SABTU: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengerluarkan amaran: “Diperkirakan gelombang laut mecapai 3,5 meter. Hendaknya hari ini nelayan tidak melaut.”
Tetapi nelayan tetap melaut. Untunglah prediksi BMKG meleset. Gelombang tidak seperti diperkirakan, namun lebih tinggi, yakni mencapai 4,5 meter.
MINGGU: BMKG mengeluarkan amaran: “Diperkirakan gelombang laut mecapai 4,5 meter. Hendaknya hari ini nelayan tidak melaut.”
Tetapi nelayan tetap melaut seperti biasa. Untunglah prediksi BMKG meleset lagi. Gelombang tidak seperti diperkirakan, namun lebih tinggi, yakni mencapai 5,5 meter.
SENIN: BMKG mengeluarkan amaran lagi: “Diperkirakan gelombang laut mecapai 6,5 meter. Hendaknya hari ini nelayan tidak melaut.”
Seperti biasa, nelayan tetap melaut. Untunglah prediksi BMKG meleset lagi. Gelombang tidak seperti diperkirakan, namun lebih tinggi, yakni mencapai 8,5 meter.
SELASA: Seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian terhadap kehidupan komunitas pesisir, dengan heran bertanya pada rombongan nelayan, “Kenapa Bapak-bapak suka mengambil sikap berlawanan dengan amaran BMKG?”
“Karena perkiraan mereka suka meleset,” jawab nelayan kita dengan enteng.
“Tapi melesetnya bukan ke lebih rendah, malah sering lebih tinggi dari prakiraan BMKG,” heran si Mahasiswa.
“Itulah makanya kami selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi gelombang yang lebih tinggi dari perkiraan BMKG,” jawab nelayan kita, lagi-lagi dengan enteng.
Merasa agak pusing dengan jawaban para nelayan, si Mahasiswa mengalih ke pertanyaan yang mempersempit ruang argumentatif. Katanya, “Kenapa Bapak-bapak bisa selamat pulang dari laut meski tinggi gelombang mencapai 8,5 meter?”
“Dulu sebelum ada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika kami tetap melaut seperti biasa; namun setelah adanya BMKG, keselamatan kami selalu dikaitkan dengan tinggi-rendahnya gelombang laut.”
“Tapi logikanya memang begitu, bukan?” tanya si Mahasiswa.
“Logikanya adalah, kapal motor, boat, atau sampan kami selalu mengapung di atas permukaan air. Jika gelombang tinggi, dia akan mengalun tinggi-tinggi. Jika gelombang rendah, dia akan mengalun rendah-rendah. Selagi prinsip hidrostatik Hukum Archimedes tetap berlaku, maka yang dikhawatirkan sebenarnya, apa?”
(“Jika sebuah benda dicelupkan ke dalam zat cair, maka benda tersebut akan mengalami gaya apung (gaya ke atas) sebesar berat zat cair yang dipindahkannya.”—Archimedes, ilmuan Yunani—187-212 SM-Pen.)
Merasa terkejut dengan jawaban para nelayan, Mahasiswa kita langsung terdiam. Namun dalam kediamannya, ketika ia merenungkan kembali jawaban-jawaban para nelayan, sepertinya ia menangkap suatu makna tersirat, yang kira-kira kalau dibahasakan akan berbunyi seperti ini:
‘Kekhawatiran orang di darat adalah merupakan keberanian bagi orang yang sedang berada di tengah lautan. Atau dengan kata lain: orang di darat boleh khawatir terhadap nasib nelayan yang sedang berada di tengah laut, namun nelayan harus berani menghadapi keberaniannya.’
‘Atau,’ pikir Mahasiswa kita lagi, ‘memang sudah tabi’at orang Aceh suka menantang apa saja. Misalnya, saat Pemerintahan Jakarta sedang bergaya sangat sentralistik hingga semua daerah lain tunduk-patuh, orang Aceh justru mengambil sikap melawan. Saat semua negara di dunia menolak pengungsi Rohingya, orang Aceh justru menjemputnya di tengah laut.’
RABU: merasa amarannya selalu diabaikan nelayan, hari ini BMKG seperti sudah enggan mengeluarkan peringatan. Rupanya hal ini langsung mendapat sorotan publik, bahwa BMKG tidak menjalankan pekerjaannya. Soal nelayan acap tidak respek pada amaran-amarannya, itu bukan alasan buat BMKG untuk tidak bekerja.
KAMIS: Dikritik publik atas kemandegan aktivitasnya, BMKG segera berbenah diri. Mereka sigap melakukan pemantauan dengan lebih teliti.
JUM’AT: Seperti hari-hari sebelumnya, BMKG segera mengeluarkan amarannya lagi, “Laut diperkirakan tenang. Gelombang diprediksi hanya setinggi kurang dari 1 meter. Nelayan yang menggunakan sampan tak perlu khawatir mencari ikan hingga jarak 30 mil dari pantai.”
Namun hari itu tak ada nelayan yang pergi ke laut. Prediksi BMKG memang tepat, tak meleset sesenti pun. Tetapi, sebagaimana kebiasaan di Aceh, nelayan tidak melaut pada hari Jum’at.
Credit FB Musmarwan