Jumaat, 17 September 2021

SEJARAH AWAL PERJUANGAN ISLAM BANGSAMORO DI SELATAN FILIPINA

Kisah tentang penindasan Bangsamoro, boleh kita mulakan dari satu nama yang dianggap satu dari seratus manusia paling berpengaruh,  oleh Michael Hart. Namanya Ferdinand Magellan (1480-1521), seorang yang mendapat sematan nama sebagai penjelajah besar yang mengelilingi dunia. Michael Hart mengarungi dunia dengan membawa lima kapal, 265 awak-awak/anak kapal selama hampir tiga tahun. Dalam kurun waktu itu, yang berhasil kembali dengan selamat hanya satu kapal, dan 18 anak buah kapal yang hidup selamat. Ferdinand Magellan sendiri termasuk yang tewas di tengah perjalanan.

Pada tahun 1509, ekspedisi Ferdinand Magellan sampai di wilayah Nusantara. Ternyata tak hanya ekspedisi, Ferdinand Magellan juga membawa misi lain, iaitu kolonialisasi Sepanyol dan misi Kristinisasi. Terjadi pertempuran di wilayah Malaka, karena rakyat menolak kedatangannya. Pada tahun 1521, ekspedisi ini diteruskan dan mereka berjaya menjejakkan kaki di kepulauan Filipina. Proses Kristianisasi dan kolonialisasi langsung terjadi di negara tersebut.

Raja Humabon, bersama rakyat Cebu berjaya dimurtadkan dari agama Islam dan dikristiankan. Bahkan Ferdinand Magellan menggelarkan bahwa rakyat Cebu adalah warga Tuhan Spanyol. Di wilayah Utara proses Kristianisasi terus berlangsung dengan lancarnya. Tapi ketika sampai di wilayah Selatan Kepulauan Filipina, terutama di Mindanao dan Sulu, rakyat yang sebahagian besar telah menjadi Muslim sejak lama memberikan perlawanan yang sengit meski dengan senjata sederhana.
Program Gold, Glory and Gospel terhenti di wilayah selatan Filipina, seperti Mindanao dan pulau-pulau di sekitarnya. Kaum Muslimin melakukan perlawanan dengan gigih dan berani, meskipun Sepanyol menyerang mereka dengan senjata canggih.
               Pejuang-pejuang BangsaMoro

Jauh sebelum Ferdinand dan penjajah Sepanyol membawa agama Kristian ke negeri ini, hampir sebagian besar penduduk kepulauan Filipina telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Jejak keislaman mereka, bahkan hingga kini masih ada dan tak mampu dihapuskan oleh penjajah. Nama ibukota Filipina misalnya, Manila diambil dari kata bahasa Arab, Amanullah yang berarti negeri Allah yang aman. Bahkan di wilayah ini pernah berdiri kerajaan Islam yang bernama Kerajaan Tondo.
        BangsaMoro adalah pelaut yang hebat

Seperti halnya Indonesia, Filipina adalah sebuah negara yang terdiri dari kepulauan dengan jumlah yang sangat besar. Tak kurang 7107 pulau berada di dalam teritorial Filipina. Islam telah berkembang di wilayah ini sejak abad ke-14. Ertinya, jauh sebelum masa itu Islam telah menjejakkan kakinya dan memberikan sentuhan dakwah pada penduduk setempat. Sampai pada satu titik, seorang raja yang sangat ternama di Manguindanao bersyadahat dan memeluk Islam. Kekuasaan sang raja membesar sampai ke Davao, Tenggara Mindanao dan Islam pun kian menyebar sampai ke Pulau Lanao, Zamboanga dan hampir ke seluruh daerah garis pantai kepulauan Filipina. Tapi ada juga legenda yang menyebutkan, Islam pertama kali dibawa oleh seorang sufi bernama Karim al-Makdum yang berlayar dengan mangkuk besi, boleh berjalan di atas air dan dikhabarkan boleh terbang oleh disebabkan karomahnya.

Sejarah mencatat, ulama-ulama Indonesia berperan besar dalam penyebaran Islam di Filipina. Bahkan disebutkan, seorang pangeran dari Menangkabaw atau Minangkabau bernama Baguinda adalah salah satu pendakwah Islam di wilayah ini, terutama di Sulu, Zamboanga dan Basilan. Kerana itu, tak hairan jika sampai hari ini kita boleh mendapatkan banyak kemiripan antara Indonesia dan Filipina, terutama di wilayah Selatan. Wajah dan postur tubuh, tak jauh berbeza. Bahasa dan kata, banyak yang sama. Contohnya, untuk hidung, mereka menyebutnya hidung. Telinga bergeser sedikit menjadi inga. Kita bahkan menggunakan kata yang sama untuk pintu, kanan, murah, mahal, gunting, balai, aku, kita dan masih banyak kata sama lainnya.

Islam pernah menjelma sebagai kekuatan besar di wilayah Filipina, dan diwakili oleh Kesultanan Sulu. Wilayah kekuasaan Sulu membentang dari Mindanao hingga Sabah di Malaysia. Kesultanan Sulu dipimpin oleh Sharif al-Hasyim Syed Abu Bakar yang menikahi putri Raja Baguinda dan kemudian mendapat gelar Paduka Maulana Mahasari. Sejarah Kesultanan Sulu menerangkan, Sharif al-Hasyim masih memiliki darah keturunan Rasulullah dari Bani Hasyim.
Dari wilayah inilah perlawanan berlangsung dengan sengit ketika penjajah Sepanyol menunjukkan kuku dan taringnya. Tak jauh berbeza dengan yang terjadi di Indonesia, penjajah Spanyol memecah belah persatuan umat Islam dan memberikan stigmatisasi yang buruk. Mereka menyebut orang-orang Islam di Filipina Selatan dengan sebutan Moro yang diambil dari kata Moor yang merujuk kaum Muslimin dalam sejarah Perang Salib.

Suku-suku diadu domba dengan pengaruh dan kekuasaan. Para Datuk yang menjadi penguasa dirasuah dengan pelbagai keuntungan serta hasutan perang suku. Tapi ada satu kekuatan yang ternyata mampu menyatukan mereka, dan itu adalah Islam. Agama Islam datang ke Filipina bukan dengan alasan penguasaan dan perampasan kekayaan, tapi dibawa dengan damai oleh pedagang dan pendakwah. Berbeza dengan Katholik yang disebarkan sebagai tulang punggung penjajahan Sepanyol.
              Tentera Islam BangsaMoro

Nama Filipina pun muncul dengan semangat penjajahan. Seorang awak kapal Sepanyol yang bernama Bernardo de la Torre memberi nama kepulauan ini dengan sebutan Filipinas, sebagai penghormatan kepada putra mahkota Sepanyol kala itu yang kelak bergelar Philip II. Kebencian orang-orang Sepanyol karena pernah ditaklukkan di Andalusia, rupanya terbawa sampai ke wilayah Nusantara. Bahkan ketika Philip II berkuasa, dalam suratnya yang dikirim untuk Conquisatador Legazpi, Raja Philip II mengizinkan penduduk Muslim diperbudak dan dirampas hartanya. Kebijakan ini hampir merata pada seluruh kepemimpinan Sepanyol di Filipina. Mereka menyebarkan kabar bahwa Islam ini adalah agama bid’ah, Islam adalah ajaran setan, kaum Muslimin adalah pembawa wabah penyakit dan lain sebagainya. Pendeta Jesuit Pio Pi menggambarkan kaum Muslimin sebagai bajak laut. Bahkan Pendeta Francisco Ducos pendakwah kristian di Illagan mengetuai pasukan militer dan selama tujuh tahun memerangi penduduk Muslim. Tapi kekuatan bersenjata Sepanyol yang demikian besar dan motivasi agama yang dikobar-kobarkan serta dicanangkan pemimpin Katholik, tak mampu menaklukkan wilayah Selatan.

Pertembungan kaum Muslimin yang diketuai oleh Sultan Sulu mampu mempertahankan wilayah ini selama peperangan yang berlangsung hampir tiga abad. Dalam peperangan yang panjang ini, terjadi solidaritas tinggi antara kaum Muslimin di seluruh wilayah Nusantara yang meliputi Indonesia, Malaysia, dan juga Brunei. Bahkan pada era 1638, Kesultanan Makassar dan Ternate berperan sangat besar dalam memberikan bantuannya kepada kaum Muslimin di Filipina.

Pada tahun 1638, ketika Gabernor Sepanyol, Corcuera menyerbu Sulu, Sultan Sulu yang bernama Raja Bongsu mendapat bantuan kiriman pasukan perajurit-perajurit Makassar yang gagah berani. Raja Bongsu memerintah sejak tahun 1612 dengan gelar Mawallil Wasit, dan sejak awal dia telah mendapat serangan dari Spaniard. 

Pada tahun 1628 misalnya, 200 perwira Sepanyol dengan 1.600 penduduk setempat yang berhasil dikristiankan menyerang Sulu dengan hebat. Tahun 1629, wilayah Sulu direbut antara Camarines, Samar, Leyte, dan Bohol. 

Pada tahun 1630, kembali Manila Spaniard menyerang, kali ini Jolo menjadi sasaran. Tapi Raja Bongsu berhasil memukul mundur bahkan melukai Lorenzo de Olaso, komandan pasukan dan mereka menarik mundur serangan. Di masa pemerintahan Raja Bongsu inilah terjadi paling banyak peperangan besar antara penjajah Kristen Spanyol dan Kesultanan Islam Sulu.
Perang Sabil, begitu rakyat Sulu menyebut zaman perang melawan kaum kafir Sepanyol. Hampir sama dengan penyebutan di Aceh, Prang Sabi. Tak jauh berbeza kerana sesungguhnya kita serumpun, satu ikatan, bahkan lebih besar lagi, satu akidah: Islam.

Tapi nampaknya perjuangan belum usai setelah Sepanyol berundur dari tanah Filipina. Sepanyol berhasil dikalahkan Amerika dan Sekutunya. Dalam Perjanjian Paris yang ditandatangani 10 Desember 1898, Sepanyol menyeranhkan Filipina kepada Amerika dengan $ 20 juta dolar. Sebenarnya, kelompok-kelompok perlawanan di Filipina pernah mengesahkan kemerdekaan pada 12 Juni 1898, tapi Amerika menolak dan tidak mengakuinya. Maka sejak 10 Desember 1898, Filipina berganti penjajah baru, Amerika Serikat.

 Amerika dikecam banyak negara Barat, kerana melanggar Doktrin Monroe yang menentang kolonialisme dan imperalisme. Tapi Amerika tak ambil pusing dengan semua gugatan dunia. Pada tahun 1919, sebuah delegasi pergi ke Amerika menuntut kemerdekaan untuk Filipina. Namun dengan sombongnya Amerika mengirimkan The Wood Forbes Mission pada tahun 1922 yang mengatakan, “Filipina belum mampu merdeka.”

Pada period berikutnya, Amerika mengalami kekalahan di wilayah Pasifik oleh negara Jepun. Pada tahun 2 Januari 1942, Manila jatuh ke tangan Jepun. Seperti yang diketahui, kekuasaan Jepun hanya setahun jagung. Akhirnya Jepun telah berjya dikalhkan dan Amerika masuk kembali ke Filipina. Pada 4 Julai 1946, Amerika melepaskan Filipina sebagai negeri jajahannya. Meskipun demikian, sampai hari ini Amerika masih meletakkan penjajahan secara halus dengan cara membangun fasiliti ketenteraan di Filipina.

Manuel Quezson menjadi presiden pertama Filipina. Hari itu tercatat sebagai hari kemerdekaan Filipina. Tapi tidak dengan kaum Muslimin di wilayah Selatan, mereka masih terjajah hingga hari ini. Ertinya, kaum Muslimin di Mindanao dan wilayah Selatan Filipina mengalami penjajahan dalam proses yang panjang. Pertama mereka dijajah Sepanyol, lalu Amerika Syarikat, setelah itu Jepun dan kembali lagi pada Amerika. Kini Bangsa Moro dijajah oleh pemerintah Filipina sendiri. Mereka dianiaya, dizalimi, dirampas dan ditindas.
Bendera Moro Islamic Liberation Front (MILF)
      Pejuang Islam Moro di kem tentera

Nasib kaum Muslimin di Mindanao tak pernah berubah, masih sama, terus terjajah. Bezanya hanya satu, kalau dulu, saudara Muslim dari Ternate, Makassar, Brunei, dan Malaysia datang membela, kini pembelaan yang dinanti itu belum tiba. Sekarang saatnya membela Muslim Filipina!

Sumber rujukan:
1.Mindanao News
2.Luwaran.com
3.Wikipedia
4.Buku-buku di MPH

p/s – Semoga perjuangan menegakkan syiar Islam oleh para pejuang Islam Moro akan berjaya suatu hari nant

Rabu, 15 September 2021

System Pendidikan Aceh Sebelum Datangnya Penjajah.

 Zawiyah ( Dayah) Adalah Lembaga Pendidikan Resmi Kesulthan Achèh.

Di masa kesultanan Aceh, sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh pada awalnya melalui pusat-pusat pengaji-an di meunasah atau rumah-rumah, lalu berkembang hingga berlangsung di 'rangkang' (semacam balai-balai -red). Pengajaran paling awal dimulai dengan pengajian al-Qur'an dengan lafal bacaan bahasa Arab yang mengikuti aturan-aturan ilmu tajwid.

Pada setiap kampung di Aceh terdapat satu meunasah yang di sana diadakan pendidikan dasar bagi anak laki-laki. Gurunya adalah teungku imum meunasah yang dibantu beberapa orang lainnya. Di rumah teungku imum pun diadakan untuk pendidikan bagi anak-anak perempuan dan yang menjadi gurunya adalah istri dari sang teungku imum.

Disamping mengajarkan al-Qur'an, sebagian teungku imum juga mengajarkan kitab-kitab Jawi (kitab berbahasa Melayu dengan aksara Arab). Untuk tingkat pemula pendidikan seperti kitab Masailal Muhtadi (memakai sistem tanya jawab, yang dimulai dari masalah tauhid, hukum yang terkait masalah ibadah seperti salat dan puasa).

Selanjutnya kitab pula kitab-kitab yang lebih tinggi, seperti kitab Bidayah, Miftahul Jannah, Sirath Sabilal Muhtadin, Kitab Delapan, dan Majmu '. Bagi yang sudaah pandai membaca kitab-kitab tersebut biasanya akan disebut malem Jawoe ( A'lim Jawi).

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi adalah dayah, biasanya terdapat di dekat masjid. Tetapi ada juga yang berada di dekat rumah teungku(tengku) yang mempunyai dayah itu sendiri. Pelajarannya tentu sudah meningkat pula, misalnya sudah mulai belajar pelajaran sharaf; The learning that about pembahasan word from one words to some words by kaidah-kaidah that were ready to formed and menghafalnya as well. Pelajaran sharaf umumnya berguna untuk melihat asal kata kata dapat menyempurnakan kamus.

Setelah itu baru mempelajari pengetahuan, yaitu tata bahasa Arab. Orang yang sudah menguasai ilmu ini disebut malèm(faham) nahu. Kitab yang dipakai untuk itu dimulai dengan kitab Aljarumiyah, Mukhtasar, Matammimah, hingga akhirnya Alfiyah. Setelah itu mengajar fikih --- yakni pelajaran mengenai hukum-hukum ibadat --- yang dimulai dengan kitab Safinatun Naja, Matan Taqrib. Kemudian Fathur Qarib, Fathur Muin, Tahrir, Iqna, Fathu al-Wahab, Mahally, Tuhfan, dan Nihayah. Baru setelah itu pelajaran pelajaran tafsir al-Qur'an dan al-Hadits.

Lembaga pendidikan dayah di Aceh sudah ada sejak awal berdirinya Kesulthanan Islam pertama di asia tenggara. Popularitas Dayah-dayah tersebut di berbagai wilayah dan sangat memegang peranan penting dalam penyebaran Islam ke berbagai wilayah Nusantara.

Sebelum Belanda masuk, Aceh merupakan daerah kesulthanan. Kesulthanan tersebut menganut keberagamaan sistem keberagamaan Islam, sehingga pendidikan yang berjalan dengan sendirinya adalah pendidikan yang bernuansa Islam. Tempat pendidikannya dimulai terutama di meunasah, rangkang, dan dayah.

Dayah-dayah yang terkenal di berbagai wilayah di Aceh sangat menentukan watak keislaman yang kemudian berkembang.

Pada masa itu, Pusat Pendidikan Tinggi Dayah Cot Kala merupakan pusat pendidikan tinggi Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini banyak berjasa dalam organisasi Islam dengan banyaknya ulama dan alumni yang kemudian menjadi pendakwah Islam sampai ke berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan hingga seberang selat Malaka. Dakwah yang mereka lakukan menstimulasi kerajaan-kerajaan Islam di daerah. Sebut saja seumpama Kerajaan Islam Samudera Pasai, Kerajaan Islam Benua, Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Islam Darussalam, dan Kerajaan Islam Indra Jaya.

Berbagai kerajaan ini akhirnya melebur atau disatukan menjadi satu kerajaan besar pada awal abad ke XVI dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam. Ali Mughayatsyah yang bergelar Sultan Alaiddin Ali Mughayatsyah dinobatkan sebagai sultan (raja) pertama. Ia memerintah dalam rentang waktu 9l6-936 H atau 1511-1530 M.

Karena segala sumber hukum bagi Kerajaan Aceh Darussalam adalah al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas maka dengan sendirinya Islam menjadi dasar pendidikan di wilayah ini. Jadi, kalau Islam telah menjadi dasar pendidikan, maka pendidikan itu tentu saja bertujuan untuk membina manusia-manusia yang sanggup menjalankan ajaran Islam. Qanun Meukuta Alam (disebut juga Adat Meukuta Alam dan kadang-kadang disebut Adat Aceh) adalah sebuah undang-undang dasar kerajaan sebagai penyempurnaan peraturan-peraturan yang telah dibuat sebelumnya. 

Dalam Qanun Meukuta Alam ini diatur segala ihwal yang berhubungan dengan negara secara garis besar, baik mengenai dasar negara, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan dalam negara, dan lembaga-lembaga negara.

Pada masa Ratu Safiatuddin menjadi sulthanah, Qanun Meukuta Alam disempurnakan lagi. Dalam undang-undang tersebut di antaranya tertulis ulama dan raja tidak boleh jauh atau tercerai, sebab kalau ada jarak di antara mereka niscaya binasalah negara. Itu berarti raja dan ulama harus bersama-sama menjadi pimpinan. Dengan kata lain, hal ini dapat ditamsilkan pula bahwa dalam diri seorang penguasa harus ada bersamanya, kekuasaan dan keilmuan.

Dalam Qanun Meukuta Alam edisi "revisi", dibuat juga persyaratan-persyaratan untuk menjadi sultan. Setidaknya ada 21 syarat, di antaranya adil, berhukum dengan yang di ajarkan oleh  Allah melalui rasulNYA, serta seluruh perintah agama Islam. Ada pula 10 syarat untuk menjadi wazir. Syarat itu, misalnya, adalah "alim (paham) pada ilmu dunia dan ilmu akhirat, dapat memegang amanah, tiada khianat". Untuk menjadi qadhi yang ditetapkan dalam qanun ini. Di syaratnya adalah "adil, alim pada pekerjaan dunia dan akhirat dan melihat ia atas pekerjaan yang diserahkan oleh kerajaan kepadanya dan dapat ia berhubungan dengan adil".

Ketika Malaka ditaklukkan Portugis, ulama-ulama dan muballigh Islam dari Malaka pindah ke Achèh, lalu bersama-sama dengan kalangan terdidik kerajaan mendidik calon ulama di dayah-dayah.

Pada masa itu, tingkatan pendidikan dalam Kerajaan Aceh Darussalam terdiri atas:

- Meunasah atau madrasah yaitu  pendidikan permulaan yang terdapat di tiap-tiap gampong (kampung). Di sana anak-anak diajarkan membaca al-Qur'an, menulis dan membaca huruf Arab, cara beribadat, akhlak, rukun Islam, dan rukun iman.

- Rangkang, yaitu pondok-pondok yang ada di sekeliling masjid sebagai asrama. Di sana diajarkan fikih, ibadat, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/umum, bahasa Arab. Buku-buku pelajarannya terdiri dari bahasa Melayu dan bahasa Arab.

- Dayah, terdapat  dalam tiap-tiap daerah,  tetapi ada juga yang berpusat pada mesjid bersama rangkang. Kebanyakannya terdapat terpisah dari lingkungan mesjid dan menyediakan sebuah balai utama sebagai aula yang digunakan sebagai tempat belajar dan tempat shalat berjamaah. 

Di dayah, semua pelajaran diajarkan dalam bahasa Arab dan mempergunakan kitab-kitab berbahasa Arab juga. Mata pelajarannya terdiri dari ilmu fikih muamalat, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu tatanegara, dan bahasa Arab. Terdapat pula dayah-dayah yang mengajarkan ilmu umum seperti ilmu pertanian, ilmu pertukangan, dan ilmu perniagaan (ekonomi).

- Dayah Teungku Chik, yakni satu tingkat lagi di atas dayah dan kadang-kadang disebut juga Dayah Manyang(tinggi). Dayah ini tidak begitu banyak. Di sana diajarkan mata pelajaran antara lain bahasa Arab, fikih jinayah (hukum pidana), fikih munakahat (hukum perkawinan), fikih duali (hukum tatanegara), sejarah Islam, sejarah negara-negara, ilmu manthiq, tauhid, filsafat, tasawuf/akhlak, ilmu falaq, tafsir, dan hadits.

- Jami'ah Baiturrahman. Jami'ah ini terdapat di ibukota negara yang merupakan satu kesatuan mesjid Jami' Baiturrahman. Jami'ah Baiturrahman ini mempunyai bermacam-macam "Daar" yang kira-kira kalau disetarakan sama dengan fakultas. Ada 17 "Daar" yang di-dirikan ketika itu, yakni: (1) Daar al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits), (2) Daar al-Thibb (Kedokteran), (3) Daar al-Kimya (Kimia), (4) Daar al-Taarikh (Sejarah), (5) Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti), (6) Daar al-Siyasah (Politik), (7) Daar al-Aqli (Ilmu Akal), (8) Daar al-Zira'ah (Pertanian), (9) Daar al-Ahkaam (Hukum), (10) Daar al-Falsafah (Filsafat), (11) Daar al-Kalaam (Teologi), (12) Daar al-Wizaraah (Ilmu Pemerintahan), (13) Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan Perbendaharaan Negara), (14) Daar al-Ardhi (Pertambangan), (15) Daar al-Nahwi (Bahasa Arab), (16) Daar al-Mazahib (Ilmu-ilmu Agama), dan (17) Daar al-Harbi (Ilmu Peperangan).

Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah berkuasa (1016-1045 H/1607-1636 M), guru-guru besar  jami'ah tersebut selain terdiri dari ulama-ulama Aceh, juga didatangkan dari luar seperti dari Arab, Turki, Persia, dan India. Berdasarkan catatan yang dapat ditelusuri, tak kurang dari 44 orang guru besar yang didatangkan dari luar negeri pada masa itu.

Demikianlah gambaran pendidikan di Aceh yang dilaksanakan oleh orang-orang terdahulu. Dalam hal ini, ulama dan sulthan memegang peranan penting untuk memajukan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang berbentuk dayah. Mereka mendatangkan guru-guru besar dari luar sehingga taraf pendidikan pun mencapai kemajuan bahkan berhasil melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang diperhitungkan dunia luar.

Begitulah Kerajaan Aceh Darussalam sangat mementingkan ilmu pengetahuan bagi setiap orang, terutama bagi pejabat-pejabat (sultan, menteri, qadhi). Itu benar-benar menjadi suatu hal yang aneh jika Kerajaan Aceh Darussalam kemudian melahirkan ulama-ulama dan sarjana-sarjana bertaraf intemasional sehingga Aceh menjadi terkenal terutama pada masa Sultan Iskandar Muda. Banyak orang dari luar datang ke Aceh untuk belajar.

Wallaahu a'lam.

Rabu, 8 September 2021

Ketika Saudara Jadi Pengkhianat.


Inilah Kami !
yang menentang setiap kebijakan Penindasan, kesewenangan dan ketidak adilan para penguasa negeri ini !

Inilah Kami !
yang kalian Lahirkan dari sebuah Perjuangan panjang sejarah Negeri ini!

Inilah Kami !
yang kalian Anggap sebagai Prajurit yang selalu taat dan Patuh pada Panglima !

Inilah Kami !
yang sekarang kalian adu domba !

Inilah Kami !
yang sekarang Kalian Khianati !

Kami yang lahir dari ujung Kalashnikov
Kami yang Berjuang dengan Sejarah dan Darah
Kami yang sekarang kalian Anggap sebagai Pengkhianat !
Kami yang sekarang berada di balik jeruji dan terali ...
 
Sahabat
Dengarkan kami !
Biarkan Kami !

Ketika Kita dulu sama-sama berteriak Kemerdekaan ..
Ketika Kita dulu sama-sama Memanggul Tandu dalam rimba tuhan ...
Ketika Kita dulu sama-sama meronta dalam dingin nya malam ...

Hari ini,
Kalian Hapus semua Ingatan ...
Kalian Hancurkan semua impian dan harapan ..
Kalian Jadikan Kami Bumerang !

Sahabat,
Genderang Perang akan berbunyi
Kita adalah kesatria sejati 
Yang tersisa
Yang dibesarkan oleh gelombang kehidupan
Gelorakan semangat perjuangan
Walau kita berada dibalik jeruji besi
Katakan pada semua orang
Bahwa kita telah dikhianati oleh kawan seperjuangan

lihatlah kebelakang disaat engkau merasa sendiri dan di tinggalkan !
Tunggu kami Penguasa !
Yakinlah Kekuatan Kami sebagai Rakyat laksana Kekuatan lebah yang melindungi sarangnya.

Inilah Kami yang Kalian Khianati !!

Source Are Lando

Ahad, 5 September 2021

GAMPONG PANDE TITIK NOL BANDA ACEH



Nisan-nisan itu membisu.

Menyisakan jejak raja diraja kerajaan Aceh yang sudah berkalang tanah.
Kuta Raja, kotanya para raja itu kini telah menapaki usia 810.

Adalah Gampong Pande, sebuah desa yang hanya terpaut sekitar 1 Km dari jantung kota yang menjadi cikal bakal kota yang kini berganti nama menjadi Banda Aceh.(dulunya Kuta Raja)

Kompleks Makam Tuan di Kandang, Putro Ijo, dan Kompleks Makam Raja-Raja Gampong Pande menjadi tempat peristirahatan terakhir yang mengingatkan akan kemasyhuran Kerajaan Aceh pada masa lampau.

Tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh pada pengujung 2004 telah mengubur sebagian bukti sejarah desa yang pada masa itu dikenal sebagai perajin emas dan pandai besi.

Manuskrib kuno hingga bangunan yang telah ada berabad abad lampau lenyap ditelan tsunami.

Kini jejak kegemilangan yang mencapai puncaknya pada masa kesultanan Iskandar Muda itu sesekali masih menyilaukan sinarnya melalui temuan koin emas, porselen, hingga pedang VOC yang menggegerkan Aceh dan dunia arkeologis.
------------------------------------------

Info lainnya tentang sejarah aceh, ikuti page Facebook Mapesa

Sabtu, 4 September 2021

FAMILI DI TIRO DALAM KAJIAN SEJARAH


Oleh Yusra Habib Abd Ghani

FAMILI di Tiro, bukan saja penyandang predikat Ulama, tetapi juga sebagai pejuang yang gigih mengusir penjajah Belanda dari Aceh. Hal ini dimulai dari karir politik Tengku Tjhik di Tiro Mhd. Saman, yang dilantik oleh Majlis Negara: Tuanku Hasjém; Teuku Panglima Polém; Tengku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abèë sebagai Kepala Negara pada tahun 1875, menggantikan Mhd. Dawud Shah yang waktu itu berusia 9 tahun dan dinilai tidak layak memimpin negara dalam keadaan perang. 

Di bawah pimpinan Thjik di Tiro Mhd. Saman, TNA berhasil mengurung serdadu Belanda selama 12 tahun [tahun 1884-1896] dalam suatu kèm yang Belanda namakan ”geconcentreerde linie” (kuta meusapat). J. Kreemer, dalam: „Atjeh“ menulis: „Dia telah memerintahkan membangun benteng-benteng kecil di sekeliling kota dimana kami terkurung semua, bahkan kalau boleh di pelupuk mata kami, sehingga mereka telah mengurung kami dengan kekuatan senjata.“ Strategi militer yang taktis dan kendali politik sudah berada di tangan Acheh.

Hanya saja, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terlalu toleran, memberi peluang kepada musuh untuk menyerah secara terhormat dengan tidak mesti membunuhnya. Dalam rentang masa 12 tahun itulah, terjadi diplomatic correspondence antara Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan pemerintah Belanda. Kepada serdadu Belanda yang terkurung disarankan supaya:
1. Menyerah kepada tentara Acheh dengan sukarela;
2. Dapat menetap dan bisa berdagang di Acheh;
3. Masuk Islam secara sukarela (tidak ada paksaan);
4. Mengakui dan patuh kepada pemerintah dan hukum negara Acheh.

Sehubungan dengan itu, Kabinet Belanda yang bersidang pada 15 Agustus, tahun 1888, memberi jawaban dengan menolak tawaran negara Acheh. (Tengku di Tiro Muhammad Hasan, LL.D, „Atjeh Bak Mata Donja“, hlm. 37-39, 1968. Institut Atjeh di Amerika.)

Ke-empat syarat yang ditawarkan, merupakan bukti nyata keagungan moral bangsa Acheh kepada musuh. Kompromi politik dan militer sebetulnya hanya terjadi, jika kuasa politik dan militer, mutlak sudah di tangan Aceh. Belanda perlu masa tiga tahun untuk memberi jawaban terakhir. Selama itu, pakar psikology perang Belanda menyusup dan meneliti karakteristik orang Acheh dan menyimpulkan: Acheh adalah bangsa yang memiliki sifat jujur, ikhlas, baik hati, pema’af, gila gelar, pangkat dan harta.
Keberagaman sifat ini, dimanfaatkan Belanda untuk kepentingan politik dan militer.

Misalnya, para Ulèëbalang di sekitar kèm disogok, diberi gelar dan pangkat dengan maksud agar tidak menyerang mereka. Disamping itu, Belanda mengulur waktu dan terus berunding. Akhirnya, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terperangkap dalam perang urat saraf yang licik. Hasilnya, Belanda secara rahasia memperalat seorang perempuan asal Sibrèh, supaya mau membunuh Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan cara membubuh racun dalam makanan. Belanda berjanji memberi emas batangan kepada pelaku. Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman akhirnya meninggal karena diracun pada 25. Januari tahun 1891. Kepada perempuan (pengkhianat) ini, Belanda hadiahkan peluru di kepalanya sampai mati. Logikanya sederhana: kepada bangsanya sendiri mau berkhianat, konon lagi kepada mereka [Belanda].

Dalam suasana berkabung, serdadu Belanda berhasil memperoleh pasokan senjata beserta 5000 serdadu asal Jawa dan Madura untuk mengepung kubu-kubu pertahanan TNA. Maka, pada 26. Maret 1896 meletus perang “Aneuk Galong” yang amat dahsyat. H.C Zentgraaf melaporkan: “Bangsa Acheh berperang seperti singa, ramai yang memilih mati dalam kota yang terbakar hangus, daripada menyerah. Perang ini adalah perang main cincang dengan senjata di tangan, pertarungan satu lawan satu yang amat dahsyat, tidak ada yang minta ampun dan memberi ampun…Diantara yang mati dalam perang ini ialah Tengku Thjik di Tiro Mhd. Amin [pen: penerus Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman (tahun 1891–1896)]. Mayat beliau diselamatkan dan dibawa oleh orang Acheh ke kampung Mureue, di sanalah beliau dikuburkan.”

Posisi Tengku Thjik Mhd. Amin di Tiro sebagai kepala negara, selanjutnya dipegang oleh Tengku Thjik Ubaidillah di Tiro (1896–1899). Malangnya, hanya menjabat kepala negara selama tiga tahun. Beliau mati syahid dalam medan perang tahun 1899. Pimpinan tertinggi negara diteruskan oleh Tengku Thjik Lambada di Tiro (1899–1904). Dalam suatu peperangan yang sengit, beliau mati syahid. Estafet kepemimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Muhammad Ali Zainal Abidin di Tiro (alias Tengku Bukét). Beliau juga syahid dalam medan perang Gunung Alimon yang meletus pada 21. Mei 1910 (1904–1910). Sesudah itu, pimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Mahjédidin di Tiro.

Ketika itulah, Belanda coba membuka rundingan. Untuk itu, Tuanku Radja Keumala, Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polém Muhammad Dawôd, disuruh Belanda menulis dan mengirim surat kepada Mahjédidin di Tiro supaya menyerah kepada Belanda. Ahli sejarah Belanda menulis: ”surat tersebut sudah diterima oleh Tengku Majét dan kita tahu bahwa beliau mengadakan musyawarah dengan ketiga orang yang sudah menyerah tersebut beserta dengan panglima-panglima lain. Tidak seorangpun diantara mereka yang mau menyerah. Tidak seorangpun yang mau meninggalkan perjuangan: semua mereka tetap bertekad untuk berperang sampai pada titik terakhir, dan sudah siap sedia menerima semua resiko apapun sebagai akibat daripada perjuangan ini sebagai kehendak daripada Allah”. Tengku Mahjédidin di Tiro tidak bergeming dari pendidiriannya dan mati syahid dalam medan perang Alue Simi, pada 5. September 1910.

Pada waktu itu, Tengku Ma’at di Tiro (16 tahun) meneruskan amanah kepemimpinan demi perjuangan dan memelihara prestige famili di Tiro. Beliau pernah ditawari Istana, wanita dan fasilitas hidup seumur hidup di Arab Saudi. Tetapi semua tawaran Belanda ditolak mentah-mentah. Beliau lebih memilih mati syahid daripada menyerah dan menginjak Istana musuh. Dalam medan perang Alue Bhôt, pada 3. Desember 1911, beliau gugur sebagai syuhada. Inilah komentar Pengarang Belanda: ”Kisah kematian Tengku di Tiro yang terakhir ini memberi bahan kepada suatu roman sejarah; begitulah, sudah tertanam dalam riwayat perang Acheh untuk menjadi bahan sejarah kepahlawanan yang begitu kuat dan luar biasa dan begitu kayanya, sehingga tidak ada lain lagi yang dapat memberi kebanggaan dan kebesaran kepada suatu bangsa.”

Famili di Tiro telah memperlihatkan keteladanan yang indah dan mengagumkan, sehingga bisa menjadi pelajaran kepada bangsa Acheh dan musuh. Colonel H.J. Schmidt mencatat: “Dari sejak permulaan perang, famili Tengku di Tiro telah memainkan peranan penting yang luar biasa bagi rakyat Aceh. Di sini, tidak ada pilihan lain kecuali: memenangkan peperangan atau mati sebagai pahlawan. Kemenangan sudah terang tidak mungkin dan tidak bisa diupayakan. Tidak, walaupun mereka berdiri tegah dan berperang seperti hero. Kendati rintangan melintang, seorang Tengku di Tiro tidak akan mengakui kemungkinan lain, kecuali memilih mati.

Maka, demi perang ini, segalanya sederhana, singkat dan kendala: dimana Tengku di Tiro yang terakhir mati syahid dalam medan peperangan... dan pemandangan ini tidak bisa dipungkiri dalam drama kelangsungan bangsa Aceh, bahwa bermula dari sekarang, tidak dapat berkiprah lebih lama lewat jalan lain.” (Marechaussee in Atjèh, 1942) Inilah pengakuan musuh terhadap famili di Tiro. Lebih jauh dikatakan: “Darah Tengku di Tiro sudah terlalu banyak tumpah. Kasihan kepada anak muda ini. Sebab itu diupayakan untuk menyelamatkan nyawanya; tapi tidak mudah, sebab tidak mau kompromi. Kita sudah memberi jaminan hidup dan status social, tapi semua ditolak mentah-mentah…. Ini sudah cukup, lebih dari cukup.”(H.C Zentgraaff, Atjèh) Sejak itu, famili Tengku di Tiro pudar dari pentas politik. Rentetan peristiwa dalam sejarah perjuangan famili di Tiro sampai 1911, terjawab sudah!

Genap 85 tahun kemudian, barulah Tengku Hasan M. di Tiro bangkit memproklamirkan Aceh Merdeka [04/12/1976] sebagai negara sambungan –successor state– yang terputus sejak 3. Desember 1911. Kini giliran Tengku Hasan M. Di Tiro tengah dalam ujian sejarah. Antara tahun 1873–1875, issue tentang Aceh gempar dalam Sidang Parlemen British, Belanda, Turki, Perancis, tidak terkecuali Gedung Putih (USA) atas serangan Belanda ke atas Aceh –negara merdeka– dan negara sahabat mereka, yang tahu membedakan antara Netherlands East Indie [NKRI] dan Aceh. Pada tahun 2005, issue Aceh gempar di Helsinki, karena GAM [baca: Aceh] menuntut jatah serpihan demokrasi, sesudah terlebih dahulu mengaku bahwa Aceh satu bagian dari NKRI dan taat kepada konstitusi positif Indonesia. Negara-negara yang sebelumya sahabat Aceh, sekarang mendukung Otonomi Aceh di bawah NKRI.

Sebagai pemimpin tertinggi GAM, inilah saat yang tepat –selama berada di Aceh– Tengku Hasan M. di Tiro menjelaskan kepada rakyat Aceh dengan terus terang tentang: keabsahan Aceh menerima Otonomi khusus [self-government] dalam NKRI atau masih menuntut kemerdekaan Aceh yang beliau proklamirkan 4/12/1976. Hal ini penting demi masa depan dan kemaslahatan rakyat Aceh.

Apalagi, Tengku Hasan M. Tiro dalam surat yang ditujukan kepada Tengku Muhammad Mahmud (Abang kandung Dr Zubir Mahmud –Menteri Sosial Aceh– (yang dilantik oleh Tengku Hasan di Tiro tahun 1976) mengatakan: ”... Saya bertanggungjawab di hadapan Allah atas matinya ribuan bangsa Aceh dalam revolusi ini…”.

Saksi dalam perkara ini ialah: saya sendiri, Bakhtiar Abdullah, Musanna Abdul Wahab dan Iqlil Ilyas Leubé. Jadi, kalau bukan sekarang, kapan lagi para korban konflik dan ahli waris menagih tanggungjawab itu. Dari surat politik pakai kop ASNLF yang dikirim kepada Yusuf Kalla (Wapres RI), adalah suatu indikasi bahwa beliau masih tetap komitmen dengan pendirian semula. Dalam soal ini: jangankan surat kepada pemimpin negara asing; surat-menyurat yang dikirim Wali Negara kepada saya sendiri pun, selalu beliau pakai kop resmi ASNLF. Beliau tahu benar menempatkan diri. Hanya saja staf terdekat beliau kerap bermain di belakang layar. Misalnya: Malik Mahmud mengirim surat susulan kepada Yusuf Kalla tanpa kop ASNLF dengan redaksi yang sama. Ini ’diplomatic correspondence’ yang a’ib dalam dunia diplomasi.

Contoh lain. Pembohongan telah berlaku atas diri beliau antara rentang masa Januari-Juli tahun 2005, dimana juru runding GAM memberi komentar: “semua perkembangan yang terjadi di meja runding [di Helsinki] tetap dilaporkan kepada Wali Negara.” Ternyata, draft MoU Helsinki baru diketahui dan dibaca oleh Tengku Hasan di Tiro pada jam: 18.30 tgl. 05/08/2008. [bukti dokumen ada di tangan saya] Dalam dunia politik, tidak mustahil terjadi pengkhianatan.

Kisah lain lagi, yang masih segar dalam ingatan saya, yakni: ketika Tengku Hasan M. Di Tiro mengirim surat bernada mengadu kepada saya yang isinya sangat memeranjatkan: ”... Sdr. Yusra..., siapa yang akan menggantikan jika saya meninggal dunia nanti. Orang-orang terdekat dan saya percayai sudah nampak tanda-tanda akan mengkhianati saya...”

Bakhtiar Abdullah dan Iqlil Ilyas Leubé menangis terisak-isak saat saya perlihatkan surat rahasia ini dan kemudian memeranjatkan Zakarya Saman dan Malik Mahmud. Ini terjadi pada pada Desember 1993. Tentang hal ni, dalam Artikel: ”Kunci-kunci Idelogo Aceh Merdeka” sudah beliau bayangkan. Famili Tengku di Tiro memang rencam dengan kepelbagaian pengalaman yang pahit dan manis.

Namun, Tengku Hasan M. di Tiro tetap mengingatkan: ”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”

”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”

Dalam perjalanan menuju Aceh, wartawan RCTI bertanya: ”apakah Tengku mendukung perdamaian? Beliau jawab: ”Tentu..., tentu” Bahkan kata beliau: ”Saya ingin Aceh selamanya damai” [Serambi Indonesia, 12/10/08]. Betapa tidak, damai adalah sunnah. Yang menolak damai berarti mengingkari Sunnah. Tetapi dalam doktrin GAM, damai bukan substansi perjuangan, oleh sebab itu soal satus Aceh, batas wilayah, bendera, logo, struktur pemerintahan dan TNA tidak semudah itu dilebur. MoU Helsinki bukanlah “Surat Keramat” yang bisa dipakai oleh juru runding atau Wali Negara sekali pun untuk menggadai Aceh kepada pihak mana pun dengan dalih apa pun. Ianya milik rakyat yang perubahannya mesti atas persetujuan rakyat melalui referendum.

[Teks tambahan: Buat apa damai kalau Aceh tergadai? ”... jadikan perang untuk damai, tetapi damai yang menang...,” kata Nietzsche dalam bukunya yang masyhur, Zarathustra. Tengku Hasan di Tiro suka mengutip ucapan Nietzsche dalam caramah politiknya.]

Kalaulah Tengku Hasan M. di Tiro berkata: “Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa perjuangan tersebut, tidak mungkin kita bisa membina hubungan dengan negara lain, seperti yang terjadi sekarang ini.” [Serambi Indonesia, 6/10/08]. Artinya, Sultan Aceh [pemimpin tertinggi negera] dalam sejarahnya, belum pernah ada seorang pun yang berkhianat kepada bangsanya. Inilah pelajaran yang didapat dari sejarah.

Akhirnya, “Bangsa Acheh sudah tentu akan memperlihatkan bukti jati dirinya bahwa mereka bukan suatu lawan yang dapat dihina. Orang Acheh adalah suatu bangsa beradab dari zaman dahulu, yang biasa berperang, sesekali menang, kadangkala kalah, tetapi biar pun menang, biar pun kalah, tidak pernah diperoleh tanpa kemuliaan ... Bangsa Acheh memang selalu terkenal karena gagah berani dan tahu menempatkan diri, lebih daripada bangsa-bangsa lain di sekeliling negara Acheh.“ Suratkabar The London Times, 29 April 1873.

Dalam konteks ini, maka Tengku Hasan M. Di Tiro sedang diuji untuk menentukan, apakah beliau mengikuti pendirian famili Tengku di Tiro sebelumnya atau sebaliknya. Sejarah akan mengukir dan mengadili. Sejarah adalah Mahkamah yang paling adil dalam peradaban manusia. Di bawah sinar Matahari, tidak ada peristiwa yang mustahil terjadi. Wallahu’aklam bissawab![]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research.
[Tabloid KONTRAS Banda Aceh, 16/10/08]

Rabu, 1 September 2021

Jadilah Diri Sendiri

Jadilah diri sendiri, untuk mendapat kawan sejati.

Jikalau orang tidak suka, maka mereka benar bukan orang yang kita kehendaki.
Jikalau orang suka, maka itulah sahabat sejati.

Menjadi orang lain, maka suka dan benci orang adalah untuk orang lain.

Dan kepura-puraan akan merubah benci menjadi suka, dan merubah suka menjadi benci.

Contoh, kita menyukai jengkol tapi berpura² suka durian. Maka kita post lah pasal durian di fb, tentu yang merapat kawan pecinta durian. Tapi pas ketemuan, di jamu makan durian malah kita tolak. Maka bermula lah dua kebencian. Kebencian pertama karena menipu, kebencian kedua karena menjamu orang yang salah.

Oleh itu, selfilah sebatas kemampuan diri, tak perlu berlebih² dan jangan pula terlalu merendah diri. Kerena kepalsuan akan berakhir dengan cacian dan di tinggal pergi. Dan berlebih-lebihan nanti malu pulang kampung sendiri. 😂

Inilah ane, hanya buruh kasar yang miskin kere. Anak pak tani di lereng perbukitan pasèe. 😊