Tapi pas ketemuan, di jamu makan durian malah kita tolak. Maka bermula lah dua kebencian. Kebencian pertama karena menipu, kebencian kedua karena menjamu orang yang salah.

Oleh itu, selfilah sebatas kemampuan diri, tak perlu berlebih² dan jangan pula terlalu merendah diri. Kerena kepalsuan akan berakhir dengan cacian dan di tinggal pergi. Dan berlebih-lebihan nanti malu pulang kampung sendiri. 😂

Inilah ane, hanya buruh kasar yang miskin kere. Anak pak tani di lereng perbukitan pasèe. 😊

Jumaat, 27 Ogos 2021

Perjuangan


hidup adalah perjuangan. 
Agama adalah kehidupan. 
Tanpa agama tiadalah kehidupan.
Karena asal kehidupan di buat untuk beragama. 
Dan kecewa adalah kekufuran.

Bagaimanakah orang kecewa itu, mereka adalah orang² yang menambah kekufuran atas kekufuran dan berhenti berjuang untuk menjadi baik.

Setiap perjuangan adalah ibadat.
Baik itu perjuangan mencari nafakah sesuai tuntutan agama dan mengatur negara dengan undang² agama.

Dan hidup adalah untuk ibadah.
Setiap usaha mengimplementasikan undang² agama dalam setiap aktivitas adalah ibadah.
Sekalipun cara mandi tadi pagi dan cara berkoment di medsos.

Apa lagi untuk mengimplementasikan undang² agama dalam kehidupan berumah tangga dan dalam negara.

Kesimpulan, hidup adalah untuk perjuangan.
Setiap menit tanpa sunyi dari perjuangan.

Hanya orang² yang kurang paham tujuan hidup yang tidak mengerti perjuangan.

Sedangkan musuhnya adalah kafir dan syaithan.
Jika tanpa serangan dari kuffar bukan bermakna tiada serangan dari syaithan.

Maka, perjuangan tidak pernah sunyi dari detak jantung dan gerak detik jam.

Selamat berjuang.
Dan kemenangan ada ketika pencabutan ruh.
Disana menentukan, kafir atau muslim. Golongan bahagia atau murka.

Khamis, 26 Ogos 2021

Andaikan GAM Kalah dan Berhasil Ditumpas


Sepanjang era 1992 hingga 1995, setidaknya ada enam orang lelaki dewasa yang tidak saya kenali, singgah di rangkang kami yang dibangun oleh almarhum Bapak di tengah ladang. Saya tidak mengenali satupun di antara mereka. Bapak juga tidak pernah bercerita.

Jikalau saya tidak salah ingat, setiap kali tamu-tamu itu beranjak pergi, seusai makan siang, mata tetamu itu sembab. Bahkan saya sempat mendengar isak yang luar biasa dari dalam rangkang gle. Bila tamu-tamu itu datang, Bapak melarang kami berteduh di bawah rangkang yang terbuka itu. Otomatis, aksi “spionase” tidak bisa saya lakukan. Karena harus berteduh di bawah pohon kelapa yang masih berusia muda, kala itu.

“Mereka pengikut Hasan Tiro. Kalau kata Pak Camat, mereka itu adalah GPK,” terang Bapak kepada Ibu.

“Lalu kenapa Bapak terima? Apakah itu tidak berbahaya bagi kita dan anak-anak?” Sergah Ibu, kala itu.

“Entahlah. Yang Bapak tahu mereka tidak seperti yang dicitrakan oleh Pemerintah di koran-koran. Bahkan tiga dari tamu kita itu bukan GPK, cuma korban fitnah dan kini diburu oleh Kopassus,” imbuh Bapak.

Saya mendengar itu kala Bapak dan ibu terlibat perbincangan serius pada suatu malam. Dialog suami istri itu sembari berbisik. Beruntung, karena penasaran dengan kehadiran “orang asing” ke kebun, jiwa spionase saya telah memberikan keuntungan.
***
Tidak mudah menjadi anggota Gerakan Aceh merdeka (GaM) atau kala itu dikenal dengan Aceh Merdeka (AM) atau oleh Pemerintah Indonesia menyebutnya Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Foto-foto pentolan AM disebar di berbagai sudut kota kabupaten hingga kecamatan. Dicari hidup atau mati, demikian tulisan di pamflet itu. Wajah-wajah itu adalah Hasan Tiro dan kabinetnya.

Hasil propaganda pemerintah kala itu, telah berhasil membangun image bahwa GPK adalah kelompok penjahat yang kejam, tidak berperi kemanusiaan, pemerkosa, ekstrimis dan setara dengan komunis. Dalam tiap HUT RI yang dipusatkan di ibukota kecamatan atau kantor pembantunya, pembina upacara selalu membacakan pidato tentang betapa berbahayanya GPK bagi stabilitas daerah. Seruan-seruan agar GPK segera turun gunung dan bertaubat gencar dilakukan dalam rangka memperkuat indoktrinasi terhadap penduduk.

Pada dekade itu, sudah seringkali ditemukan jenazah tanpa kepala, atau jenazah utuh yang tidak bisa lagi dikenali. Setiap ABRI datang, selalu disebutkan, bahwa jenazah itu adalah korban GPK atau GPK itu sendiri.
***
Bagi saya GPK adalah hantu yang membuat penasaran. Saya dalam kapasitas sebagai bocah SD penyuka ilmu sejarah, mencoba mencari tahu. Namun, karena terbatasnya informasi, GPK kemudian menjadi tanya besar di benak saya. Bertanya kepada Bapak, beliau malah marahi saya “Aneuk mit bek Jak meupolitek. Jak sipak anoe keudeh u bineh krueng.” Saya masih terngiang kalimat itu. Serasa legend untuk “membunuh” rasa ingin tahu yang saya miliki.

Saya mulai melek tentang GPK, kala di Jakarta meledak reformasi 1998. Begitu dominasi Orde Baru runtuh, saya terkaget dengan fakta bahwa selama Operasi Jaring Merah atau lebih dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM) (1989-1998) telah banyak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI (Sekarang TNI dan Polri). Laporan tentang bumi hangus, pemerkosaan, pembunuhan, penculikan, bertubi-tubi mengisi indera dengar. Informasi-informasi itu pelan-prlan mulai maujud sebagai hantu yang mengerikan.

Pamflet dari Aceh Merdeka (AM) dengan mudah ditemukan, demikian juga yang dirilis oleh mahasiswa dari ragam buffer aksi. Di sisi lain, kala itu ABRI tidak lagi terlihat agresif. Mereka sudah seumpama anak manja yang tertangkap tangan sedang mencuri mangga.

Dalam waktu yang tidak begitu lama, gelombang kebencian terhadap Jakarta pun menemukan puncaknya. Bukan hanya AM, tapi hampir semua elemen kemudian memberikan ruang bagi GAM untuk memainkan perannya di lapangan. Seolah telah hadir Ratu Adil atau Imam Mahdi, GAM kala itu menjelma menjadi harapan baru bagi rakyat yang telah sekian puluh tahun dibungkam dengan ketakutan.

***
Perlawanan GAM yang didukung oleh rakyat Aceh, kemudian secara berangsur-angsur pun kembali bisa dipatahkan oleh serdadu republik. Penerapan sejumlah operasi militer seperti Operasi Dadar Rencong, Operasi Cinta Meunasah, Operasi Pemulihan Keamanan hingga Darurat Militer dan Darurat Sipil, membuat GAM remuk redam. Eskalasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh serdadu pemerintah semakin gencar. Bumi hangus pemukiman warga, teror, sweeping, pemerkosaan, penculikan, pembantaian dan penangkapan secara sewenang-wenang, membuat rakyat terpojok dan takut.

Kita tentu belum lupa dengan tragedi Beutong Ateuh (pembantaian Teungku Bantaqiyah), Tragedi Simpang KKA, pembantaian Arakundo, penyiksaan di Rumoh Geudong Pidie, penyiksaan di Gedung KNPI Aceh Utara, peristiwa Cot Pulot Jeumpa, tragedi bumi hangus Juli Keude Dua, dan ratusan hingga ribuan tragedi kemanusiaan lainnya di Aceh.

Serdadu pun memainkan politik adu domba. Elit GAM dicitrakan sebagai perampok.Panglima AGAM seperti Abdullah Syafei dikabarkan sebagai pengumpul harta yang hidup mewah di Jakarta. Bahkan ada serdadu yang mengaku bila Teungku Lah adalah TNI yang disusupkan ke tubuh AGAM.

“Istri Abdullah Syafi’i itu bergelimang emas di seluruh tubuhnya. Iya kaya raya dan sombong,” kata seorang serdadu berstrip dua balok merah.

Hingga akhirnya tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 memaksa kedua belah pihak untuk berunding yang kesekian kalinya, yang kemudian melahirkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kedua belah pihak bersepakat berhenti bermusuhan dengan sejumlah syarat.

***
Di luar Aceh, GAM atau GPK mendapatkan kesan merupakan sebuah gerakan separatis yang sangat jahat. Citra GAM sebagai gerombolan perampok, ekstrimis dan teroris begitu melekat di benak orang-orang Indonesia. Hal ini bahkan masih saya temukan kala empat tahun usai perdamaian, ketika saya sedang melakukan perjalanan ke beberapa daerah di luar Aceh.

Sebagai orang Aceh yang tidak buta politik, saya tentu menyadari bahwa propaganda Penguasa berjalan sistematis. Jangankan orang luar, sebagian orang Aceh juga percaya bila GAM adalah organisasi penjahat setara teroris yang hendak melawan pemerintah yang sah. Maka tidak heran bila Tengku Hasan di Tiro dicitrakan serba negatif. Tak ada sedikitpun kebaikan di dirinya.

Sebagai penikmat sejarah, dengan latar belakang perjuangan GAM, saya pun mengulik sejumlah pemberontakan di Indonesia. Baik itu Permesta, PRRI, DI/TII, dan lainnya, rata-rata dilatarbelakangi oleh ketidakadilan Pemerintah Pusat, baik di era Orla maupun Orba. Namun karena mereka berhasil dikalahkan, maka buku-buku sejarah yang dibuat oleh penguasa, menceritakan semua perlawanan itu sebagai sesuatu yang sangat jahat.

Saya kira Allah masih sayang kepada GAM. Tsunami adalah bentuk ketegasan Allah agar konflik yang berkepanjangan tersebut segera redam. Beberapa waktu sebelumnya tsunami, GAM sudah terisolir. Mereka kalah karena Darurat Militer sangat ketat mempersempit ruang gerak GAM. Semua gerilyawan tersudut ke gunung, logistik mereka sekarat. Tidak sedikit yang menyerahkan diri.

Dapat Anda bayangkan bila GAM benar-benar kalah dan tsunami tak pernah ada. Maka hari ini kita takkan pernah memuji Hasan Tiro, kita takkan pernah tabik kepada Muzakkir Manaf dan lainnya. Bahkan kita takkan mau berteman dengan mantan GAM dan keluarganya. Karena apa? Bila kalah maka GAM akan menjadi pesakitan politik yang gerakannya akan difatwakan haram (bughah) karena melawan pemerintah yang sah. Perihal betapa kejamnya republik terhadap Aceh, takkan pernah dibicarakan dalam literatur. Akhirnya, hanya butuh dua puluh tahun untuk mengindokrinasi kepala generasi muda Aceh (generasi unyu-unyu) yang malas membaca tapi gemar berkomentar, agar mereka sukses membenci GAM.

Bila pelabelan negatif itu sukses, maka GAM tidak akan pernah lagi berani peh-peh dada seperti hari ini. Mari iktibar!

Sumber : AcehTrend
Penulis : Muhajir Juli