Oleh Yusra Habib Abd Ghani
FAMILI di Tiro, bukan saja penyandang predikat Ulama, tetapi juga sebagai pejuang yang gigih mengusir penjajah Belanda dari Aceh. Hal ini dimulai dari karir politik Tengku Tjhik di Tiro Mhd. Saman, yang dilantik oleh Majlis Negara: Tuanku Hasjém; Teuku Panglima Polém; Tengku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abèë sebagai Kepala Negara pada tahun 1875, menggantikan Mhd. Dawud Shah yang waktu itu berusia 9 tahun dan dinilai tidak layak memimpin negara dalam keadaan perang.
Di bawah pimpinan Thjik di Tiro Mhd. Saman, TNA berhasil mengurung serdadu Belanda selama 12 tahun [tahun 1884-1896] dalam suatu kèm yang Belanda namakan ”geconcentreerde linie” (kuta meusapat). J. Kreemer, dalam: „Atjeh“ menulis: „Dia telah memerintahkan membangun benteng-benteng kecil di sekeliling kota dimana kami terkurung semua, bahkan kalau boleh di pelupuk mata kami, sehingga mereka telah mengurung kami dengan kekuatan senjata.“ Strategi militer yang taktis dan kendali politik sudah berada di tangan Acheh.
Hanya saja, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terlalu toleran, memberi peluang kepada musuh untuk menyerah secara terhormat dengan tidak mesti membunuhnya. Dalam rentang masa 12 tahun itulah, terjadi diplomatic correspondence antara Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan pemerintah Belanda. Kepada serdadu Belanda yang terkurung disarankan supaya:
1. Menyerah kepada tentara Acheh dengan sukarela;
2. Dapat menetap dan bisa berdagang di Acheh;
3. Masuk Islam secara sukarela (tidak ada paksaan);
4. Mengakui dan patuh kepada pemerintah dan hukum negara Acheh.
Sehubungan dengan itu, Kabinet Belanda yang bersidang pada 15 Agustus, tahun 1888, memberi jawaban dengan menolak tawaran negara Acheh. (Tengku di Tiro Muhammad Hasan, LL.D, „Atjeh Bak Mata Donja“, hlm. 37-39, 1968. Institut Atjeh di Amerika.)
Ke-empat syarat yang ditawarkan, merupakan bukti nyata keagungan moral bangsa Acheh kepada musuh. Kompromi politik dan militer sebetulnya hanya terjadi, jika kuasa politik dan militer, mutlak sudah di tangan Aceh. Belanda perlu masa tiga tahun untuk memberi jawaban terakhir. Selama itu, pakar psikology perang Belanda menyusup dan meneliti karakteristik orang Acheh dan menyimpulkan: Acheh adalah bangsa yang memiliki sifat jujur, ikhlas, baik hati, pema’af, gila gelar, pangkat dan harta.
Keberagaman sifat ini, dimanfaatkan Belanda untuk kepentingan politik dan militer.
Misalnya, para Ulèëbalang di sekitar kèm disogok, diberi gelar dan pangkat dengan maksud agar tidak menyerang mereka. Disamping itu, Belanda mengulur waktu dan terus berunding. Akhirnya, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terperangkap dalam perang urat saraf yang licik. Hasilnya, Belanda secara rahasia memperalat seorang perempuan asal Sibrèh, supaya mau membunuh Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan cara membubuh racun dalam makanan. Belanda berjanji memberi emas batangan kepada pelaku. Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman akhirnya meninggal karena diracun pada 25. Januari tahun 1891. Kepada perempuan (pengkhianat) ini, Belanda hadiahkan peluru di kepalanya sampai mati. Logikanya sederhana: kepada bangsanya sendiri mau berkhianat, konon lagi kepada mereka [Belanda].
Dalam suasana berkabung, serdadu Belanda berhasil memperoleh pasokan senjata beserta 5000 serdadu asal Jawa dan Madura untuk mengepung kubu-kubu pertahanan TNA. Maka, pada 26. Maret 1896 meletus perang “Aneuk Galong” yang amat dahsyat. H.C Zentgraaf melaporkan: “Bangsa Acheh berperang seperti singa, ramai yang memilih mati dalam kota yang terbakar hangus, daripada menyerah. Perang ini adalah perang main cincang dengan senjata di tangan, pertarungan satu lawan satu yang amat dahsyat, tidak ada yang minta ampun dan memberi ampun…Diantara yang mati dalam perang ini ialah Tengku Thjik di Tiro Mhd. Amin [pen: penerus Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman (tahun 1891–1896)]. Mayat beliau diselamatkan dan dibawa oleh orang Acheh ke kampung Mureue, di sanalah beliau dikuburkan.”
Posisi Tengku Thjik Mhd. Amin di Tiro sebagai kepala negara, selanjutnya dipegang oleh Tengku Thjik Ubaidillah di Tiro (1896–1899). Malangnya, hanya menjabat kepala negara selama tiga tahun. Beliau mati syahid dalam medan perang tahun 1899. Pimpinan tertinggi negara diteruskan oleh Tengku Thjik Lambada di Tiro (1899–1904). Dalam suatu peperangan yang sengit, beliau mati syahid. Estafet kepemimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Muhammad Ali Zainal Abidin di Tiro (alias Tengku Bukét). Beliau juga syahid dalam medan perang Gunung Alimon yang meletus pada 21. Mei 1910 (1904–1910). Sesudah itu, pimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Mahjédidin di Tiro.
Ketika itulah, Belanda coba membuka rundingan. Untuk itu, Tuanku Radja Keumala, Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polém Muhammad Dawôd, disuruh Belanda menulis dan mengirim surat kepada Mahjédidin di Tiro supaya menyerah kepada Belanda. Ahli sejarah Belanda menulis: ”surat tersebut sudah diterima oleh Tengku Majét dan kita tahu bahwa beliau mengadakan musyawarah dengan ketiga orang yang sudah menyerah tersebut beserta dengan panglima-panglima lain. Tidak seorangpun diantara mereka yang mau menyerah. Tidak seorangpun yang mau meninggalkan perjuangan: semua mereka tetap bertekad untuk berperang sampai pada titik terakhir, dan sudah siap sedia menerima semua resiko apapun sebagai akibat daripada perjuangan ini sebagai kehendak daripada Allah”. Tengku Mahjédidin di Tiro tidak bergeming dari pendidiriannya dan mati syahid dalam medan perang Alue Simi, pada 5. September 1910.
Pada waktu itu, Tengku Ma’at di Tiro (16 tahun) meneruskan amanah kepemimpinan demi perjuangan dan memelihara prestige famili di Tiro. Beliau pernah ditawari Istana, wanita dan fasilitas hidup seumur hidup di Arab Saudi. Tetapi semua tawaran Belanda ditolak mentah-mentah. Beliau lebih memilih mati syahid daripada menyerah dan menginjak Istana musuh. Dalam medan perang Alue Bhôt, pada 3. Desember 1911, beliau gugur sebagai syuhada. Inilah komentar Pengarang Belanda: ”Kisah kematian Tengku di Tiro yang terakhir ini memberi bahan kepada suatu roman sejarah; begitulah, sudah tertanam dalam riwayat perang Acheh untuk menjadi bahan sejarah kepahlawanan yang begitu kuat dan luar biasa dan begitu kayanya, sehingga tidak ada lain lagi yang dapat memberi kebanggaan dan kebesaran kepada suatu bangsa.”
Famili di Tiro telah memperlihatkan keteladanan yang indah dan mengagumkan, sehingga bisa menjadi pelajaran kepada bangsa Acheh dan musuh. Colonel H.J. Schmidt mencatat: “Dari sejak permulaan perang, famili Tengku di Tiro telah memainkan peranan penting yang luar biasa bagi rakyat Aceh. Di sini, tidak ada pilihan lain kecuali: memenangkan peperangan atau mati sebagai pahlawan. Kemenangan sudah terang tidak mungkin dan tidak bisa diupayakan. Tidak, walaupun mereka berdiri tegah dan berperang seperti hero. Kendati rintangan melintang, seorang Tengku di Tiro tidak akan mengakui kemungkinan lain, kecuali memilih mati.
Maka, demi perang ini, segalanya sederhana, singkat dan kendala: dimana Tengku di Tiro yang terakhir mati syahid dalam medan peperangan... dan pemandangan ini tidak bisa dipungkiri dalam drama kelangsungan bangsa Aceh, bahwa bermula dari sekarang, tidak dapat berkiprah lebih lama lewat jalan lain.” (Marechaussee in Atjèh, 1942) Inilah pengakuan musuh terhadap famili di Tiro. Lebih jauh dikatakan: “Darah Tengku di Tiro sudah terlalu banyak tumpah. Kasihan kepada anak muda ini. Sebab itu diupayakan untuk menyelamatkan nyawanya; tapi tidak mudah, sebab tidak mau kompromi. Kita sudah memberi jaminan hidup dan status social, tapi semua ditolak mentah-mentah…. Ini sudah cukup, lebih dari cukup.”(H.C Zentgraaff, Atjèh) Sejak itu, famili Tengku di Tiro pudar dari pentas politik. Rentetan peristiwa dalam sejarah perjuangan famili di Tiro sampai 1911, terjawab sudah!
Genap 85 tahun kemudian, barulah Tengku Hasan M. di Tiro bangkit memproklamirkan Aceh Merdeka [04/12/1976] sebagai negara sambungan –successor state– yang terputus sejak 3. Desember 1911. Kini giliran Tengku Hasan M. Di Tiro tengah dalam ujian sejarah. Antara tahun 1873–1875, issue tentang Aceh gempar dalam Sidang Parlemen British, Belanda, Turki, Perancis, tidak terkecuali Gedung Putih (USA) atas serangan Belanda ke atas Aceh –negara merdeka– dan negara sahabat mereka, yang tahu membedakan antara Netherlands East Indie [NKRI] dan Aceh. Pada tahun 2005, issue Aceh gempar di Helsinki, karena GAM [baca: Aceh] menuntut jatah serpihan demokrasi, sesudah terlebih dahulu mengaku bahwa Aceh satu bagian dari NKRI dan taat kepada konstitusi positif Indonesia. Negara-negara yang sebelumya sahabat Aceh, sekarang mendukung Otonomi Aceh di bawah NKRI.
Sebagai pemimpin tertinggi GAM, inilah saat yang tepat –selama berada di Aceh– Tengku Hasan M. di Tiro menjelaskan kepada rakyat Aceh dengan terus terang tentang: keabsahan Aceh menerima Otonomi khusus [self-government] dalam NKRI atau masih menuntut kemerdekaan Aceh yang beliau proklamirkan 4/12/1976. Hal ini penting demi masa depan dan kemaslahatan rakyat Aceh.
Apalagi, Tengku Hasan M. Tiro dalam surat yang ditujukan kepada Tengku Muhammad Mahmud (Abang kandung Dr Zubir Mahmud –Menteri Sosial Aceh– (yang dilantik oleh Tengku Hasan di Tiro tahun 1976) mengatakan: ”... Saya bertanggungjawab di hadapan Allah atas matinya ribuan bangsa Aceh dalam revolusi ini…”.
Saksi dalam perkara ini ialah: saya sendiri, Bakhtiar Abdullah, Musanna Abdul Wahab dan Iqlil Ilyas Leubé. Jadi, kalau bukan sekarang, kapan lagi para korban konflik dan ahli waris menagih tanggungjawab itu. Dari surat politik pakai kop ASNLF yang dikirim kepada Yusuf Kalla (Wapres RI), adalah suatu indikasi bahwa beliau masih tetap komitmen dengan pendirian semula. Dalam soal ini: jangankan surat kepada pemimpin negara asing; surat-menyurat yang dikirim Wali Negara kepada saya sendiri pun, selalu beliau pakai kop resmi ASNLF. Beliau tahu benar menempatkan diri. Hanya saja staf terdekat beliau kerap bermain di belakang layar. Misalnya: Malik Mahmud mengirim surat susulan kepada Yusuf Kalla tanpa kop ASNLF dengan redaksi yang sama. Ini ’diplomatic correspondence’ yang a’ib dalam dunia diplomasi.
Contoh lain. Pembohongan telah berlaku atas diri beliau antara rentang masa Januari-Juli tahun 2005, dimana juru runding GAM memberi komentar: “semua perkembangan yang terjadi di meja runding [di Helsinki] tetap dilaporkan kepada Wali Negara.” Ternyata, draft MoU Helsinki baru diketahui dan dibaca oleh Tengku Hasan di Tiro pada jam: 18.30 tgl. 05/08/2008. [bukti dokumen ada di tangan saya] Dalam dunia politik, tidak mustahil terjadi pengkhianatan.
Kisah lain lagi, yang masih segar dalam ingatan saya, yakni: ketika Tengku Hasan M. Di Tiro mengirim surat bernada mengadu kepada saya yang isinya sangat memeranjatkan: ”... Sdr. Yusra..., siapa yang akan menggantikan jika saya meninggal dunia nanti. Orang-orang terdekat dan saya percayai sudah nampak tanda-tanda akan mengkhianati saya...”
Bakhtiar Abdullah dan Iqlil Ilyas Leubé menangis terisak-isak saat saya perlihatkan surat rahasia ini dan kemudian memeranjatkan Zakarya Saman dan Malik Mahmud. Ini terjadi pada pada Desember 1993. Tentang hal ni, dalam Artikel: ”Kunci-kunci Idelogo Aceh Merdeka” sudah beliau bayangkan. Famili Tengku di Tiro memang rencam dengan kepelbagaian pengalaman yang pahit dan manis.
Namun, Tengku Hasan M. di Tiro tetap mengingatkan: ”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”
”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”
Dalam perjalanan menuju Aceh, wartawan RCTI bertanya: ”apakah Tengku mendukung perdamaian? Beliau jawab: ”Tentu..., tentu” Bahkan kata beliau: ”Saya ingin Aceh selamanya damai” [Serambi Indonesia, 12/10/08]. Betapa tidak, damai adalah sunnah. Yang menolak damai berarti mengingkari Sunnah. Tetapi dalam doktrin GAM, damai bukan substansi perjuangan, oleh sebab itu soal satus Aceh, batas wilayah, bendera, logo, struktur pemerintahan dan TNA tidak semudah itu dilebur. MoU Helsinki bukanlah “Surat Keramat” yang bisa dipakai oleh juru runding atau Wali Negara sekali pun untuk menggadai Aceh kepada pihak mana pun dengan dalih apa pun. Ianya milik rakyat yang perubahannya mesti atas persetujuan rakyat melalui referendum.
[Teks tambahan: Buat apa damai kalau Aceh tergadai? ”... jadikan perang untuk damai, tetapi damai yang menang...,” kata Nietzsche dalam bukunya yang masyhur, Zarathustra. Tengku Hasan di Tiro suka mengutip ucapan Nietzsche dalam caramah politiknya.]
Kalaulah Tengku Hasan M. di Tiro berkata: “Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa perjuangan tersebut, tidak mungkin kita bisa membina hubungan dengan negara lain, seperti yang terjadi sekarang ini.” [Serambi Indonesia, 6/10/08]. Artinya, Sultan Aceh [pemimpin tertinggi negera] dalam sejarahnya, belum pernah ada seorang pun yang berkhianat kepada bangsanya. Inilah pelajaran yang didapat dari sejarah.
Akhirnya, “Bangsa Acheh sudah tentu akan memperlihatkan bukti jati dirinya bahwa mereka bukan suatu lawan yang dapat dihina. Orang Acheh adalah suatu bangsa beradab dari zaman dahulu, yang biasa berperang, sesekali menang, kadangkala kalah, tetapi biar pun menang, biar pun kalah, tidak pernah diperoleh tanpa kemuliaan ... Bangsa Acheh memang selalu terkenal karena gagah berani dan tahu menempatkan diri, lebih daripada bangsa-bangsa lain di sekeliling negara Acheh.“ Suratkabar The London Times, 29 April 1873.
Dalam konteks ini, maka Tengku Hasan M. Di Tiro sedang diuji untuk menentukan, apakah beliau mengikuti pendirian famili Tengku di Tiro sebelumnya atau sebaliknya. Sejarah akan mengukir dan mengadili. Sejarah adalah Mahkamah yang paling adil dalam peradaban manusia. Di bawah sinar Matahari, tidak ada peristiwa yang mustahil terjadi. Wallahu’aklam bissawab![]
*Director Institute for Ethnics Civilization Research.
[Tabloid KONTRAS Banda Aceh, 16/10/08]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan