Isnin, 16 Mei 2022

Penyebab Aceh Sanggup Berperang Melawan Belanda.


Kerajaan Aceh telah menyadari bahwa Belanda yang sudah lebih dua setengah abad (lebih 250 tahun) menguasai/menjajah nusantara, lambat laun pasti akan menyerang Aceh. Satu-satunya Kerajaan di nusantara yang masih merdeka. Belanda tidak bisa menyerang Aceh karena Kerajaan Aceh terikat perjanjian kerja sama dengan Kerajaan Inggris. Perjanjan itu dikenal sebagai “Traktrat London”.

Meski demikian, pasca dibukanya Terusan Suez, keberadaan Selat Malaka menjadi jalur perdagangan dunia yang paling sibuk. Kerajaan Aceh yang berada di pintu masuk Selat Malaka di sebelah barat memegang peranan penting perdagangan dunia masa itu. Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pesisir Aceh ramai disinggahi kapal dari Amerika dan Eropa.

Belanda dengan VOC-nya yang ingin memonopoli perdagangan, berusaha memprovokasi Kerajaan Aceh di Selat Malaka, citra Aceh di mata internasional ingin diperburuk, seolah Aceh tidak mampu menjamin keamanan di Selat Malaka. Namun provokasi-provokasi Belanda itu tidak berhasil.

Belanda akhirnya melobi Inggris untuk membuat perjanjian yang dikenal dengan “Traktat Sumatera” yang isinya Inggris seolah-olah Inggris telah secara sepihak mengesampingkan “Traktrat London”. Berbekal perjanjian itu Belanda kemudian mencari cara untuk memerangi Aceh.

Menyadari langkah Inggris dan Belanda itu, ketika Kerajaan Aceh hendak diperang oleh Belanda, Sulthan Aceh membentuk kabinet perang, dan mengangkat Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh.

Untuk menghadapi serangan Belanda, Tuanku Hasyim Banta Muda memperkuat benteng pertahanannya. 15.000 pucuk senapan dan mesiu didatangkan dari Penang. Senjata-senjata itu dibeli secara barter dengan rempah-rempah dari hasil perkebunan yang dibangunnya.

Dan agresi militer pertama Belanda ke Aceh pada 26 Maret 1873 gagal total, Panglima Perang Belanda, Mayor Jendral JHR Kohler tewas ditembak pejuang Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Kekalahan Belanda pada agresi pertama itu, membuat berang Kerajaan Belanda. Pengalaman mereka selama 250 tahun menjajah nusantara, sama sekali tak berarti apa-apa ketika berhadapan dengan Aceh. Kemudian Belanda datang lagi dengan agresi militer kedua ke Aceh, dengan jumlah pasukan dan kapal perang yang lebih banyak. Dan sejak saat itu Belanda terus menghadapi peperangan yang melelahkan selama 69 tahun di Aceh.

Sumber : FB Malikul Mubin

Jumaat, 13 Mei 2022

Mengenang Pelabuhan Aceh, Embarkasi Haji Pertama di Nusantara

Penulis : Ruslan.

MUSIM Haji telah tiba. Tahun demi tahun, jumlah umat Islam Indonesia yang pergi ke Baitullah semakin meningkat. Pemerintah juga sibuk membenahi sistem untuk memberikan pelayanan terbaik bagi jemaah yang menunaikan rukun Islam yang kelima, mulai dari pelayanan administrasi, kesehatan, transportasi, dll. Namun, mari kita melihat sejenak ke masa lalu. Dimana, transportasi yang digunakan untuk perjalanan ke tanah suci hanya melalui jalur laut. 

Menurut M. Shaleh Putuhena dalam bukunya Historiografi Haji Indonesia, mengutip kisah Lewis Barthema dari Roma (Italia) yang pernah menyaksikan kehadiran peziarah dari Greater India dan Lesser East Indies, Nusantara pada tahun 1503 di Jeddah (Arab Saudi). . Bahkan pada tahun 1526, Portugis menghancurkan kapal dagang dari Aceh menuju Jeddah. Namun beberapa kapal berhasil lolos. Sebuah sumber dari Venesia menyebutkan, dalam kurun waktu 1565 hingga 1566, lima kapal kerajaan Aceh berhasil berlabuh di Jeddah. 

Pengamat sejarah dari Jakarta, JJ Rizal, mengatakan masyarakat dari berbagai daerah di Tanah Air harus terlebih dahulu berangkat ke Aceh sebelum melanjutkan ibadah haji. Termasuk jemaah haji dari Jakarta saat itu. Peran Aceh sebagai embarkasi haji pertama dalam sejarah Nusantara memang sudah dimulai sejak abad ke-13 dan abad ke-14 M (Reid: 1969). Letaknya yang strategis dan kekuatannya sebagai kekuatan Islam yang besar pada masa itu, menjadikan Aceh seperti magnet yang menarik para pedagang, turis dan intelektual untuk datang dan mampir. 

Hubungan Aceh dan Arab ;

Banyaknya aktivitas pelabuhan di Aceh tidak terlepas dari banyaknya pedagang Asia dan Arab yang datang berbondong-bondong. Mereka memindahkan pusat kegiatan perdagangan mereka di Malaka (Malaysia). Hal ini karena pada tahun 1511, Portugis menyerbu dan mengambil alih pelabuhan Malaka yang strategis dan penting (Reid 1969). Kedatangan para pedagang asing ke Aceh, membuat masyarakat pribumi semakin akrab berinteraksi dengan mereka. Berawal dari sini, pelabuhan Aceh semakin dikenal dunia. Termasuk para penguasa Hijaz (sekarang Arab Saudi), tempat Ka'bah Baitullah sebagai kiblat kaum muslimin berada.

Dalam artikel yang diterbitkan oleh salah satu harian lokal (Aceh) yang ditulis oleh pengamat sejarah Aceh, M Adli Abdullah (Emas dan Singgasana, Catatan Tersebar Aceh; 4/10/2009), disebutkan bahwa hubungan Kerajaan Aceh dengan tanah Hijaz mulai terjalin erat pada masa kepemimpinannya Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Ini dimulai pada 1672 M, Syarif Barakat, penguasa Mekkah pada akhir abad ke-17, mengirim duta besarnya ke Timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi bangsa Arab saat itu masih miskin. 

Kedatangan mereka di Aceh setelah Raja Moghul, Aurangzeb (1658-1707 M) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat. Ia tidak bisa berdonasi seperti biasanya ke Masjidil Haram saat itu. Setelah empat tahun, rombongan Mekah ini terjebak dalam ambiguitas di Delhi (India). Atas saran para sesepuh di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba pada tahun 1092 H (1681M). 

Sesampainya di Aceh, Dubes Mekkah disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah. Tak disangka, kedatangan utusan Syarif Mekkah menyulut semangat kelompok wujudiyah. Namun karena sosok Sulthanah Zakiatuddin yang alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, beliau berbicara kepada para tamu tersebut dengan menggunakan kerudung dari sutra Dewangga (Jamil: 1968). 

Para utusan Arab sangat senang diterima oleh Sulthanah Zakiatuddin, karena mereka tidak mendapatkan layanan serupa selama berada di Delhi, India. Bahkan empat tahun mereka di India, tidak bisa bertemu Aurangzeb. Sepulangnya Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah, memberikan cinderamata untuk rombongan dan Syarif Mekkah, juga sumbangan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar emas murni, tiga rathal kamfer, cendana dan luwak (jeuebeuet fox) , tiga gulyun (alat merokok tembakau) emas, dua lampu kaki (panyot-dong) emas, lima lampu gantung emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan lampu gantung emas untuk Masjid Nabawi. 

Sumbangan emas yang diberikan Sultanah kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa hal ini tercatat dalam sejarah Mekkah, dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultan Aceh tiba di Mekkah pada bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah wafat. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh putranya Syarif Sa'id Barakat (1682-1684 M). 

Snouck Hurgronje, mengatakan bahwa “Pengiriman Duta Mekkah ke Aceh pada tahun 1683 M” membuatnya terkesan dengan kebesaran masa lalu Aceh dan tercatat dalam bukunya, ketika ia tiba di Mekah pada tahun 1883. Ternyata kontribusi Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih hangat diperdebatkan di sana. Menurut dia, berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya, barang-barang cenderamata itu disimpan cukup lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah tersebut. diberikan kepada orang miskin. Sedangkan sisanya, diserahkan ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. 

Pelabuhan Aceh Dalam Kenangan ;

Aceh merupakan persinggahan dan pemukiman utama bagi para pedagang Arab, Persia, dan India dalam mencari komoditas unggulan di masa lalu, seperti rempah-rempah dan juga dalam mencari pasar dan produk dari China. Kisah petualangan seorang ulama Cina bernama I-Tsing, menyebutkan bahwa ia telah meninggalkan Kanton menuju India pada tahun 672 M dengan menumpang kapal dagang Persia yang pernah singgah di Aceh dan pada saat itu terdapat pemukiman para pedagang Arab di sana (Mohammad Said 1981: 55-56). 

Gerini (1909) sebagaimana dikutip Mohammad Said (1981: 57), menyebutkan bahwa para pedagang Arab dan Persia telah dikenal baik oleh penduduk lokal di Aceh dan mereka sangat sering melakukan perjalanan berulang kali ke pelabuhan-pelabuhan Aceh. Melakukan transaksi perdagangan sejak pertengahan abad ke-10 atau sejak abad ke-11 (Reid: 1969, 1995). Perlak atau Ferlec (diucapkan oleh Marco Polo) dan Samudera (kemudian dikenal sebagai Pasai) adalah salah satu pelabuhan terbesar dan utama di wilayah tersebut antara abad ke-13 dan ke-14 Masehi.

Pelabuhan Lhokseumawe selama lebih dari 150 tahun merupakan pusat perdagangan terbesar di provinsi timur bagi para pedagang Muslim dalam bidang usahanya dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan perdagangan (Reid 1969). Menurut Reid juga, kata Sumatra diambil dari catatan Marco Polo ketika dia menyebut Ocean State dan memberi nama untuk merujuk ke seluruh pulau (Reid 1995). Sebelumnya Pelabuhan Lambri atau Lamuri merupakan pelabuhan Aceh yang menjadi fokus utama para pedagang Arab dan Persia pada abad ke-10 hingga abad ke-12 (Gerini 1909; Mohammad Said 1981). 

Antara abad ke-16 hingga abad ke-18 M, Aceh memiliki beberapa pelabuhan perdagangan besar yang bersaing dengan negara-negara besar Eropa, seperti Portugal, Spanyol, Prancis, Belanda, dan Inggris serta beberapa negara Asia, seperti Kekaisaran Cina dan Pemerintah India menguasai Selat Malaka dan seluruh wilayahnya. Mereka bersaing memperebutkan pengaruh politik dan ekonomi di daerah khususnya di bidang perdagangan (Reid 1969, 1995; Anderson 1840, 1971; Moor 1837; Tolson 1880; Marsden 1986). 

Sejak Aceh menjadi pelabuhan internasional, sudah ada beberapa bahasa yang digunakan dalam pergaulan antar bangsa, terutama awal abad ke-17, bahasa Arab dan Portugis, selain bahasa Melayu, baik lokal maupun internasional (Rodolphe De Koninck, Aceh In The Time Iskandar Muda : 1977, hlm. 29). 

Nama-nama pelabuhan di Aceh sekitar tahun 1814 seperti yang disebutkan oleh Anderson (1840:159) adalah Tapoos, Sebadi, Pulau Dua, Kalavat, Telapow, Muckie Utara dan Selatan, Labuan Haji, Senanghan, Annalaboo, Pulo Ryah, Tarang, Manghin, Seimeyoh, Tareepuli, Taddow, Singkel, Ayam Dammah, Terrooman, Rhambong, Saluhat, Soosoo, Kivala Batu, Bahroos, Tampattuan, dan Samadua semuanya berada di pantai barat; Acheen, Pedada, Lauang, Pedir, Pakan, Selu, Burong, Sarung, Murdoo, Samalangan, Passangan, Junka, Teluksamoy, Chunda, Passy, ​​dan Curtoy, semuanya berada di pesisir utara atau timur. Kapten Coombs yang berkunjung ke Aceh pada awal tahun 1818 memperkirakan nilai kegiatan perdagangan ekspor dan impor sebesar 2.234.250 dolar Spanyol. Total ekspor pala saja berkisar antara 15.000 hingga 16.000 ton per tahun (Anderson 1840: 161-163). 

Terakhir, itulah sekilas sejarah pelabuhan Aceh yang menjadi tempat pemberangkatan haji pertama bagi umat Islam di Nusantara. Letaknya yang strategis berperan penting dalam perdagangan sekaligus menjadi penghambat dominasi bangsa Barat di Asia Tenggara melalui armada Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1903 M) yang dikenal tangguh saat itu. Pelabuhan Aceh akan kembali ke Berjaya, jika ada niat dan usaha yang konsisten dari pemerintah untuk memajukannya. Jika ini terwujud, maka akan menjadi pesaing utama pelabuhan Singapura di masa depan. Semoga.

Sejarah Dan Biografi Syaikhul Islam Abuya Syekh Muhammad Muda Waly Al Khalidi.


* Disarikan oleh Tgk Tarmizi Thaib 

Abuya Muda Waly adalah seorang Ulama Kharismatik, Waliyullah yang sangat dihormati lagi dicintai, khususnya oleh masyarakat Aceh. Beliau bernama lengkap Syekh H. Muhammad Waly bin Teungku Syekh H. Muhammad Salim bin Teungku Malem Palito, berasal dari Batu Sangkar, Sumatera Barat.
Sedangkan Ibunda beliau bernama Janadat binti Keuchik Nyak Ujud, berasal dari Kota Palak kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan.

Abuya Muda Waly lahir di desa Blang Poroh, kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917 M. Menurut anak kandung beliau yakni Abuya Prof. Dr. H. Muhibuddin Waly, didalam bukunya yang berjudul “Maulana Teungku Syekh H. Muhammad Waly Al-Khalidy”,  tidak seorang pun dari famili yang tahu persis tentang hari, tanggal dan bulan kelahiran sang Ayahanda.

Dimasa kecilnya Abuya Mudawaly sering dipanggil dengan sebutan Angku Mudo atau Muda atau Muhammad Waly. Santri dan masyarakat pada umumnya memanggil beliau dengan sebutan Abuya atau Buya, yang berarti Guru atau Maha guru. Adapun panggilan yang paling masyhur lagi ma’ruf terdengar dari masyarakat Aceh  hingga sampai saat ini adalah Abuya Mudawaly.

Abuya Muda Waly rahimahullah  berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 28 maret 1961 M/11 Syawal 1381 H hari selasa jam 15.30 WIB dalam usia 44 tahun, dan dimakamkan ditengah komplek Dayah Darussalam.

Hingga sampai saat ini makam beliau tidak pernah sepi dari para penziarah, baik dari kalangan Ulama, santri maupun masyarakat umum. Beliau meninggalkan 19 orang anak dan lima isteri, salah seorang diantaranya cerai sebelum menikahi isteri yang kelima.

Riwayat Pendidikan

Abuya sering berpindah dari satu dayah ke dayah lainnya untuk menuntut ilmu. Sebelum menyelesaikan Vervold School di Kuta Trieng, beliau juga belajar di pesantren Jami’ah Al-Khairiyah, satu-satunya pesantren di Labuhan Haji saat itu.

Lalu melanjutkan pendidikannya di Ponpes Bustanul Huda Blang Pidie yang diasuh oleh seorang Ulama besar bernama Syekh H. M. Mahmud, atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Syekh Mud. Tiga tahun setelahnya, Abuya berangkat ke Kuta Raja -sekarang Banda Aceh- untuk melanjutkan pendidikannya di Dayah Abu Krueng Kalee dan Abu Hasballah Indrapuri, Aceh Besar sekitar tahun 1933 M.
Selanjutnya Abuya Muda Waly dikirm ke Normal Islam di Padang oleh Aceh Study Fond saat itu. Namun beliau bertahan di sekolah tersebut hanya sekitar 3 bulan saja, karena terjadi perbedaan paham dengan pimpinan Normal Islam yang saat itu dijabat oleh H. Mahmud Yunus.

Akhirnya beliau melanglang buana dengan berdakwah keliling dan belajar di pesantren lainnya, seperti Dayah Syekh Mohd. Jamil Jaho di Padang Panjang, serta berguru thariqat kepada Syekh Abdul Ghani Kampary, di Batu Basurek, Bangkinang, Riau.

Kemudian Abuya sempat melanjutkan pendidikannya di Mekkah Mukarramah, berguru kepada Syekh Ali Maliki pengarang kitab Hasyiah Asybah wan-Nadhair karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan kepada Ulama lainnya yang beliau jumpai disana. Lalu beliau kembali ke Sumatera Barat, kemudian ke tanah kelahirannya, Labuhan Haji, Aceh Selatan.

Abuya Muda Waly adalah Ulama yang sangat teguh lagi Konsisten dalam mengimplementasikan Iman, Islam dan Ihsan sesuai dengan sunah Nabi. Yakni menyangkut dengan ‘ubudiyah/bidang syari’at beliau berpedoman kepada mazhab Syafi’I, dalam masalah aqidah berpedoman kepada Ahlussunnah wal jama’ah, serta istiqamah mengamalkan thariqat Naqsyabandiyah dalam bidang tasawuf/kesufian.

Kekukuhan pendirian beliau ini membuatnya sidak sungkan-sungkan menulis namanya dengan sebutan Tgk. Syech H. Muda Waly Asy-Syafi’I Al-Asy’ari Al-Khalidy. Dengan maksud, Syekh Mudawaly adalah penganut mazhab Syafi’I dan paham Ahlussunnah wal jama’ah dengan berthariqat Al-Khalidiyyah Naqsyabandiyyah.

Kiprahnya Untuk Agama, Bangsa dan Negara

Kemenonjolan Abuya Muda Waly bukan hanya dalam bidang agama saja, melainkan juga dalam bidang politik dan ideologi Negara. Dalam bidang politik beliau memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi.

Indikasinya, selain sebagai pelopor Partai Islam (PI) Persatuan Tarbiyah Islamiah (PERTI) yang pernah menang dalam pemilu di pantai Barat Selatan. Sebab PERTI sejak saat itu identik dengan amaliah dan aqidah Ahlussunnah wal jama’ah.
Demikian pula ketika meletusnya pemberontakan DI/TII yang dicetuskan oleh mantan Gubernur Aceh, Langkat dan Tanah karo, Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tahun 1953, Abuya Mudawaly termasuk salah seorang Ulama yang menentangnya. Meski beliau terkadang kurang setuju dengan kebijakan pemerintahan Orde Lama.

Dalam rangka menghadapi kebrutalan pasukan DI/TII yang saat itu kebanyakan mereka menggunakan senjata api, Abuya terpaksa membentuk pasukan khusus yang diberi nama pasukan Peudeung Panyang (Pedang Panjang) yang didalamnya terdiri dari orang-orang sakti.

Bahkan beliau pernah diundang ke Cipanas, Bogor tahun 1955 oleh Menteri Agama yang saat itu dijabat oleh KH. Masykur untuk menghadiri rapat akbar Ulama se-Indonesia, dan beliau setuju memberi gelar Ulil Amri kepada Presiden Soekarno dengan syarat harus ditambah dengan adh-dharuriy bisy-syaukah.

Abuya Muda Waly tidak hanya berkiprah melalui dakwah dan seminar, akan tetapi beliau juga aktif berdakwah secara langsung atau yang disebut dengan dakwah bil-hal. Beliau tidak segan-segan untuk turun tangan secara langsung dalam memberantas kesyirikan, kemaksiatan, khurafat dan lain sebagainya.

Beliau senantiasa menentang pemujaan-pemujaan. Bahkan beliau pernah memecah batu besar yang telah lama dipuja sebahagian penduduk di daerah singkil, dan juga menebang sebatang pohon kayu raksasa yang telah dipuja sebagian penduduk Aceh Barat bertahun-tahun lamanya, yang mana sebelumnya tak ada orang yang berani menebangnya termasuk paranormal hebat sekalipun, karena takut kepada kekuatan ghaib.

Karya-karya Abuya Muda Waly diantaranya: Al-Fatawa (beberapa fatwa agama), Tanwirul Anwar (Aqidah), Tuhfatul Muhtaj (fiqh) serta beberapa kitab tashawwuf lainnya.

Sepulangnya dari Mekah, Abuya mendalami ilmu thariqat ke daerah Riau, beliau berguru kepada Syekh H. Abdul Ghani al-Kamfari. Setelah menamatkan suluknya dan mendapatkan ijazah thariqat, barulah Abuya kembali ke Padang dan mendirikan pesantren di Padang  yang bernama Busthanul Muhaqqiqin di daerah Lubuk Bagalung Padang.
Murid-murid yang belajar di pesantren itu cukup banyak. Bahkan banyak yang berdatangan dari Aceh. Tetapi ketika Jepang masuk ke Padang, yang diduga mempunyai niat tidak baik terhadap Ulama yang berpengaruh di Sumatera Barat, maka Abuya mengambil keputusan untuk kembali ke Aceh, karena di Aceh beliau merasa tenang dan aman untuk mengamalkan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan yang beliau pelajari.

Beliau kembali ke Aceh Selatan sekitar akhir tahun 1939 dengan naik perahu layar dari padang ke Aceh di kecamatan Labuhan Haji. Setelah beberapa hari berada didesa kelahirannya, Abuya Mudawaly mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Dayah darussalam alwaliyah . Sedikit demi sedikit pesantren tersebut semakin berkembang, sehingga para pelajar dari luar daerah pun berdatangan untuk nyantri disana.

Dari didikan Abuya Muda Waly lahirlah banyak tokoh Ulama yang terkemuka. Yang kemudian juga mendirikan pesantren di daerah mereka masing-masing yang tersebar keseluruh penjuru Aceh, bahkan sampai keluar negeri seperti di Thailand, Malaysia dan lain-lain.

Demikian sekilas mengenai sejarah Ulama Kharismatik asal Aceh yang namanya masih sangat harum hingga saat ini, yang sangat berjasa bagi Agama Islam dan Bangsa Indonesia terkhusus bagi bangsa Aceh sendiri.

Semoga Allah SWT senantiasa mengampunkan dosa-dosa beliau dan kita semuanya, dan semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan ilmu Abuya Mudawaly kepada kita semua. Hingga kelak kita semua dikumpulkan di Syurga-Nya bersama para Nabi, Para Wali Allah, Shiddiqin, Abuya dan para Kekasih Allah Ta’ala yang lainnya. wallahua’lambisshawab!

(Disarikan dari buku Al-Fatawa yang diterjemahkan oleh Abuya Habibie Muhibbuddin Waly, S.Th, pada lampiran “Biografi Abuya Syeikh H. Muda Waly al-Khalidy”. Dan sebahagiannya dari buku  “Maulana Teungku Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy” yang disusun oleh Abuya Prof. Dr. H. Teungku Muhibuddin Waly)

Rabu, 11 Mei 2022

Mengapa Belanda Sampai Membuat Sayembara Penulisan Sejarah Aceh.

Foto bawah Prof Raden Husein Djajadiningrat [Sumber: Collectie Tropenmuseum]

Penulis : Iskandar Norman.

Belanda ingin mengubah sejarah Aceh menurut versi mereka. Upaya untuk mengubah sejarah Aceh ini dilakukan oleh orientalis Belanda setelah menemukan berbagai kitab klasik peninggalan Kerajaan Aceh ketika perang Aceh dengan Belanda berlangsung.

Manuskrip dan kitab-kitab klasik Aceh dan Melayu itu menggambarkan kemegahan Aceh pada masa lalu, hal yang tidak diyakini oleh Belanda, makanya Belanda kemudian mendirikan “Atjeh Institute” menariknya lembaga ini didirikan di Den Haag, Belanda, bukan di Aceh, lembaga yang dikhususkan mengkaji tentang Aceh.

Atjeh Institute dibangun pada 31 Juli 1914 atas prakarsa Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje, yang kemudian ditetapkan dengan surat keputusan KB nomor 61 oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itu perang Aceh dengan Belanda masih berlangsung.

Pengurusan Atjeh Institute ketika itu adalah Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje sebagai ketua, Dr C Janssen sebagai sekretaris dan Prof JV van Werde C J Haselman sebagai Bendahara. Kesungguhan pemerintah kolonial Belanda dalam mendalami dan meneliti karakteristik dan budaya Aceh, tercermin dari lembaga ini, tulisan-tulisan tentang Aceh yang ditulis oleh ahli ketimuran, dan sumber-sumber Melayu dibedah habis-habisan. Berbagai buku tentang Aceh kemudian ditulis ulang dan diterbitkan dalam bahasa Belanda. Isinya bisa ditebak, sejarah Aceh versi Belanda.

Enam tahun sebelum Atjeh Institute didirikan, Fakultas Sastra Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1908 juga membuat sayembara menulis sejarah Aceh berdasarkan manuskrip-manuskrip Melayu dan sumber-sumber Eropa. Salah satu pemenang sayembara ini adalah Raden Hoesein Djajadiningrat, karyanya kemudian diterbikan dalam bentuk buku dengan judul “Kesultanan Aceh”

Buku ini pada tahun 1984 diterbitkan kembali oleh Museum Negeri Aceh dengan nomor seri 12. Apa yang ditulis Raden Hoesein Djadjadiningrat? Ternyata isi manuskrip-manuskrip Aceh dan Melayu dengan fragmen-fragmen sejarah dari sumber Eropa menemukan titik temu, kebesaran Kerajaan Aceh pada masa lalu juga ditulis dalam karya-karya penulis klasik Eropa.

Ketika meniliti dan menulis buku “Kesultanan Aceh” Raden Hoesein Djajadiningrat disponsori oleh Fakultas Sastra Universitas Leiden, Belanda. Edisi aslinya ditulis dalam bahasa Belanda, sementara seri yang diterbitan oleh Museum Negeri Aceh merupakan edisi terjemahan yang diterjemahkan dari buku aslinya oleh Teuku Hamid dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Pada bagian pertama (BAB I) membahas tentang sejarah tertua Kerajaan Aceh sampai tahun 1607. Sementara bagaian dua (BAB II) membahas Kerajaan Aceh pada periode tahun 1607 hingga 1699. Sedangkan bagian ketiga (BAB III) membahas Kerajaan Aceh dalam periode 1699 hingg 1824.

Menariknya, buku ini diperkuat dengan lampiran-lampiran dari manuskrip dan naskah lama sebagai pendukung, seperti: ikhtisar kronologis dari para Sultan Aceh, serta berbagai lampiran pendukung lainnya, yang membuat buku ini kaya dengan referensi dari manuskrip-manuskrip lama.

Pada permulaan buku ini juga mengutip keterangan Prof Snouck Hurgronje dalam Bijdr van het Kon, Instituut 7 VI halaman 52 yang meragukan riwayat para Sultan Aceh, sehingga harus dilakukan penulisan dengan sumber-sumber otentik dari Eropa dengan sumber-sumber Melayu sebagai perbandingan. Sumber-sumber dari fragmen-fragmen sejarah bangsa Eropa yang pernah bersentuhan dengan Aceh dikumpulkan untuk dianalisa dan dicocokkan dengan sumber-sumber di Aceh yang bersifat legendaris.

Salah satu referensi yang diambil oleh Raden Hoesein Djajadjiningrat adalah kitab Bustan as-Salatin (Taman Para Raja) yang ditulis oleh Mufti Kerajaan Aceh Syeikh Nuruddin Ar Raniry pada masa Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani, naskah kitab tersebut sampai kini masih disimpan di Unversitas Leiden, Belanda dan di Royal Asiatic Society, London, Inggris.

Isi buku ini yang menjelaskan tentang periode Kerajaan Aceh antara tahun 1600 hingga 1680 dinyatakan seluruhnya dapat dipercaya, setelah dibandingkan dengan sumber-sumber Eropa. Inilah yang membuat buku “Kesultanan Aceh” karya Raden Hoesein Djadjadiningrat ini masih dijadikan rujukan dalam menulis sejarah Aceh hingga sekarang.

Oya, pendapat-pendapat Snouck Hurgronje tentang sejarah Aceh kemudian juga dibantah oleh pakar sejarah Asia Tenggara kelahiran Slandia Baru, Anthony Reid dalam buku dalam buku The Contest for Sumatra, diterbitkan di Kuala Lumpur oleh University of Malaya Press pada tahun 1969. Serta sejarawan Prancis Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Jaman Sulthan Iskandar Muda, diterbitkan di Jakarta pada tahun 1986 oleh Penerbit Balai Pustaka.

Abu Muhammad Ali Lampisang, Guru Syekh Muda Waly yang Hidup Bersahaja.


Nama beliau sering disebutkan bergandengan dengan nama Abu Kruengkalee, Abu Syech Mud Blangpidie, Abu Indrapuri, sebagai guru dari Abuya Syekh Muda Waly. Nama asli beliau adalah Teungku Muhammad Ali yang berasal dari Siem Aceh Besar. Namun karena lama belajar di Lampisang, sehingga dilekatkan dengan namanya Teungku Muhammad Ali Lampisang.

Beliau lahir di Siem pada tahun 1894, dan ibunya adik kakak dengan ibu dari Abu Hasan Kruengkalee. Melihat dari tahun kelahiran Abu Muhammad Ali Lampisang, beliau lebih muda dari Abu Kruengkalee yang lahir tahun 1886 dan lebih tua dari Abu Syech Mud yang lahir 1889.

Namun, ketiga ulama tersebut hampir memiliki kesamaan dalam prinsip dan cara mengajarkan ilmu keislaman. Bahkan Abu Kruengkalee yang merekomendasikan Abu Ali Lampisang dan Abu Syekh Mud untuk dikirim ke Aceh Selatan, menjadi ulama yang mengayomi pemahaman keagamaan masyarakat di Labuhan Haji Aceh Selatan dan Blangpidie Abdya, karena dahulunya Blangpidie merupakan pemecahan wilayah setelah pemekaran Aceh Selatan dan Abdiya.

Mengawali masa belajarnya, Abu Muhammad Ali belajar di Kemukiman Siem tepatnya di Dayah Teungku Chik Keubok yang dipimpin oleh Teungku Musannif, dan di dayah inipula Abu Kruengkalee belajar. Selain itu di Siem juga ada Dayah Meunasah Blang yang juga dipimpin masih oleh pamannya Abu Muhammad Ali dan Abu Kruengkalee.

Setelah memiliki ilmu-ilmu dasar keislaman dan menguasai kitab-kitab pertengahan, beliau kemudian belajar ke Lampisang, belajar kepada Teungku Chik Muhammad Said anak dari Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee, ulama dan Teungku Chik di Dayah Tanoh Abee. Tidak diketahui berapa lama beliau di Lampisang, sehingga beliau kemudian dikenal dengan Teungku di Lampisang.

Walaupun telah menjadi seorang alim yang diperhitungkan, Teungku Muhammad Ali Lampisang kemudian melanjutkan pengajian tingkat tingginya ke Negeri Jiran Malaysia, tepatnya di Yan Kedah. Di sana beliau belajar kepada para ulama yang hijrah dalam perang Aceh yaitu Teungku Chik Muhammad Arsyad di Yan, Teungku Chik Oemar Diyan dan Teungku Muhammad Saleh yang dikenal dengan Abu Lambhuk.

Di Yan Kedah, Abu Muhammad Ali Lampisang mematangkan karier keilmuannya, sehingga menjadi ulama yang mendalam ilmunya. Beliau adalah kakak kelas dari ulama besar Lhoknga Abu Syech Mud yang belajar di Yan rentang waktu 1920-1926.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Yan Kedah, Abu Lampisang kemudian pulang dan mengabdikan ilmunya di daerah Kruengkalee, Siem, dan menjadi guru di beberapa dayah yang ada di Kemukiman Siem Aceh Besar. Bahkan, disebutkan Abu Lampisang adalah tangan kanan Abu Kruengkalee dalam mengajarkan di Dayah Manyang Kruengkalee.

Tepatnya tahun 1921, Abu Lampisang diutus ke Labuhan Haji Aceh Selatan atas rekomendasi ulama bangsawan Tuwanku Raja Keumala, sepengetahuan Abu Hasan Kruengkalee, Sesampainya di Labuhan Haji, beliau kemudian membuka lembaga pendidikan yang dikenal dengan Jam’iyyah Khairiyah.

Dalam rentang kepemimpinan beliau di Dayah te tersebut 1921-1930, banyak berdatangan para santri yang belajar kepada beliau dan umumnya mereka menjadi ulama kharismatik Aceh seperti Abuya Syekh Muda Waly al-Khalidy, Abu Adnan Mahmud Bakongan dan Syekh Bilal Yatim Suak. Bahkan, Abuya Syekh Muda Waly belajar secara mendalam kepada beliau, sehingga fase berikutnya belajar pula kepada Abu Syech Mud Blangpidie di Dayah Bustanul Huda.

Karena Dayah Bustanul Huda di bangun pada tahun 1928 setelah selesainya belajar Abu Syech Mud di Yan Keudah, diminta oleh Teuku Sabi Uleebalang Kuta Bate Blangpidie untuk menjadi ulama di Blangpidie setelah Pemberontakan Teungku Peukan Blangpidie terhadap Belanda, untuk menggantikan posisi Teungku Yunus Lhoong dengan Dayahnya Jami’ah Islamiyah.

Pada tahun 1930 Jam’iyah Khairiah Abu Lampisang ditutup dan beliau pun kembali ke Siem Aceh Besar. Tidak diketahui alasan yang pasti, namun disebutkan bahwa ditutupnya Dayah tersebut karena kekhawatiran Belanda terhadap semangat jihad para pejuang yang banyak bertebaran di Aceh Selatan seperti Teuku Raja Angkasah dan Teuku Cut Ali.

Sekembalinya ke Siem, Abu Lampisang tetap dengan aktivitas beliau sebagai ulama yang mengayomi ummat dan aktif mengajar di berbagai tempat. Disebutkan, beliau adalah seorang ulama yang tawadhu’, rendah hati dan bersahaja dalam hidupnya. Setelah pengabdian yang tulus dan panjang, wafatlah ulama kharismatik ini di tahun 1960. Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan.

Ditulis Oleh:
Dr. Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary, Lc (Ketua STAI al Washliyah Banda Aceh; Pengampu Pengajian Rutin TAFITAS Aceh; dan Penulis Buku Membumikan Fatwa Ulama)

Ahad, 8 Mei 2022

Syeikh Abdullah Kan’an, Ulama Palestina, Pendiri dan Mufti Pertama Kesultanan Aceh


Hidayatullah.com | SEBAGIAN besar sejarawan sepakat, bahwa Kesultanan Aceh pertama kali didirikan oleh Sultan Meurah Johan Syah (1205-1235 M) di Aceh Besar. Jauh sebelum berdirinya kerajaan Aceh Darussalam yg didirikan oleh Sultan Ali Mugayat Syah (1514-1530 M).

Johan Syah mendirikan Kesultanan Aceh di atas bekas federasi Kerajaan Lamuri Kuno (Kerajaan Indra Purba atau Lamuri, Indra Jaya atau Seudu, Indra Purwa, Indra Patra, Indra Puri dan Langkrak) bersama gurunya yang bernama Syeikh Abdullah Kan’an.
 
Syeikh Abdullah Kan’an adalah seorang ulama yang berasal dari Kan’an Palestina dan sudah datang ke Aceh di abad ke-4 Hijriah. Di Aceh beliau memperdalam ilmu agama di Zawiyah (Dayah Cot Kala), pondok pesantren atau sekolah Islam pertama di Asia Tenggara yang didirikan pada abad ke-9 M. Setelah lulus dari Zawiyah Cot Kala, Sultan Peureulak mengangkat Syeikh Abdullah Kan’an sebagai Teungku Chik di Zawiyah Cot Kala.

Salah satu murid Syeikh Abdullah di Cot Kala adalah Johansyah yang berasal dari Kerajaan Linge (Gayo) namun hijrah untuk mendalami ilmu agama Islam ke Dayah Cot Kala di Bayeun, Aceh Timur yang saat itu berada dalam wilayah Kesultanan Peureulak. Johansyah digelari meurah sebutan keturunan bangsawan negeri Lingga (Linge) karena ayahnya yang bernama Adi Genali atau Teungku Kawe Teupat merupakan bangsawan yang dirajakan di negeri Linge.

Syeikh Abdullah Kan’an termasuk salah satu dari ulama yang mula-mula menyiarkan agama Islam di Aceh. Menurut Ali Hasjmy, Syeikh Abdullah Kan’an merupakan ahli pertanian yang pertama kali membawa bibit lada ke Aceh. Masyarakat Aceh mengenal Syeikh Abdullah Kan’an dengan sebutan Teungku Chik Lampeuneu’euen. Tempat kediaman Syeikh Abdullah dinamai Lampeuneu’en atau Lamkeuneu’en yang secara harfiah dalam bahasa Aceh berarti wilayah Kan’an yang merupakan tempat asal Syeikh Abdullah. Saat ini gampong Lampeuneuen termasuk dalam wilayah kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar.
 
Pada tahun 576 H /1180 M, Syeikh Abdullah Kan’an dan Meurah Johan dikirim oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Shah Johan (1173-1200), Sultan Kesultanan Peureulak ke Aceh Besar sebagai delegasi dakwah menyebarkan agama Islam sekaligus angkatan perang yang membawa 300 pasukan untuk menyerang pasukan Tiongkok dibawah dinasti Zhao Zhen yang terlebih dahulu menyerang dan menaklukkan Kerajaan Indra Jaya dan sekitarnya antara tahun 450-460 H atau 1059-1069 M.

Sebelumnya, Kerajaan Hindu Indra Purba yang beribu kota di Lamuri dibawah pimpinan Maharaja Indra Sakti meminta bantuan Peureulak untuk menghadapi ancaman armada perang Tiongkok yang berhasil menguasai Kerajaan Indra Jaya mengingat sebelumnya Kerajaan Indra Purba pernah diserang dan dijarah oleh Kerajaan Rajendra Cola 1 dari India Selatan.

Johansyah ditugaskan mengomandoi angkatan perang ‘Syah Hudan’ yang didalamnya terdapat 300 personil terlatih yang kesemuanya merupakan mahasantri Zawiyah (Dayah) Cot Kala. Ia dan pasukannya lalu membangun pusat latihan militer di Bandar Lamuri tepatnya di Mamprai dalam upaya menaklukkan kerajaan Seudu (Indra Jaya).
 
Di Mamprai, Syeikh Abdullah Kan’an atas izin Raja Indra Purba juga membuka kebun lada dan mulai menyebarkan ajaran Islam. Pada akhirnya, raja dan seluruh penduduk Lamuri berhasil berhasil diislamkan oleh Syeikh Abdullah Kan’an dengan bantuan 300 mahasantrinya yang selanjutnya oleh masyarakat Aceh disebut Sukee Lhee Reutouh

Pasukan Meurah Johan akhirnya berhasil memporak-porandakan basis pertahanan angkatan perang Tiongkok di Kerajaan Seudu (nama baru Indra Jaya) termasuk menangkap panglima perang Kerajaan Seudu Maharani (Putri) Nian Nio Lian Khi (Lingke).

Selepas penaklukan itu, Maharaja Indra Sakti yang telah masuk Islam menikahkan puterinya yang bernama Puteri Blieng Indra Keusuma dengan Meurah Johan. Dan mengangkat Meurah Johan Syah sebagai pewaris tahta Kerajaan Lamuri dengan gelar (Poteu Uek)

Dua puluh lima tahun kemudian, Maharaja Indra Sakti mangkat sehingga Johan Syah didapuk sebagai Raja Lamuri. Untuk menyatukan bekas federasi Kerajaan Lamuri Kuno, maka diadakan rapat besar yang dihadiri oleh perwakilan kerajaan Seudu, Indra Purwa, Indra Patra, Indra Puri dan Indra Purba dan wakil kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam Pasé (Pasai), kerajaan Benua (sekarang: Langkat-Tamiang) dan kerajaan Islam Linge. Pada saat itulah, Syeikh Abdullah Kan’an berkata: “Kini, kita semua sepakat untuk mendirikan satu kerajaan Islam dengan nama Kesultanan Aceh Darussalam.”

Syeikh Abdullah Kan’an sendiri yang memilih nama Aceh sebagai nama kerajaan baru yang menyatukan bekas kerajaan Indra Patra, Indra Puri, Indra Purwa dan Seudu bergabung dengan Islam sebagai dasar negara. Selanjutnya disepakati ibukota Kerajaan Aceh saat itu terletak di tempat yang sekarang disebut Gampong Pande dengan nama Bandar Aceh Darussalam. Kemudian Meurah Johan Syah diputuskan dan dilantik sebagai Sultan Aceh pertama pada 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205 M (Saat ini diperingati sebagai Hari Lahir Banda Aceh) dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah Zilullah Fil Alam, yang memerintah pada 1205-1234. Syeikh Abdullah Kan’an selanjutnya juga dilantik sebagai Mufti pertama Kesultanan Aceh.

Dalam pidato mukaddimah berdirinya kerajaan Aceh Darussalam, Syeikh Abdullah Kan’an menegaskan bahwa apabila Alquran dijadikan sebagai landasan hidup manusia dan menjadi pegangan utama dari pada kerajaan, maka kedamaian akan wujud di dunia, dimana keadilan, kebenaran, kasih sayang, persaudaraan, persamaan, kebebasan dan hak asasi manusia menjadi raja.

Sejak itu, Sultan Johan Syah bertekad bahwa kebenaran, keadilan, persaudaraan, persamaan, keikhlasan dan cinta kasih menjadi dasar negara dan siapa pun tidak boleh memperkosa dasar-dasar ini (Meurah Johan Raja Aceh Darussalam)
 
Menurut catatan M. Yunus Jamil, Maharani Nian Nio dan pasukannya akhirnya berhasil di-islamkan. Lalu Syeikh Abdullah Kan’an dengan persetujuan Putri Indra Keusuma istri Meurah Johan menikahkan Putri Nian Nio dengan Meurah Johan di tengah laut Sabang. Masyarakat Aceh akhirnya mengenal Putri Nian Nio dengan sebutan Putroe Neng. Selain sebagai Mufti Kesultanan Aceh, Syeikh Abdullah Kan’an juga mendirikan dan memimpin Dayah di Lampeuneuen. Hingga akhir hayatnya ia terus berjuang mendakwahkan Islam hingga tersebar ke seluruh Aceh bahkan akhirnya ke seluruh Nusantara.

Syeikh Abdullah Kan’an dimakamkan di Leu Geu, Darul Imarah, Aceh Besar. Makamnya terletak dalam sebuah bangunan berbentuk mesjid yang di depannya terdapat sebuah sumur dengan cicin sumurnya terbuat dari tanah berukir. Dalam komplek makam itu juga terdapat makam beberapa pengikut dan murid beliau termasuk makam Tgk. Chik Kuta Karang, seorang ulama besar yang juga masih keturunan Tgk. Kan’an.

Tgk. Chik Abbas Kuta Karang adalah seorang ulama dan pejuang, sekaligus penulis produktif. Beliau pernah belajar di Makkah bersamaan dengan Snouck Hurgronje. Beliau kembali ke Aceh lebih awal untuk mengingatkan sultan dan masyarakat Aceh tentang fitnah yang mungkin dibawa oleh Snouck alias Tgk. Puteh ke Aceh.

Tgk Chik Kutakarang dikenal luas sebagai ahli falak, bahkan namanya diabadikan sebagai nama Observatorium Hilal di tepi Pantai Lhoknga oleh Kementerian Agama, sekitar 25 km dari lokasi makamnya saat ini. Beberapa kitab yang beliau wariskan adalah : (1) Sirajul Zalam fi Ma’rifati Sa’adi Wal Nahas tentang ilmu falak (2) Kitabur Rahmah tentang perobatan (3) Tazkiratul Rakidin dan (4) Mau’izhatul Ikhwan tentang strategi militer dalam rangka perang melawan penjajah kolonial, dan yang paling fenomenal (5) Taj al-Muluk yaitu sejenis kitab mujarab yang berisi trik dan amalan praktis bagi masyarakat berdasarkan peredaran bulan.
 
Perjuangan kakek Tgk. Chik Kuta Karang yang berasal dari Palestina yaitu Syeikh Abdullah Kan’an di Aceh membuka hati kita atas besarnya jasa masyarakat Palestina bagi Aceh, Indonesia dan dunia Islam pada umumnya.

Oleh karena itu, inilah saatnya bagi kita untuk membalas budi dengan bersatu berupaya mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina dari penjajahan dan penindasan yang dilakukan oleh Zionis. Insya Allah dengan persatuan kita bisa meraih kemenangan.*

Penulis mahasiswa atau praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (Asal). Ia juga merupakan Wakil Ketua Pengurus Daerah Organisasi Pelajar Islam (PD OPI) Aceh.

Jumaat, 6 Mei 2022

Jepang Masuk Ke Aceh, Belanda Keluar.


Penulis : Doktor Teuku Ibrahim Alfian.

StatusAceh.Net - Berbicara tentang sejarah Aceh tidak akan pernah selesai. Aceh adalah sebuah negeri yang unik dan memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Kita harus mengakui bagaimana rakyat Aceh dengan heroiknya mampu meladeni serangan-serangan Belanda.

Perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda tidak terpaku pada ketokohannya saja, tapi rakyat Aceh mampu melawan Belanda kapan saja dan di mana saja, baik perorangan maupun secara berkelompok. Lantas bagaimana dengan perjuangan rakyat Aceh melawan kebengisan penjajah Jepang?

Sejarah mencatat (T. Ibrahim Alfian, dkk, 1982:9-10) bahwa Jepang mendarat di Aceh pada tanggal 12 Maret 1942. Pendaratan Jepang dilakukan pada tiga tempat yang berbeda, yaitu di Krueng Raya, Sabang, dan Peureulak. Jepang mendarat ke Aceh tanpa rintangan apa pun. Baik dari Pemerintah Belanda maupun dari rakyat Aceh sendiri, malah sebaliknya rakyat Aceh pada kala itu menyambut baik kedatangan Jepang dengan perasaan senang dan turut membantu mereka. 

Saya melihat hal ini wajar saja, karena pada masa-masa akhir penjajahan Belanda, rakyat Aceh masih intens melakukan perlawanan terhadap Belanda. Rakyat Aceh menganggap bahwa kedatangan Jepang ke Aceh juga dapat membantu mereka untuk sama-sama mengusir Belanda dari tanah Aceh. 

Selain itu (T. Ibrahim Alfian, dkk, 1982:10) jauh-jauh hari sebelum Jepang mendarat ke Aceh, Jepang telah melakukan hubungan politik yang menguntungkan mereka dengan mengadakan kontak langsung dengan para pemimpin rakyat, utamanya dari golongan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). PUSA ini menjadi panutan rakyat karena golongan inilah yang menjadi inti dalam melakukan aksi dan perlawanan terhadap Belanda.

Mengenai perjuangan PUSA dalam bentuk politik, menurut Bambang Suwondo (1983:13-14) misalnya dengan mengadakan rapat-rapat rahasia untuk menyusun strategi yang tepat dalam menghadapi Belanda, serta mengadakan hubungan dengan luar negeri guna memperoleh bantuan. 

Pada sebuah rapat rahasia bulan Desember 1941 yang dihadiri oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Abdul Wahab (PUSA), Teuku Nyak Arief (Panglima Sagi XXVI Mukim), Teuku Muhammad Ali Panglima Polem (Panglima Sagi XXII Mukim), Teuku Ahmad (uleebalang Jeunib-Samalanga) dan lain-lain mengucapkan ikrar setia kepada agama Islam, bangsa, dan tanah air, menyusun pemberontakan bersama melawan pemerintah Belanda dan bersetia kepada Dai Nippan. Terkait hubungan dengan Jepang yang dilakukan oleh PUSA, diutuslah Said Abu Bakar dan Syekh Ibrahim secara khusus guna menjajaki kemungkinan masuknya Jepang ke Aceh dengan tujuan secepat mungkin untuk mengusir Belanda.

Hubungan Jepang dengan utusan-utusan ini direalisasikan dengan mengumpulkan orang-orang Aceh yang ada di Pulau Pinang dan Malaya seraya menganjurkan kepada mereka untuk kembali ke Aceh guna membentuk organisasi rahasia yang bernama "Fujiwara Kikan" atau yang lebih sering disebut dengan Barisan "F", karena mereka memakai inisial "F" sebagai lambangnya. Dan salah seorang pelopornya adalah Said Abu Bakar, utusan yang pernah dikirim oleh PUSA untuk berdiplomasi dengan Jepang. Melalui Barisan "F" ini.

Jepang memberikan indoktrinasi serta janjinya untuk mempercepat pengusiran Belanda di Aceh. Barisan "F" ini berperan dalam melakukan kampanye untuk memuluskan jalan bagi pendaratan Jepang. Mereka mempropagandakan tentang rencana pendaratan Jepang serta menyebarluaskan janji-janji Jepang ke seluruh daerah (Bambang Suwondo, 1983:17).

Dari kedua pandangan di atas, maka PUSA memiliki peran penting dalam mendatangkan Jepang ke Aceh. Tapi perlu diingat, bahwa tujuan PUSA semata-mata hanyalah ingin mengusir Belanda dari Aceh dengan bantuan tentara Jepang. Karena pada masa itu tidak memungkinkan bagi Aceh untuk menumpas akar-akar kolonialisme Belanda tanpa dukungan perlengkapan perang yang lengkap. Jadi, mereka masih menganggap bahwa niat Jepang masih tulus dalam membantu perjuangan rakyat Aceh, meskipun kelak Jepang mempunyai misi lain yang lebih parah dari Belanda.

Setelah Jepang mendarat, mereka langsung menyerang pertahanan-pertahanan Belanda yang masih tersisa di Aceh. Takengon menjadi basis pertahanan utama Belanda saat itu. Menurut T. Ibrahim Alfian, dkk (1982:11) di daerah Tanah Alas dan Gayo Lues terdapat dua markas teritorial, yaitu di bawah pimpinan Gosenson dan Overakker. Mulanya Gosenson mempertahankan serbuan Jepang dari jurusan Takengon, sedangkan Overakker mempertahankan serangan yang dilancarkan dari arah Tanah Karo dengan memusatkan pertahanan di Kutacane.

Pada tanggal 24 September 1942, tentara Jepang terus melancarkan serangan untuk menemukan dan mendesak kedudukan kedua markas teritorial Belanda itu. Tentara Jepang terus saja memblokade kedudukan Belanda di sana. Tekanan demi tekanan yang dilancarkan Jepang seperti itu telah menyebabkan Overakker dan Gosenson terpaksa menyerah kepada Jepang di Blangkeujren pada tanggal 28 Maret 1942. Dan pada tanggal itulah berakhirnya kekuasaan Belanda secara resmi di tanah Aceh. 

Kisah di atas hampir senada dengan Bambang Suwondo (1983:17-18) sejak Jepang mendarat, mereka bersama dengan rakyat terutama Barisan "F" terus melakukan serangan terhadap tentara Belanda. Dalam situasi tersebut, Gosenson yang telah memindahkan markasnya ke Takengon, namun masih juga terdapat sebagian tentaranya yang tinggal di Kutaraja untuk mempertahankan Lhok Nga. Tentara Belanda ini terpaksa mundur melalui pantai barat dan selatan guna bergabung dengan pertahanan mereka yang ada di sana. 

Selain itu, tentara Belanda yang masih berada di Aceh Besar dan Pidie juga terus diserang sehingga mereka terpaksa lari ke Tangse dan Geumpang yang merupakan pertahanan kedua setelah Takengon. Pada tanggal 19 Maret 1942, pasukan Jepang telah berada di sana dan pertempuran pun tak terelakkan yang menyebabkan Belanda menyerah pada hari itu juga kepada Jepang.

Selanjutnya tanggal 24 Maret 1942, Jepang juga menyerang Lembah Alas, Gayo Lues yang telah menjadi kubu pertahanan Overakker dan Gosenson. Rencana kedua pemimpin teritorial Belanda ini untuk bertahan tidak memungkinkan lagi dan terpaksa menyerah kalah kepada pendudukan Jepang pada tanggal 28 Maret 1942 di Blangkeujren (Bambang Suwondo, 1983:18-19). 

Maka sejak tanggal 28 Maret 1942, secara resmi Jepang telah berkuasa sepenuhnya di seluruh daerah Aceh dan akan mengatur langkah selanjutnya dalam usaha penanaman kekuasaan. Pada masa Jepang, sistem pemerintahan di Aceh masih seperti yang telah diatur oleh Pemerintah Belanda terdahulu. Daerah Aceh terdiri atas daerah yang disebut Zelfbestuursgebied (daerah berpemerintahan sendiri) dan Rechsreeks Bestuur Gebied (daerah yang berada langsung di bawah Gubernur atau Pemerintah Belanda).

Pada masa-masa awal masuknya Jepang ke Aceh, rakyat merasakan sebuah euforia. Menurut Amran Zamzami (1990:19) ketika Jepang masuk ke Aceh, rakyat menyambut dengan suka ria, bahkan ada yang bersedia menyediakan makanan kelapa atau buah-buahan serta berteriak: "Banzai Dai Nippon, banzai, banzai." Hal-hal itulah yang membuat pemuda-pemuda Aceh keranjingan heiteisan, gandrung pada jiwa keprajuritan. Mereka memimpikan kegagahperkasaan untuk membela tanah air dengan pangkat-pangkat kasikan (bintara)

Syukur kalau-kalau bisa menjadi perwira dengan sepatu "pacok" dan samurai bergantung di pinggang. Anak-anak dan para pelajar setiap pagi giat melakukan taiso (senam) di samping baris-berbaris serta apel yang diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang yaitu Kimigayo. Lagu yang menanamkan rasa hormat kepada militer pun digunakan untuk menumbuhkan jiwa keprajuritan pada anak-anak. Setiap anak bahkan hafal nyanyian Heiteisan Yo Arigato (terima kasih kepada tuan serdadu) dan Myoto Okaino, serta fasih meneriakkan pekik selamat kepada Kaisar Jepang: Banzai Tenno Heika, Banzai! 

Namun semua keindahan itu hanyalah bersifat sementara. Pada kenyataan selanjutnya, sebagaimana yang kita tahu, bahwa Jepang yang menjajah kita lebih kejam dalam memperlakukan rakyat kita daripada Belanda. Sehingga ada ungkapan yang mengatakan "lebih baik dijajah Belanda selama 300 tahun daripada dijajah oleh Jepang selama 3 tahun". Semua itu adalah kenangan pahit sejarah bagi kita.