Selasa, 13 Disember 2022

Nur Dari Madinah Di Pidie - Aceh.

Masjid An-Nabawi, 1908.
 Sumber:ar.wikipedia.org/wiki/المسجد_النبوي

Sudah sejak berabad lamanya, dua Tanah Haram, Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah, merupakan dua pusat keilmuan Islam di Hijaz. Ulama-ulama dari berbagai pelosok Dunia Islam telah datang ke kedua kota suci ini untuk mengajarkan ilmu-ilmu Islam, begitu pula para penuntut ilmu yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia.
Masjid Al-Haram dan Masjid An-Nabawiy telah mengisi peran besar dalam memajukan dunia ilmu pengetahuan, tidak saja pada masa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam tapi juga pada masa Khulafa’ur Rasyidin dan setelah mereka sampai dengan masa-masa paling kemudian.

Di sekitar kedua masjid ini juga telah dibangun berbagai madrasah yang pada gilirannya telah ikut meningkatkan kepesatan gerak keilmuan. Namun, tidak sedikit para ulama yang memandang mengajar di Masjid lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih besar pahalanya daripada mengajar di madrasah-madrasah. Di samping itu, mengajar di Masjid merupakan amal sukarela yang tidak terikat dengan berbagai aturan, serta terbuka untuk semua orang tanpa pembatasan.

Namun, sebelum dilanjutkan, saya akan mengemukakan lebih dahulu alasan mengapa topik ini yang akan dibicarakan.
Ahad yang lalu, Mapesa dan Komunitas Pakaian Adat-Pidie telah melakukan meuseuraya atau kegiatan gotong-royong membersihkan serta menata ulang letak nisan-nisan yang terdapat di satu kompleks makam bersejarah di Gampong Sanggeu, Pidie. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membalas kebaikan dan perwujudan kesetiaan tersebut dengan sebaik-baik balasan dari sisi-Nya.

Salah satu makam yang terdapat dalam kompleks itu adalah makam seorang ulama besar, Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, yang wafat pada 943 Hijriah (1537 Masehi).

Meuseuraya Mapesa dan Komunitas Pakaian Adat-Pidie di Kompleks
Makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, Sanggeu, Pidie.

Salam hormat dan rindu!

Keberadaan makam ulama besar ini sudah diketahui sejak 2008. Saat itu, saya bersama Teungku Razali Ismail dari Bireuen, dalam sebuah lawatan singkat yang hanya memakan waktu satu hari di Pidie. Tujuan lawatan adalah untuk mengunjugi Klibeut sampai dengan Batee, tepatnya Kuala Geunteing . Sangat perlu saya ungkapkan di sini—dengan disertai rasa syukur dan doa kebaikan—bahwa motivator di belakang lawatan ini tidak lain adalah tulisan Almarhum H. M. Zainuddin, salah satu di antara para “penyimpan kenangan” di abad ke-20 yang lalu—semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat dan keampunan kepadanya. Lawatan itu adalah untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang disebutkan H.M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara. Tempat-tempat itu, antara lain adalah: Makam Sultan Ma’ruf Syah di Klibeut, Jrat Putroe Bale di Sanggeu, satu bangunan kuno di Batee, dan Kuala Geunteing. Segala puji kepada Allah Rabbul ‘Alamin, atas anugerah dan kemudahan dari-Nya, semua tempat ini telah sempat dikunjungi pada waktu itu.

Satu hal yang tidak terduga-duga, dalam waktu kami berada di Sanggeu setelah berkunjung ke kompleks makam Putroe Balee, dan belum seberapa jauh meninggalkan kompleks tersebut untuk keluar menuju Groenggroeng lantas ke Batee, mata kami sontak menjurus ke satu kompleks makam di sisi kiri kami. Nisan-nisan kuno dalam kompleks itu selain tidak terurus, bagian puncaknya pun rata-rata sudah cacat berat akibat dijadikan sebagai batu pengasah benda-benda tajam.

Tidak jauh dari situ, kami kemudian juga melihat satu kompleks lain dengan batu nisan yang unik. Bentuknya lebih kurang seperti bentuk tharbusy (tharbusy: diarabkan dari kata dalam bahasa Persia, “sarbusy”, yang berarti penutup kepala). Itulah kali pertama saya melihat nisan semisal itu, dan tidak pernah ditemukan di kawasan peninggalan sejarah Samudra Pasai.

Kedua nisan masih sangat utuh, cuma saja posisi berdirinya yang sudah tidak tegak lagi, bahkan sudah sangat condong. Lumut juga sudah tampak menebal di beberapa bagian permukaan batu. Masih utung, lumut tebal itu tidak merusak inskripsi yang terdapat di bagian bawah (pinggang) kedua nisan.

Tulisan Penuh klik Disini

Ahad, 30 Oktober 2022

Daftar Negara Eropa Di Bawah Kuasa Utsmaniah.


Negara - negara Eropa yang berada di bawah Negara Uthmaniah : 

1. Bulgaria 545 tahun 
2. Serbia 400 tahun
3. Yunani 400 tahun 
4. Gunung Hitam 539 tahun 
5. Bosnia dan Herzegovina 539 tahun 
6. Kroasia 539 tahun 
7. Makedonia 490 tahun 
8. Slovenia 250 tahun 
9. Rumania 490 tahun 
10. Slovakia 20 tahun  
11. Hongaria 160 tahun 
12. Maldovia 490 tahun 
13. Ukraina 308 tahun 
14. Azerbaijan 25 tahun 
15. Georgia 400 tahun 
16. Armenia 20 tahun 
17. Siprus Selatan 293 tahun 
18. Cyprus Utara 293 tahun 
19. Wilayah Rusia Selatan 291 tahun 
20. Kosovo 539 tahun

Selasa, 18 Oktober 2022

Kelebihan Terung Pipit.


Terung pipit merupakan sejenis ulam berwarna hijau, kecil serta ia sangat mudah didapati dan tumbuh merata.

Terung pipit atau nama saintifiknya Solanum Torvum yang merupakan sejenis tumbuhan yang banyak terdapat di hutan tropika.

Selain rasanya yang sedap, terdapat banyak khasiat yang menakjubkan untuk kesihatan;

1. Terbaik untuk mengurangkan berat badan 
Terung pipit kaya dengan serat dan salah satu kebaikan serat adalah terbaik untuk menghilangkan berat badan berlebihan.
Tambahan lagi terung pipit sangat rendah tahap kalorinya.

2. Bagus untuk jantung
Kajian menunjukkan yang terung pipit kaya dengan mineral yang penting dan salah satunya adalah potassium.
Potassium mengawal jumlah sodium di dalam darah yang sememangnya bagus untuk jantung dan mengurangkan tekanan darah tinggi.

3. Mengubati anemia
Selain potassium, zat besi dan zink adalah dua jenis mineral yang ditemui dalam terung pipit.
Individu yang mengalami anemia mempunyai kekurangan zat besi dan zink.

4. Mengurangkan risiko diabetes
Terung pipit sangat bagus dalam mengawal tahap gula dalam darah.

5. Terbaik untuk otak
Mungkin tidak disukai oleh kanak-kanak kerana tekstur dan baunya yang sedikit berbau namun terung pipit dikatakan salah satu makanan super untuk otak.

6. Bagus untuk kulit
Terung pipit mempunyai vitamin C dan E yang sememangnya merupakan antioksidan yang penting dalam meningkatkan pengeluaran kolagen supaya kulit kekal sihat dan muda.

7. Mengandungi egen antibakteria
Ini sebablah terung pipit digunakan dalam rawatan tradisional untuk merawat cirit birit dan pelbagai lagi jangkitan di perut.

8. Rawatan semula jadi untuk gout
Terung pipit mempunyai bahan anti keradangan yang dapat mencuci asid urik keluar dari tubuh badan.
Jadi ia mampu untuk mengurangkan kesan gout.

9. Mempertingkatkan aliran darah
Kerana kaya dengan mineral penting, terung pipit sangat berkhasiat dalam mempertingkatkan aliran darah.
Aliran darah yang bagus dapat membekalkan oksigen ke seluruh tubub dengan lebih baik.
Baca juga Hati-hati beli ubat jerawat online, ini jenis dan kesan sampingan

10. Rawatan tradisional untuk batuk
Terung pipit dimasak sup untuk melegakan batuk dan selesema.

11. Mengelakkan masalah buah pinggang
Kajian menunjukkan dengan memakan terung pipit dapat mengurangkan risiko masalah buah pinggang. Namun kajian tambahan perlu dilakukan untuk menyokong kenyataan ini.

12. Mempertingkatkan kitaran menstruasi
Memakan terung pipit dikatakan dan terbukti dapat mempertingkatkan kitaran menstruasi bagi kaum wanita.

13. Bagus untuk kehamilan
Terung pipit bagus diambil oleh ibu hamil kerana kaya dengan kandungan folate. Folate sangat penting dalam perkembangan fetus.
Jadi, bagi siapa yang ingin menurunkan berat badan, bolehlah mulakan pengambilan terung pipit ini dalam menu diet korang.

Semoga bermanfaat!

Sumber : Google

Selasa, 11 Oktober 2022

Sya'ir Perahu


 syair berbahasa Melayu ciptaan Hamzah Fansuri yang hidup pada pertengahan kurun yang kedua Masehi ke XVI di negeri Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, memerintah Aceh Darussalam dalam tahun 1606-1636 M. Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus atau Panchor, Sumatera Utara. Pada tahun 1726, Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indie (Hindia Timur Lama dan Baharu) pada bab mengenai Sumatera, menyebut Hamzah Fansuri sebagai seorang penyair yang dilahirkan di Fansur. 

Syair Perahu

Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i'tikat diperbetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal hidupmu

Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.

Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu

Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.

Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.

Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.

Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.

Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba'id.

Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.

Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.

Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.

La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.

Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.

Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.

Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.

Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu 'azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.

Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na'am, siang dan malam.

Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.

Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.

Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.

Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
"yakin akan Allah" nama pawangnya.

"Taharat dan istinja'" nama lantainya,
"kufur dan masiat" air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.

Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
"Allahu Akbar" nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.

"Wallahu a'lam" nama rantaunya,
"iradat Allah" nama bandarnya,
"kudrat Allah" nama labuhannya,
"surga jannat an naim nama negerinya.

Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam'ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.

Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.

Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.

Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.

Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
tanpa ada tujuan yg tetap,

Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.

Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?

La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insan,
siang dan malam jangan dilalaikan.

La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma'rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.

La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da'im dan ka'im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.

La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.

La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.

La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma'rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.

La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.

La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah. 


Sumber  : Malay Dialect

Sabtu, 8 Oktober 2022

Biografi Teungku Ahmad Dewi


Teungku Haji Fakir Hakir Ahmad Dewi adalah seorang tokoh ulama pendakwah yang lahir pada tanggal 19 Januari 1951 di Dusun Bantayan, Gampong Keude, Kecamatan Darul Aman, Idi Cut, Aceh Timur. Ayahnya Teungku Muhammad Husen berasal dari Desa Meunasah Kumbang Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Kakeknya Teungku Hasballah yaitu seorang ulama dari Samudera Pasee yang digelar dengan nama Teungku Chik di Meunasah Kumbang.

Teungku Hasballah menguasai ilmu tafsir, bayan, fiqh, siyasah dan ilmu mantiq. Tokoh berbadan atletis ini terkenal sebagai ulama moderat yang menguasai dengan baik bahasa Aceh, Perancis dan Inggris. Ketajaman fikirannya dikagumi oleh kawan maupun lawan. Pada saat perang kolonial Belanda di Aceh berkecamuk, beliau ikut bergabung dengan mujahidin lainnya berperang di Samudera Pasee. Selain itu, beliau sangat ahli dalam ilmu faraid, ahli dalam hal dialog dan pidato, bakat ini sepenuhnya turun kepada Tgk Ahmad Dewi.

Ibunya bernama Dewi kelahiran Peudagee (Serdag Pedagai), Sumatera Utara, nama inilah yang kemudian menjadi nama belakang Teungku Ahmad Dewi. Nama lahir beliau adalah Ahmadullah, namun karena wajahnya yang mirip dengan ibunya, maka orang-orang mengaitkan dengan nama ibunya sehingga disebutlah Ahmad Dewi. Akhirnya beliau lebih dikenal dengan nama Ahmad Dewi dibandingkan dengan nama aslinya Ahmadullah.

Ahmad Dewi juga sempat menuntut ilmu disebuah pesantren yang dipimpin oleh Tgk H. Sofyan di Matang Kuli sekitar tahun 1968 sampai 1970, setelah itu ia kembali ke Idi Cut. Saat itu dayah MTI tidak aktif lagi sepeninggal Tgk Muhammad Thaib yang wafat tahun 1968 dan kiblat pendidikan di Idi Cut telah beralih ke Dayah Darussa'dah Idi Cut dibawah pimpinan Tgk H. Abdul Wahab. Pada masa ini Tgk Ahmad Dewi juga sempat belajar pada Tgk H. Abdul Wahab Idi Cut sambil bekerja mencari nafkah. Ketokohan sosok Teungku Ahmad Dewi menarik perhatian berbagai pihak dengan berbagai kepentingan.

Sebuah informasi menggambarkan bahwa Teungku Hasan Tiro juga sempat mengadakan pertemuan khusus dengan Teungku Ahmad Dewi di Jeunieb dalam masa-masa gerilyanya di Aceh. Ekses pertemuan ini pada tahun 1977, Tengku Ahmad Dewi pun ditangkap aparat keamanan dalam penggerebekan di Dayah MUDI, Mesjid Raya, Samalanga karena diduga terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Beliau ditahan di Markas Laksus Drien Meuduroe, Geulumpang Payong, Kabupaten Pidie. Selama dalam tahanan, masayarakat tiada henti mengunjungi beliau sampai akhirnya dipindahkan ke Banda Aceh (ditahan di daerah Lampineung). Pada masa ini beliau sempat diisukan telah meninggal dunia, masyarakat yang menjenguk tidak bisa bertemu beliau sehingga masyarakat di kampung-kampung melaksanakan shalat jenazah ghaib untuk Teungku Ahmad Dewi.

Pada hari sabtu, 1 Maret 1991 pukul 09.00 WIB, Tgk Ahmad Dewi menerima surat dari abangnya Tgk Muhsinullah. Ia diminta segera menjenguk abangnya yang sedang ditahan pasukan TNI di Tank Batre, Desa Alue Ie Mirah. Beliau berangkat dengan mengendarai mobil Chevrolet bersama supir bernama Asnawi.

Pada waktu itu Aceh berstatus siaga, operasi Jaring Merah dilancarkan di Aceh. Sejak kepergian hari itu, Teungku Ahmad Dewi tidak pernah muncul lagi diatas podium menyuarakan tegaknya syariat Islam di Aceh. Walaupun Teungku Ahmad Dewi telah tiada, pengikut-pengikut setianya selalu memperjuangkan agar di Aceh diberlakukan syariat Islam. Akhirnya pemerintah mengumumkan pemberlakukan syariat Islam dibumi Serambi Mekkah ini.

Namun beliau sebagai tokoh pelopor pemberlakuan syariat Islam di Aceh, sampai hari ini tidak diketahui dimana kuburannya. Beliau meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak yaitu fatahillah, Fatimah Dewi dan Abdul Aziz yang kala peristiwa penculikan itu masih tiga bulan dalam kandungan. Nama Abdul Aziz merujuk kepada nama guru beliau di Samalanga (Abon Abdul Aziz Samalanga). Teungku Ahmad Dewi telah mewasiatkan nama ini sebelum kepergiannya. Beliau berpesan kepada isterinya jika anaknya laki-laki agar diberi nama Abdul Aziz.

Sumber : WikiAceh

Jumaat, 30 September 2022

Biografi Abu Kruet Lintang


Abu Kruet Lintang: 
Ulama Kharismatik Aceh yang Istiqamah dan Prinsipil.

Nama aslinya Teungku Muhammad Yusuf bin Teungku Ibrahim bin Teungku Mahmud. Beliau lahir dari keturunan ulama dan pimpinan dayah di wilayah Aceh Timur. Beliau masih keturunan ulama Timur Tengah yang bernama Teungku Syekh Salahuddin yang dikenal dengan sebutan Teungku Chik Keurukon berasal dari Yaman. Selain dari jalur ayahnya yang ulama, ibunya juga anak dari seorang ulama dan tokoh masyarakat yang disebut dengan Teungku Chik Mud Julok. 

Mengawali masa belajarnya, Abu Kruet Lintang belajar langsung kepada ayahnya yang juga ulama, namun kebersamaan dengan ayahnya tidak lama karena dalam usianya sepuluh tahun wafatlah ayah dari Abu Kruet Lintang. Setelah wafat ayahnya, beliau kemudian dibimbing oleh pamannya Teungku Usman bin Teungku Mahmud yang juga seorang ulama dan pimpinan dayah. 

Setelah beberapa tahun belajar kepada pamannya, Abu Kruet Lintang kemudian belajar pada Dayah Cot Plieng Bayu yang dipimpin oleh Teungku Cut Ahmad, namun tidak lama beliau di dayah ini, karena beberapa bulan setelahnya wafatlah pimpinan Dayah Cot Plieng.

Merasa ilmunya masih minim, Abu Kruet Lintang berangkat menuju ke Dayah Krueng Kalee yang dipimpin oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kalee yang dikenal dengan Abu Krueng Kalee. Abu Krueng Kalee merupakan ulama lulusan Yan Kedah Malaysia murid dari Teungku Chik Muhammad Arsyad Diyan, dan juga belajar selama tujuh tahun di Mekkah. Kepada Abu Krueng Kalee, beliau memperdalam ilmu yang telah beliau pelajari sebelumnya dari almarhum ayah dan pamannya. 

Selain Abu Kruet Lintang, Dayah Krueng Kalee juga telah mengorbit banyak ulama terpandang Aceh. Sebut saja beberapa di antara mereka ialah Abuya Muda Waly al-Khalidy, Abu Sulaiman Lhoksukon, Abu Adnan Mahmud Bakongan, Abu Abdullah Ujong Rimba, Abu Wahab Seulimum, Abu Ishaq Ulee Titi, Abu Marhaban Krueng Kalee dan banyak ulama lainnya yang merupakan tokoh-tokoh berpengaruh. Bahkan Abu Ali Lampisang pendiri Madrasah Khairiyah dan Abu Syech Mud Blangpidie disebutkan juga pernah lama belajar kepada Abu Hasan Krueng Kalee.

Dalam tiga tahun kebersamaan Abu Kruet Lintang dengan Abu Krueng Kalee telah mengantarkan beliau menjadi seorang ulama yang mendalam ilmunya. Karena sebelum tiba di Krueng Kalee beliau memang telah menguasai berbagai cabang ilmu. Pada tahun 1939 dalam usianya 22 tahun, Abu Kruet Lintang pulang kampung untuk mengajarkan ilmu yang telah dimilikinya. Setelah mengajar beberapa tahun di dayah yang dipimpin oleh Teungku Usman bin Teungku Mahmud yang merupakan paman dari Abu Kruet Lintang, pada tahun 1942 beliau kembali belajar kepada seorang ulama terpandang lainnya yang benama Teungku Muhammad Ali pimpinan Dayah Darul Muta’alimin masih di kawasan Aceh Timur.

Tidak lama beliau belajar kepada ulama tersebut, Abu Kruet Lintang telah diberikan "peneutoeh" oleh Teungku Muhammad Ali untuk melanjutkan kepemimpinan dayah pamannya setelah beliau wafat. Maka semenjak tahun 1943 mulailah Abu Kruet Lintang memimpin Dayah Darul Muta’alimin. Beliau dengan segenap kesungguhan memimpin dayah tersebut sehingga menjadi salah satu dayah yang diminati oleh para penuntut ilmu. 

Sebagai ulama yang luas cakrawala berpikir, Abu Kruet Lintang merupakan ulama yang santun dan sederhana dalam kehidupannya. Beliau memiliki pandangan-pandangan hukum yang kuat dan kokoh, walaupun demikian beliau tidak memaksakan pandangannya kepada yang lain. Disebutkan beliau pernah diundang pada sebuah tempat yang berbeda dengan pemahaman beliau untuk memberikan ceramah atau semacam tausiyah. Setelah memberikan tausiah sebagai wujud silaturahmi, kemudian beliau mohon diri untuk melaksanakan kebiasaan shalat tarawihnya di tempat lain sebagaimana kebiasaan yang beliau laksanakan.

Pada tahun tahun 1963, salah satu gurunya yaitu Abu Hasan Krueng Kalee mengirim surat kepada beliau untuk memajukan PERTI di kawasan Aceh Timur, maka beliau menginisiasi berdirinya organisasi PERTI di wilayah Aceh Timur, setelah musyawarah, beliau dipilih secara aklamasi oleh forum sebagai Ketua Umum PERTI di Aceh Timur.

Sebagai ulama Ahlussunnah Waljama’ah, tentunya kiprah Abu Kruet Lintang sangat di perhitungkan di wilayah Timur Aceh. Dimana beliau dianggap sebagai figur yang menjadi guru bagi masyarakatnya, mengayomi mereka dengan fatwa keagamaan yang bijak dan bertanggungjawab. Setelah kiprah yang besar, maka wafatlah ulama tersebut pada tahun 1985 dalam usia 68 tahun. 

Ditulis Oleh :

Biografi Abu Imam Syamsyuddin Sangkalan


Abu Imam Syamsuddin Sangkalan: 
Ulama Kharismatik dan Pendiri Babussalam Sangkalan. 

Beliau berasal dari Desa Blang Poroh Labuhan Haji Aceh Selatan. Semenjak kecil sudah ditanamkan dalam dirinya semangat mencintai ilmu pengetahuan. Setelah menjalani pendidikan dasarnya di kampung halamannya Blang Poroh, Teungku Imam Syamsuddin tertarik memfokuskan kajian keilmuannya dalam bidang agama. 

Teungku Imam Syamsuddin mulai belajar di Dayah Bustanul Huda yang didirikan oleh ulama lulusan Yan Kedah Abu Syekh T. Mahmud bin T. Ahmad Lhoknga yang dikenal dengan Abu Syech Mud Blangpidie.
Pesantren Bustanul Huda didirikan pada tahun 1928 sepulangnya Abu Syech Mud belajar dari Yan Kedah Malaysia atas permintaan Teuku Sabi Ulee Balang Kuta Batee (Blangpidie) pada masa itu. 

Bustanul Huda juga merupakan Dayah yang telah mengorbit banyak para lulusan yang menjadi ulama kharismatik Aceh. Sebut saja di antara mereka adalah: Abuya Syekh Muda Waly al-Khalidy, Abu Calang Lamno, Abuya Haji Abdul Hamid Kamal, Syekh Muhammad Bilal Yatim, Abuya Jailani Kota Fajar, Syekh Adnan Mahmud Bakongan, Abu Ibrahim Woyla, Abu Abdul Ghafar Lhoknga, dan banyak ulama lainnya. 

Abu Imam Syamsuddin belajar di Bustanul Huda dalam beberapa tahun, sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang yang alim dan memahami secara baik seluk-beluk agama. Setelah menjadi seorang Teungku, beliau pulang ke kampungnya Blang Poroh Labuhan Haji Aceh Selatan. Beliau juga mulai membuka usaha kecil-kecilan berniaga dan lain-lain. 

Walaupun telah sampai di kampung halaman, semangatnya dalam menimba ilmu belum berkurang sedikitpun. Sehingga pada tahun 1940 pulang dari Padang seorang ulama muda yang sangat masyhur namanya yaitu Abuya Muda Waly al-Khalidy yang telah mengembara mencari ilmu di berbagai tempat, dan mendirikan sebuah dayah yang bernama Dayah Darussalam di Labuhan Haji.

Kepulangan Abuya Muda Waly dari Padang Sumatera Barat tidak disia-siakan oleh Teungku Imam Syamsuddin. Abu Imam Syamsuddin belajar dan mendalami kembali kajian keilmuannya yang pernah di pelajari dari Abu Syech Mud Blangpidie. Dengan segenap kesungguhan Abu Imam Syamsuddin belajar di Darussalam yang kemudian mengantarkan beliau sebagai seorang ulama yang rasikh ilmunya. 

Kemungkinan besar Abu Imam Syamsuddin merupakan murid Abuya Syekh Muda Waly periode awal, dimana pada periode ini terdiri dari para ulama yang umumnya telah alim-alim seperti Abu Yusuf ‘Alamy menantu Abuya Syekh Muda Waly, Abuya Haji Aidarus Kampari anak dari Syekh Abdul Ghani Kampari guru Tarekat Abuya Syekh, Abuya Jailani Kota Fajar, Syekh Marhaban Krueng Kalee anak Abu Syekh Hasan Krueng Kalee, Abu Adnan Mahmud Bakongan, Abu Keumala dan para ulama lainnya.

Di antara sekian banyak murid Abuya yang cerdas-cerdas dan alim-alim, maka Abu Imam Syamsuddin salah satu yang muncul dari mereka selain Abu Yusuf Alamy yang juga dikenal alim. Kepakaran Abu Imam Syamsuddin dalam bidang ilmu logika melebihi santri-santri lainya. Sehingga banyak pertanyaan dari Abuya Syekh Muda Waly sering Abu Imam Syamsuddin yang menjawabnya.

Bahkan disebutkan Abu Imam Syamsuddin ini pernah menguji para murid yang diajarkannya dalam beberapa pertanyaan yang membutuhkan jawaban berhari-hari dan di antara muridnya yang mewarisi ilmu logika tersebut adalah Abu Syam Marfaly Blangpidie, pelanjut kepemimpinan Dayah Bustanul Huda setelah Abuya Hamid Kamal Blangpidie.

Setelah melihat perkembangan keilmuan yang mendalam pada diri Abu Imam Syamsuddin, pada tahun 1956 datanglah ke Dayah Darussalam Labuhan Haji beberapa tokoh masyarakat Sangkalan Abdya ke Abuya, untuk meminta seorang ulama yang akan mengayomi dan menjadi guru bagi masyarakat Sangkalan. Maka diutus Abu Imam Syamsuddin oleh Abuya Syekh Muda Waly. 

Sesampai di Sangkalan Abdya, Abu Imam Syamsuddin membina masyarakat dan membangun sebuah lembaga pesantren yang beliau namakan pada awalnya dengan Dayah Darul Aman. Mendengar telah berdiri pesantren baru di sangkalan, maka datanglah para santri dari berbagai wilayah Aceh Selatan, Blangpidie dan wilaayah sekitarnya.
Pada periode ini, Abu Imam Syamsuddin berhasil mendidik murid-muridnya untuk mengajarkan ilmu agama ke masyarakat ketika mereka kembali kelak. 

Berkat kesungguhan dan kesabaran dalam mendidik masyarakat, Dayah yang dibangun oleh beliau telah mulai mengepakkan sayap menuju kemajuan. Santrinya sudah mulai banyak, antusiasme masyarakat yang semakin tinggi, terlebih lagi pimpinan Dayahnya merupakan ulama yang dikenal luas ilmunya.

Setelah beberapa tahun memimpin Dayah Darul Aman Sangkalan, pada tahun 1961 wafatlah guru Abu Imam Syamsuddin yaitu Abuya Syekh Muda Waly al-Khalidy. Waktu itu Abu Imam Syamsuddin sedang berada di kampung halamannya Blang Poroh Labuhan Haji. Sehingga datanglah perwakilan dari Dayah Darussalam yaitu Abu Jailani Kota Fajar sebagai alumni yang dituakan meminta kepada Abu Imam Syamsuddin untuk memimpin Dayah Darussalam setelah wafatnya Abuya Syekh Muda Waly. 

Karena anak pertama Abuya Syekh Muda Waly sedang di Jakarta untuk mempersiapkan diri belajar ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Maka setelah musyawarah mufakat dari seluruh perwakilan masyarakat dan keluarga Abuya Muda Waky, maka ditunjuklah Abu Imam Syamsuddin sebagai Pimpinan Dayah Darussalam Labuhan Haji.

Pada masa kepemimpinan Abu Imam Syamsuddin, umumnya murid-murid Abuya sudah banyak yang pulang kampung dan menjadi pimpinan pesantren di wilayah masing-masing. Pada masa itu juga anak-anak Abuya Syekh Muda Waly belajar langsung kepada Abu Imam Syamsuddin. Sebut saja misalnya: Abuya Jamaluddin Waly yang kemudian memimpin Darussalam setelah Abu Imam Syamsuddin di tahun 1968. Murid lainnya ialah Abu Muhammad Syam Marfaly, seorang ulama teguh dan tegas dari Blangpidie, pimpinan Bustanul Huda Blangpidie. Dan adik dari Abuya Jamaluddin Waly yaitu Abuya Amran Waly juga murid dari Abu Imam Syamsuddin Sangkalan. Bahkan disebutkan Abuya Muhibbuddin Waly juga pernah belajar kepada Abu Imam Syamsuddin Sangkalan.

Setelah selesai masa pengabdian beliau di Darussalam Labuhan Haji, estafet selanjutnya Darussalam dipimpin oleh Abuya Jamaluddin Waly. Maka pulanglah Abu Imam Syamsuddin ke Sangkalan untuk kali kedua, dan membenahi kembali dayahnya yang sudah empat tahun beliau tinggalkan, dan beliau merubah nama dayah dari Darul Aman ke Babussalam Sangkalan. Nama yang terakhir ini yang terus dipakai sampai sekarang. 

Selesai memimpin Dayah Darussalam, beliau melaksanakan ibadah haji dan memiliki banyak pengalaman menarik ketika disana, dan beliau tidak sempat memperdalam ilmunya di Mekkah. Pada fase kedua masa kepemimpinan beliau di Dayah Babussalam Sangkalan, para  santri umunya telah mulai terbagi-bagi, karena telah banyak muncul dayah yang lain, selain Bustanul Huda Blangpidie yang ketika itu dipimpin oleh Abuya Hamid Kamal setelah wafatnya Abu Syech Mud, juga ada Dayah lain yaitu Dayah Darul Ulum Diniyah Suak yang dibangun oleh Syekh Haji Bilal Yatim murid dari Syekh Muhammad Yasin Padang. Setelah perjalanan yang panjang dan kontribusi yang besar bagi masyarakat Sangkalan dan sekitarnya, wafatlah Abu Imam Syamsuddin pada tahun 1971.

Ditulis Oleh :

Biografi Syaikh Muhammad Yatim


Syekh Bilal Yatim Al Khalidy:
Ulama, Mursyid, dan Pendiri Darul Ulumudiniyah.

Nama asli beliau adalah Teungku Muhammad Yatim, namun setelah menjadi seorang yang alim masyarakat mengenalnya dengan sebutan Syekh Bilal Yatim. Mengawali pengembaraan keilmuannya, Teungku Muhammad Yatim dalam usia 7 tahun mulai belajar di sekolah umum selama tiga tahun. Genap usia sepuluh tahun Teungku Muhammad Yatim mulai mempelajari Kitab-kitab Jawi seperti: Masailal Muhtadi, Bidayatul Mubtadi dan kitab-kitab lainnya. 

Selain belajar dengan tekun, beliau juga dikenal sebagai anak yang penurut, dan suka membantu ibunya. Karena semenjak kecil beliau telah dilahirkan dalam keadaan yatim.
Walaupun beliau anak yatim, namun semangat belajarnya tidak pernah pudar dan terhenti. Karena kesungguhan dan ketaatan dalam beragama, semenjak kecil masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Teungku Bilal yang kemudian sebutan Teungku Bilal terus melekat pada nama aslinya Teungku Bilal Muhammad Yatim. Padahal nama beliau aslinya Muhammad Yatim saja. Bilal dimungkinkan karena senang dengan ilmu agama dan senang dengan azan.

Sekitar tahun 1924, mulailah beliau merantau untuk menimba ilmu di luar desanya. Tempat pertama yang beliau kunjungi adalah Labuhan Haji, belajar kepada seorang ulama yang berasal dari Siem Aceh Besar yang bernama Abu Muhammad Ali Lampisang pendiri Madrasah Khairiyah rentang waktu 1921-1930. Abu Muhammad Ali Lampisang merupakan ulama lulusan Lampisang Aceh Besar, dan lama belajar di Kedah Malaysia kepada Teungku Chik Muhammad Arsyad Diyan. 

Abu Lampisang juga adik sepupu Abu Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee. Abu Lampisang lebih tua dari Abu Syekh Mud Blangpidie dan Lebih Muda dari Abu Haji Hasan Krueng Kalee. Dan  ketiga Ulama besar tersebut lama belajar di Yan Kedah Malaysia dibawah asuhan Teungku Chik Arsyad di Yan. 

Kehadiran Abu Muhammad Ali Lampisang dengan Madrasah Khairiahnya memiliki arti penting, karena banyak murid-muridnya yang menjadi ulama terpandang salah satunya adalah Teungku Bilal Yatim yang sedang dibahas. Maka Abu Bilal Yatim mulai belajar kepada Abu Lampisang tersebut, kemudian diikuti oleh teman-teman seangkatannya seperti Abu Adnan Mahmud Bakongan, Abuya Syekh Muda Waly, Teungku Salem Samadua dan murid-murid lainnya. Selesai belajar di Madrasah Khairiyah, Teungku Bilal Yatim melanjutkan ke Dayah Blangpidie yaitu Dayah Bustanul Huda yang dipimpin oleh Abu Syech Mahmud Blangpidie. 

Beberapa waktu di Dayah Bustanul Huda Blangpidie, kemudian Teungku Bilal Yatim melanjutkan pengajiannya ke daerah Panton Labu dibawah bimbingan Teungku Haji Ibrahim Arif di Dayah Samakurok. Salah satu ulama yang pernah belajar di Samakurok adalah Prof Teungku Ismail Jakub sebelum belajar ke Dayah Pucok Alue. Hampir sepuluh tahun beliau belajar dan mengajar di Samakurok sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang yang alim.

Pada tahun 1942 beliau kembali ke Aceh Barat Daya dan berkiprah di Suak Kecamatan Tangan-tangan dengan mendirikan sebuah dayah yang bernama Dayah Darul Huda. Selanjutnya Dayah ini diubah namanya setelah beliau pulang belajar dari Mekkah menjadi Dayah Darul Ulum Diniyah sebagai 'tafaul' dari nama Darul Ulum Diniyah Mekkah yang dipimpin oleh Syekh Muhammad Yasin Padang. Rentang 1949 sampai akhir 1951 Teungku Bilal Yatim belajar di Mekkah kepada Syekh Muhammad Yasin Padang. 

Beliau memperoleh berbagai ijazah dalam ilmu keislaman hingga bertaraf "Syekh". Beliau memperoleh Ijazah hadits, Qira'at Tujuh, Ilmu Falak dan Ilmu-ilmu lainnya. Adapun Ijazah Kemursyidan Naqsyabandiyah beliau peroleh dari Syekh Ibrahim bin Kutab al Mandaily, ulama Medan yang telah lama menetap, yang lama bermukim di Jabal Abu Qubais Mekkah. 

Sepulangnya dari Mekkah, kiprah keulamaan Syekh Bilal Yatim al Khalidy semakin bersinar, sehingga masyarakat bahu-membahu untuk memajukan dayah yang telah dibangun dahulu dengan nama Darul Huda menjadi Darul Ulumudiniyah. Sebagai seorang ulama, Teungku Syekh Bilal Yatim juga mengkader banyak para ulama dan pimpinan dayah yang bertebaran di seluruh Aceh, dan di antara pewaris ilmu dan kemursyidan setelah wafatnya beliau adalah anaknya yang juga seorang ulama Tarekat yaitu Abuya Abdussalam. 

Syekh Muhammad Bilal Yatim dengan Dayahnya Darul Ulum Diniyah telah berkontribusi secara positif dalam pencerdasan umat. Setelah kiprah yang luas tersebut, pada tahun 1987 dalam usia 80 tahun wafatlah Syekh Haji Muhammad Yatim Al Khalidy. 

Ditulis Oleh :

Biografi Syaikh Yusuf Al-Qardhawi


"Sekilas Biografi Syekh Yusuf al-Qaradhawi"

Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana dengan nama lengkap Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf, yang kemudian populer dengan sebutan Yusuf Al-Qaradhawi, di sebuah Desa Shaft al-Turaab, tepatnya pada 9 September 1926 di bagian Barat Mesir.

Ayahnya, Abdullah, adalah anak dari seorang pedagang, Haji Ali Al-Qaradhawi. Mengutip cerita pamannya, Al-Qaradhawi menuturkan bahwa nenek moyang dari pihak ayahnya ini dahulu berasal dari sebuah daerah yang bernama al-Qaradhah dan namanya dihubungkan dengan nama daerah tersebut. Sehingga ia dikenal dengan panggilan Al-Qaradhawi (huruf ra dibaca dengan baris di atas) dan bukan al-Qardhawi (dengan dimatikan huruf ra), seperti yang biasa diucapkan oleh orang-orang Syam.

Ayahnya meninggal ketika ia berusia dua tahun, ia pun diasuh oleh pamannya dengan perhatian yang baik, dan seluruh anak pamannya adalah saudara yang baik untuknya, ia memperoleh cinta dan kasih sayang yang penuh dari mereka, dan menjadi pusat perhatian mereka. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga al-Hajar, sebuah keluarga pedagang dan sangat terkenal dengan kecerdasan. Ibu dan bibinya adalah orang yang cerdas. Bahkan saudara sepupu ibunya, Fatimah al-Hajar, dapat menghitung perkalian dan pembagian dengan angka-angka yang rumit dalam waktu yang sangat singkat.

Perjalanan Intelektual Al-Qaradhawi, ia memulai pendidikan di sebuah kuttab di desanya ketika usianya menginjak 5 tahun untuk menghafal Al Qur'an. Ketika usianya 7 tahun, ia masuk sekolah dasar untuk mempelajari ilmu-ilmu umum seperti: Matematika, Sejarah, Ilmu kesehatan dan lainnya. Ia seakan berada antara kuttab dan sekolah dasar. Di kuttab ia belajar pada pagi hari sedangkan sekolah pada sore hari. 

Inilah cikal bakal pembentukan intelektualnya yaitu perpaduan ilmu klasik dan modern, seakan-akan Allah SWT telah mempersiapkannya untuk menjadi seorang yang menduduki posisi penting pada masa modern dewasa ini. Ia telah menyelesaikan hafalan Al Qur'an sebelum usianya genap 10 tahun sehingga penduduk desanya sangat menyayanginya dan ia sering diminta untuk mengimami shalat mereka.

Terkadang pula ia ditanyai mengenai persoalan-persoalan fiqih, sehingga hal ini memotifasinya untuk senantiasa belajar dan meninggalkan perbuatan yang sia-sia.
Semenjak kecil ia gemar membaca, walaupun di desanya saat itu tidak ada perpustakaan khusus. Saat itu sangat langka buku-buku sastra. buku yang paling mudah didapati adalah buku-buku tasawuf, sehingga dominasi awal kehidupannya dipengaruhi oleh dimensi tasawuf. 

Kemudian ia melanjutkan ke Ma’had Thantha selama 4 tahun, dan melanjutkan pendidikan menengah atasnya selama 5 tahun masih di Ma’had yang sama. Di antara hal yang ia gemari ketika itu adalah membaca buku-buku sastra, seperti karya al-Manfaluthi, Mustafa Siddiq Rafi’i dan terkadang karya Abbas al-‘Aqqad yang terkenal itu juga dibacanya. Pada fase ini ia mulai berkenalan dengan pemikiran Ikhwan Muslimin yang digagas oleh Syekh Hasan al-Banna lewat majalah Ikhwan al-Muslimin. Di antara tulisan yang ia baca dari majalah itu adalah tulisan-tulisan Muhammad Al-Ghazali yang kelak begitu mempengaruhi jiwanya.

Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar pada fakultas  ushuluddin, dan berhasil memperoleh gelar license pada tahun 1953. Ia merupakan mahasiswa terbaik pada angkatannya. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya pada jurusan bahasa Arab, dan ia pun berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan menjadi mahasiswa terbaik dari 500 mahasiswa lainnya di jurusan tersebut. Pada tahun 1957 Al-Qaradhawi melanjutkan kuliahnya di Ma’had Dual ‘Arabiah dan berhasil memperoleh gelar diploma dalam bidang bahasa dan sastra Arab. 

Kemudian ia mengambil gelar magister di al-Azhar pada jurusan ulum Alquran dan Sunnah pada tahun 1960. Setelah menyelesaikan kuliah di program magisternya, ia menyiapkan proposal disertasi mengenai fiqih zakat yang ia targetkan selesai dalam dua tahun, namun karena ketentuan dan taqdir Allah, Al-Qaradhawi baru berhasil menyelesaikan program doktoralnya setelah 13 tahun dari masa yang ia targetkan dengan predikat summa cumlaude pada tahun 1973. Hal ini disebabkan karena faktor pergerakan dan politik yang ia lakukan.

Karir Al-Qaradhawi, Kementrian Agama Mesir pada tahun 1956 memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi khatib, pengajar di masjid-masjid yang ada, kemudian ia diangkat menjadi penasehat para imam masjid. Pada tahun 1959 ia dipercaya untuk mengawasi percetakan dan perpustakaan dalam bidang dakwah. Ia menjadi pengarah, sekaligus menjawab setiap persoalan-persoalan rumit dalam Islam yang dikirimkan ke majalah.

Pada tahun 1961 awal mula Al-Qaradhawi meluaskan dakwahnya, ditandai dengan permintaan dari negara Qatar untuk menjadi Direktur pada Ma’had Agama Tingkat Tinggi. Ma’had ini merupakan cikal bakal berdirinya sebuah universitas pertama di negara Qatar pada tahun 1973. Al-Qaradhawi memiliki peran yang besar demi suksesnya pendidikan di universitas tersebut, dan dia ditunjuk sebagai dekannya.

Pada tahun 1977 ia membentuk Kuliah Syariah dan Dirasah Islamiyah yang tunduk di bawah Universitas Qatar. Ditambah pula jabatannya sebagai Direktur pusat pembahasan sunnah dan sirah di kuliah Qatar, tentunya di sela-sela kesibukannya menjadi dekan di kuliah tersebut. Al-Qaradhawi juga diamanahkan sebagai salah seorang anggota senior dalam bilang fatwa, pengawas syariah Bank Dunia Islam, anggota majlis amanah dakwah Islam di Afrika,  salah seorang pakar di Majma’ Fiqh Islami Organisasi Tinggi Keislaman, anggota pendiri lembaga kemanusiaan Islam internasional, anggota senior di lembaga Oxsford untuk pendidikan Islam.

Para tokoh yang mempengaruhi Al-Qaradhawi
Setiap tokoh umumnya dipengaruhi oleh figur-figur besar lainnya baik pada era hidupnya atau mereka yang hidup sebelum tokoh tersebut. Demikian pula Al-Qaradhawi, ia tumbuh mengalami proses bertahap hingga menjadi tokoh dunia. Ia memiliki banyak guru yang mempengaruhi corak pemikirannya, antara lain: 
Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Qaradhawi salah satu ulama yang mengagumi kejeniusan Al-Ghazali, khususnya penguasaan dan keahlian Al-Ghazali dalam beberapa bidang ilmu keislaman. Al-Qaradhawi mengenal Al-Ghazali lewat karya-karyanya dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, khususnya dalam bidang tasauf, dan ini merupakan awal pembentukan dimensi ruhiyah Al-Qaradhawi. Dua kitab utama yang menjadi rujukan Al-Qaradhawi pada masa kecilnya dalam bidang tasauf adalah kitab Minhaj ‘Abidin dan Ihya’ ‘Ulumuddin.

‘Allamah Ibn Taimiyah al-Harrani, Ibn Taimiyah adalah seorang ulama yang sangat mempengaruhi pemikiran Al-Qaradhawi, bahkan kekaguman Al-Qaradhawi terhadap kepakaran Ibn Taimiyah terlihat jelas dalam banyak karya Al-Qaradhawi yang banyak mengutip pendapat  Ibn Taimiyah. Namun besarnya pengaruh Ibn Taimiyah tidak menghalanginya untuk berbeda pendapat mengenai persoalan majaz dalam Alquran, dimana Ibn Taimiyah mengingkari adanya majaz dalam Alquran.

Hasan al-Banna, Hasan al-Banna pelopor ikhwan muslimin, seorang ulama yang memiliki pikiran yang brilian, mampu memberi pengaruh kepada para tokoh ilmuan dan ulama pada masanya, memiliki visi persatuan umat, pelopor pergerakan di Mesir dan dunia Islam umumnya. Al-Banna sangat mempengaruhi kematangan pemikiran dan akhlak dakwah Al-Qaradhawi.

Audan dan Abdul Halim Mahmud, Audan salah satu pengajar Hadis di al-Azhar, seorang yang memiliki gaya bahasa yang menarik dan argumen-argumen yang kuat, tidak menyukai kebatilan dan kezaliman, dikenal dermawan. Al-Qaradhawi menyukai sikap gurunya yang lantang dalam kebenaran. Adapun Abdul Halim adalah ulama sufi modern, lulusan Perancis, menguasai filsafat dan tasawuf secara mendalam, terkenal zuhud, diamnya berwibawa dan menguasai beberapa cabang ilmu secara mendalam.

Syeikh Muhammad Al-Ghazali, Al-Qaradhawi mengenal Al-Ghazali melalui tulisan-tulisannya yang berbobot dan bermutu. Awal perkenalan mereka adalah tahun 40-an ketika itu Al-Ghazali merupakan salah seorang penulis di majalah Ikhwan Muslimin. Kecondongan tulisan Al-Ghazali yang kental dengan sastra dan analisa yang tajam membuat Al-Qaradhawi terkesan, dan menyukai gurunya Al-Ghazali.
Bahi al-Khuli, Salah satu cendekiawan yang menguasai konsep tarbiyah  dan pemikiran yang suci dan mulia, dimana ia mengajar, dan mendidik jiwa para pemuda Ikhwan pada ketika itu dengan nilai ruhiyah yang tinggi.

Sayyid Abu al-Hasan Al-Nadwi, Ia berasal dari India, penulis buku monumental Madha Khasir al-‘Alam Bi inhitathil al-Muslimin. Ia dikenal tawadu’, mengutamakan kesederhanaan dalam hidupnya, zuhud terhadap dunia, memiliki pena yang tajam, hati yang lembut, jiwa yang kental dengan akhirat. Al-Qaradhawi memandang Al-Nadwi sebagai ulama yang sarat dengan keikhlasan yang tinggi dan kontribusi besar terhadap umat.

Karya-karya Al-Qaradhawi, Al-Qaradhawi termasuk ulama kontemporer yang menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman, ini dibuktikan dengan banyak karyanya yang monumental. Bahkan  karangannya menjadi rujukan para ulama, akademisi, dan umat Islam abad ini. Menguasai Alquran dan ilmu-ilmunya, lautan dalam ilmu Hadis, ahli fiqih kawakan abad ini, dai internasional, mufti dunia, imam dalam pemikiran Islam, tawadu’, dan tidak fanatik.

Sebagai seorang yang berpengetahuan luas, Al-Qaradhawi termasuk ulama yang memiliki kemampuan multi talenta. Ia juga sering diundang ke berbagai stasiun tv untuk membahas isu-isu hangat dan kontroversial yang sedang dihadapi umat Islam. Ia juga dikenal memiliki ketajaman pena dan keahlian dalam menulis. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya karya Al-Qaradhawi dalam berbagai disiplin ilmu mencapai 150 judul buku yang telah ditulis dan dicetak oleh berbagai macam penerbit, karyanya tersebut ada yang berjilid-jilid, adapula dalam ukuran dan volume sedang  maupun tipis. Tulisan-tulisannya tersebar di seluruh pelosok dunia dan menjadi sebuah wacana yang kemudian dikaji dan dipelajari oleh umat Islam dunia. 

Di antara karya-karya Al-Qaradhawi adalah:
Dalam bidang Fiqih dan Ushul Fiqih:
Al-Halal wa al-Haram fi Islam
Fatawa Mu‘asirah
Fiqh al-Jihad
Fiqh Taharah
Fiqh Siyam
Fiqh Ghina’ wa al-Musiqi fi Dhauil Quran wa Sunnah
Fiqhu Lahwi wa Tarwih
Al Ijtihad fi Syari’ah Islamiyah
Madkhal li Dirasah Islamiyah
Al-Fatwa baina Indhibath wa Tasayyub
‘Awamil Si’ah wal Murunah fi Syari’ah Islamiyah
Ijtihad Mu’asirin baina Indibath wa Infirat
Dalam bidang Ekonomi Islam:
Fiqh al-Zakah
Musykilat al-Faqri kaifa ‘Alajaha al-Islam
Bai’ul Murabahah
Fawaid al-Bunuk hiya Riba Muharram
Daur Qiyam wa al-Akhlak fi Iqthishad Islami
Dalam bidang Ilmu Alquran dan Sunnah:
As Sabr fi al-Qur’an
Al-‘Aqlu wal Ilmu fi al-Qur’an Karim
Kaifa Nata’amal ma‘a al-Quran al-‘Azhim
Kaifa Nata’amal ma’ Sunnah Nabawiyah
Al-Madkhal li Dirasah Sunnah Nabawiyah
Al-Muntaqa li Targhib wa Tarhib
Sunnah Mashdaru lil Ma’rifah wal Hadharah
Nahwa Mausu’ah lil Hadis Masyru’ Manhaj Muqtarah
Dalam bidang Akidah:
Wujudullah
Haqiqat Tauhid
Al-Iman bi al-Qadar
Dalam bidang Dakwah dan Tarbiyah:
Tsaqafah Da’iyah
Tarbiyah Islamiyah wa Madrasas Hasan al-Banna
Ar-Rasul wa Ilmu
Al-Waktu fi Hayat al-Muslim
Risalat al-Azhar baina Amsi wa al-Yaum wa al-Ghad
Dalam Pergerakan dan Kebangkitan Islam:
Shahwah Islamiyah wa Humum Watan
Aina Khalal
Aulawiyat al Harakah Islamiyah
Fi Fiqh al-Aulawiyat
Islam wa ‘Almaniyah Wajhan li Wajhin
Malamih Mujtama’ Muslim
Syari’ah Islam Shalihah li Tathbiq fi Kulli Zaman wa Makan
Shahwah Islamiyah baina Juhud wa Tatharruf
Ummatuna baina Qarnain
Tarikhuna Muftara ‘alaih
Nahnu wa al-Gharb
Dalam bidang Sastra:
Nafahat wa Lafahat
Al-Muslimuna Qadimuna
‘Alim wa Thaghiyah
Yusuf al-Siddiq
Ibn Qaryah wal Kuttab
Dalam bidang Semangat Kebangkitan
Ad Din fi ‘Ashr ‘IIm
Islam wal Fan
Markaz Marah fi Hayat al-Islamiyah
Fatawa lil Mar’ah al-Muslimah
Jarimah Riddah wa ‘Uqubat al-Murtad
Al-Quds Qadhiyah Kulli Muslim
Fatawa Min Ajli Falasthin
Mabadi fil Hiwar wa Taqrib baina Madhahib Islamiyah
Usrah Kama Yuriduhal Islam
Dhahirat al-Ghuluw fi Takfir
Dalam bidang Biografi Ulama Islam
Imam al-Ghazali baina Madihih wa Naqidih
Syaikh al-Ghazali Kama ‘Araftuhu Rihlah Nisf Qarn
Syaikh Abul Hasan an Nadwi Kama ‘Araftuhu
Fi Wada’ A‘lam
Umar Ibn Abdil ‘Azis al Rasyid al Mujaddid
Nisa’ Mu‘minat.

Inilah beberapa judul buku yang ditulis Al-Qaradhawi, ditambah lagi dengan makalah-makalah, dan tulisan-tulisan ilmiah lain, serta keikutsertaannya dalam berbagai forum dan pertemuan tingkat tinggi umat Islam dunia, bahkan sekarang ia dinobatkan sebagai ketua ulama dunia, dan kapasitas Al-Qaradhawi diakui oleh para ahli hukum Islam lainnya, seperti Syeikh Wahbah Zuhaili, Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Syeikh Mustafa al-Zarqa, Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Syeikh Muhammad al-Ghazali dan para ulama lainnya.

Ditulis Oleh :

Biografi Abu Tumin Blang BlahDeh


"Biografi Singkat Abu Tumin Blang Bladeh"

Abu Tumin lahir dari keluarga ulama dan pemuka masyarakat. Ayahnya Teungku Tu Mahmud Syah adalah ulama, tokoh masyarakat dan pendiri dayah. Semenjak kecil Abu Tumin telah dipersiapkan untuk menjadi seorang ulama yang paripurna. Mengawali pengembaraan ilmunya, Abu Tumin pernah mengecap pendidikan umum pada masa Belanda selama tiga tahun. 

Setelah kemerdekaan, Abu Tumin dalam usianya 12 tahun dimasukkan ke Sekolah SRI, sekolah yang memiliki bahan ajaran yang memadai dalam bidang agama. Sambil bersekolah di SRI, Abu Tumin juga belajar langsung pada ayahnya ilmu-ilmu keislaman, terutama dasar-dasar kitab kuning dan ilmu alat seperti nahwu dan sharaf.

Selama lebih kurang tiga tahun Abu Tumin belajar dengan sungguh-sungguh kepada ayahnya Teungku Tu Mahmud Syah yang juga ulama, telah memberikan bekal ilmu yang memadai untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Pada usianya 15 tahun, mulailah Abu Tumin belajar dari satu dayah ke dayah lainnya hingga berakhir di Labuhan Haji Darussalam dengan gurunya Syekh Muda Waly al-Khalidy.

Abu Tumin pernah belajar beberapa bulan di Dayah Darul Atiq Jeunieb yang dipimpin oleh Abu Muhammad Saleh yang merupakan ayah dari Abon Samalanga. Setelah beberapa bulan di Dayah Jeunieb, Abu Tumin kemudian melanjutkan pengajiannya ke Dayah Samalanga dalam beberapa bulan juga, kemudian beliau belajar di Dayah Meuluem Samalanga selama satu tahun, dan terakhir di Dayah Pulo Reudep yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Pulo Reudep selama tiga tahun sebelum ke Labuhan Haji. 

Maka dengan bekal ilmu yang memadai dari guru-guru itulah yang mengantarkan Abu Tumin muda dalam usianya 20 tahun berangkat ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan pada tahun 1953. Selain Abu Tumin, di tahun 1953 beberapa ulama lainnya juga tiba di Labuhan Haji untuk belajar pada Abuya Syekh Muda Waly. Karena umumnya teungku-teungku yang belajar kepada Abuya, telah memiliki ilmu yang memadai sebelum belajar ke Abuya, sehingga bisa duduk di kelas khusus Bustanul Muhaqqiqin. 

Di antara ulama-ulama yang datang pada tahun 1952 dan 1953 adalah Abu Abdullah Tanoh Mirah yang kemudian mendirikan Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah yang dikenal dengan kealimannya dalam bidang ushul fikih. 
Ulama lainnya adalah Abon Abdul Aziz Samalanga yang melanjutkan kepemimpinan Dayah MUDI Samalanga setelah wafat mertuanya Abu Haji Hanafiyah Abbas yang dikenal dengan Teungku Abi.

Abon Abdul Aziz Samalanga dikenal ahli dalam ilmu mantik atau ilmu logika. Sedangkan Abu Keumala datang lebih awal ke Dayah Darussalam Labuhan Haji, dan Abu Keumala dikenal ahli dalam ilmu tauhid, mengabdikan ilmunya di Medan Sumatera Utara hingga wafatnya pada tahun 2004. Selain menjadi murid Abuya Syekh Haji Muda Waly di Darussalam, Abu Tumin juga telah dipercaya untuk mengajarkan para santri lain yang berada pada tingkatan tsanawiyah, karena beliau disebutkan mengajar santri di kelas 6 B, adapun di kelas 6 A diajarkan langsung oleh Abuya Muhibbudin Waly, sedangkan Syekh Muda Waly al-Khalidy mengajarkan kelas dewan guru. 

Ketika di Darussalam Labuhan Haji, Abu Tumin sekelas dengan Abu Hanafi Matang Keh, Teungku Abu Bakar Sabil Meulaboh dan Abu Daud Zamzami Ateuk Anggok. Sedangkan Abu Abdullah Tanoh Mirah dan Abon Samalanga lebih tinggi satu tingkat di atasnya. Abu Tumin belajar dan mengajar di Labuhan Haji selama 6 tahun, beliau juga murid khusus di kelas Bustanul Muhaqqiqin belajar langsung kepada Abuya Haji Muda Waly.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Dayah Darussalam Labuhan Haji, Abu Tumin kemudian memohon izin kepada gurunya untuk pulang kampung pada tahun 1959 untuk mengabdikan ilmunya. Sedangkan temannya seperti Abon Samalanga pulang kampung setahun sebelumnya pada tahun 1958 dan Abu Tanoh Mirah pulang di Tahun 1957. Umumnya murid-murid Abuya yang datang di atas tahun 1952 dan 1953 pulang di akhir tahun1959. Sedangkan generasi sebelum Abu Tumin yang datang ke Darussalam pada tahun 1945 dan 1947, mereka umumnya pulang di tahun 1956 seperti Abuya Aidarus dan Abu Syamsuddin Sangkalan.

Setibanya di Kampung halaman, setelah belajar di berbagai dayah terutama Dayah Darussalam Labuhan Haji telah mengantarkan Abu Tumin menjadi seorang ulama yang mendalam ilmunya. Abu Tumin memimpin dayah yang telah dibangun oleh kakek beliau yaitu Teungku Tu Hanafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh Teungku Tu Mahmud Syah ayah Abu Tumin, selanjutnya estafet keilmuan dan kepemimpinan dayah dilanjutkan oleh Abu Tumin. 

Pada era Abu Tumin mulailah pesat pembangunan Dayah tersebut. Dimana para santri datang dari berbagai tempat untuk belajar kepada Abu Tumin dan belajar dari sang ulama. Abu Tumin juga merupakan seorang ulama yang murabbi, sehingga banyak muridnya yang menjadi ulama terpandang sebut saja di antaranya adalah Abu Mustafa Paloh Gadeng yang belajar kepada Abu Tumin selama 19 tahun sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang ulama kharismatik Aceh yang diperhitungkan. 

Ulama lainnya yang juga murid Abu Tumin adalah Abu Abdul Manan Blang Jruen yang dikenal sebagai ulama yang ahli dan lihai dalam bidang tauhid, serta moderator yang hebat dalam muzakarah para ulama Aceh, sehingga diskusi nampak ceria dan bersemangat. Dan banyak para ulama lainnya yang juga murid dari Abu Tumin, selain murid-muridnya di Dayah Darussalam dulu. 

Dan di sebuah acara muzakarah, Abuya Mawardi Waly juga menyebutkan dirinya sebagai murid Abu Tumin. Intinya Abu Tumin juga ulama yang Syekhul Masyayikh. Bahkan Abu Daud Teupin Gajah atau Abu Daud al Yusufi yang merupakan ulama kharismatik Aceh Selatan juga termasuk murid yang lama belajar kepada Abu Tumin dimana sebelumnya beliau belajar kepada Abuya Haji Jailani Kota Fajar.

Selain itu, Abu Tumin juga dianggap sebagai ulama panutan oleh para ulama lainnya, dimana fatwa-fatwa hukumnya menjadi bahan kajian dan pegangan para ulama lainnya. Biasanya pada setiap muzakarah yang diadakan di berbagai tempat, Abu Tumin yang kemudian mengambil keputusan terakhir, setelah sebelumnya para ulama lain memberikan pandangan dan sanggahan atas setiap persoalan yang sedang dibahas forum.

Kehadiran Abu Tumin menambah acara muzakarah semakin bermakna, karena pandangan hukum beliau biasanya dari ingatan yang lama dan kajian yang mendalam. Sehingga tidak mengherankan bila ada yang menyebutkan bahwa "Abu Tumin tua umurnya dan tua pula ilmunya".

Abu Tumin telah mempersembahkan segenap usianya untuk agama ini, dan telah pula mencurahkan segenap ilmu dan pengabdiannya, mengayomi masyarakat Aceh secara tulus ikhlas. Dan hari ini beliau telah kembali kehadhirat Allah SWT. 
Semoga Allah SWT menempatkan beliau di surga tertinggi bersama para Anbiya, Syuhada dan Shalihin.

Innalillahi Wainna Ilaihi Raji'un. 
Selamat Jalan Guru Yang Mulia 

Di Tulis Oleh :

Teluk Samawi

Laguna yang dipuji-puji oleh para pelaut sekarang telah berubah nama dan fungsi, sebagiannya telah dipagari menjadi waduk.

Menurut kesaksian von Schmidt dalam kunjungannya ke Teluk Samawi:

"Selama enam belas bulan tinggal di perairan Aceh, semua jalur laut di pantai Utara telah saya kunjungi beberapa kali, dan khususnya teluk dari Telok Semawé pada tahun 1882-83. Tanpa ragu-ragu untuk menyatakan Telok Semawe adalah yang terbaik di pantai utara, dan menganggapnya sebagai pelabuhan yang aman dan cocok dalam hampir semua hal. Saya menunjukkan lokasi yang sangat baik dari teluk Telok Semawe, di mana pada saat yang sama ratusan kapal dan kapal barang (kapal kargo) dapat menemukan tempat berlabuh yang baik, dan kapal-kapal kecil dapat berlabuh sangat dekat dengan pantai; bahkan dalam angin timur laut yang kencang terus-menerus, komunikasi dari roadstead dengan pantai dapat dipertahankan di sepanjang laguna, yang dapat diakses dan dilayari tidak hanya untuk kapal tipe sloop dan kapal ringan tetapi juga untuk kleine zeeschepen."

- J.H.P. von Schmidt auf Altenstadt
Judul: Telok Semawé de beste haven op Atjeh's noordkust - benevens eenige voorafgaande beschouwingen
Diterbitkan: s Gravenhage, Van Stockum & Zoon, 1887.

Unduh PDF : Klik Di Sini
Published (digital): KITLV
Use and reproduction: Copyright not evaluated


Gambar: 

1. Foto udara waduk Pusong Lhokseumawe dan laut Selat Malaka, oleh Irfan M Nur

2. Foto udara waduk Pusong Lhokseumawe dan aliran krueng Cunda (krueng Lhokseumwe), oleh Irfan M Nur


3. Foto udara waduk Pusong Lhokseumawe dan aliran krueng Cunda (krueng Lhokseumwe), oleh Irfan M Nur


4. Kapal ms. Musi di Teluk Lhokseumawe. Ada beberapa prahu di sekitar kapal. Di paling kiri foto adalah prahu yang memuat drum minyak. Foto: W.Th. P. Mierop, tahun 1957. Sumber: maritiemmuseum.nl


5. Kapal uap KPM di Teluk Lhokseuawe, Aceh, tahun 1920. Sumber: maritiemmuseum.nl

6. Perahu layar di sekitar laguna Lhokseumawe, tahun 1920. Sumber: KITLV 43764.

Khamis, 29 September 2022

Sanad Keilmuan Ulama Besar Aceh


Dalam foto ini ada empat ulama besar Aceh dalam sebuah acara di Ruhul Fata Seulimuem. Mereka adalah Abuya Muhibbuddin Waly, Abu Tumin Blang Blahdeh, Abon Seulimuem, Abu Kuta Krueng. 

Bila diuraikan, ternyata semua sanad para ulama Aceh mengkerucut kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, melalui jalur Syekh Abu Bakar Syattha pengarang Kitab Hasyiah I'anah Thalibin ulasan untuk Kitab Fathul Mu'in.

Sanad ulama Aceh hampir semuanya dari jalur Syekh Ali bin Husen al Maliki, Syekh Sayyid Ahmad bin Abu Bakar Syatta dari Syekh Abu Bakar Syatta ke Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan hingga ke Imam Besar Imam Muhammad Bin Idris Syafi'i. 

Jalur ulama Aceh yang dimaksudkan, Abuya Muhibbuddin Waly mengambil sanad dari Abuya Syekh Muda Waly. Dan Abuya Syekh Muda Waly mengambil sanad dari Syekh Ali Bin Husein al Maliki, Syekh Ali Maliki mengambil sanad ke Syekh Sayyid Abu Bakar Syatta ke Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. 

Adapun Abu Tumin Blang Blahdeh mengambil sanad kepada Abu Krueng Kalee. Abu Krueng Kalee mengambil sanad kepada Syekh Sayyid Ahmad Bin Abu Bakar Syatta, kepada Syekh Abu Bakar Syatta kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. 

Selanjutnya Abon Seulimuem mengambil sanad dari Abon Samalanga. Abon Samalanga mengambil sanad kepada Abuya Syekh Muda Waly, sanad Abuya sampai ke Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. 

Selanjutnya Abu Kuta Krueng mengambil sanad dari Abi Hanafiyah Abbas, Abu Hanafiyah mengambil sanad dari Syekh Sayyid Ahmad Abu Bakar Syatta. Sayyid Ahmad Syattha mengambil dari Sayyid Abu Bakar Syatta. Sayyid Abu Bakar kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan hingga ke Imam Syafi'i. 

Jadi hampir semua ulama Aceh sanadnya bermuara kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dari jalur Syekh Sayyid Bakri Syatta Pengarang Kitab I'anah Thalibin. Demikian sekilas.

Lagu "Gõt - Gõt Panyang Ikue"


Gõt gõt payang ikue,
(seulawah dara,atjeh)

Geulungkue panyang mata,
(di kroek hasil atjeh)

jie poe ji-õh ji-õh
(kapai tereubang dari aceh)

ji piyõeh gampoeng jawa
(meudarat di jakarta)

Gampoeng jawa pih ka bèh tutoeng,
(polo jawa hancoe uleh beulanda,mirah puteh tingai tok bak tameh sago bara reumoh di aceh)

Peubloe bakoeng bak keurija,
(proklamasi radio rimba raya kuta juang)

Keurija hana jadèh,
(ibu kota neugara han jibie ijin di neugara aceh.padahai proklamasi meurdeka di aceh)

Lintoe wèh malam barosa,
(aceh kecewa tak di artikan)

Keupue ka wèh dikah lintoe,
(konflik antara aceh dan indo)

Darabaroe meutuka ija,
(harus na bendera droe teuh)

Meutuka ija ngoen ureung aceh,
(bendera droe teuh bintang buleun)

Leubèh-leubèh lom ureung kaya,
(atjeh kaya,hasel alam meulimpah)

Sekian.

Copas dari Bukhari BlangCari

Jumaat, 15 Julai 2022

Sebuah karya Melayu tentang hukum Islam dari Aceh

Pada abad ke-16 kesultanan Aceh di pantai utara Sumatera tumbuh menjadi kerajaan Muslim yang paling kuat di Asia Tenggara dan pusat besar untuk studi dan pengajaran Islam. Salah satu ulama dan penulis paling terkenal dari Aceh adalah Abdul Rauf ('Abd al-Ra'f ibn 'Alī al-Jāwī al-Fanṣurī al-Sinkīlī), yang lahir di Singkil di pantai barat Sumatera sekitar tahun 1615. 

Seperti banyak intelektual dari dunia Melayu, Abdul Rauf melakukan haji dan menghabiskan beberapa tahun perjalanan belajar dengan sukses. Guru pertama di Yaman dan kemudian di Jeddah, Mekah dan Madinah di semenanjung Arab. Setelah sembilan belas tahun di Timur Tengah, pada tahun 1661 Abdul Rauf kembali ke Aceh pada masa pemerintahan ratu pertama, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (memerintah 1641-1675), putri penguasa Aceh yang paling terkenal, Iskandar Muda (memerintah 1607- 1636).

Abdul Rauf menyusun banyak karya dalam bahasa Melayu dan Arab, termasuk interpretasi Melayu pertama terhadap Al-Qur'an,Tarjuman al-mustafidi, berdasarkan Tafsir al-Jalālayn. Atas perintah Sultanah Safiatuddin Syah pada tahun 1663, ia juga menulis sebuah karya tentang fikih (fiqh), berisi pedoman kewajiban agama dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan syariat Islam.

Berjudul Mir'āt al-ṭullāb fi tashīl ma'rifat al-aḥkām al-shar'iya lil-mālik al-wahhāb,'Cermin para pencari ilmu hukum Allah'. Ditulis untuk melengkapi karya Nuruddin al-Raniriirāṭ al-mustaqīm, karya Melayu populer lainnya di fiqh disusun di Aceh pada tahun 1644 yang hanya berfokus pada kewajiban agama,Mir'āt al-ṭullāb mencakup topik yang jauh lebih luas yang mempengaruhi kehidupan sosial, politik dan ekonomi, diatur dalam bagian-bagian tentang hukum komersial, perkawinan dan pidana.

Mulai dari naskah Mir'āt al-ṭullāb. Ini adalah halaman kedua dari buku aslinya, karena pada awalnya akan ada halaman pertama yang dibuka di sebelah kanan, dengan bingkai bercahaya yang mencerminkan dekorasi pada halaman yang masih ada. Iluminasi biasanya bergaya Aceh, dengan palet warna merah, hitam, kuning, dan putih. Perpustakaan Inggris, Atau. 16035, f. 1r .noc

Meski disusun di Aceh,Mir'āt al-ṭullāb berpengaruh di seluruh kepulauan Melayu, termasuk daerah-daerah yang jauh ke timur seperti Gorontalo di Sulawesi Utara dan Mindanao. 27 salinan manuskrip dari Mir'āt al-ṭullāb diketahui sejauh ini, diadakan di perpustakaan di Jakarta, Aceh, Kuala Lumpur, Berlin, Leiden dan London (untuk daftar lengkap lihat Jelani 2015: 132-134). Naskah London, yang disimpan di British Library sebagai Or. 16035 , kini telah sepenuhnya didigitalkan dan dapat dibaca di sini . Menurut kolofon itu disalin pada 14 Muharam 1178 (14 Juli 1764), dan dari iluminasi dan ciri-ciri kodikologis lainnya ditulis dengan jelas di Aceh.

Naskah tradisional Melayu tidak menggunakan tanda baca, paragraf, atau penomoran halaman. Selain rubrikasi – penyorotan dengan tinta merah pada kata-kata penting – ada beberapa alat bantu visual untuk membedakan antara bagian-bagian teks yang berbeda, dan sulit untuk membayangkan dengan tepat bagaimana pembaca awal berhasil menjelajahi buku-buku panjang. Uniknya, dalam beberapa manuskrip dari Aceh, kami menemukan sistem marginalia yang berkembang, yang secara visual menandai awal topik baru dalam teks kepada pembaca. 

Foto Mir'āt al-ṭullāb oleh Abdul Rauf dari Singkel, dengan indikator subjek marginal kaligrafi.  Perpustakaan Inggris, Atau.  16035, dst.  74v-75r.

Sumber Fb : Malikul Mubin

Ahad, 3 Julai 2022

Pemupusan Sejarah Acheh Terus Berlanjut

Jaya Islam Di jazirah nusantara berkaitan dengan jaya acheh. Pemupusan sejarah acheh sama dengan pemupusan sejarah turki utsmani. Sama² bertujuan untuk menghilang jejak power islam. Jadi, untuk mempublikasi negara baru maka wajib di hilangkan sejarah negara lama. Dan untuk terbinanya khilafah UN(PBB), maka wajib di hapusnya Khilafah Utsmani. Bukankah selepas runtuhnya turki utsmani langsung terbentuknya khilafah UN ! Dan bukanlah selepas runtuhnya kerajaan acheh langsung di ikuti dengan terbinanya kerajaan(negara) indonesia !. 

Sedangkan dalam otak kita, khasnya untuk kelahiran 1940-an ke atas hanya di provokasi dengan isu Komunis yg di mobilisasi oleh agen demokrasi. Yg menghasilkan kesimpulan kpd generasi 40-an, perjuang pertama yg berapi-api di semenanjung asia tenggara hanya ketika belanda dan british mememasuki jazirah ini.
----------------------------------------------


Penulis : Mapesa Acheh

Tembok Istana Daruddunia yang masih tersisa di seputaran kawasan pendopo Gubernur Aceh sekarang. Tinggalan arkeologi periode peradaban islam ini belum mampu memikat lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penelitian.

Daruddunia di mana para sultan agung Aceh mengeluarkan putusan-putusan yang menentukan dalam sejarah. Tembok tinggi yang mengelilingi Dalam Kesultanan Aceh diruntuhkan dan lenyap. Tidak sedikit masyarakat Aceh, di dalam maupun di luar Kota Banda Aceh, mempertanyakan mana bekas tapak Dalam Kesultanan Aceh yang pernah menghebohkan dunia. Ada semacam kerinduan dan gairah yang mendalam untuk dapat menyaksikan bekas kediaman sultan-sultan Aceh yang legendaris sekalipun cuma reruntuhan. Reruntuhan itu, setidaknya, mampu membangun sebuah imajinasi historis akan kebesaran masa silam, dan imajinasi tersebut pada gilirannya mampu mengembalikan rasa percaya diri serta kemauan keras sebuah bangsa yang dalam sejarahnya pernah sampai ke puncak kejayaan.

Untuk melakukan kerja penyelidikan, penelitian, dan pelestarian Mapesa memiliki gayanya tersendiri, Mapesa tidak pernah menunggu "pencairan dana" dari pihak pemerintah sekalipun tetap membuka diri untuk berbagai bentuk dukungan dari pelbagai pihak, pemerintah maupun masyarakat.

Kerja ini, hakikatnya, merupakan kerja pelestarian yang besar faedahnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penyingkapan nilai-nilai budaya yang Islami serta pengokohan kepribadian bangsa.

Foto-foto oleh Irfan M Nur

#RevitalisasiBandarAcehDarussalam

Selasa, 7 Jun 2022

Bukti Aceh Dulu Menggunakan Koin Emas.

Foto di bawah Koin emas Kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin [Sumber: Prominent Women in The Glimpse of History]

Penulis : Iskandar Norman.

Soal mata uang emas Kerajaan Aceh memang sempat heboh pada akhir tahun 2013 lalu. Ribuan keping koin emas ditemukan di areal tambak Gampong Pande, Banda Aceh. Lokasi bekas istana Kerajaan Aceh saat pertama dibangun, sebelum dipindahkan ke lokasi baru setelah dihamtam banjir besar.

Ribuan koin emas dengan nama raja atau ratu yang menjabat pada masanya tertulis di sisi koin emas tersebut. Meski sudah berbilang abad koin-koin itu masih bagus, malah para kolektor dari berbagai negara datang untuk membelinya.

Sekarang mari kita lihat referensi sejarahnya. Guru besar ilmu sejarah Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Teuku Ibrahim Alfian dalam buku Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh menjelaskan bahwa koin emas kerajaan Aceh itu disebut sebagai derham. Koleksi lengkap berbagai koin emas itu bisa dilihat di Museum Negeri Banda Aceh, selain itu juga disimpan dalam koleksi numismatic di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.

Koleksi mata uang emas Aceh ini juga disimpan oleh Letnan Jendral GCE Van Daalen yang pernah menjabat sebagai Gubernur Militer Belanda di Aceh pada masa perang kolonial.

Selain itu juga dikoleksi oleh J Hulshoff mantan anggota Dewan Hindia (Raad van Indie) dan H Scheffer yang pernah menjabat sebagai wali kota (Burgermeester) Cirebon ketika masa Hindia Belanda berkuasa di Nusantara.

Penelitian terhadap mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh juga pernah dilakukan para peneliti Belanda. Diawali pada tahun 1888 oleh KFH van Langen, dilanjutkan oleh J Hulshoff Pol pada tahun 1929 dan HKJ Cowan pada tahun 1939.

Para peneliti lainnya adalah William Shaw dan Muhammad Kassim Haji Ali, keduanya menulis buku Malacca Coins diterbitkan pada tahun 1970 di Kuala Lumpur oleh Museum Negara Malaysia.

Profesor Teuku Ibrahim Alfian menjelaskan bahwa, Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara merupakan kerjaan Islam pertama di Asia Tenggara yang mengeluarkan mata uang emas. Mata uang emas Kerajaan Samudera Pasai pertama kali diterbitkan oleh Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297-1362). Sampai sekarang tercatat sebagai mata uang emas tertua.

Mata uang emas Kerajaan Samudera Pasai memiliki diameter 10 mili meter, kecuali mata uang emas yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin (1383-1405) dan Sultan Abdullah (1500-1513).

Setelah Kerajaan Samudera Pasai, mata uang emas juga dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, setelah Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1524. Lebih jelasnya bisa dibaca dalam buku De Gouden Munten van Noord-Sumatra yang ditulis oleh J Hulshoff diterbitkan di Amsterdam, Belanda pada tahun 1929.

Selain itu tentang mata uang emas Kerajaan Aceh juga ditulis oleh KFH van Langen dalam buku De Inrichting van het Atjehshe Staatsbestuur onder het Sultanaan diterbitkan pada tahun 1888 di Belanda. Bisa juga dibaca dalam Vytrekening van de Goude en Silvere Munts Waardye der Maten en Swaarte de Gewigten in de Kespective Gewesten van Indien yang ditulis oleh Johannes Meertens dan diterbitkan di Middelburg pada tahun 1691.

Referesi lainnya tentang mata uang emas Kerajaan Aceh juga bisa dibaca dalam buku Atjeh karya J Kreemer yang diterbitkan di Leiden, Belanda pada tahun 1923, serta dalam buku Bijdrage tot de kennis der Geschiedenis van het rijk Samoedra-Pase yang ditulis oleh HKJ Cowan pada tahun 1938.

Itulah beberapa referensi yang membahas tentang mata uang emas kerajaan di Aceh, baik pada masa periode Kerajaan Samudera Pasai maupun pada periode Kerajaan Aceh Darussalam. Dengan berbagai referensi dari kalangan Eropa tersebut, lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa kerajaan Aceh pasa masa lalu memang menggunakan mata uang emas.

Repost Fb Malikul Mubin