”Abu Krueng Kalèe nyaris membuat Kerajaan Acheh menjadi sebuah negara yang di akui oleh lembaga global yang lahir setelah 1945, yang jauh lebih tua dari lahirnya kerajaan islam aceh. Berkat usaha Mr. Soekarnoe, maka terkandaslah aceh bersaing di peringkat global setelah perang dunia ke dua. Dan pada masa yang sama, kerajaan islam yang pernah berkuasa ini pun dapat dikuasa dan di atur oleh negara yang baru lahir yaitu indonesia. Pun tak lupa, dengan ini maka belanda dan musuh² kerajaan acheh yang pernah di kalahkan pada perang dunia kedua dapat terseyum lebar karena sekarang kerajaan islam ini tidak lagi berkuasa, sebab telah di kuasai oleh negara baru lahir yaitu indonesia, yang uga negara di bentuk oleh musuh kerajaan islam aceh(belanda).
Tgk. Muhammad Hasan bin Tgk H. Syeh Muhammad Hanafiah (Abu Hasan Krueng Kalee). Dan Ir. Soekarnoe
FOTO : Istimewa
TEUNGKU MUHAMMAD HASAN bin Tgk H. Syeh Muhammad Hanafiah bin Tgk. Syeh Abbas bin Tgk Syeh Muhammad fadhil bin Syeh Abdurrahman bin Faisal bin Ramah bin Al La’badah bin Al Hauraani Ibnu as sab’ah yang berkebangsaan Arab datang ke Aceh sekitar tahun 1564 adalah salah seorang ulama Aceh lahir pada tahun 1886 di Krueng Kalee Banda Aceh dan wafat tahun 1973 M.Abu Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Tgk. H. Muhammad Hanafi dengan Nyakti Hafsah binti Syeh Isma’il. Tgk Syeikh Abbas yang dikenal dengan sebutan Tgk H Muda Krueng Kalee yang juga ulama besar. Ayahnya tersebut pernah menjabat Qadhi kerajaan untuk wilayah XXVI Mukim.
Hampir semua masyarakat Aceh pernah mendengar nama Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, seorang ulama besar Aceh yang lahir di Gampong Langgoe Meunasah Keutumbu, Pidie pada 13 Ra’jab 1303 H bertepatan dengan tanggal 18 April 1886 M.
Dalam dunia pendidikannya, Ibunda Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee yang bernama Nyakti Hafsah binti Tgk Syeikh Ismail Krueng Kalee adalah guru pertamanya. Selain untuk diri Hasan, ibunya juga untuk mengajar mengaji untuk anak anak seusianya selama di pengungsian akibat agresi Belanda di Gampong Langgoe Muenasah Keutumbu, Pidie. Dan akhirnya setelah masa pengungsian usai, keluarga Tgk Muhammad Hasan kembali ke Krueng Kalee.
Sejak kecil Tgk Muhammad Hasan mulai belajar ilmu dasar agama Islam, seperti fiqh, nahu, sharaf, tarikh Islam, hadits, tafsir dan ilmu lainnya pada Tgk Chik di Keuboek Siem, Aceh Besar yang juga kerabatnya. Kemudian dia juga berguru pada Tgk Chik di Lamnyong.Tgk Hasan juga dikenal dengan nama Abu Di Yan, nama tersebut mengacu pada daerah Yan, Keudah Malaysia sebagai tempat ia menuntut ilmu selanjutnya.
BACA JUGA: Suatu Ketika Hasan Tiro Pernah Memberi Amanah, 'Siapa yang Akan Memimpin Setelah Dirinya Tiada'
Di lembaga pendidikan bernama Madrasah Al Irsyadiyah al-Diniyah di Kampung Acheh Yan, Keudah. Lembaga pendidikan tersebut didirikan pada tahun 1902 oleh Tgk Muhammad Arshad ie Leubeu yang akrab di kenal dengan Tgk Di Bale’. Di lembaga pendidikan Islam tersebut Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee tergolong murid generasi pertama.
Setelah belajar di Malaysia, diusia 23 tahun Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee berangkat ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji serta bermaksud melanjutkan pendidikan tingginya di Masjidil Haram. Sebelum berangkat ke Mekkah, Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee pulang ke Aceh untuk berpamitan dengan keluarga dan mengajak adik kandungnya Tgk Abdul Wahab belajar disana. Enam bulan di Arab Saudi, Tgk Abdul Wahab meninggal dunia dan Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee tetap bertahan melanjutkan pendidikannya hingga usai.
Itulah sedikit dari banyak kisah yang ada dalam buku Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee yang ditulis oleh tiga alumnus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar Raniry, yakni Mutiara Fahmi Razali, Muhammad Faisal Sanusi dan Qusaiyen Aly As Su’udi. Buku tersebut dicetak pada tahun 2010 lalu.
Selain tentang pendidikan, Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee dalam buku tersebut sarat dengan informasi lain seputar kehidupan ulama besar Aceh ini, antara lain seputar rumah tangganya, penghargaan yang pernah ia peroleh, kiprahnya dalam politik dan pendidikan di Aceh. Disana juga berkisah tentang arah perjuangan dan nilai-nilai keteladanannya selama Tgk Hasan Krueng Kalee hidup.
Muhammad Faisal Sanusi seorang penulis yang dijumpai langsung AtjehLINK pada Sabtu (23/03/2013) di Dayah Darul Ihsan mengatakan bahwa awalnya tidak ada niat untuk menulis buku, namun hanya sekedar ingin mengetahui tentang Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee saja.Dalam perjalanannya, Faisal Sanusi dan dua rekan lainnya merasa harus mengumpulkan seluruh informasi tentang Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee karena banyak dari tulisan beliau yang menjadi referensi penulis sudah mulai tidak terawat.
Melihat kondisi ini, penulis merasa perlu merangkum semua tentang kisah perjalanan seorang ulama besar Aceh yang sudah berjasa dalam membangun dan berkarya untuk Aceh. Sejak itulah niat menulis buku dimulai. Sumber bahan penulisan mulai dari orang-orang yang pernah mengetahui dan dekat dengan Tgk Muhammad Hasan semasa hidupnya, begitu juga dengan referensi lain yang pernah ditulis oleh Tgk Hasan sendiri atau orang lain.
Faisal menambahkan, selama ini sudah bayak buku biografi Tgk.Muhammad Hasan Krueng Kalee karangannya yang dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan dan untuk masyarakat yang ingin mempunyai buku tentang Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee dapat berkunjung langsung ke Dayah Darul Ihsan Siem, Kecamatan Darussalam, buku tersebut akan diberikan secara cuma-cuma. (zamroe)
Siapa Teungku Hasan?
Syaikh Teungku Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh 'Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli. Yang lebih dikenali sebagai Syaikh Hasan Krueng Kaleeatau Abu Krueng Kalee adalah salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama`ah kelahiran Aceh.Untuk pengetahuan, "teungku" adalah gelaran hormat masyarakat Aceh yang diberi kepada ulama, sebagaimana "teuku" pula diberikan kepada bangsawan atau pemimpin.
Beliau lahir pada tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie, Aceh. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.
Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di Krueng Kalee. Di sanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri.Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Yan Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk.
Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh yang turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.
Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah semangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.
Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyie Al-Falaky.”
Sekembalinya dari Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian dijodhkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.
Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan Desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.Di tempat terakhir ini, Abu Krueng Kalee mulai menbgabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh, Di antara murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah :
1. Teungku Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
2. Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Bireuen.
3. Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh,
4. Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang
5. Tgk. Haji Adnan Bakongan
6. Teungku Hasan Keubok, ulama dan qadhi Aceh Rayeuk.
7. Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
8. Teungku Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara.
9. Teungku Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara.
10. Teungku Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timue.
11. Teungku Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timue.
12. Teungku Haji Muda Waly Labuhan Haji, pendiri Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
13. Tgk. H. Idris Lamreng (Ayah Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Rektor IAIN Ar-Raniry)
14. Teungku Syaikh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri Dayah Blang Pidie, Aceh Barat Daya
15. Syaikh Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara.
16. Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timue.
17. Teungku Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah Ulee Titie.
Pada tahun 2007, senin 7 Mei, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H. Sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah.
Keempat ulamanya yaitu; Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Syaikh Hamzah Fansuri, Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee dan Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy ( Tgk H Muda Waly )
2
Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan RI yang ketika itu baru seumur jagung.
Kiprah dalam Politik dan Organisasi Islam
Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafi dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama.
Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.
Pada tanggal 1-2 Oktober 1932 ketika diadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar, Tgk.Haji Hasan Kruengkalee terlibat didalamnya. Pada kegiatan ini membicarakan masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan Islam.
Ulama-ulama terkemuka hadir menjadi peserta pada kegiatan tersebut, diantaranya adalah Tgk H.Hasballah Indrapuri, Tgk H.Abdul Wahab Seulimum, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Tgk M.Hasbi Ash-Shiddiqy, Tgk Haji Hasan Kruengkalee, Tgk. H.Trienggadeng dan lain-lain sebagainya. Keputusan-keputusan yang diambil dari musyawarah pendidikan Islam tersebut adalah:
Tiada sekali-kali terlarang dalam agama islam kita mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan dengan syariat, malah wajib dan tidak layak ditinggalkan buat mempelajarinya.
Memasukkan pelajaran-pelajaran umum itu ke sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu.
Orang perempuan berguru kepada orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara.
Setelah proklamasi 17 agustus 1945, Tgk H.Hasan Krueng Kalee menandatangi sebuah pernyataan bersama mengenai perang kemerdekaan. Bersama tiga orang ulama besar yaitu Teungku haji Jakfar Siddiq Lamjabat, Teungku Haji Hasballah indrapuri dan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pernyataan itu menegaskan bahwa :
”Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut perang sabil.Maka percayalah wahai bangsaku bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh almarhum Teungku chik Ditiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.
Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu, mengangkat langkah menuju ke muka untuk mengikut jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk keselamatan tanah air agama dan bangsa.”
Pernyataan tersebut tertanggal 15 Oktober 1945. untuk menggerakkan orang-orang dewasa dan orang-orang tua agar berjihat dalam satu barisan teratur, barisan sabil atau barisan mujahidin. Pada tanggal 25 Oktober Tgk Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting. Seruan ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim kepada para pemimpin dan ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan penting itu tersiar luas, maka berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahidin Devisi Teungku Chik Ditiro.
Pada masa itu Tgk Haji Hasan Krueng Kalee merupakan salah seorang penasehat Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), yaitu salah satu organisasi yang bertujuan untuk mendidik masyarakat melalui organisasi tersebut guna meningkatkannya menjadi wadah pendidikan yang lebih berdaya guna. Tetapi pada masa hangt-hangatnya perjuangan membela tanah air, organisasi ini menjadi pelopor dalam menggerakkan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, seperti yang dikemukakan oleh Prof. A. Hasjmy dalam salah satu tulisannya.
Pada awal tahun 1942 Pusa (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan Perti ( Persatuan Tarbiyah Islamiyah) menggerakkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Aceh, adalh hal yang logis karena para pemuda yang aktif dalam pemberontakan tersebut sebagian besar mereka yang telah ditempa iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah, yang sistem pendidikan dan kurikulumnya telah diperbaharui.Dapat diketahui bahwa hanya dua organisasi Islam yang tampil sebagai pelopor yang menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap penjajahan Belanda, meskipun banyak juga organisasi-organisasi lain yang mulai tumbuh di Aceh.
Dengan demikian para ulama tergabung dalam organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah maupun Perasatuan Ulama Seluruh Aceh, juga para pemuda yang telah ikut aktif dalam pemberontkan terhadap Belanda. Melalui wadah organisasi ini pula bersama-sama dengan ulama-ulama lain seperti disebutkan diatas Tgk Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa tentang perlunya seluruh rakyat berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan jalan jihad fi sabilillah, hal ini terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945.
Almarhum Tgk Haji Hasan Krueng Kalee juga telah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Tgk Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Haji Muhammad Daud Beureueh, Teungku Ja’far Lamjabat alias Teungku Syik Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri (Teungku Indrapuri).Dari uraian diatas jelas bahwa Tgk Haji Hasan Krueng Kalee, pada awal tahun proklamasi Republik Indonesia, beliau pernah mengeluarkan fatwa Aceh, tentang seruan jihad fisabilillah melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Indonesia merdeka bersama-sama ulama Aceh lainnya.
Meskipun pada masa setelah kemerdekaan, mulai muncul organisasi islam yang lain, namun Tgk Haji Hasan Krueng Kalee tetap menyalurkan aktifitasnya melalui organisasi Perti.Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan masyarakat tampil kemedan perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya.
Mereka umumnya tergabung dibawah organisasi misalnya Pusa, pemuda Pusa, kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah, Perti, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya.Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan Uleeblang Aceh pimpinan Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Pada dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini.
Abu Krueng Kalee salah seorang di antaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh dipenghujung tahun 1945 tersebut.
Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun dengungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di Serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Wallahu’alam. (DIPOSTING OLEH YASIRMASTER).
Abu Hasan Krueng Kalee adalah Ahli Falakiyah Aceh
Diantara guru-gurunya selama berada di Mekkah adalah syeh said Alyamani Umar bin Fadhil, Syeh khalifah, Syeh said Ahmad bin said Abibakar al Syattar addimyati, Syeh Abdullah Isma’il, Syeh Hasan Zamzami, Syeh Abdul Maniem dan Syeh Yusuf Annabhany. Abu hasan Krueng Kalee menetap di Mekkah selama tujuh tahun yaitu dari tahun 1909-1916 M.
Disamping menguasai berbagai disiplin ilmu agama yang lazim dipelajari oleh ulama lain, Ia juga menguasai Handasatul Mutsallastaat (ilmu ukur sudut) dan ilmu falak (Astronomi). Dalam mempelajari ilmu falakiyah, beliau memiliki Rubu’al Mujayyab, suatu alat ukur yang sederhana dalam ilmu falakiyah, belia belajar ilmu ini pada pensiunan Jenderal Turki Usmani yang telah bermukim di Mekkah diketika itu.
Yang beminat menukuni ilmu falak dari nusantara waktu itu cuma abu Hasan Krueng Kalee dan Syeh Jamil Jaho dari Padang. Sehingga nama abu hasan Krueng Kalee dikenal dengan sebutan Syeh Muhammad Hasan Al Asyie al Falaky.
Dalam ilmu falak beliau menganut faham rukyatul hilal dan kriteria bulan bisa dilhat 6 derajat di atas ufuk mar’i. untuk menghindari komplik dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan wal Syawal, setiap tahun beliau mengeluarkan imsakiyah pribadi sebagai rujukan umat islam Aceh dengan standar jam kreta api waktu itu.
Bahkan hasil hisabnya diakui pemerintah Belanda sebagai penentuan resmi awal puasa di Aceh pada masa penjajahan.Suatu ketika, seorang konteler (ahli ukur sudut ) Belanda yang ingin menguji kehebatan Abu Hasan Krueng Kalee dalam Ilmu Falakiyahnya dan ukur sudut datang menjumpai Abu di dayah menasah blang sambil minum air kelapa, kolonel itu bertanya berapa tinggi gunung yang terlihat jelas dari dayah,,? Setelah Abu memikir sejenak beliau langsung menjawab dengan benar dan diakui oleh kolonel Belanda tersebut. (sumber: media dakwah santi dayah edisi 10 / 2011 dengan penambahan dan pengurangan seperlunya).(OLEH: TGK. ISMAIL, S.Sy)
Sepak Terjang Abu Krueng Kalee
”Abu Krueng Kalee nyaris membuat Aceh menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri. Namun semuanya buyar setelah usulan itu tak diterima Daud Beureueh yang pada akhirnya ia sendiri tertipu janji palsu soekarno.
Sapaan akrab Abu Krueng Kalee jika bertandang ke Gampong Siem, Aceh Besar, mungkin tak asing lagi bagi masyarakat di sana. Tgk H Muhammad Hasan Krueng Kalee itulah nama aslinya yang kini telah bersemat megah di sebuah pondok pesantren: Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee. Pesantren itu juga dikenal dengan sebutan “Dayah Manyang”.Abu Krueng Kalee merupakan salah satu ulama kharismatik Aceh.
Ia lahir pada 13 Rajab 1304 H/18 April 1886 M di Gampong Langgoe Meunasah Keutumbu, Mukim Sangeue, Kabupaten Pidie. Abu, begitu ia disapa, selain piawai dalam mengajarkan ilmu agama dan pendidikan, juga menjadi sosok ulama yang begitu peduli dengan keadaan politik dan sosial Aceh pada masa-masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Melihat sepak terjang Abu dan sejarah hidupnya memang sangat mengagumkan, khususnya bagi generasi Aceh yang ingin tahu banyak tentang kisah hidup ulama-ulama Aceh yang berjaya pada masanya.Abu Krueng Kalee menjadi ulama bukan karena diagungkan oleh masyarakat Aceh pada waktu itu, melainkan pengorbanannya pada Aceh yang begitu besar, sehingga ia diberi gelar “Ma’rifaullah” atau “al A’rif billah”. Gelar itu ia terima pada sebuah forum tingkat tinggi ulama se-Aceh, 5 Mei 2007, di Masjid Raya Baiturrahman.
Pada pertemuan itu para ulama Aceh telah sepakat, selain Abu Krueng Kalee, ada tiga ulama lainnya yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah. Dua di antaranya ulama terkemuka masa silam, yakni Syeikh Abdurrauf as Singkily dan Syeikh Hamzah al Fansuri dan Tgk H Muhammad Waly Al-Khalidy atau lebih dikenal dengan Tgk H Muda Waly—pendiri salah satu pesantren terkemuka di Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Pandangan Politik Abu
Berbicara masalah politik (siyasah) bukan barang langka bagi Abu, terlebih setelah Indonesia merdeka.
Abu piawai dalam mengambil berbagai keputusan politik di Aceh, karena didasari pada penguasaannya terhadap pelbagai ilmu sejarah, baik sejarah Islam (tarikh al Islamy) maupun dunia.Dari itu, Abu mampu mengkaji elemen-elemen sosial dan politik dalam menghadapi berbagai persoalan dan peristiwa yang muncul saat itu.Dalam biografi singkat “Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (1886-1973): Ulama Besar dan Guru Umat” yang diterbitkan Yayasan Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee disebutkan, pada hakikatnya seseorang yang ingin mendalami kandungan Alquran dengan baik dan benar, mutlak harus mengetahui Sirah Nabawiyah sebagai upaya mengambil suatu hukum dan i’tibar serta memahami dengan benar ilmu fiqh sirah.
Hal itulah yang dipraktikkan Abu dalam menghadapi berbagai peristiwa politik yang terjadi di Aceh dan nusantara semasa hidupnya.Perannya sebagai seorang ulama salafi dan sufi terkemuka, tidak membuatnya jauh dari berbagai persoalan-persoalan umat. Kiprahnya selalu hadir mengiringi setiap peristiwa yang muncul di sekelilingnya.Salah satu hal yang masih membekas pada rakyat Aceh adalah lahirnya “Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh” pada 15 Oktober 1945.
Maklumat itu dicetak dalam bentuk selebaran dan dibagikan ke seluruh Aceh dan wilayah Sumatera.
Maklumat itu dikeluarkan di Kutaradja (Banda Aceh). Diprakarsai oleh empat tokoh ulama yang mewakili seluruh ulama Aceh, yakni Tgk H M Hasan Krueng Kalee, Tgk M Daud Beureueh, Tgk H Dja’far Siddik Lamjabat dan Tgk Ahmad Hasballah Indrapuri. Maklumat itu merupakan wujud dukungan ulama Aceh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan Presiden Soekarno.
Inti muatannya, maklumat berisi keyakinan para ulama yang bernilai fatwa: perjuangan mempertahakan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang sabil (jihad fi sabilillah) meneruskan perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Tgk Chik di Tiro dan pahlawan kebangsaan lainnya.
Legitimasi maklumat mewakili rakyat Aceh ini juga mendapat dukungan penuh dengan dicantumkannya atau diketahui oleh Teuku Nyak Arif selaku Residen Aceh dan disetujui oleh Tuwanku Mahmud (keturunan Sultan Aceh) selaku Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh (KNIDA).Tak lama setelah keluarnya Maklumat Bersama itu, Abu mengeluarkan seruan/maklumat tersendiri. Seruan yang sangat penting atas nama pribadinya pada 25 Oktober 1945. Isinya tak jauh beda dengan maklumat bersama.Seruan yang ditulis dalam bahasa Arab Jawi itu dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia).
Disertai surat pengantar yang ditandatangani Ketua Umum PRI, Ali Hasjmy, 8 November 1945 dengan Nomor 116/1945. Maklumat itu kemudian dikirim ke seluruh pimpinan dan ulama Aceh.
Adanya maklumat itu berdampak positif bagi pemerintahan RI. Berbagai dukungan fisik dan materil rakyat Aceh untuk membiayai perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak terbendung, sehingga saat kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Aceh, Juni 1948, dengan lantang Soekarno menyatakan bahwa Aceh dan segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.
Aceh Nyaris Berdiri Sendiri
Di Blang Padang, Banda Aceh, ada sebuah bangunan tua bekas pusat pemerintahan Belanda. Kini telah berubah wujud. Dijadikan SMA Negeri 1 Banda Aceh.Di ‘gedung setan’, sebutan rakyat Aceh waktu itu terhadap kantor Belanda (SMAN 1 Banda Aceh kini), menjadi saksi bisu fakta sejarah tanggal 20 Maret 1949.
Di gedung itulah pertemuan penting para tokoh-tokoh di Aceh berlangsung, salah satunya Abu Krueng Kalee.
Pertemuan itu membahas isi sebuah surat tertanggal 17 Maret 1949 yang dikirim Wali Negara Sumatera Timur, DR Teungku Mansur ke Aceh. Saat itu Aceh merupakan provinsi yang dipimpin seorang Gubernur Militer dan Sipil yang membawahi wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dan surat itu berisi undangan kepada Tgk M Daud Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh untuk menghadiri rapat yang diberi nama “Muktamar Sumatera” untuk membahas pembentukan “Negara Republik Federasi Sumatera”.
Padahal, Muktamar Sumatera itu merupakan gagasan terselubung dari politiknya Gubernur Hindia Belanda Van Mook untuk memecah-belah wilayah Indonesia yang sudah memproklamirkan kemederkaannya bisa bubar. Van Mook melakukan itu karena seluruh wilayah di Indonesia saat itu telah berhasil diduduki Belanda pascaagresi militer ke II tahun 1948.Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah kepemimpinan Syahruddin Prawiranegara yang dibentuk atas perintah Soekarno, akhirnya harus pindah-pindah, yakni ke Yogyakarta, Bukit Tinggi, dan Aceh, karena kala itu ibukota RI di Jakarta telah diduduki Belanda serta sejumlah tokoh nasional dan termasuk Soekarno telah berhasil ditawan Belanda.
Hanya Aceh, satu-satunya yang sepanjang perang revolusi fisik (1945-1949) tidak berhasil diduduki Belanda, sehingga gagasan yang ditawarkan oleh Van Mook untuk bergabung dalam Negara Republik Federasi Sumatera (NRFS) akan membuat Indonesia pada akhirnya tak lagi berwujud.
Kepentingan Belanda untuk Aceh agar bergabung bersama NRFS sangat besar. Aceh dianggap Belanda telah menjadi daerah modal RI dan tak lagi memberi dukungan dan perjuangan untuk rakyat Indonesia ke wilayah lain.Suasana ‘gedung setan’ pun hari itu berlangsung panas. Terjadi perdebatan sejak jam 10 pagi sampai jelang jam 11 malam. Hasilnya berupa tiga pilihan: sebagian menerima ajakan Van Mook bergabung bersama NRFS; sebagian ingin memproklamasikan Aceh sebagai negara sendiri; dan sebagian tetap setia mempertahankan negara Republik Indonesia.
Dari tiga pilihan itu, hanya Abu yang mengusulkan Aceh untuk berdiri sendiri. Berbagai pertimbangan Abu uraikan. Menurutnya, roda pemerintahan Republik Indonesia sudah lumpuh. Secara defacto, wilayah RI sudah kembali diduduki Belanda, kecuali Aceh.
Selain itu, Aceh telah memiliki sejarah dan kemampuan secara militer untuk berdiri sendiri lewat salah satu komando Tgk Daud Beureueh yang menjabat Gubernur Militer dan Sipil untuk Aceh, Langkat, dan, Tanah Karo, sehingga berbagai alat persenjataan berat peninggalan Jepang yang berhasil dikuasai pejuang Aceh bisa menjadi salah satu modal kemampuan Abu dan para ulama lain untuk menggalang kekuatan rakyat dalam mendukung gagasan tersebut.
Namun saat berbagai gagasan dan uraian disampaikan Abu, Tgk Daud Beureueh juga meminta pendapat peserta rapat atas tawaran Van Mook, tetapi tidak ada satupun dari mereka memberikan tanggapan.
Menurut Tgk Ishak Ibrahim, salah satu anggota TNI yang pernah bertugas di Makassar dan pada masa DI/TII menjabat sebagai komandan Batalion DI/TII wilayah Darussalam, malam itu Tgk Daud Beureueh akhirnya menanyakan tanggapan ke Abu tentang tawaran Van Mook.
Abu dengan tegas menjawab,
“Kalau mau senang, lepaskan Aceh dari RI. Ambil yang baik meskipun itu keluar dari mulut rimueng (harimau).”
Tgk Daud Beureueh menentang keras jawaban Abu. Padahal sosok Abu di mata Daud Beureueh adalah seorang guree (guru). Daud Beureueh pun kembali mempertegas: kesetiaan rakyat Aceh terhadap RI bukan dibuat-buat, melainkan kesetian yang tulus dan ikhlas dengan hati nurani yang penuh perhitungan dan perkiraan.
Dalam pidatonya, Tgk Daud Beureueh mengatakan;
“…sebab itu, kita tidak bermaksud untuk membentuk suatu Aceh Raya, karena kita di sini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan dari Wali Negara Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itu tidak kita balas.”
Penolakan Tgk Daud Beureueh juga didasari atas keyakinannya bahwa Soekarno akan menepati janji-janji yang telah disampaikan dengan linangan air mata kepadanya dalam kunjungan ke Aceh tahun 1948. Pada Tgk Daud Beureueh, Soekarno berjanji akan memberikan izin bagi Aceh untuk mengurus daerahnya sendiri dan menjalankan syariat Islam.Akhirnya, usulan Abu tak mendapat dukungan penuh dari peserta rapat. Ia kalah oleh pandangan mayoritas yang ingin tetap bergabung dengan RI.
Hasil akhir pun memutuskan untuk menolak ajakan DR Teungku Mansur dan gejolak membentuk NRFS berakhir dengan sendirinya.Akan tetapi semangat Abu Krueng Kalee belum surut. Ia didampingi muridnya Tgk Idrid Lamnyong di kediamannya di Banda Aceh, kembali mengajak Tgk Daud Beureueh mendirikan Pemerintahan Aceh.
Ajakan itu diungkapkannya sehari menjelang penyerahaan kekuasaan Belanda kepada Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) di Den Haag, 27 Desember 1949.Namun jawaban Daud Beureueh juga tak berubah. Perdebatan sengit pun kembali terjadi, hingga akhirnya Abu mengatakan;
“Mulai jinoe, bek ka peugah sapeu le bak lon, kah hana ka teupeu… (mulai sekarang jangan katakan apapun lagi pada saya, kamu tidak tahu—apa yang saya ketahui—)….”
Ketika Peristiwa DI/TII Meletus di Aceh
Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh, seorang utusan Daud Beureueh datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur; “terbangkanlah layang-layang ketika angin kencang Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan membuahkan hasil, Namun justru akan menyengsarakan rakyat.
Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah seorang ulama besar Ahlusunnah wal jama’ah yang menganut Thariqat Haddadiyah, yakni thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Ala Hadad. Meski demikian beliau bukanlah seorang ulama yang tradisional (kolot). Salah seorang murid Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah ; Tgk Muhammad Daud Beureueh.
Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama.
Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.
Logika Agama dan Ilmu Hakikah
Menelaah secara logika, apa yang disampaikan Tgk Daud Beureueh lewat pandangannya bersama tokoh-tokoh lain untuk mendukung Aceh tetap bergabung dengan Republik Indonesia memang tidak dapat disalahkan.Pandangan tersebut terlihat dari motivasi dan prinsip mashalah yang lebih besar, karena demi memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia yang pada saat itu mati suri.
Apalagi janji-janji Soekarno masih begitu terpatri dalam setiap ingatan rakyat Aceh, sehingga sulit dipercaya jika janji itu akan dikhianati dikemudian hari. Bak seorang negarawan sejati tentu akan mengambil kesimpulan yang sama dengan Daud Beureueh.
Abu sendiri dalam menilai persoalan ini tetap merujuk pada logika agama. Namun di sisi lain Abu juga melihat dengan ilmu hakikah atau disebut ilmu firasat (laduni). Salah satu ilmu yang diberikan Allah SWT kepada para walinya yang telah mencapai maqam ma’rifah, sehingga sulit bagi awam untuk mengerti pada awalnya.
Jelas sekali padangan Abu sangat bertolak belakang jika merujuk apa yang terjadi pada Maklumat Ulama sebelumnya. Namun bagi orang yang paham sikap dan pola pikir Abu dalam mengambil suatu keputusan, tentu akan menjadi jelas dan mudah mengerti.
Melihat kondisi awal kemerdekaan, menjadi alasan bahwa mengharamkan umat Islam keluar dari ketaatan pemimpin jika sudah terpilih atau diakui secara mayoritas, walaupun pemimpin itu fasiq atau jahat, selama ia tidak mengharamkan umat untuk mengerjakan salat dan farzu lainnya. Maka menurut pemahaman sunni, pemimpin itu harus tetap ditaati, walau boleh dibenci.
Lain halnya saat Indonesia pascaagresi militer, di mana Pemerintah RI sudah lumpuh dan tak bisa lagi berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian situasi di Bukit Tinggi tak lagi aman. Bahkan Daud Beureueh meminta Presiden PDRI waktu itu Syafruddin Prawinegara hijrah ke Aceh, sehingga pemerintahan RI masih dapat dipertahankan.
Oleh karena itu, secara hukum agama, Aceh sudah memiliki momentum yang tepat dan boleh untuk mengumumkan negaranya sendiri demi menghindari kevakuman pemimpin dan pemerintahan, di mana kehilangan pemimpin menurut ajaran agama dan keyakinan Abu sangat dilarang dalam agama, seperti dalam salah satu riwayat ulama fiqih mengatakan:
“Enam puluh tahun di bawah pemerintahan imam yang jahat lebih baik dari semalam tanpa pemimpin.”
Jadi, bisa dikatakan, tak ada kontradiksi antara kedua pandangan Abu dalam hal ini. Sebab pandangan tersebut berada dalam situasi dan kondisi negara yang sangat berbeda. Berbagai sikap politik Abu untuk mendukung dan lepas dari RI juga berpijak atas dasar agama dan dalil-dalil seperti ayat Alquran dan Hadis, Ijma serta kajian terhadap ilmu Fiqh Siyasah. Kini Abu telah tiada, manusia yang hanya bisa berencana namun takdir Allah untuk menentukan apa yang berlaku. Wallahua’lam. (Oleh Aulia Fitri, Penulis, salah satu pendiri dan penggiat di Komunitas Aceh Blogger.Kutipan dari Sosok Abu Krueng Kalee di kancah Nusantara, Rubrik Fokus Harian Aceh.)