Jumaat, 30 Julai 2021

KISAH MENINGGALNYA JURNALIS ERSA SIREGAR DALAM KONFLIK ACEH


Perang memang selalu melahirkan korban nyawa, tak terkecuali wartawan, seperti yang dialami oleh juru kamera dan reporter senior RCTI, Fery Santoro dan Sori Ersa Siregar, yang menjadi sandera pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Nasib keduanya beda, satu selamat, satu tewas diterjang peluru.

Bagaimana kisah kematian Sori Ersa Siregar bisa dibaca dalam buku yang ditulis Fery Santoro yang selamat. Buku itu diberi judul, Antara Hidup dan Mati, 325 Hari Bersama GAM. Keduanya disandera GAM pada pertengah tahun 2003.

Fery Santoro mengakui meski mereka diperlakukan dengan sangat baik oleh GAM, tapi keselamatan mereka tetap terancam, karena setiap saat bisa saja terjadi perang antara pasukan GAM dengan TNI.

Kekhawatiran itu menjadi nyata, saat pasukan GAM membebaskan mereka, mengantarnya ke daerah penjemputan, pada 29 Desember 2003, ternyata diketahui oleh TNI, sehingga kontak senjata terjadi. Dan dalam perang itu Sori Ersa Siregas tewas terkena terjangan peluru TNI, sementara Fery Santoro selamat.

Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu mengakui bahwa Sori Ersa Siregar tewas karena peluru TNI. "Kan, Ersa ada di pihak GAM. Resikonya pelor. Kalau enggak mau tertembak, ya tak usah jadi wartawan perang," kata Ryamizard kepada awak media di Jakarta, sehari setelah penembakan itu.

Fery Santoro dalam bukunya mengungkap secara detail kisah penyanderaan bermula. Saat hari kejadian penyanderaan, para anggota GAM menghadang mobil Kijang lalu masuk ke dalam mobil yang ditumpangi Ersa, Ferry dan penumpang lain. Ersa yang duduk di kursi depan ditarik dan didorong untuk kemudian duduk di kursi paling belakang. Begitu pula dengan sang sopir.

Salah satu anggota GAM mengambil kemudi, satunya duduk di depan. Safrida dan Soraya duduk di tengah, diapit dua personel GAM. Ersa, Rahmatsyah, Ferry, dan satu anggota GAM duduk berdesakan di belakang.

Mata mereka ditutup dan baru dibuka saat tiba di lokasi tujuan—hamparan sawah yang sangat luas. Kelimanya tak tahu mereka ada di mana. Mereka lalu diinterogasi. Usai diinterogasi, mereka diajak berjalan menelusuri sawah, lalu ke perbukitan dan gunung di ujungnya. Sampai tibalah mereka di satu gubuk. Di gubuk itu, Safrida diinterogasi lagi. GAM curiga ia adalah mata-mata. Safrida adalah istri tentara, begitu juga adiknya, Soraya.

Mobil Kijang ditinggalkan, suatu hari, ia ditemukan TNI di tengah kebun sawit dan ditutupi semak-semak. Pada Kamis, 3 Juli 2003, Ersa diberi kesempatan untuk bicara dengan rekannya di RCTI. Ia memberitahu bahwa mereka dalam keadaan sehat. Ia juga meminta rekannya menyampaikan kabarnya kepada keluarga di Jakarta.

Mereka juga sempat bertemu dengan Ishak Daud, sang Panglima. Lewat buku Catatan Harian Sandera GAM: Kisah Nyata Safrida dan Soraya, Safrida menggambarkan Ishak sebagai sosok yang tenang dan sopan. Ishak memperlakukan mereka dengan baik.

Tepat sepekan setelah penculikan, 6 Juli 2003, Ishak menggelar konferensi pers dengan RCTI guna memberitahu publik bahwa Ersa, Ferry, dan tawanan lainnya dalam keadaan sehat dan diperlakukan dengan baik. Mereka dibolehkan bicara apa saja, kecuali satu hal, memberitahu di mana mereka berada.

Pada hari itu juga, mereka diberi kesempatan menelepon keluarga mereka. Ersa menelepon anaknya. “Apa kabar, Nak? Gimana SPMB-nya? Udah mulai ujiannya?” ia langsung menghujani anaknya dengan pertanyaan. “Baik-baik di rumah, dijaga Inang [ibu] di rumah ya. Jangan nakal-nakal,” ujar Ersa menutup pembicaraan.

Panglima GAM Wilayah Pereulak, Aceh Timur Ishak Daod menyetujui pembebasan dengan syarat gencatan senjata selama dua hari di lokasi pembebasan tawanan. Tapi pihak TNI tak setuju. Mereka meminta para tawanan diletakkan di satu tempat, lalu dijemput. Sementara pihak GAM bersikeras untuk menyerahkan langsung.

Pada 17 Desember 2003, Rahmatsyah, sang sopir Ersa dan Ferry dibebaskan. Bebasnya sopir memberi harapan bagi keluarga dan pihak RCTI. Mereka yakin Ersa dan Ferry juga akan segera dibebaskan.

Pada Sabtu, 27 Desember, Ishak Daod bilang akan menyerahkan tawanan lewat TNI. Namun, sampai Senin pagi, 29 Desember 2003, belum juga ada kesepakatan antara TNI dan GAM. Komando Operasi TNI masih meminta GAM untuk meletakkan para tawanan di satu tempat saja. Sementara GAM bersikeras untuk menyerahkan langsung.

Siang harinya, terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI di Desa Kuala Manihan, Simpang Ulim, Aceh Timur. Ersa ada di lokasi, bersama sejumlah anggota GAM. Naas, Ersa tertembak dan tak selamat bersama satu anggota GAM. Dua peluru TNI menembus leher dan dada Ersa.

Begitulah kisah tewasnya jurnalis Sori Ersa Siregar reporter senior RCTI yang selama 325 hari berada dalam pasukan GAM. Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.
( iskandar norman)

Sumber Fb Ar Rijal

Aceh Bukan Indonesia.

Jikalau aceh adalah indonesia, maka arab saudi telah memberi izin pemerintah indonesia mengelola aset aceh.

Maka sebab musabbab inilah indonesia telah berusaha banyak kali untuk mengambil alih aset aceh di arab. Bukan semata² karena haus uang, tapi dengan wakaf ini membuktikan aceh bukan indonesia.

Indonesia adalah negara baru, yang lahir setelah 1945. Sedangkan kerajaan aceh, telah mengukir kejayaan sebelum indonesia ada. Bahkan, sempat menjadi kerajaan kepercayaan turki utsmani untuk wilayah asia tenggara. 

Begitu juga halnya dengan abang kita #palestine . Israel adalah negara baru, dan palestina telah ada ribuan tahun yang lalu. Kita patut memanggilnya abang, sebagaimana indonesia memanggil adik untuk negara malaysia, walaupun hanya selang beberapa tahun deklarasi pembentukan. Sedangkan aceh dan palestina di selangi oleh ribuan tahun, walaupun hari ini kita senasib, di tindas oleh negara yang baru lahir. 

Negara baru, dengan undang² baru. Memaksa orang lain menjadi bagian dari dia, kemudian memaksa orang lain mengikut undang² buatan bapak dia. Kan tidak logik. Padahal kita dari dulu di atur dengan islam, bukti masih tersimpan di dalam muzium malaka. Dengan nama kitab perundangan "mukuta alam al asyi"

Bukti memaksa, kalau kita tidak ikut akan di penjara. Kalau kita melawan, akan di bunuh beramai ramai. Tak kira dia ulama atau pejuang bersenjata. Tak kira anak kecil atau orang dewasa.

Tapi tak mengapalah, ini periode kejayaan anda. Karena periode kejayaan islam telah berlalu. Dan menanti datang kembali. Sekarang buatlah sesuka hati, mumpu masih berkuasa. 

Sumber Fb Ar Rijal

Sejarah Kesultanan Aceh menutup diri dari pengkabaran Injil.

Sejarah Kesultanan Aceh menutup diri dari pengkabaran Injil karena terjadi pembunuhan massal dan pengusiran muslim dari andalusia ( Spanyol )

Manuskrip ini memuat susunan Pemerintahan Kerajaan Aceh pada Masa Sultan Iskandar Muda. Manuskrip ini milik University Kebangsaan Malaysia yang belum dikatalogkan.

Kanun Meukuta Alam sebagai peraturan undang-undang Kesultanan Aceh Darussalam tertulis sekitar 3 (tiga) Pasal dalam hubungan dengan antara muslim dengan agama lain yang tidak menguntungkan bagi orang di luar Islam, antara lain:

1. Jikalau orang luaran yang lain agama dari pada agama Islam yang lain pada orang hindi tiada boleh di terima oleh orang negeri tinggal duduk di dalam kampungnya melainkan di suruh balik ke laut kedalam tempatnya (Pasal 21);

2. Jikalau orang lain agama itu hendak tinggal juga duduk di darat kedalam kampung orang islam kalau dapat celaka mati atau luka atau kena rampas hartanya dalam kampung itu tempat dia bermalam sama ada orang dalam kampung itu yang buat aniaya atau lain orang jahat kalau mati saja luka luka saja kalau dirampas hartanya habis saja tiada diterima pengaduannya oleh Raja atau Hulubalang sebab dari pada taksirnya sendiri punya salah (Pasal 22);

3. Adapun orang yang menerima pada orang yang lain agama itu tinggal duduk bermalam pada kampungnya contoh kesalahan kepada ulama kena kafarat denda kenduri memberi makan sidang jumat (Pasal 23);

Meskipun ketika Belanda telah berkuasa di Aceh, hubungan antara itu masih tegang di pedalaman. Terutama di wilayah-wilayah yang masih jauh dari jangkauan kekuatan militer Belanda. Seperti pembunuhan dua orang Perancis di Teunom yang bermaksud berbisnis emas akibat perbenturan nilai dimungkinkan oleh keadaan.

Repost Wall Atjeh

Sabtu, 24 Julai 2021

43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka

43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka
Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, saat berada di Aceh setelah damai, foto diambil Februari 2010. Dok: pribadi
Hari Ulang Tahun (HUT) atau Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke-43 tak lagi diperingati dengan upacara bendera bulan bintang di hutan-hutan. Tapi, sebagian mantan kombatan GAM memperingatinya dengan doa bersama di makam Deklarator GAM, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, Gampong Manggra, Kecamatan Indrapuri Aceh Besar, Rabu (4/12).

Aceh telah damai, sejak kesepakatan menghentikan konflik ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam.

Bagaimana Tgk Hasan Tiro memulai pemberontakan? Apa pemicunya? Dan bagaimana kisah akhir hayatnya? acehkini merangkumnya, diperkaya dengan dokumen foto-foto beliau. Berikut kisahnya, sebagian diceritakan Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haythar, karib seperjuangannya dulu.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (1)
Tgk Daud Beureueh, saat turun gunung. Dok. istimewa/acehmagazine
Bermula dari konflik Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 21 September 1953, setelah Tgk Daud Beureueh menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai.

Teungku Mahmud, Ayahnya Tgk Malik Mahmud yang tinggal di Singapura, terlibat langsung mendukung Daud Beureueh, jabatannya sebagai duta. Rumahnya menjadi tempat singgah bagi tokoh-tokoh yang ke luar negeri mencari perbekalan perang dan membangun diplomasi dengan negara luar. Kerap menjadi tempat mengadakan rapat-rapat. Tak heran, rumah selalu ramai dan jadi terminal bagi orang Aceh yang ke sana. “Rumoh di Singapura lagee meunasah (seperti meunasah),” kisah Tgk Malik.

Kala itu, Tgk Malik masih berusia 14 tahun, anak sekolahan. Banyak merekam perbincangan rekan ayahnya, membuat Malik muda paham mendalam tentang Aceh dalam perjuangan dan politiknya. Perlahan dia tertarik, dan karena masih muda, menyimpan hasratnya untuk ikut serta.

Malik muda sering mendapat tugas membaca surat yang datang dari para tokoh gerakan. Dia disuruh baca oleh ayahnya, setelah itu dia juga menulis balasan, sesuai dengan perintah sang Ayah. Juga bertugas sebagai pencuci foto kegiatan DI/TII di Aceh. Dia banyak melihat gambar ketika foto sudah jadi.

Tgk Hasan Di Tiro dikenal Tgk Malik pertama kali lewat surat menyurat dengan ayahnya. Tgk Hasan Tiro, saat itu kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Columbia, Amerika Serikat. Sambil belajar, dia juga bekerja pada dinas penerangan delegasi Indonesia di PBB.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (2)
Hasan Tiro muda bersama Ummi Potjut Fatimah. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Sebuah kejadian pembunuhan ratusan masyarakat Aceh dalam perang DI/TII di Aceh mengubah hidupnya, pada 1954. Insiden itu dikenal sebagai tragedi Pulot Cot Jeumpa, di kawasan Leupung Aceh Besar. Saat itu, ratusan warga dibunuh tentara pemerintah karena dikaitkan dengan pemberontakan DI/TII. Peristiwa diberitakan beberapa media nasional seperti Indonesia Raya. Lalu ditulis kembali oleh media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat.

Hasan Tiro menilai pembunuhan massal itu sebagai bentuk genosida. Dia melancarkan protes ke pemerintah Indonesia, mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis. Surat terbuka tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (3)
Tgk Hasan Tiro (tengah), Oktober 2008. Foto: Suparta
Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Bahkan Hasan Tiro melaporkan kejadian itu ke agenda PBB.

Pemerintah Indonesia kemudian mencabut kuasa diplomat Tgk Hasan Tiro. Tak lama kemudian beliau balik arah, mendukung DI/TII, lalu menjadi Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pernah meminta agar Tgk Hasan Tiro diekstradisi, tapi beliau mendapat jaminan dari pemerintah Amerika Serikat.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (4)
Tgk Hasan Tiro (tengah). Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Pemerontakan DI/TII berakhir dengan damai, tatkala Daud Beureueh bersedia turun gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Daerah Aceh kembali seperti semula, bahkan berstatus Istimewa.

Sejak itu, Tgk Hasan Tiro makin intens mengkaji sejarah Aceh. Beliau hidup mapan di New York sebagai pengusaha, bahagia bersama istrinya Dora dan anak semata wayangnya, Karim Tiro. Seperti ditulis dalam catatan hariannya, The Price of Freedom: The Unfinished Diary, meski menjadi incaran Pemerintah Indonesia, dia merasa menjadi pebisnis sukses yang berhasil masuk lingkaran pemerintahan di banyak negara, seperti AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Perusahaannya bergerak di bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, manufaktur, industri pengolahan makanan, dan penerbangan.
***
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (5)
Milad GAM diperingati di Libya. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Tgk Malik Mahmud bertemu muka pertama kali dengan Tgk Hasan Tiro, pada 1963, saat Hasan Tiro ke Singapura dan menginap di rumah. Mereka banyak berdiskusi soal Aceh. Malik sudah tahu semua sebelumnya, membuat diskusi semakin hangat saja. “Saya tertarik penampilannya, sopan, wibawa, kharismatik. Saya banyak belajar dari dia,” kata Malik.

Selepas konflik DI/TII di Aceh, Tgk Malik sibuk membantu ayahnya mengembangkan bisnis. Begitu juga Tgk Hasan Tiro yang membangun bisnis di Amerika Serikat. Tapi hubungan keduanya tetap lanjut dalam surat menyurat.

Tgk Hasan Tiro yang tidak bisa pulang ke Aceh karena masih dianggap bermasalah. Beliau terus berusaha untuk pulang ke Aceh, sampai menemukan jalan lewat jalur bisnis. Tokoh Aceh saat itu, Hadi Thayeb dan Raman Ramli (dubes Indonesia untuk AS) mencoba memfasilitasi. Lalu pada awal tahun 1969, Tgk Hasan Tiro pulang ditemani oleh Tgk Amir Mahmud, abang kandung Tgk Malik. Mereka pulang dengan jalur resmi dan formal, sampai menjumpai Presiden Soeharto.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (6)
Tgk Hasan Tiro saat pulang ke Aceh, 1969. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Setelah itu, Tgk Hasan Tiro kembali ke Amerika Serikat. Setahun kemudian mau kembali lagi ke Aceh, tapi tak mendapat izin pemerintah Indonesia. “Saya bilang, kalau tak dikasih pulang dengan legal, pulang dengan illegal,” kenang Tgk Malik.

Sampai kemudian pada 1974, saat Tgk Zainal Abidin, abang Tgk Hasan Tiro meninggal dunia. Dengan alasan itu, beliau mendapat izin membezuk, asal tak menyentuh sisi politik. Dari Amerika, Tgk Hasan Tiro menuju ke Kuala Lumpur dan di sana Tgk Malik sudah menunggu.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (7)
Tgk Hasan Tiro di Swedia. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Dari Kuala Lumpur mereka menuju Medan, Sumatera Utara. Di sana, Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe sudah menunggu dengan dua mobil. Mereka kemudian menuju ke rumah Zaini Abdullah di Kuala Simpang. Saat itu, Zaini berprofesi sebagai dokter di Puskesmas setempat. Malam itu mereka berbagi cerita, diselingi canda tawa sampai pagi. Banyak warga berkumpul, semua bicara perang, semua menginginkan kembali adanya gerakan kemerdekaan. “Nyoe woe ken untuk meu prang (ini kembali bukan untuk berperang),” kata Tgk Hasan Tiro kala itu.

Dalam perjalanan sepanjang Medan-Pidie, mereka kerap singgah di warung-warung. Tgk Malik mengingat, Tgk Hasan Tiro saat itu memakai peci dengan baju safari kuning. Juga memegang tongkat. Di mana pun mereka singgah selalu ramai disambut warga.

Di Pidie mereka diikuti intel pemerintah. Di sela-sela senda gurau, banyak orang bertanya, “Teungku, pajan ta meu prang lom (kapan kita perang lagi),” kenang Tgk Malik.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (8)
Dalam sebuah upacara Milad GAM. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Setelah kepulangan itu, mereka kerap bertemu di Singapura dan membahas politik Aceh. Beberapa tokoh dari Aceh juga datang. Sampai kemudian sebuah kesimpulan diambil, bahwa gerakan kemerdekaan harus dideklarasikan. Persoalan ketidakadilan dan kesejahteraan yang belum didapat warga Aceh menjadi dasar utama, berbanding terbalik dengan kekayaan alam Aceh.

Tgk Hasan Tiro terus mencoba pulang kembali ke Aceh, tapi belum berhasil. Baru pada 30 Oktober 1976, beliau berhasil masuk Aceh dengan sebuah kapal motor kecil melalui perairan Pasi Lhok, Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie.

Sejak itu, Tgk Hasan Tiro naik gunung, hingga akhirnya mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Beliau juga membentuk kabinet yang terdiri dari Muchtar Hasbi, Zaini Abdullah, Husaini Hasan, Zubir Mahmud, Amir Ishak, Tengku Ilyas Leubè, Tengku Muhammad Usman Lampoih Awe, Malik Mahmud, Amir Rasyid Mahmud, dan komandan tentara Daud Husin alias Daud Paneuk serta Keuchik Umar.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (9)
Seusai Deklarasi Aceh Merdeka di Pidie. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Walhasil, Tgk Hasan Tiro menjadi buruan kelas wahid pasukan keamanan pemerintah. Dia dicap pemberontak yang merongrong stabilitas keamanan Indonesia. Tiga tahun lamanya, Tgk Hasan Tiro bergerilya, memimpin pasukannya di belantara Aceh. Pada 28 Maret 1979, beliau meninggalkan Aceh melalui sebuah pelabuhan kecil di pesisir Jeunieb, Bireuen. Ia kembali ke Amerika Serikat, hingga akhirnya menetap di Alby, Norsborg, Swedia. Beliau memimpin pemberontakan dari sana.

Sebagai salah seorang Menteri atau Meuntro dalam kabinet GAM, Tgk Malik Mahmud mendapat tugas berat. Keberadaannya di Singapura yang berbatas langsung dengan Indonesia membuatnya jadi penghubung antara Wali Nanggroe Tgk Hasan Tiro dan para gerilyawan. “Jika Wali berhalangan, saya yang menjalankan tugas,” jelasnya.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (10)
Kegiatan di Maktabah Tazzura, Libya. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Tugas Tgk Malik mulai dari memasok senjata sampai merekrut pasukan untuk dilatih. Beliau bertugas mengirim pasukan untuk belajar militer di Maktabah Tazzura, Libya. Bersama Tgk Hasan Tiro, beliau pun sering ke sana.

Konflik terus terjadi di Aceh, 29 tahun lamanya setelah GAM dideklarasikan. Damai kemudian diraih dalam perundingan di Helsinki, Finlandia.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (11)
Tgk Hasan Tiro bersama rekan-rekannya. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
***
Usai Damai Aceh disepakati. Tgk Malik lebih dulu pulang ke Aceh pada 19 April 2006. Tgk Hasan Tiro kemudian menyusul pada 11 Oktober 2008. Saat itu puluhan ribu orang dari berbagai kabupaten//kota berbondong-bondong datang ke Banda Aceh, memenuhi Bandara Sultan Iskandar Muda dan Masjid Raya Baiturrahman. Wali Hasan Tiro pulang melalui Malaysia, dijemput sejumlah sahabatnya.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (12)
Tgk Hasan Tiro saat pulang ke Aceh usai konflik, 11 Oktober 2008. Foto: Suparta
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (13)
Suparta, kini fotografer acehkini, turut menjemput Tgk Hasan Tiro di Malaysia. Dok. Pribadi
Di Masjid Raya Baiturrahman, Wali Hasan Tiro menyampaikan amanahnya, dibacakan Tgk Malik Mahmud. “Biaya perang mahal, biaya memelihara perdamaian juga lebih mahal. Maka dari itu, peliharalah damai untuk kesejahteraan kita semua.”

Bagi Tgk Hasan Tiro, kepulangannya ke Aceh adalah janji yang ditunaikan sekaligus menumpahkan kerinduan pada tanah leluhur. “Saya akan segera kembali begitu misi terlaksana dengan sempurna,” tulis Tgk Hasan Tiro dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary.

Beliau sempat tinggal selama dua minggu di Aceh, mengunjungi sejumlah kawasan sejarah dan makam leluhurnya. Selanjutnya, kembali lagi ke Swedia. Setahun kemudian, Tgk Hasan Tiro pulang lagi ke Aceh dan menetap, tinggal di sebuah rumah kawasan Lamteumen, Banda Aceh.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (14)
Tgk Hasan Tiro bersama Karim Tiro dan Meuthia. Foto: Suparta
Usia lanjut dan faktor kesehatan, Tgk Hasan Tiro mangkat pada 3 Juni 2010, setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin, Banda Aceh. Ribuan pelayat mengantar Hasan Tiro ke tempat peristirahatan terakhirnya, di Gampong Manggra, Indrapuri, Aceh Besar. Beliau dimakamkan tepat di sebelah makam leluhurnya, Pahlawan Nasional dari Aceh, Tgk Thik Di Tiro atau Wali Nanggroe pertama.
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (15)
Tgk Hasan Tiro dan Tgk Amir Maumud (duduk) saat pulang ke Aceh. Foto: Suparta
Dalam ceramah yang sendu melepas jenazah Hasan Tiro, ulama Aceh Tengku Muhibuddin Waly berkata, "Semoga kita semua menjaga amanah Wali untuk terus menjaga perdamaian abadi di Aceh.”

Sampai 14 tahun lebih lahirnya damai di Aceh, semua sepakat mengenang Milad GAM dengan doa-doa, bukan lagi senjata. []
43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka  (16)
Tgk Hasan Tiro wafat 3 Juni 2010, jenazahnya disalatkan di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Foto: Suparta 


Sumber Kumparan

Selasa, 13 Julai 2021

Meletusnya Perang Aceh - 1


Kesultanan Aceh adalah salah satu kekuasaan besar yang pernah hadir di Nusantara. Jejaknya ada hingga ratusan tahun. Aceh menjadi salah satu Kesultanan yang berpengaruh hingga menjadi pusat kebudayaan Islam di tanah air. Kesultanannya mencapai kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda. Kesultanan menjadi pusat perdagangan sekaligus pengajaran Islam di Nusantara. Pasca wafatnya Sang Sultan, Aceh perlahan meredup kejayaannya. Meski demikian Kesultanan ini masih dapat bertahan hingga lebih dari 200 tahun kemudian, ketika kolonialisme Belanda akhirnya meluluh lantakkan Kesultanan Aceh pada abad ke-20.

Pada abad ke-19, Aceh tidak lagi mengecap masa jayanya. Meski demikian, hingga pada paruh pertama abad ke-19, Aceh tetap merupakan kekuasaan yang berdaulat ditengah-tengah bercokolnya Pemerintah Hindia Belanda di Jawa dan sebagian Sumatera.

Kesultanan Aceh terdiri dari wilayah pusat kekuasaan dan daerah-daerah taklukan mereka. Menjelang meletusnya perang Aceh, Kesultanan Aceh terdiri dari Aceh Besar, yaitu daerah sepanjang sungai Aceh yang terbagi atas tiga wilayah yang disebut ‘sagi.’ Setiap sagi diberi nama sesuai jumlah mukim yang dimilikinya. Mukim XXII (artinya mereka memiliki 22 mukim), Mukim XXV, Mukim XXVI, dan bagian-bagian yang terletak di selatan Mukim XXV, yaitu Lho’nga, Leupueng, dan Lhong.²

Selain itu Kesultanan Aceh juga terdiri dari daerah-daerah taklukan di luar Aceh Besar yang terletak di pantai barat, pantai timur dan pantai utara ujung pulau Sumatera. Wilahyah ini terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil yang otonom ataupun yang merupakan federasi.³

Sultan Aceh sendiri berkuasa langsung atas daerah yang dikuasainya di kawasan istana sebagai ‘Dalam.’ Pihak Belanda menyebutnya ‘keraton,’ Satu istilah yang menggambarkan betapa pengetahuan Belanda tentang kekuasaan hanya terbatas dan mengacu pada istilah dari Jawa. Selain wilayah ‘Dalam’, Sultan Aceh juga berkuasa langsung di Pekan Aceh, Kampung Merduati, Kampung Jawa, Kampung Pande dan Kampung Pedah.⁴

Wilayah lain (wilayah taklukan) dikendalikan oleh para raja kecil atau Uleebalang. Mereka membayar upeti pada Sultan Aceh. Kekuasaan diresmikan dengan surat pengukuhan atau piagam yang disebut sarakata yang dibubuhi stempel Cap Sembilan. Surat ini memberi legitimasi kepada mereka untuk memerintah sesuai adat.⁵

Dari wilayah-wilayah inilah kekuasaan Kesultanaan Aceh terbangun. Pada akhir abad ke-19, Kesultanan Aceh bukanlah satu kekuasaan federal yang kuat. Aceh Besar dan ratusan wilayah taklukannya disebut sebagai negeri atau naggroe.⁶

Di Aceh besar, negeri federasi yang disebut sagi di atas, dipimpin oleh ketua federasi yang disebut Panglima Sagi. Di bawahnya, para Uleebalang memerintah daerah masing-masing. Di antara para pemimpin sagi yang berpengaruh adalah Panglima Polem yang merupakan keturunan Sultan Iskandar Muda dari Istri bukan permaisuri yang berasal dari Abisinia (Etiopia).⁷

Setiap sagi menurut Teungku Chik Kutakarag dalam Tadhkirat al-Radikin dipimpin oleh pemimpin sagi yang memerintah dengan hukum adat. Di setiap sagi ada ulama besar yang memegang hukum syariat. Ulama memang menjadi sosok berpengaruh lainnya dalam kepemimpinan masyarakat di Aceh selain Sultan dan Uleebalang. Para pemimpin adat dan agama dalam ketiga sagi tersebut berjumlah 18 orang. Mereka inilah yang disebut ahlul-halli wa ‘l-‘aqdi. Mereka yang membaiat dan mengangkat Sultan Aceh.⁸

Secara umum pembagian fungsi dalam kesultanan Aceh pada pertengahan abad ke-19 menjelang perang terbagi atas beberapa jabatan:

  1. Sultan (di bawah umur dan dalam pengasuhan Mangkubumi)
  2. Habib Abdurrahman Az-Zahir, Mangkubumi atau semacam Perdana Menteri merangkap Wali Raja dan bertanggung jawab sebagai Menteri Luar Negeri.
  3. Panglima Polem, Panglima Sagi XXII Mukim, tertinggi dari tiga panglima sagi. Dia berwenang memimpin perundingan untuk menetapkan pengangkatan Sultan.
  4. Panglima Tibang, Syahbandar.
  5. Imam Leungbata, selain Uleebalang mukim Longbata, juga panglima perang.
  6. Teuku Kali Maliku’l – ‘Adil, Uleebalang Sultan, terdiri dari 12 kampung di kanan sungai Aceh, juga kepala Agama.⁹
Panglima Tibang. Sumber foto: Wikimedia

Pembagian kekuasaan tadi tak dapat disangkal menjadi persaingan beberapa tokoh berpengaruh. Terlebih kekuasaan Sultan Ibrahim Mansur Syah (1850 – 1870) berkuasa setelah berkonflik dengan Sultan Sulaiman. Sultan Sulaiman adalah ipar dari Teuku Ba’et yang berkuasa di wilayah pengunungan Mukim XXII dan kekuasaannya hanya bisa ditandingi oleh Panglima Polem . Teuku Ba’et menolak untuk berbaikan dengan Sultan Ibrahim dan menjaga janda Sultan Sulaiman dan putranya yang masih kecil yaitu Mahmud.¹⁰

Panglima Polem sendiri berhubungan baik dengan Teuku Ba’et yang kubunya berseberangan dengan Sultan Ibrahim. Sultan Ibrahim kemudian wafat pada 1870. Konflik dalam kekuasaan kesultanan Aceh ini didamaikan oleh seorang asing, Habib Abdurrahman Az-Zahir yang datang pada tahun 1864. Berkat pengetahuannya yang sangat luas dan kepribadiannya yang memukau ia segera menjadi cendikiawan Istana dan menjadi Kepala Masjid Raya. Ia kemudian menikahi janda Sultan Sulaiman dan membawa Mahmud, putra mendiang Sultan Sulaiman ke dalam Istana.¹¹

Mahmud lah yang kelak menggantikan Sultan Ibrahmi Mansur Syah sebagai Sultan Aceh.

Aceh di antara Bangsa-bangsa Asing

Kedamaian di antara wilayah-wilayah yang dipimpin oleh Uleebalang tergantung pada kekuasaan Sultan. Pada akhir abad ke-19, kekuasaan Sultan sudah merosot. Hal ini memicu ketidakstabilan. Meski terjadi kemerosotan kekuasaan, namun Aceh tetap menjadi wilayah yang berdaulat pada abad ke 19. Pelayaran yang melintasi kekuasaan Aceh menjadi sumber pemasukan bagi Kesultanan. Kekuasaan Asing yang bercokol di antara Aceh adalah Inggris dan Belanda yang saling bersaing.

Persaingan dagang antara Inggris dan Belanda di beberapa wilayah di Asia Tenggara akhirnya diselesaikan dengan satu perjanjian Anglo-Dutch Treaty atau dikenal dengan Traktat London pada 17 Maret 1824. Belanda akhirnya mengakui kepemilikan Inggris atas Singapura dan menyerahkan Malaka untuk Inggris. Sebaliknya, Inggris menyerahkan Bengkulu (Bencoolen) dan kekuasaan di Sumatera pada Belanda. Sebagai tambahan, kedua belah pihak tidak boleh membuat perjanjian dengan penguasa di wilayah itu.

Traktat ini menyisakan satu persoalan. Bagaimana dengan Aceh yang memiliki posisi penting di Selat Malaka? Traktat itu akhirnya disepakati untuk memberi hak pada Belanda untuk menegakkan keamanan di Aceh namun tetap menghormati kedaulatan Aceh.¹²

Tentu saja Traktat ini dibuat tanpa mengajak bicara para penguasa di Sumatera. Satu arogansi Bangsa Barat yang menganggap Sumatera dan manusianya semacam komoditas belaka. Merespon Traktat London dan penyerahan Bengkulu pada Belanda, Sultan Bengkulu kemudian marah dan mengatakan:

“Saya memprotes pemindahan kekuasaan ini. Siapa mereka yang merasa miliki kekuasaan untuk menyerahkan negeriku dan orang-orangnya, seperti binatang ternak, menyerahkan kepada Belanda atau kekuasaan lain? Jika Inggris sudah lelah dengan kami, biarkan mereka pergi; tapi saya menolak hak untuk menyerahkan kami pada Belanda.” ¹³

Aceh yang Memikat dan Mengganjal

            Sejak awal abad ke-16 Aceh sudah menarik pedagang dari berbagai belahan dunia seperti Eropa, India, Timur Tengah, Cina hingga Amerika. pada abad ke-19, Aceh menjadi penghasil lada terbesar di dunia. Lada telah membuat para Uleebalang dan pemilik lahan tanaman lada menjadi sangat kaya.¹⁴

Pada abad ke-18, Aceh menjadi sangat strategis bagi negara-negara Eropa terutama Inggris, Belanda dan Perancis. Bagi Inggris khususnya, Aceh bukan hanya penting bagi perdagangan, tetapi juga pangkalan pelayaran untuk menguasai Samudera Hindia dan Selat Malaka.

Pada 1771, 1772 dan 1782 Inggris pernah mencoba untuk membujuk Aceh agar memberikan izin untuk menjadi pangkalan pelayaran dan komersial mereka. Meski pada akhirnya Inggris memilih Penang, namun posisi Aceh tetap penting bagi perdagangan Inggris di Asia Tenggara. Begitu pula sebaliknya. Penang menjadi gerbang Aceh untuk memasarkan produknya terutama lada ke seluruh dunia.¹⁵

Bagi Belanda yang bersaing ketat dengan Inggris dalam geopolitik di Asia Tenggara, Aceh tampak menggiurkan. Traktat London memang mewajibkan Inggris maupun Belanda menghormati kedaulatan Aceh. Namun satu kejadian di tahun 1856 mengubah peta kekuasaan.¹⁶

Konflik internal Kesultanan Siak di Sumatera Timur berujung pada masuknya kekuatan asing ke dalam Kesultanan tersebut. Perebutan tahta Sultan Ismail dan kakaknya, Tengku Putra membuat Sultan Ismail meminta bantuan Belanda untuk mengalahkan kakaknnya. Belanda berhasil membuat kesepakatan-kesepakatan dagang dan politik yang menguntungkan. Tampuk kedaulatan sekarang dalam genggaman Belanda. Siak menjadi wilayah di Sumatera Timur yang bertekuk lutut di bawah Belanda, bersama Langkat, Deli dan Asahan Utara sampai ke Sungai Kampar di Selatan- di seluruh pantai seberang Malaka, kecuali Aceh.¹⁷

Intervensi politik Belanda di Siak merusak persahabatan Belanda dengan Aceh yang sebelumnya ditandatangani Jenderal J. Van Swieten pada Mei 1857. Pada tahun 1862, Belanda lewat Residen Riau, mencoba membujuk agar Aceh mengakui Siak di bawah kedaulatan Belanda. Bujukan ini dijawab Aceh dengan mengirim armada perang kecil. Bayangan akan perang sudah mulai terlihat.¹⁸

Sumatera Timur memang menjadi primadona baru. Di Deli, Kesultanan Deli akhirnya mengakui kedaulatan Belanda. Segera setelah itu, konsesi untuk perkebunan tembakau diberikan kepada Belanda oleh Sultan Mahmud. Kemudian ledakan keajaiban terjadi. Mutu tembakau Deli laku di pasar Eropa. Pada 1870 didirikan Deli Maatschappij. Perusahaan perkebunan modern pertama di Hindia Belanda, menangguk untuk yang luar biasa. Begitu luar biasanya perkembangan di Sumatera Timur sehingga, “…dalam waktu singkat tercipta keadaan Timur Liar yang tiada terlukiskan, merupakan dorongan terkuat yang dapat dibayangkan untuk menghapuskan Tanam Paksa. Barangsiapa bisa menghitung dengan angka-angka Deli, tidak perlu lagi mempersoalkan saldo laba.¹⁹

Zaman baru pun telah tiba. Pada 1869 terusan Suez dibuka. Perhubungan dengan Eropa menjadi lebih singkat. Pelayaran dapat ditempuh dari empat bulan, menjadi hanya lima pekan. Kedudukan Sumatera menjadi lebih penting. Sejak dibukanya Terusan Suez, pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo, melalui Selat Malaka. Hal ini juga menyebabkan jalur Selat Malaka ke Cina menjadi penting dan kedudukan Aceh semakin strategis.²⁰

Bagian terbesar pantai timur Sumatera memang telah dibawah pengaruh Belanda, tetapi di ujung Utara, masih bercokol kekuasaan Aceh. Inilah halangan terbesar nafsu Belanda menangguk keuntungan. Bayangan keuntungan atas negeri penghasil lada terbesar di dunia, penguasaan Sumatera dari utara sampai sepanjang pantai timur dengan limpahan hasil kebunnya serta jalur strategis pelayaran ke Asia Timur tak lagi dapat dibendung. Traktat London yang menghalangi politik intervensi harus segera disingkirkan. Setidaknnya Aceh harus dapat di –Siak-kan.

Traktat London adalah penghalang utama ambisi Belanda. Oleh sebab itu mereka terus berupaya mendekati Inggris agar merevisi pasal-pasal dalam perjanjian tersebut. Bola kini berada di tangan Inggris. Inggris awalnya bersikap gamang. Mereka masih belum menentukan sikap atas niat Belanda. Sejak awal Inggris memang tidak peduli dengan nasib Aceh.

Pertimbangan utama Inggris adalah kepentingan dagang mereka di Semenanjung Malaya (Straits Settlements). Wakil Menteri Kolonial Inggris, Buckingham mengatakan,

“…berarti ada implikasi bahwa jika kita membuat perjanjian dengan Belanda maka kita akan mengatur mengenai Aceh tanpa meminta pendapat atau persetujuan Sultan Aceh. Langkah seperti ini…jelas akan dapat dijadikan alasan yang sah oleh Sultan Aceh untuk mengadakan perjanjian dengan negara-negara asing lain dan untuk memutuskan hubungan dengan kita – Sedangkan sementara itu pelabuhannya penting untuk perdagangan kita di India.²¹

Keadaan segera berubah dengan kehadiran Sir Harry Ord di tahun 1867. Seorang pejabat kolonial Inggris di Semenanjung Malaya (Straits Settelements) yang bukan saja tidak peduli dengan nasibnya Aceh, tetapi juga mendukung Belanda dalam persoalan di Aceh. Dapat dikatakan ia adalah salah satu dari perumus utama dalam pasal-pasal mengenai Aceh dalam Perjanjian Sumatera nantinya. Inggris sendiri menjadikan Aceh sebagai alat tawar menawar dalam rangka memperoleh konsesi pajak. Selain itu Belanda menawarkan wilayah mereka di Pantai Emas di Ghana kepada Inggris dalam bentuk perjanjian lainnya.²²

Di satu hari, musim panas 1869, de Waal, Menteri Jajahan Kerajaan Belanda mencoba membuka jalan membujuk Inggris. De Waal berunding bersama Duta Besar Inggris untuk Belanda yang kebetulan bertemu saat sedang jalan-jalan di Taman Bosch, Den Haag, Belanda. De Waal menawarkan Pantai Emas di Ghana dan perubahan tarif ganda di Sumatera. Imbalannya, Inggris membantu Belanda dalam dua hal; pengerahan buruh kontrak di Hindia Inggris untuk Suriname dan kelonggaran dalam masalah Aceh. Disinilah Harry Ord berperan.²³

Colonial Office Inggris pun meminta pendapat Gubernur Singarpura tersebut. Tentu saja ia mendukung keinginan Belanda. Pada 9 Desember 1869, ia menyatakan direbutnya Aceh oleh Belanda akan menguntungkan perdagangan Inggris.²⁴

Berkali-kali pembicaraan terjadi. Namun kesepakatan baru tercapai pada tahun 2 November 1871. Inggris dan Belanda sepakat menandatangani Traktat Sumatera. Pasal pertama, pasal yang paling krusial menyangkut nasib Aceh. Pasal tersebut mencabut keberatan Inggris mengenai perluasakn kekuasan Belanda di mana saja di Sumatera.

“Her Brittanic Majesty desist from all objections against the extension of the Netherland Dominion in any part of the Island of Sumatera, and consequently from the reserve in that respect contained in the notes exchanged by the Netherland and British Pleinipontetiaries at the conclusion of the treaty of 17 March 1824.²⁵

Bagaimana pun, Traktat ini hanya merealisasikan keinginan Belanda untuk menaklukkan Aceh. Hal itu misalnya dapat dilihat dari surat De Waal pada Gubernur Jenderal pada masa itu, yang menyatakan bawha Batavia harus bersiap menghadapi kemungkinan pecahnya perang. Para politisi Belanda terbelah dua tentang cara menangani Aceh: Raad van Indie, semacam dewan penasehat untuk Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, menolak cara-cara yang agresif. Mereka menganggap Sultan Aceh dapat dijadikan sekutu dan kelak dibuat bergantung pada Belanda. Menawarkan Sultan perlindungan bantuan wilayah-wilayah yang memberontak padanya di Idi.²⁶

Di seberang Raad van Indie, ada kubu Fransens de Putte dan James Loudon. Menteri Jajahan Kerajaan Belanda dan Gubernur Jenderal Belanda di Batavia yang ingin segera menyingkirkan Sultan Aceh. Loudon ingin mendukung Idi dan pemberontak-pemberontak lain melawan Sultan [Reid, 2005: 96]. Fransens de Putte menolak ‘usul bodoh’ Raad van Indie dan mendesak tindakan yang lebih tegas membela kerajaan-kerajaan di Pantai Aceh melawan Sultan.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda James Loudon. Sumber foto: Koleksi Digital KITLV (http://hdl.handle.net/1887.1/item:786979)

Insiden di Idi, Sebuah Kesempatan Emas bagi Belanda.

Kesempatan emas itu pun tiba. Pada 1871 terjadi insiden pemblokadean terhadap kapal-kapal Belanda oleh armada kapal Simpang Ulim di pelabuhan Idi. Belanda membubarkan blokade tersebut dan menahan kapal Gipsy milik Teuku Paya, orang yang berseteru dengan penguasa Idi.²⁷

Pemblokadean kapal-kapal Belanda di Idi yang kabarnya direstui oleh Sultan Aceh ini disebabkan ketidakloyalan penguasa Idi, yaitu Tengku Chik.²⁸

Berbeda dengan Idi, penguasa Simpang Ulim, Teuku Muda Nyak Malim dikenal sebagai muslim taat yang menghukum mati pemakai candu. Teuku Muda Nyak Malim bersikap loyal pada Sultan Aceh.

Idi dan Simpang Ulim adalah dua wilayah yang baru tumbuh secara pesat dan saling bersaing di bawah kekuasaan Aceh lewat ekspor ladanya. Penguasa Idi menginginkan lepas dari kekuasaan Aceh sehingga dapat memiliki kekayaan seperti Sultan Deli di bawah perlindungan Belanda. Maka sejak 1869 Idi menolak membayar pungutan kepada Sultan Aceh.²⁹

Kapal Simpang Ulim kemudian memeriksa kapal-kapal Belanda di pelabuhan Idi sehingga membuat Belanda melihat sebuah kesempatan emas. Di sini Belanda dapat ikut campur dalam politik Aceh sehingga dapat bermain politik seperti yang mereka lakukan di Siak. Kapal perang Belanda, Marnix segera menuju Idi atas restu Raad van Indie. Dewan tersebut menilai hukum internasional tidak berlaku pada negara-negara seperti Aceh. Meski tak berhasil menemukan kapal Belanda di Pelabuhan Idi, Marnix segera mengusir armada Simpang Ulim dari Idi.³⁰

Menurut M. Said dalam Aceh Sepanjang Abad jilid 2, Marnix menggiring kapal Simpang Ulim tersebut hingga ke Labuhan Deli, Sumatera Timur.

Hal ini tentu saja menggusarkan Aceh. Armada Simpang Ulim ini awalnya sebuah kapal bernama Gipsy yang dimiliki oleh Teuku Paya. Ia kemudian menambahkan beberapa pucuk meriam pada Gipsy dan mengganti namanya menjadi Simpang Ulim.³¹

Teuku Paya sendiri kelak akan dikenal sebagai salah satu tokoh yang menjadi penyokong logistik untuk membiaya perang Aceh.

Muslihat di Belakang Delegasi

Ironisnya insiden pengusiran kapal Simpang Ulim ini terjadi saat kunjungan delegasi Belanda ke Aceh pada September 1871. Delegasi Belanda dengan kapal perang Djambi ini menghabiskan waktu 12 hari di Aceh. Kapal ini berangkat dari Padang pada 7 September 1871 dan tiba di Banda Aceh Darussalam. Setelah sempat beberapa hari terlunta-lunta di pelabuhan Aceh, utusan Belanda, Kontrolir Kraijenhoff akhirnya diterima di Istana pada 30 September 1871. Belanda meminta jaminan berdagang kepada Aceh dan kapal-kapalnya bebas keluar masuk di pelabuhan di wilayah Aceh dan menghendaki penempatan pagawainya di manapun mereka kehendaki.³²

Kapal Perang Djambi. Sumber foto: maritiemdigitaal.nl

Habib Abdurrahman Az-Zahir menjelaskan bahwa Aceh hidup damai dengan Inggris, Perancis dan Turki, sedangkan Belanda meski mengakui sebagai sahabat Aceh, kenyatannya merebut wilayah Aceh di Pantai Barat dan Timur Aceh. Habib Abdurrahman Az Zahir menanyakan sikap Belanda terhadap kemerdekaan Aceh. Pertanyaan in dijawab oleh Kraijenhoff bahwa ia tak berhak menjawab hal itu karena mandatnya hanya sebatas pembicaraan kebebasan perdagangan. Abdurrahman Az-Zahir kemudian meminta Kraijenhoff untuk menjemput mandat tersebut ke Batavia.³³

Habib Abdurrahman az-Zahir. Sumber foto: Wikimedia

Meski demikian, menurut Anthony Reid, pembicaraan berakhir baik, Kraijenhoff diberikan kesempatan melakukan kunjungan kehormatan di hadapan Sultan, kemudian Belanda dan Aceh bertukar cinderamata. Kraijenhoff sendiri yakin bahwa persahabatan dengan Aceh telah dipulihkan.³⁴

Tentu saja keyakinan Kraijenhoff sekedar harapan belaka. Kenyatannya, pasca insiden di Idi, penguasa Idi kemudian mengirim dua utusan ke Riau untuk bertemu dengan Residen Belanda di Riau. Kedua utusan tersebut mendapat perintah untuk menerima kedaulatan Belanda dalam sebuah perjanjian pertahanan.³⁵

Belanda sendiri mencoba mengklarifikasi insiden pengusiran armada Simpang Ulim dengan mengirimkan kembali Kraijenhoff dan Residen Belanda di Riau, D.W. Schiff sebagai delegasi ke Aceh. Mereka tiba di Banda Aceh Darussalam pada 22 Mei 1872. Secara resmi mereka membawa surat untuk Habib Abdurrahman Az-Zahir. Meski demikian, delegasi tersebut pulang dengan kegagalan.

Mereka tak bertemu dengan Habib Abdurrahman Az-Zahir yang sedang pergi ke Barat Aceh dan Panglima Tibang yang sedang ke Penang. Pejabat Aceh yang otoritatif, Teuku Kali Malikul Adil tak mau menemui mereka dan mengatakan surat untuk Habib tidak akan dibuka oleh siapa pun kecuali Habib sendiri. Kraijenhoff sebenarnya tak pulang dengan tangan hampa. Selain menyampaikan surat, mereka juga melakukan pemantauan terhadap tempat-tempat strategis di Aceh.³⁶

Kraijenhoff kembali melakukan kunjungan ketiganya ke Aceh pada bulan Oktober 1872. Tetapi saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga otoritas Aceh menolak untuk mengurus apa pun selama bulan Ramadhan dan menyarankan agar mereka kembali pada 6 Syawal 1289 (7 Desember 1872). Kraijenhoff akhirnya hanya menyerahkan surat pada Teuku Kali. Sebuah surat yang sampai dalam situasi yang sudah memburuk.³⁷

Kunjungan yang ketiga ini sebenarnya disetujui oleh Gubernur Jenderal James Loudon dan mengingatkan agar tidak dilakukan satu tindakan apa pun soal Aceh sampai ada laporan dari utusan tersebut. Tetapi peringatan Loudon ini terlambat sampai pada Residen Riau, Schiff.

Schiff melakukan satu tindakan yang sangat kontroversial pada bulan September 1872, di tengah bara yang sedang memanas. Ia kembali memerintahkan kapal Marnix agar menahan kapal Gipsy milik Teuku Paya karena mendengar kabar bahwa pelabuhan Idi kembali diblokade oleh Gipsy. Hal ini tentu menimbulkan kegemparan di Istana Aceh. Keputusan akhirnya dibuat. Mereka memutuskan menangguhkan menerima utusan Belanda sampai mendapat kepastian tentang dukungan yang di dapat dari luar negeri.³⁸

Panglima Tibang diutus untuk menemui Residen Riau, Schiff guna menyampaikan surat penangguhan selama enam bulan tersebut. Selain menemui Schiff, Tibang juga diutus melakukan aksi mencari dukungan dari pihak lain di luar negeri. Jika Habib Abdurrahman Az-Zahir diutus mencari dukungan ke Turki, maka Tibang diutus untuk menemui konsul Perancis, Italia, Spanyol dan Amerika di Singapura guna mencari dukungan bagi Aceh.³⁹

Diplomasi Berujung Manipulasi

Di sini kekacauan pun muncul. Perang Aceh tersulut di tangan para provokator. Panglima Tibang Muhammad, Syahbandar Aceh yang diberi kewenangan atas nama Sultan Aceh membuat perjanjian dengan negeri lain terperangkap dalam permainan licik. Seorang petualang politk, Teuku Muhammad Arifin, yang sebenarnnya bekerja untuk Konsul Jenderal Belanda di Singapura, William H.M. Read. Arifin menyarankan kepada Panglima Tibang untuk meminta bantuan Amerika Serikat.

Kedudukan Amerika Serikat di Singapura diwakili oleh Konsul Jenderal-nya, Major Studer. Arifin yang mengenal Studer segera menyambungkan Panglima Tibang dengan Studer. Arifin membawa Panglima Tibang dua kali pada Studer di bulan Januari 1873.⁴⁰

Tibang pun menjelaskan kedudukannya sebagai wakil Aceh dan menawarkan keinginan Amerika Serikat, yaitu perjanjian ekstra-teritorial dan proteksi tarif untuk tekstil Amerika. Major Studer hanya meminta Panglima Tibang memenuhi tata cara untuk berhubungan dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Panglima Tibang menyambut antusias tanggapan ini dan berjanji pada Studer untuk kembali secepat mungkin ke Singapura membawa dokumen yang diperlukan.

Tanpa disangka siapa pun, Muhammad Arifin menceritakan pertemuan Panglima Tibang dengan Studer kepada tuannya, Konsul Jenderal Belanda di Singapura, William Read. Di sinilah rantai provokasi dimulai. Read kemudian memanfaatkan informasi Arifin dengan mengirim sebuah telegram dramatis pada 15 Februari 1873 kepada James Louden, Gubernur Jenderal Batavia.

Read mengatakan bahwa dia telah menemukan “perselingkuhan-perselingkuhan yang amat penting” antara utusan Aceh (maksudnya Panglima Tibang), para konsul Amerika serta Italia. Read mengatakan Studer telah mengajukan kepada Laksamana Armada Amerika Serikat, yang dapat muncul di Aceh dalam waktu dua bulan. Konsul Italia sedang menantikan surat dari Sultan Aceh dan kapten Racchia, yang sedang berada di Singapura segera akan berangkat ke Aceh dengan kapal perang.⁴¹

Drama provokatif dan manipulatif ini tidak berhenti sampai di sini. Read mengaku mendapat informasi bahwa Studer telah mengirimkan konsep Traktat Amerika – Aceh sebanyak dua belas pasal, termasuk pasal hak dagang istimewa, pertukaran wakil dan perlindungan dari “tindakan-tindakan permusuhan.”⁴²

Belum cukup, Read mengaku mendapat informasi bahwa ada instruksi-instruksi dari Studer kepada Tibang tentang rencana pertahanan yang menyebutkan Amerika dan Aceh akan bersama-sama menghancurkan Belanda, jika Belanda menyerang Aceh. Nyatanya hanya ada satu dokumen yang memuat tanda tangan Studer. Yaitu sebuah surat bertanggal 1 maret 1873 yang ditujukan kepada Panglima Tibang. Isinya: Surat yang disebut Studer atas permintaan Arifin. Studer juga mendoakan agar keluarga dan sahabat panglima Tibang selamat.⁴³

Telegram dramatis Read benar-benar efektif. James Louden adalah orang yang sejak awal menghendaki perang dengan Aceh. Louden pun meneruskan informasi ini kepada Fransen van de Putte. Kabar ini dijawab van de Putte ;

“Kalau anda tidak meragukan kebenaran berita konsul Singapura, tidak boleh ragu-ragu lagi. Akan mengirimkan angkatan Laut yang kuat ke Aceh untuk meminta kejelasan dan pertanggungjawaban untuk sikap bermuka dua dan berkhianat dan menentukan sikap Belanda terhadap Aceh sesuai dengan itu. Bila itu tidak dipenuhi secara memuaskan, angkatan perang harus dikerahkan…”⁴⁴

Pesan van de Putte jelas, Aceh dituntut untuk menunjukkan niat baiknya dengan mewajibkan mereka menandatangani perjanjian, yang memang sudah lama menjadi tujuan Belanda. Pesan ini diartikan Loudon dengan sangat kasar. Ia meminta Raad van Indie mengirimkan seorang komisioner ke Aceh secepat mungkin. Komisioner ini akan ditemani empat batalion dan diberi misi yang jelas: Akui Belanda sebagai kekuasaan berdaulat atau perang.⁴⁵

4 Maret 1873, J.F.N Nieuwenhuyzen berangkat ke Aceh sebagai wakil dari Batavia menuntut Aceh agar “…mengakui kedaulatan Belanda dalam waktu 24 jam, dan untuk menyatakan perang jika tuntutan kita tidak dipenuhi.” James Loudon begitu yakin, saat itu adalah momentum yang tepat untuk menindak Aceh. Menurutnya,”Kebijakan Aceh yang membingungkan mengenai Pemerintah Belanda harus diakhiri. Negeri itu tetap merupakan titik lemah kita sepanjang menyangkut Sumatera. Selama negeri itu tidak mengakui kedaulatan kita, campur tangan asing akan terus mengancam kita seperti pedang Damocles…”⁴⁶

Alasan campur tangan asing segera tampak tak masuk akal. Italia segera menyangkal tuduhan mereka terlibat membantu Aceh. Begitu pula desas-desus Amerika akan ikut campur juga tak terbukti. Namun Loudon tetap tak bergeming.

Nieuwenhuyzen tiba di Aceh 22 Maret. Ia menunggu jawaban Sultan Aceh selama 24 jam. Keesokan harinya, Sultan Aceh menjawab pertanyaan Nieuwenhuyzen. Ia mengatakan ingin hidup damai dengan Pemerintah Belanda. Ia juga mempertanyakan kesepakatan sebelumnya dengan wakil Belanda di Riau bahwa mereka sudah setuju untuk mengundurkan kunjungan Belanda selama enam bulan. Tanpa menyinggung soal pertemuan Tibang dengan wakil Amerika, Sultan lantas bertanya dalam surat balasannya, “Apa kalau begitu salah kami?”⁴⁷

Niuwenhuyzen menganggap Sultan hanya mengulur-ulur waktu. Tanggal 26 Maret 1873, kapal Belanda yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen mulai menembakkan peluru Meriam ke sebuah benteng Pantai Aceh sebagai tanda pernyataan perang. Sebab, “Aceh dianggap telah bersalah melanggar perjanjian niaga, perdamaian, dan persahabatan yang dibuat pada tanggal 30 Maret 1857 antara Aceh sendiri dan Pemerintah Hindia Belanda.”⁴⁸

Tak lama setelah itu pernyataan perang resmi dikirimkan Belanda sebagai pemberitahuan kepada negara-negara Eropa yang lain.⁴⁹

Perang Aceh telah pecah. Nafsu Belanda yang mengangkangi Traktat London, diikuti manuver dalam Traktat Sumatera menandakan Belanda memang berambisi menguasai Aceh sejak lama. Lagipula Traktat Sumatera dibuat tanpa mempedulikan para penguasa di Sumatera, termasuk Aceh. Maka desas-desus ‘kasus’ Tibang dengan Studer hanyalah dalih saja. Di balik serangan terhadap Aceh, tersimpan keuntungan yang sangat menggoda.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

footnote :

(¹)Alfian, Ibrahim. 2016. Perang Aceh, 1873 – 1912: Perang di Jalan Allah. Yogyakarta: Penerbit Ombak., hlm. 21.

(²) Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 22.

(³) Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.

(⁴) Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.

(⁵) Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.

(⁶) Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.

(⁷) Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.

(⁸) Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.

(⁹) Said, Mohammad. 2007. Aceh Sepanjang Abad. Jilid 2. Medan: Harian Waspada, hlm. 4.

(¹⁰) Reid, Anthony. 2005. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 86-87.

(¹¹) Reid, Anthony. 2005, hlm. 87.

(¹²) Tarling, Nicholas. 1993. The Cambridge History of Southeast Asia, Vol. 2. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 14.

(¹³) Davidson, G.F. 1846. Trade and Travel in The Far East: Recollections of Twenty-One Years Passed in Java, Singapore, Australia, and China. London: Madden and Malcolm, hlm. 81.

(¹⁴) Wong, Y.T. dan K.H. Lee. 2014. Aceh-Penang Maritime Trade and Chinese Mercantile Networks in the Nineteenth Century. Archipel. vol. 87, hlm. 173.

(¹⁵) Wong, Y.T. dan K.H. Lee. 2014. Hlm 176-177.

(¹⁶) Van t’Veer, Paul. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 12.

(¹⁷) Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 13.

(¹⁸) Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 14.

(¹⁹) Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 15.

(²⁰) Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 17-18.

(²¹) Reid, Anthony. 2005, hlm. 65.

(²²) Reid, Anthony. 2005, hlm. 75.

(²³) Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 18.

(²⁴) Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 19.

(²⁵) Reid, Anthony. 2005, hlm. 337.

(²⁶) Reid, Anthony. 2005, hlm. 96.

(²⁷) Reid, Anthony. 2005, hlm. 97.

(²⁸) Said, Mohammad. 2007, hlm 11.

(²⁹) Reid, Anthony. 2005, hlm. 86.

(³⁰) Reid, Anthony. 2005, hlm. 94.

[31] Said, Mohammad. 2007, hlm 12.

[32] Said, Mohammad. 2007, hlm 8.

[33] Said, Mohammad. 2007, hlm 10.

[34] Reid, Anthony. 2005, hlm. 94.

[35] Reid, Anthony. 2005, hlm. 95.

[36] Said, Mohammad. 2007, hlm 13.

[37] Said, Mohammad. 2007, hlm 14.

[38] Reid, Anthony. 2005, hlm. 97.

[39] Reid, Anthony. 2005, hlm. 98.

[40] Reid, Anthony. 2005, hlm. 100.

[41] Reid, Anthony. 2005, hlm. 100-101 dan Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 28-29.

[42] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 30.

[43] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 31.

[44] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 29.

[45] Reid, Anthony. 2005, hlm. 102.

[46] Reid, Anthony. 2005, hlm. 102.

[47] Reid, Anthony. 2005, hlm. 104.

[48] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 34.

[49] Reid, Anthony. 2005, hlm. 104.

Lagu Pengantar Tidur Versi Aceh.

Sepenggal arti lirik lagu dodaidi, lagu pengantar tidur dari Aceh yang biasa dinyanyikan oleh seorang ibu kepada anaknya. Bercerita tentang seorang ibu yang membesarkan anaknya, untuk tidak takut berperang melawan penjajah dan tidak lupa untuk kembali pulang ke Aceh. Lagu ini sudah ada sejak zaman Belanda dikala terjadi perang Aceh dari tahun 1873-1904.

Nonton Video, klik Disini