Di tulis oleh Nab Bahany
(Biarlah Rahasia Sejarah Aceh Saya Bawa Mati)
Sebelum meriwayatkan kenangan lebih jauh dgn Dr. M. Gada Ismail semasa hidupnya, lebih dulu saya menyampaikan Alfatihah 3 x kepada almarhum, semoga almarhum menjadi tamu Allah yang agung di alam sana.
Dr. M. Gade Ismail adalah guru saya, mitra kerja, dan teman diskusi ilmu sejarah yg sangat teguh pada keilmuannya.
Suatu hari, usai Salat Subuh di tahun 2000, sebuah rumah di Gampong Pineung, Banda Aceh, rumah itu tiba-tiba dideringkan oleh suara panggilan telepon. Sang pemilik rumah langsung mengangangkatnya. Dalam pembicaraan telepon itu, sang penelpon meminta agar yg menerima telepon, dimohon bersedia utk menduduki jabatan Asisten Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia di Jakarta.
Rumah yg ditelepon itu tak lain adalah rumah Dr. Muhammad Gade Ismail, MA, seorang sejarawan Aceh yang dikenal kritis. Ia Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala. Doto Gade--panggilan akrap utk sejarawan ini--punya kebiasaan suka menceritakan pengalamannya pada orang yg dianggap layak diceritakan.
Termasuk cerita saat Doto Gade menerima telepon dari Jakarta, yg memintanya utk bersedia menjadi Asisten Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia tahun 2000.
Saat itu, Dr. Gade mengatakan, bila ia menerima tawaran utk jadi Asisten Menteri, secara finansial mungkin tak ada masalah lagi. Paling tidak, mobil mewah, rumah dinas mewah, gaji besar sebagai Asisten Menteri sdh disediakan bagi dirinya di Jakarta.
"Tapi masalahnya, kalau tawaran itu saya terima, dan saya sdh jadi Asisten Menteri, sudah pasti saya tak lagi akan menjadi 'si Muhammad Gade' seperti ini. Maksudnya, bila Dr. Gade menerima jabatan jadi Asisten Menteri, ia khawatir sudah pasti tak bisa lagi berfikir sebagai sejarawan dan ilmuan sejati.
"Itu sebabnya, saya sudah putuskan utk menolak jadi Asisten Menteri. Biarlah saya menjadi diri saya sendiri, menjadi Doto Gade seperti yang dikenal masyarakat saat ini", kata Dr. Ilmu sejarah lulusan Leden Univercity Belanda.
Pesan Tgk. Daud Beureueh
Ketika hendak meneruskan sekolah S-3 ke negeri Belanda, M. Gade Ismail diajak oleh seseorang utk menemui Tgk. Muhammad Daud Beureueh di Beureunun, Pidie. Orang yg mempertemukan Dr. Gade dgn Abu Daud Beureueh memperkenalkan Doto Gade pada Abu Beureueh: "Nyoe Muhammad Gade geutanyoe Abu, dari Unsyiah. Gop nyan geuneuk Jak sikula program Doktor u Beulanda".
Saat itu Abu Daud Beureueh hanya memberikan nasehat singkat pada Dr. Gade (saat itu belum Doktor). "Nyoe lon peugah bak gata Aneuk. Tajak sikula beurangkaho jeuet. U nanggroe kafe sekalipun hana masalah. Nyang peunteung, pue nyang tameureunoe sideh, meunye puteh dipeugah sideh, atee tawoe keu noe puteh tapeugah, meunan syit meunye itam dipegah sideh, atee tawoe keunoe u Aceh itam tapegah, nyan kejujuran 'eleumee", kata Daud Beureueh pada Dr. Muhammad Gade.
Ternyata, nasehat Abu Daud Beureueh benar menjadi pegangan bagi Dr. Gade dlm mengamalkan keilmuannya semasa hidupnya. Saya termasuk salah seorang yg pernah belajar banyak pada Dr. M. Gade Ismail dlm memahami ilmu sejarah kritis.
Suatu ketika, Dr. Gade menceritakan pada saya, bahwa selama delapan tahun ia di Belanda, tiap harinya ia mempelajari dokumen-dokumen sejarah Aceh yg tersimpan di perpustakaan Leden. Banyak sekali rahasia-rahasia sejarah Aceh yg ia temukan di sana.
Akan tetapi, rahasia sejarah Aceh ini, kata Dr. Gade, belum bisa ia ungkapkan secara transparan. Mengingat situasi Aceh saat itu (di era-era 1990-an) sedang dlm situasi konflik yg sangat parah dan sangat riskan membicarakan sejarah Aceh.
"Saya khawatir, bila semua rahasia sejarah Aceh saya ungkapkan dlm situasi konflik saat ini, suasana Aceh akan bertambah panas. Dan bila rahasia sejarah Aceh ini kita buka secara transparan, mungkin semua orang Aceh akan kembali mengasah parang utk berperang", kata Dr. Gade Ismail.
Tapi pada saatnya, kata Dr. Gade, ia akan ungkapkan semua rahasia sejarah Aceh ini, biar semuanya tahu apa sebenarnya yg sedang terjadi di Aceh. "Kalau pun saya tidak sempat mengungkapkan rahasia sejarah Aceh itu, biarlah semua rahasia sejarah Aceh ini akan saya bawa mati", kata Dr. Gade semasa hidupnya.
Tentu saja, kita bertanya-tanya. Rahasia apa sebenarnya tentang sejarah Aceh yg hendak diungkapkan Dr. M. Gade Ismail ini. Tidak ada lagi tempat kita bertanya, karena beliau telah lebih dulu menghadapNya di tahun 2000. Beliau pergi utk selamanya dgn membawa rahasia sejarah Aceh yg belum sempat beluau ungkapkan kepada kita semasa hidupnya.
Inging Menghadiahkan Sebuah Kamera
Suatu hari di tahun 2000, setelah kami ngopi di warung Solong Uleekareng, Dr. Gade mengajak saya ke rumahnya di Gampong Pineung Banda Aceh. Setibanya di rumah, Dr. Gade mengajak saya untuk melihat perpustakaannya di lantai 2. Masya Allah, perpustakaan yg sangat besar dan lengkap utk sebuah perpustakaan pribadi seorang ilmuan.
Setelah itu kami kembali ke lantai dasar. Dan ngobrol soal perpustakaan yg sudah disiapkan. "Setelah saya nanti tdk sibuk lagi mengajar, saya akan habiskan usia saya diperputakaan itu utk saya menulis", kata Dr. Gade.
Namun di tengah kami ngobrol santai hari itu, datanglah beberapa tamu ke rumahnya. Hingga obrolan saya dgn pak Gade itu terhenti, melayani pembicaraannya dgn tamu.
Dan beberapa tamu itu adalah orang dari Unsyiah yg sedang bekerja mempromosikan Dr. M. Gade Ismail sebagai calon kuat dlm pemilihan dekan FKIP Unsyiah saat itu.
Karena hari itu saya ada kepentingan lain, maka setelah satu jam lebih saya ikut nimbrung dlm pembicaraan itu, akhirnya saya minta pamit lebih dulu sama Dr. Gade bersama tamu di rumahnya. "Baik, nanti sore habis asar kita jumpa lagi di warung Solong", kata Dr. Gade pada saya.
Sesuai pesan, habis asar saya sdh ada di warung solong Uleekareng. Sebentar kemudian Dr. Gade datang bersama dua rekannya, kami duduk satu meja. Begitu Dr. Gade duduk langsung mengatakan kepada saya:
"Lon pakat gata bunoe urumoh, lon neuk jok kamera saboh keugata, kamera lagak that ata lon puwoe di Belanda, ngat tapakek-pakek le gata, karena ilon hana lon pih pakek", kata Dr. Gade pada saya.
Atau meunoe Mantong, kata Dr. Gade lagi, singeh kameranyan lon peuduek lam moto, atee meurumpok gata inoe lon jok. "Jeut pak, terimakasih", saya mengiyakan.
Dua hari kemudian, Banda Aceh terus diguyur hujan, hingga jadwal ngopi ke Solong Uleekareng pun sempat terhenti, hingga Banda Aceh pada tahun 2000 itu terjadi banjir yg sangat besar.
Hingga saya pun tdk sempat lagi bertemu dgn Dr. Muhammad Gade Ismail. Sampai beliau jatuh sakit dan dibawa berobat ke Medan sampai ajal menjemputnya. Beliau meninggal tahun 2000, di saat masyarakat Aceh masih sangat membutuhkan sosok sejarawan dan ilmuan sejati, seperti Dr. Muhammad Gade Ismail, MA ini.
Kesan lain yang saya temukan sosok tokoh sejarawan sejati ini, adalah kejenakaan beliau dlm menjelaskan sesuatu yg sangat serius, tapi sarat makna filosofisnya.
Beliau kaya dgn perbandingan dan perumpamaan-perumpamaan dlm menjelaskan sesuatu pada kita, sehingga apa yg beliau jelaskan meski terkadang agak jenaka, dpt membuat kita lebih mudah mengerti apa yg beliau maksudkan.
Nah, disini Dr. Gade mengari kita bagaimana menggunakan logika berfikir dlm menjelaskan sesuatu utk mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat.
Sekali lagi, Alfatihah kepada kepada almarhum Dr. Muhammad Gade Ismail. Semoga almalhum dilapangkan kuburnya dan menjadi tamu Allah yg istimewa di alam sana. Amin.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan