Bireuen bukan tempat yang penting di era kerajaan Aceh Darussalam dan Samudera Pase masih berjaya di era lampau. Bahkan asal-usul nama Bireuen pun masih diperdebatkan antara Birrun, Biruweung dan Biruan. Untuk kata terakhir memang memiliki catatan di sebuah nisan kuno di Meunasah Capa, Kecamatan Kota Juang.
Di era lampau wilayah Ule Balang Peusangan dan Samalanga justru memiliki peran yang lebih besar. Bireuen yang kini menjadi nama kabupaten dan ibukota, dulunya berada di bawah Nanggroe Peusangan. Dalam sebuah catatan disebut, Bireuen yang kemudian digunakan sebagai pusat militer Divisi X Gadjah Putih,Komandemen Sumatra Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef yang berkedudukan di Meuligoe Bupati yang sekarang, merupakan kawasan tempat menetapnya penjajah Belanda dengan nama awal Cot Hagu.
Hal yang menarik justru tentang kabar bahwa Bireuen pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Pengakuan ini pernah ikut disampaikan oleh Letnan Yusuf Ahmad, atau yang akrab disapa Usuh Tank. Lelaki bekas montir di Lhokseumawe ketika Jepang masih bercokol di Aceh itu, adalah orang yang sukses menghidupkan kembali rongsokan tank milik Jepang yang disimpan di Keude Dua, Juli.
“Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta Ibukota RI yang kedua, kembali dikuasai Belanda. Kebetulan Presiden Soekarno juga berada di sana saat itu,menjadi kalang kabut. Akhirnya Soekarno memutuskan mengasingkan diri ke Bireuen pada Juni 1948, dengan pesawat udara khusus Dakota, yang dipiloti Teuku Iskandar. Pesawat itu turun di lapangan Cot Gapu,” kisahnya kepada Tabloid Narit, koran milik Pemkab Bireuen yang kini tidak lagi diterbitkan.
Pengakuan yang sama juga pernah disampaikan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Menurut JK, Bireuen pernah menjadi ibu kota RI, ketika jatuhnya Yogyakarta pada 1948. Presiden Sukarno hijrah dari ibu kota kedua RI, yakni Yogyakarta ke Bireuen pada 18 Juni 1948.
“Bahkan Bireuen pernah menjadi Ibu Kota RI ketiga, ketika jatuhnya Yogyakarta tahun 1948. Presiden Sukarno hijrah dari Ibu Kota RI kedua, yakni Yogyakarta ke Bireuen pada 18 Juni 1948. Selama seminggu Bireuen menjadi tempat untuk mengendalikan Republik Indonesia yang saat itu dalam keadaan darurat,” kata JK dalam pidatonya yang berjudul “Perdamaian dan Pembangunan Nasional,” kata JK, Sabtu, 14 November 2015, seperti dilansir oleh situs Liputan6.com.
Tapi, pengakuan Usuh Tank dan JK tidak serta merta dapat dibenarkan. Kala sedang berkunjung ke Bireuen, dan tinggal selama satu minggu, keadaan Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta, tidak sedang dalam keadaan gawat darurat.
Menurut catatan sejarah, Kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak (bahasa Belanda: Operatie Kraai) terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
Bila dilihat dari tanggal tersebut, artinya kunjungan Soekarno ke Bireuen beberapa bulan sebelum agresi militer Belanda.
Ketika Kota Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda, Presiden dan Wakil Presiden RI Soekarno dan Hatta, tetap berada di sana. Bujukan agar ia ikut bergerilya bersama tentara dan rakyat, ditolak dengan alasan mereka harus tetap berhubungan dengan Komisi Tiga Negara (KTN) yang sedang menjadi mediator kala itu.Akhirnya mereka ditangkap oleh Belanda.
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatra, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.
Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatra, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Sementara itu, Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin Republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin Republik.
Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatra Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
Sumber:
1. Aceh Trend
2. Liputan6
3. Wikipedia
4. Operation KraAi (General Spoor) vs Surat Perintah no. 1 (General Sudirman), Gramedia Publisher-Indonesian Language.
5. Agresi Militer Belanda II
Tiada ulasan:
Catat Ulasan