ESENSI SEJARAH "IKRAR LAMTEH" DAN NASIB "MOU HELSINKI" TERUS DIKEBIRI
Memang benar bahwa sekarang tidak ada lagi letupan senjata atau moncong bedil yang dipertontonkan setiap hari seperti masa konflik dulu. Namun perlu diingat bahwa perjanjian damai belum tegak selama butir-butir yang telah disepakati pihak GAM dan RI belum terealisasi. Satu demi satu janji MoU terus dikebiri dengan berbagai bentuk rasionalisasi, 14 tahun lalu ini ibarat janji sepasang insan ketika sedang dilanda asmara.
Apakah nasib MoU Helsinki yang dilakukan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia yang ditandangi di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam akan berujung seperti perjanjian Ikrar Lamteh pada tahun 1957 lalu?
Kita kembali sejenak ke sejarah DI/TII Aceh masa lampau. Ketika itu perang terus berkecambuk, Soekarno diyakini sudah menawarkan jalan tengah melalui sikap damai kapada Tgk Daud Beureueh. Namun pimpinan DI/TII Aceh itu memilih untuk terus berperang dan bergerilya di hutan Aceh. Meski demikian, peristiwa DI/TII Aceh berakhir dengan adanya perjanjian Ikrar Lamteh, sehingga Aceh tetap berada dalam wilayah Indonesia.
Perjanjian Ikrar Lamteh itu pernah terjadi antara Aceh dan Indonesia tapi tanpa difasilitasi oleh pihak ketiga berbeda dengan MoU Helsinki, namun esensinya adalah sama. Aceh pernah hilang kepercayaan kepada Republik Indonesia karena persoalan pelanggaran perjanjian, yaitu “Ikrar Lamteh” sebagai ikrar damai untuk menghentikan permusuhan.
Ikrar Lamteh yang dicetuskan tanggal 7 April tahun 1957 itu berbunyi : “Kami putra-putra Aceh, di pihak manapun berada akan berjuang bersungguh - sungguh untuk: Menjunjung tinggi kehormatan agama Islam, Menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh.”
Usai berdamai dengan kubu DI/TII yang dipimpin Daud Beureueh, Jakarta berjanji akan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa. Pada masa itu pemerintah memberikan status keistimewaan untuk Aceh, namun kenyataannya Aceh tidak pernah mendapat perlakuan istimewa dari pusat.
Akibat ingkar janji itu, Aceh kembali bergejolak, sekitar 1976, yang ditandai dengan deklarasi Aceh Merdeka oleh Hasan Muhammad di Tiro. Pada 1989, Jakarta memberlakukan Operasi Jaring Merah untuk menindak aktivis Aceh Merdeka. Gejolak pada fase ini, pemerintah tak berhasil mengambil hati masyarakat Aceh, sehingga pemberontakan kembali berkobar. Sehingga timbul gejolak fase ketiga. Dari pemberontakan fase ini kemudian berlanjut dengan perdamaian antara pemerintah dengan GAM.
MoU Helsinki adalah kesepakatan damai Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005 merupakan bagian dari “Perjanjian Internasional,” karena para pihaknya adalah subjek hukum internasional. Kesepakatan ini berbentuk “Treaty Contract”, yang berlaku terbatas bagi pihak yang mengadakan dan dasar dari kesepakatan itu adalah “Pacta Sunt Servanda” sebagai ajaran moral.
Jika terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan damai RI-GAM (MoU Helsinki), maka penyelesaian yang dapat ditempuh adalah sesuai pengaturan MoU Helsinki itu sendiri, yakni diselesaikan oleh pihak Misi Monitoring. Apabila tidak tercapai hasil, maka Direktur Eksecutif CMI harus turun tangan.
Terkait dengan surat pembatalan Qanun Bendera dan Lambang yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri RI dinilai oleh banyak pihak sebagai sebuah bentuk pengkhianatan untuk Aceh. Pembatalan sepihak ini berada di luar prosedur dan tidak melalui makanisme serta tidak pernah dimusyawarahkan dengan para pihak pelaku damai. Jangan sampai kebijakan ini mengulang sejarah seperti "Ikrar Lamteh" yang mengalami pengkhianatan diujung.
Berbeda dengan kasus masa lampau, kini kejadiannya seperti adanya indikasi bahwa ketika Jakarta tidak mampu melaksanakan isi perjanjian tersebut, maka cara yang paling ampuh adalah membolak- balikkan fakta dengan rasionalitas melalui propaganda - propaganda yang tidak wajar sebagai alasan untuk menghapus ataupun menganulir poin-poin kesepakatan damai yang menjadi tanggungjawabnya. Hal ini terlihat jelas melalui penggunaan instrumen hukum sebagai skenario penggembosan tokoh-tokoh GAM melalui operasi intelijen, modus ini adalah cara yang paling tepat untuk rasionalisasi agar diterima oleh pikiran awam.
Tidak tertutup kemungkinan Dana Otsus Aceh akan dihentikan oleh Jakarta sebelum habis masanya dan bisa-bisa tidak akan ada perpanjangan lagi kedepan, hal ini terlihat melalui proses operasi penangkapan Gubernur Aceh dari tokoh GAM dengan tuduhan korupsi sehingga dapat dijadikan alasan sebagai bahan evaluasi bahwa pemanfaatan dana otsus tidak efisien. Propaganda yang diciptakan dengan cara pembunuhan karakter melalui media, memberi kesan bahwa Gubernur Aceh yang mengelola dana otsus itu melakukan korupsi. Padahal kejadian sebenarnya tidak seperti skenario yang diberitakan.
Ketika Jakarta berhasil melancarkan propaganda pecah belah di Aceh, maka disinilah perselisihan antar sesama Aceh mulai muncul. Rakyat Aceh sudah mulai melupakan sejarah bahwa Aceh sekarang adalah buah dari hasil perjuangan yang menelan ribuan nyawa. Kita tidak ingin pengkhianatan itu kembali terulang diatas bumi Nanggroe Meutuah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan