Jumaat, 27 Ogos 2021

Perjuangan


hidup adalah perjuangan. 
Agama adalah kehidupan. 
Tanpa agama tiadalah kehidupan.
Karena asal kehidupan di buat untuk beragama. 
Dan kecewa adalah kekufuran.

Bagaimanakah orang kecewa itu, mereka adalah orang² yang menambah kekufuran atas kekufuran dan berhenti berjuang untuk menjadi baik.

Setiap perjuangan adalah ibadat.
Baik itu perjuangan mencari nafakah sesuai tuntutan agama dan mengatur negara dengan undang² agama.

Dan hidup adalah untuk ibadah.
Setiap usaha mengimplementasikan undang² agama dalam setiap aktivitas adalah ibadah.
Sekalipun cara mandi tadi pagi dan cara berkoment di medsos.

Apa lagi untuk mengimplementasikan undang² agama dalam kehidupan berumah tangga dan dalam negara.

Kesimpulan, hidup adalah untuk perjuangan.
Setiap menit tanpa sunyi dari perjuangan.

Hanya orang² yang kurang paham tujuan hidup yang tidak mengerti perjuangan.

Sedangkan musuhnya adalah kafir dan syaithan.
Jika tanpa serangan dari kuffar bukan bermakna tiada serangan dari syaithan.

Maka, perjuangan tidak pernah sunyi dari detak jantung dan gerak detik jam.

Selamat berjuang.
Dan kemenangan ada ketika pencabutan ruh.
Disana menentukan, kafir atau muslim. Golongan bahagia atau murka.

Khamis, 26 Ogos 2021

Andaikan GAM Kalah dan Berhasil Ditumpas


Sepanjang era 1992 hingga 1995, setidaknya ada enam orang lelaki dewasa yang tidak saya kenali, singgah di rangkang kami yang dibangun oleh almarhum Bapak di tengah ladang. Saya tidak mengenali satupun di antara mereka. Bapak juga tidak pernah bercerita.

Jikalau saya tidak salah ingat, setiap kali tamu-tamu itu beranjak pergi, seusai makan siang, mata tetamu itu sembab. Bahkan saya sempat mendengar isak yang luar biasa dari dalam rangkang gle. Bila tamu-tamu itu datang, Bapak melarang kami berteduh di bawah rangkang yang terbuka itu. Otomatis, aksi “spionase” tidak bisa saya lakukan. Karena harus berteduh di bawah pohon kelapa yang masih berusia muda, kala itu.

“Mereka pengikut Hasan Tiro. Kalau kata Pak Camat, mereka itu adalah GPK,” terang Bapak kepada Ibu.

“Lalu kenapa Bapak terima? Apakah itu tidak berbahaya bagi kita dan anak-anak?” Sergah Ibu, kala itu.

“Entahlah. Yang Bapak tahu mereka tidak seperti yang dicitrakan oleh Pemerintah di koran-koran. Bahkan tiga dari tamu kita itu bukan GPK, cuma korban fitnah dan kini diburu oleh Kopassus,” imbuh Bapak.

Saya mendengar itu kala Bapak dan ibu terlibat perbincangan serius pada suatu malam. Dialog suami istri itu sembari berbisik. Beruntung, karena penasaran dengan kehadiran “orang asing” ke kebun, jiwa spionase saya telah memberikan keuntungan.
***
Tidak mudah menjadi anggota Gerakan Aceh merdeka (GaM) atau kala itu dikenal dengan Aceh Merdeka (AM) atau oleh Pemerintah Indonesia menyebutnya Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Foto-foto pentolan AM disebar di berbagai sudut kota kabupaten hingga kecamatan. Dicari hidup atau mati, demikian tulisan di pamflet itu. Wajah-wajah itu adalah Hasan Tiro dan kabinetnya.

Hasil propaganda pemerintah kala itu, telah berhasil membangun image bahwa GPK adalah kelompok penjahat yang kejam, tidak berperi kemanusiaan, pemerkosa, ekstrimis dan setara dengan komunis. Dalam tiap HUT RI yang dipusatkan di ibukota kecamatan atau kantor pembantunya, pembina upacara selalu membacakan pidato tentang betapa berbahayanya GPK bagi stabilitas daerah. Seruan-seruan agar GPK segera turun gunung dan bertaubat gencar dilakukan dalam rangka memperkuat indoktrinasi terhadap penduduk.

Pada dekade itu, sudah seringkali ditemukan jenazah tanpa kepala, atau jenazah utuh yang tidak bisa lagi dikenali. Setiap ABRI datang, selalu disebutkan, bahwa jenazah itu adalah korban GPK atau GPK itu sendiri.
***
Bagi saya GPK adalah hantu yang membuat penasaran. Saya dalam kapasitas sebagai bocah SD penyuka ilmu sejarah, mencoba mencari tahu. Namun, karena terbatasnya informasi, GPK kemudian menjadi tanya besar di benak saya. Bertanya kepada Bapak, beliau malah marahi saya “Aneuk mit bek Jak meupolitek. Jak sipak anoe keudeh u bineh krueng.” Saya masih terngiang kalimat itu. Serasa legend untuk “membunuh” rasa ingin tahu yang saya miliki.

Saya mulai melek tentang GPK, kala di Jakarta meledak reformasi 1998. Begitu dominasi Orde Baru runtuh, saya terkaget dengan fakta bahwa selama Operasi Jaring Merah atau lebih dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM) (1989-1998) telah banyak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI (Sekarang TNI dan Polri). Laporan tentang bumi hangus, pemerkosaan, pembunuhan, penculikan, bertubi-tubi mengisi indera dengar. Informasi-informasi itu pelan-prlan mulai maujud sebagai hantu yang mengerikan.

Pamflet dari Aceh Merdeka (AM) dengan mudah ditemukan, demikian juga yang dirilis oleh mahasiswa dari ragam buffer aksi. Di sisi lain, kala itu ABRI tidak lagi terlihat agresif. Mereka sudah seumpama anak manja yang tertangkap tangan sedang mencuri mangga.

Dalam waktu yang tidak begitu lama, gelombang kebencian terhadap Jakarta pun menemukan puncaknya. Bukan hanya AM, tapi hampir semua elemen kemudian memberikan ruang bagi GAM untuk memainkan perannya di lapangan. Seolah telah hadir Ratu Adil atau Imam Mahdi, GAM kala itu menjelma menjadi harapan baru bagi rakyat yang telah sekian puluh tahun dibungkam dengan ketakutan.

***
Perlawanan GAM yang didukung oleh rakyat Aceh, kemudian secara berangsur-angsur pun kembali bisa dipatahkan oleh serdadu republik. Penerapan sejumlah operasi militer seperti Operasi Dadar Rencong, Operasi Cinta Meunasah, Operasi Pemulihan Keamanan hingga Darurat Militer dan Darurat Sipil, membuat GAM remuk redam. Eskalasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh serdadu pemerintah semakin gencar. Bumi hangus pemukiman warga, teror, sweeping, pemerkosaan, penculikan, pembantaian dan penangkapan secara sewenang-wenang, membuat rakyat terpojok dan takut.

Kita tentu belum lupa dengan tragedi Beutong Ateuh (pembantaian Teungku Bantaqiyah), Tragedi Simpang KKA, pembantaian Arakundo, penyiksaan di Rumoh Geudong Pidie, penyiksaan di Gedung KNPI Aceh Utara, peristiwa Cot Pulot Jeumpa, tragedi bumi hangus Juli Keude Dua, dan ratusan hingga ribuan tragedi kemanusiaan lainnya di Aceh.

Serdadu pun memainkan politik adu domba. Elit GAM dicitrakan sebagai perampok.Panglima AGAM seperti Abdullah Syafei dikabarkan sebagai pengumpul harta yang hidup mewah di Jakarta. Bahkan ada serdadu yang mengaku bila Teungku Lah adalah TNI yang disusupkan ke tubuh AGAM.

“Istri Abdullah Syafi’i itu bergelimang emas di seluruh tubuhnya. Iya kaya raya dan sombong,” kata seorang serdadu berstrip dua balok merah.

Hingga akhirnya tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 memaksa kedua belah pihak untuk berunding yang kesekian kalinya, yang kemudian melahirkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kedua belah pihak bersepakat berhenti bermusuhan dengan sejumlah syarat.

***
Di luar Aceh, GAM atau GPK mendapatkan kesan merupakan sebuah gerakan separatis yang sangat jahat. Citra GAM sebagai gerombolan perampok, ekstrimis dan teroris begitu melekat di benak orang-orang Indonesia. Hal ini bahkan masih saya temukan kala empat tahun usai perdamaian, ketika saya sedang melakukan perjalanan ke beberapa daerah di luar Aceh.

Sebagai orang Aceh yang tidak buta politik, saya tentu menyadari bahwa propaganda Penguasa berjalan sistematis. Jangankan orang luar, sebagian orang Aceh juga percaya bila GAM adalah organisasi penjahat setara teroris yang hendak melawan pemerintah yang sah. Maka tidak heran bila Tengku Hasan di Tiro dicitrakan serba negatif. Tak ada sedikitpun kebaikan di dirinya.

Sebagai penikmat sejarah, dengan latar belakang perjuangan GAM, saya pun mengulik sejumlah pemberontakan di Indonesia. Baik itu Permesta, PRRI, DI/TII, dan lainnya, rata-rata dilatarbelakangi oleh ketidakadilan Pemerintah Pusat, baik di era Orla maupun Orba. Namun karena mereka berhasil dikalahkan, maka buku-buku sejarah yang dibuat oleh penguasa, menceritakan semua perlawanan itu sebagai sesuatu yang sangat jahat.

Saya kira Allah masih sayang kepada GAM. Tsunami adalah bentuk ketegasan Allah agar konflik yang berkepanjangan tersebut segera redam. Beberapa waktu sebelumnya tsunami, GAM sudah terisolir. Mereka kalah karena Darurat Militer sangat ketat mempersempit ruang gerak GAM. Semua gerilyawan tersudut ke gunung, logistik mereka sekarat. Tidak sedikit yang menyerahkan diri.

Dapat Anda bayangkan bila GAM benar-benar kalah dan tsunami tak pernah ada. Maka hari ini kita takkan pernah memuji Hasan Tiro, kita takkan pernah tabik kepada Muzakkir Manaf dan lainnya. Bahkan kita takkan mau berteman dengan mantan GAM dan keluarganya. Karena apa? Bila kalah maka GAM akan menjadi pesakitan politik yang gerakannya akan difatwakan haram (bughah) karena melawan pemerintah yang sah. Perihal betapa kejamnya republik terhadap Aceh, takkan pernah dibicarakan dalam literatur. Akhirnya, hanya butuh dua puluh tahun untuk mengindokrinasi kepala generasi muda Aceh (generasi unyu-unyu) yang malas membaca tapi gemar berkomentar, agar mereka sukses membenci GAM.

Bila pelabelan negatif itu sukses, maka GAM tidak akan pernah lagi berani peh-peh dada seperti hari ini. Mari iktibar!

Sumber : AcehTrend
Penulis : Muhajir Juli

Selasa, 24 Ogos 2021

Efek Demokrasi Kita Bermusuhan


Dulu, GAM di bawah satu ayah dan satu komando. Setelah menerima system demokrasi pada 15/08/2005, GAM pecah kepada 5 kelompok. 

Mula pecah atas alasan "Dalam system demokrasi tidak boleh bertanding kalau satu partai". Ini adalah kalimat halus tapi dapat menghancurkan satu kelompok yang besar.

Begitu juga dengan muslim indonesia, sekarang mereka pecah berpuluh² partai. Yang dulunya hanya 5 partai, sekarang telah melebihi 30 partai.

Demokrasi nampak baik, tapi pembunuh secara lembut. Berbeda dengan system komunis, sekali pun nampak kejam tapi tegas. Hanya sannya, dalam system komunis mereka anti islam. Sebab islam di anggap memperlambat pembangunan dan kemajuan negara. Karena dalam islam ibadat wajib 2 kali dalam waktu kerja dan di tambah lagi waktu makan dan istirahat(rehat). Apa lagi di tambah oleh pemalas kerja dengan beralasan shalat dan puasa.

Ini sebab komunis anti islam berdasarkan pengalaman yang kita kaji pada toke² warga negara komunis china di tempat² kerja. Makanya rakyat dalam system negara komunis kebanyakan tidak memiliki agama, khususnya di negara komunis china. Sebab, uang adalah segala-galanya. Maka yang menghambat untuk mendapatkan uang patut di hapuskan, sekalipun agama.

Dan banyak lagi alasan mereka anti islam, bahkan agama kristien pun turut serta mendapat imbas. Ini adalah sebagian dari yang banyak terjadi. Bahkan juga di praktikkan oleh toke muslim yang dungu lagi buta pasal agama.

Jangan keluar dari landasan agama, sekalipun kaum komunis membenci waktu ibadat kita, sebab dianggap buang waktu untuk mendapatkan uang. Karena ini lah, kami lebih senang di bawah system khilafah. Kerana, system sendiri di dalam agama sendiri. In syaa allaah system negara tidak akan berbentur dengan agama. Bahkan, system negara lahir dari dan di ambil dari kitab agama. Sehingga, agama tidak hanya mengatur ibadat di mesjid dan nikah sahaja. Akan tetapi, agama mengatur seluruh aspek kehidupan. Dari tatanan pemerintahan negara hingga tatanan pentadbiran sebuah keluarga.

Maka, jangan heran jikalau sekarang negara china mengalahkan negara amerika. Baik di segi ekonomi dan kekuatan militer.

Dan kami tutup status ini denga kalimat antek komunis di negara demokrasi indonesia, dengan katanya "KERJA ... KERJA... KERJA."

Demokrasi tapi Komunis.


Hobi main sensor, menghukum netizen dengan standar komunitas yang absurd,  meng-off akun FB aktivis kritis, dll. 

Mark Zuckerberg dan tim nya ternyata juga belum paham tentang makna Kebebasan Berbicara.

Anti kritik itu adalah paham komunis, sekalipun mereka mendakwa diri penganut demokrasi. Sebab ini kami ulang² berkata " mereka menggunakan demokrasi ketika minoritas, dan ketika mereka manyoritas mereka menggunakan komunis". Anti di kritik, dan siapa yang mengkritik akan di penjara.

Mereka melaungkan hak berdemokrasi bermula ketika baru landing di negara muslim, sehingga mereka dapat menguasai pejabat-pejabat tertinggi dalam negara muslim. Tidak percaya, lihatlah reality hari ini. Berapa ramai orang asing dari china maupun dari india yang bersuara lantang dalam parliment di negara jazirah melayu.

Demikianlah kelakuan orang-orang kafir, tak kira itu kafir dari china maupun dari amerika. Hanya sannya, bijak amerika menggunakan talibarut orang tempatan dan mendukung dengan kekuatan militer dari belakang, seperti di afghanistan, di iraq, di libya, di saudi, di mesir, dan di filipina. Sedangkan china, mereka langsung turun tangan sendiri.

Maka dari itu, perjalanan abad 21 ini terbukti perkembangan kekuasaan china lebih meningkat dari pada pengaruh kekuasaan amerika. Bahkan, indonesia negara muslim terbesar di dunia di lihat lebih banyak mengambil hutang dari china melalui program  pembangunan awam negara.

Ini lampu kuning dari selendang kuning. Waspada ! Wilayah muslim di asia tenggara tinggal sedikit. Jangan sampai terjadi seperti di palestina, yarussalem dan gaza berada di tengah pendudukan yahudi. Sehingga penolong dari luar pun susah untuk masuk membawa misi bantuan. Begitu juga dengan kita muslim asia tenggara, dulu kekuasaan muslim asia tenggara hingga ke memasuki daratan china. Sekarang, tinggal malaysia dan indonesia. 

Utara berbatasan dengan kerajaan budhis thailand dan Negara kristen filipina.
Barat berbatasan dengan Negara Hindu Hindia.
Timur berbatasan dengan negara kristen papua new gini.
Selatan berbatasan dengan laut pasifik dan negara kafir australia.

Serangan paling kuat dari utara dan dari barat. Kedua² penyerang ini adalah pemilik selendang kuning. Bukti, lihat sendiri di sekitar anda. Siapa yang handle projek mega dan patung siapa yang paling besar di negara kita.

Lampu kuning dari selendang kuning. 🤫

Melawan Atau Di Tindas.

Ini adalah Salah satu alasan rakyat aceh mau pisah dari NKRI.
Saya rasa, jiran pun terasa hati dengan tajuk surat kabar ini.

Di indonesia di sebut hukum perdata atau pidana.
Di malaysia di sebut hukum atau undang² sivil.
Di arab di sebut undang² jinayah.

Namun, istilah jinayah lebih tertuju kepada hukum islam. karena ini istilah dalam kitab ummat .

Sibak Rukok Teuk.

Berseni, unik, memancing senyum terkulum (minimal geli hati), kreatif dan gratis, eh—sorry—maksud saya kreatif dan layak miliki. Ada di stand Kanot Bu, arena Piasan Seni, Taman Sari, Kota Banda Aceh.

Nyaris semua orang Aceh tahu apa nuansa dan makna yang diusung oleh kata-kata yang ada di logo oblong ini. Semoga tak ada pihak yang sakit hati. Semua kita—bukan hanya Anda, saya dan paramuda yang kreativitasnya tertuang di dada T-Shirt ini—ikut merasakan apa akibat thesis keramat itu.

Tapi itu telah menjadi masa lalu. Semuanya telah terbang dan melayang. Semuanya telah absurd. Anda tidak dapat menggenggam apa-apa lagi, kecuali—barangkali—hanya tersisa pada selembar kaus oblong berlambang rencong merokok dengan tulisan "Sibak Rukok Teuk" ini.

Ayo, mari kita miliki agar, walau kita dikenal dunia sebagai orang-orang yang suka berperang, namun tak sampai kehilangan jatidiri sebagai bangsa yang menghargai bakat humor yang tinggi.

Di tulis oleh Musmarwan Abdullah

Ikrar Lamteh

ESENSI SEJARAH "IKRAR LAMTEH" DAN NASIB "MOU HELSINKI" TERUS DIKEBIRI

Memang benar bahwa sekarang tidak ada lagi letupan senjata atau moncong bedil yang dipertontonkan setiap hari seperti masa konflik dulu. Namun perlu diingat bahwa perjanjian damai belum tegak selama butir-butir yang telah disepakati pihak GAM dan RI belum terealisasi. Satu demi satu janji MoU terus dikebiri dengan berbagai bentuk rasionalisasi, 14 tahun lalu ini ibarat janji sepasang insan ketika sedang dilanda asmara. 

Apakah nasib MoU Helsinki yang dilakukan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia yang ditandangi di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam akan berujung seperti perjanjian Ikrar Lamteh pada tahun 1957 lalu?

Kita kembali sejenak ke sejarah DI/TII Aceh masa lampau. Ketika itu perang terus berkecambuk, Soekarno diyakini sudah menawarkan jalan tengah melalui sikap damai kapada Tgk Daud Beureueh. Namun pimpinan DI/TII Aceh itu memilih untuk terus berperang dan bergerilya di hutan Aceh. Meski demikian, peristiwa DI/TII Aceh berakhir dengan adanya perjanjian Ikrar Lamteh, sehingga Aceh tetap berada dalam wilayah Indonesia.

Perjanjian Ikrar Lamteh itu pernah terjadi antara Aceh dan Indonesia tapi tanpa difasilitasi oleh pihak ketiga berbeda dengan MoU Helsinki, namun esensinya adalah sama. Aceh pernah hilang kepercayaan kepada Republik Indonesia karena persoalan pelanggaran perjanjian, yaitu “Ikrar Lamteh” sebagai ikrar damai untuk menghentikan permusuhan. 

Ikrar Lamteh yang dicetuskan tanggal 7 April tahun 1957 itu berbunyi : “Kami putra-putra Aceh, di pihak manapun berada akan berjuang bersungguh - sungguh untuk: Menjunjung tinggi kehormatan agama Islam, Menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh.”

Usai berdamai dengan kubu DI/TII yang dipimpin Daud Beureueh, Jakarta berjanji akan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa. Pada masa itu pemerintah memberikan status keistimewaan untuk Aceh, namun kenyataannya Aceh tidak pernah mendapat perlakuan istimewa dari pusat.

Akibat ingkar janji itu, Aceh kembali bergejolak, sekitar 1976, yang ditandai dengan deklarasi Aceh Merdeka oleh Hasan Muhammad di Tiro. Pada 1989, Jakarta memberlakukan Operasi Jaring Merah untuk menindak aktivis Aceh Merdeka. Gejolak pada fase ini, pemerintah tak berhasil mengambil hati masyarakat Aceh, sehingga pemberontakan kembali berkobar. Sehingga timbul gejolak fase ketiga. Dari pemberontakan fase ini kemudian berlanjut dengan perdamaian antara pemerintah dengan GAM.

MoU Helsinki adalah kesepakatan damai Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005 merupakan bagian dari “Perjanjian Internasional,” karena para pihaknya adalah subjek hukum internasional. Kesepakatan ini berbentuk “Treaty Contract”, yang berlaku terbatas bagi pihak yang mengadakan dan dasar dari kesepakatan itu adalah “Pacta Sunt Servanda” sebagai ajaran moral.

Jika terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan damai RI-GAM (MoU Helsinki), maka penyelesaian yang dapat ditempuh adalah sesuai pengaturan MoU Helsinki itu sendiri, yakni diselesaikan oleh pihak Misi Monitoring. Apabila tidak tercapai hasil, maka Direktur Eksecutif CMI harus turun tangan. 

Terkait dengan surat pembatalan Qanun Bendera dan Lambang yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri RI dinilai oleh banyak pihak sebagai sebuah bentuk pengkhianatan untuk Aceh. Pembatalan sepihak ini berada di luar prosedur dan tidak melalui makanisme serta tidak pernah dimusyawarahkan dengan para pihak pelaku damai. Jangan sampai kebijakan ini mengulang sejarah seperti "Ikrar Lamteh" yang mengalami pengkhianatan diujung. 

Berbeda dengan kasus masa lampau, kini kejadiannya seperti adanya indikasi bahwa ketika Jakarta tidak mampu melaksanakan isi perjanjian tersebut, maka cara yang paling ampuh adalah membolak- balikkan fakta dengan rasionalitas melalui propaganda - propaganda yang tidak wajar sebagai alasan untuk menghapus ataupun menganulir poin-poin kesepakatan damai yang menjadi tanggungjawabnya. Hal ini terlihat jelas melalui penggunaan instrumen hukum sebagai skenario penggembosan tokoh-tokoh GAM melalui operasi intelijen, modus ini adalah cara yang paling tepat untuk rasionalisasi agar diterima oleh pikiran awam.

Tidak tertutup kemungkinan Dana Otsus Aceh akan dihentikan oleh Jakarta sebelum habis masanya dan bisa-bisa tidak akan ada perpanjangan lagi kedepan, hal ini terlihat melalui proses operasi penangkapan Gubernur Aceh dari tokoh GAM dengan tuduhan korupsi sehingga dapat dijadikan alasan sebagai bahan evaluasi bahwa pemanfaatan dana otsus tidak efisien. Propaganda yang diciptakan dengan cara pembunuhan karakter melalui media, memberi kesan bahwa Gubernur Aceh yang mengelola dana otsus itu melakukan korupsi. Padahal kejadian sebenarnya tidak seperti skenario yang diberitakan. 

Ketika Jakarta berhasil melancarkan propaganda pecah belah di Aceh, maka disinilah perselisihan antar sesama Aceh mulai muncul. Rakyat Aceh sudah mulai melupakan sejarah bahwa Aceh sekarang adalah buah dari hasil perjuangan yang menelan ribuan nyawa. Kita tidak ingin pengkhianatan itu kembali terulang diatas bumi Nanggroe Meutuah.

Ahad, 22 Ogos 2021

Malahayati : Komando Perang Perempuan Pertama Dunia.

 

 Laksamana Malahayati, pahlawan nasional Kerajaan Aceh. (Wikipedia)

Meskipun seorang perempuanMalahayati sejak kecil ingin menjadi seorang pelaut atau laksamana yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya. Ketika menginjak dewasa, ia diberi kebebasan untuk sekolah. Ia pun memililih masuk akademi angkatan bersenjata milik kasultanan bernama Mahad Baitul Maqdis. Akademi tersebut terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut.

Di akademi itu kemampuan militer Malahayati terasah. Di sana ia belajar banyak dari para pengajarnya yang merupakan para perwira dari Turki. Pada waktu itu Kasultanan Aceh Darussalam mendapatkan bantuan dari Kasultanan Turki Ustmani.

Di akademi itu pulalah, seperti dikutip dari Kompas.com, ia bertemu dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief. Mereka kemudian menikah.

Perjuangan Malahayati bermula dari peristiwa perang di perairan Selat Malaka. Pasukan kasultanan Acheh dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil yang dibantu dua orang laksamana, salah satunya Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief. Pertempuran yang berlangsung sengit tersebut dimenangkan oleh pasukan Kasultanan Aceh. Namun, suami Malahayati itu syahid dalam pertempuran tersebut.  

Tahu suaminya syahid, Malahayati pun berjanji akan menuntut balas dan meneruskan perjuangan suaminya. Malahayati kemudian meminta Sultan Al Makammil untuk membentuk armada Aceh yang semua prajuritnya merupakan wanita janda yang suaminya syahid dalam peperangan.

Dikutip dari situs Kabupaten Aceh Besar, setelah permintaan itu disetujui, Malahayati pun memimpin pasukan yang diberi nama Inông Balèe. Inông berati wanita, sedangkan Balèe artinya janda. Jadi Inông Balèe artinya adalah wanita janda.

Malahayati melatih para janda tersebut untuk menjadi pasukan Kasultanan Aceh yang tangguh. Bersama pasukannya, ia sering terlibat dalam pertempuran, baik melawan Belanda atau Portugis. Tidak hanya di Selat Malaka, tapi juga di daerah pantai timur Sumatra dan Malaya. 

Pasukan Inông Balèe juga membangun benteng dengan tinggai 100 meter dari permukaan laut. Tembok benteng itu menghadap ke laut lebar tiga meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu teluk. Selain memiliki benteng, pasukan wanita janda itu juga memiliki pangkalan militer yang terletak di Teluk Lamrèh Krueng Raya.

Dalam buku Perempuan Keumala (2007) karya Endang Moedopo, Malahayati disebut sangat gigih dalam berjuang karena menganggap bangsa penjajah yang datang telah merugikan kerajaan. Saat pertempuran pada 1599, pasukan Inông Balèe yang dipimping Malahayati secara mengejutkan mampu mengalahkan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.

Salah satu aksi heroik yang dilakukan Laksamana Malahayati adalah saat ia berhadapan dengan Cornelis de Houtman di atas geladak kapal pada 11 September 1599 dan berhasil membunuhnya. Cornelis de Houtman merupakan penjajah Belanda pertama yang menjejakkan kaki di Nusantara. Menurut catatan sejarah, Cornelis de Houtman tewas setelah kena tikam rencong Laksamana Malahayati.

Perjuangan Laksamana Malahayati yang gigih melawan penjajah bersama Inông Balèe harus terhenti pada tahun 1606. Saat pertempuran Inông Balèe melawan Portugis di periaran Selat Malaka, Laksamana Malahayati syahid.

Jasad Laksamana Malahayati kemudian dimakamkan di Desa Lamrèh, Kecamatan Majid Raya, Kabupaten Aceh Besar, sekitar 35 kilometer dari ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau pusat Kota Banda Aceh. Makam laksamana Malahayati berada di puncak bukit kecil sebelah utara Desa Lamrèh.

Laksamana Malahayati baru resmi dinyatakan sebagai pahlawan nasional pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ia mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 2017 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Padahal sama-sama kita tahu, Malahayati adalah pahlawan kerajaan aceh di abad 15. Dimana ketika itu perancangan untuk mendirikan indonesia belum ada sama sekali. Bahkan, soekarno pelopor kemerdekaan indonesia pun lahir pada awal abad ke 19. Dan perjuangan mendirikan indonesia adalah pada pertengahan abad 19.

Masa Kejayaan Kerajaan Aceh.

Masa Kejayaan Kesultanan Islam Aceh Darussalam dibawah Pimpinan Sultan Iskandar Muda. 
----------------------------
Nonton Video, Klik Di Sini
-----------------------------
[Tambahan] Aceh pada awal abad ke-17 Masehi dilanda konflik. Selain ancaman dari Portugis, situasi kerajaan juga sedang guncang. Pemimpin Aceh Darussalam kala itu, Sultan Alauddin Riayat Syah, dikudeta anaknya sendiri pada 1604 yang kemudian menduduki takhta dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah.

Penguasa baru ini bertabiat buruk dan membuat Aceh semakin terpuruk. Djokosurjo dalam buku Agama dan Perubahan Sosial (2001) menyebut bahwa kepemimpinan Sultan Ali Riayat Syah merupakan periode yang penuh dengan kekacauan internal. 

Dalam situasi ini, muncullah sosok anak muda bernama Perkasa Alam. Pemuda yang masih berstatus pangeran ini menunjukkan rasa tidak puas terhadap Sultan Ali Riayat Syah. Perkasa Alam pun melancarkan perlawanan. Namun, Perkasa Alam ditangkap dan dipenjara. Dari dalam jeruji besi, ia memberikan penawaran kepada Sultan Ali Riayat Syah yang saat itu memang sedang risau karena tekanan Portugis.

Perkasa Alam menawarkan, jika dibebaskan dan diberi perlengkapan senjata serta sedikit pasukan, ia berjanji dapat mengusir Portugis dari tanah rencong. Sultan Ali Riayat Syah yang sudah kewalahan menghadapi Portugis menerima tawaran itu.

Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa (2005) memaparkan, Perkasa Alam mengerahkan anak-anak muda Aceh untuk melawan Portugis. Hasilnya, orang-orang semenanjung Iberia itu dapat diusir dari bumi Serambi Makkah pada 1606 (hlm. 280). Kemenangan atas Portugis ini juga membuat nyali Belanda dan Inggris ciut.

Tak lama setelah itu, Sultan Ali Riayat Syah mangkat. Perkasa Alam muncul sebagai kandidat terkuat sebagai penggantinya. Selain dikenal cakap dan pemberani serta didukung tokoh-tokoh adat berpengaruh, ia juga masih keturunan dari Sultan Alauddin al-Qahhar, penguasa Kesultanan Aceh era 1537-1571. Maka, pada 1607 itu, Perkasa Alam dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang baru. Setelah bertakhta, Perkasa Alam dikenal dengan nama Sultan Iskandar Muda.

Militer Aceh Darussalam kala itu sangat kuat. Angkatan lautnya dilengkapi kapal-kapal tempur beserta meriam. Angkatan daratnya juga luar biasa; terdiri dari puluhan ribu prajurit, pasukan berkuda, hingga pasukan gajah.

Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia (2011) mengungkapkan, gajah perang yang dimiliki Sultan Iskandar Muda tidak kurang dari 900 ekor. Gajah dianggap bagian yang amat penting dalam pasukan Aceh, juga merupakan lambang kedudukan tinggi (hlm. 112).

Aceh yang semakin perkasa di bawah kendali Sultan Iskandar Muda membuat bangsa-bangsa asing berpikir ulang jika ingin menyerang. Portugis telah kalah meskipun sempat terlibat beberapa pertempuran lagi. Sedangkan Belanda terpaksa mengalihkan sasarannya ke wilayah lain di Nusantara selain Aceh, yakni Jawa dan Maluku.

Inggris juga merasakan kecemasan yang sama. Meskipun Kerajaan Inggris sempat berhubungan baik dengan Kesultanan Aceh di masa lalu, jika ingin lebih dari sekadar berdagang tentunya sangat sulit selama Sultan Iskandar Muda masih berkuasa. Kongsi dagang Inggris terpaksa bertahan di luar Aceh.

Hubungan Kesultanan Aceh & Kekhalifahan Turki Utsmani. 

Diikat oleh kesatuan Akidah yang kuat, Kesultanan Aceh Darussalam mengikatkan diri dengan kekhalifahan Turki Utsmani. Sebuah arsip utsmani berisi petisi sultan Alauddin Riayat Syah kepada Sultan Sulaiman Al Qanuni, yang dibawa oleh utusan Utsmani yakni Huseyn Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai kekhalifahan Islam. Dokumen tersebut juga berisi soal armada salib portugis yang sering mengganggu dan merampok kapal dagang muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh. Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke mekkah. Oleh sebab itu, Aceh meminta bantu Turki Utsmani untuk mengirim armada perangnya guna mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan portugis. 

Sepeninggal Sulaiman Al Qanuni yang kemudia digantikan oleh sultan Selim II yang segera memerintahkan Armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke Aceh.
-----------------------
Sumber : Osmanli Media

Khamis, 19 Ogos 2021

Koleksi Benda Antik Peninggalan GAM.


MoU Perdamaian GAM - RI atau di sebut MoU Helsinki, karena lahirnya di helsinki tepatnya di Firlandia pada 15 Ogos 2015, dua hari sebelum hari ulang tahun indonesia. 

Settingan yang bijak. :
15 Agust Teken perdamaian di firlandia, 
16 Agust Perjalanan Pulang ke indonesia
17 Agust Langsung pengibaran merah putih seluruh aceh yaitu hari ulang tahun NKRI.
Maka rakyat aceh berkata :

"15 Agust damai, 17 agust aceh jadi NKRI"

Asal matan kitab MoU perdamaian ini dalam Bahasa Inggris, atau bahasa pihak ke tiga dalam perdamaian aceh dan indonesia.

Di bawah ini adalah versi bahasa indonesia atau bahasa salah satu dari dua pihak yang berdamai. Dalam versi bahasa aceh mungkin belum ada atau memang tidak akan ada. Karena, perjanjian ini seolah-olah bersifat sementara sebagaimana perjanjian oslo antara israel dan palestina.

Apa-apa pun kita berharap, pihak penulis acheh dapat menterjemahkannya dalam bahasa sendiri untuk mengisi album sejarahnya masing².

MoU helsinki Versi indonesia :

Halaman 1.
Halaman 2.
Halaman 3.
Halaman 4.
Halaman 5.
Halaman 6.

Halaman 7.
Halaman 8
Halaman 9.

Halaman 10.
Halaman 11.

Inilah hasil koleksi saya benda pra sejarah yang saya dapati di alam ghaib(maya).

Yang menginginkan file pdf, boleh hubungi ana di Email Muhajir_lsm18@yahoo.co.id. 

Isnin, 16 Ogos 2021

DUA BUKU SEJARAH ACEH YANG MESTI DI MILIKI OLEH PEMUDA ACHEH.

Di tulis oleh Nab Bahany
Pertanyaan awalnya, apa yang membedakan buku "Aceh Sepanjang Abad" yg ditulis H. Muhammad Said, dan diterbitkan pertama kali tahun 1961, dengan buku "Tarikh Aceh dan Nusantara" yang ditulis H.M. Zainuddin, yg diterbitkan pertama kali juga tahun 1961.

Dua buku yg tergolong maha karya tentang sejarah Aceh ini, sampai hari ini setahu saya, belum ada satu orang pun (sarjana sejarah), yg mencoba utk membandingkan (membedah) kedua isi buku yg sangat momental dlm menulis tentang sejarah Aceh ini. Ini menarik utk diperbincangkan dlm memahami sejarah Aceh secara lengkap.

Belum sah rasanya, ketika seseorang menulis sejarah Aceh dlm berbagai aspeknya, apa bila belum mengutip buku "Aceh Sepanjang Abad" (Muhammad Said) dan buku "Tarikh Aceh dan Nusantara" (H.M. Zainuddin).

Sebab, walau bagaimana pun, dua buku ini adalah buku rujukan awal dlm memahami sejarah Aceh. Apa lagi dua buku ini masing-masing ditulis dgn periodesasi yg sangat lengkap, mulai dari awal sejarah Aceh hingga berakhirnya perang Belanda di Aceh. 

Ini jelas teruraikan dlm "Aceh Sepanjang Abad" karya Muhammad Said. Itu sebabnya, Muhammad Said membagikan "Aceh Sepanjang Abad" itu dlm 2 jilid. Jilid pertama, berisikan dari sejarah awal mula Aceh hingga hingga berakhirnya kesultanan Aceh. 

Jilid 2 "Aceh Sepanjang Abad" lebih kepada pembahasan perang Belanda di Aceh, dgn sumber dan tokoh-tokoh perang Aceh yg sangat lengkap. Sejauh yg saya pelajari Muhammad Said dlm menulis "Aceh Sepanjang Abad" tergolong sangat objektif.

Lalu bagaimana dgn maha karya "Tarikh Aceh dan Nusantara" yg ditulis H.M Zainuddin. Setelah saya pelajari, antara "Tarikh Aceh dan Nusantara" dgn "Aceh Sepanjang Abad", adalah dua buku sejarah Aceh yg saling melengkapi kekurangan dan kelebihan.

Cuma sayangnya, buku "Tarikh Aceh dan Nusantara" yg ditulis H.M Zainuddin jilid ke 2 nya tdak sempat dicetak. Nakah "Tarikh Aceh dan Nusantara" jilid 2 yg sebenarnya sdh siap naik cetak tiba-tiba Rumah H.M Zainuddin di Medan terendam benjir. Naskah "Tarikh Aceh dan Nusantara" yg masih dlm bentuk tensilan itu hilang dlm banjir tersebut. 

Hal itu saya tahu ketika saya mencetak ulang "Tarikh Aceh dan Nusantara" jilid 1 dlm edisi ejaan yg kita sempurnakan tahun 2011, yg  diterbitkan oleh lembaga saya, yaitu Lembaga Studi Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat (LSKPM) Aceh.

Utk cetak ulang "Tarikh Aceh dan Nusantara" tahun 2011, saya harus minta izin pada ahli waris H.M Zainuddin di Medan, termasuk membayar royalti sekaligus kpd ahli waris, yaitu bapak Husni Zainuddin (anak H.M Zainuddin) di Medan.

Waktu itulah, pak Husni Zainuddin menceritakan soal naskah "Tarikh Aceh dan Nusantara" jilid 2 yg tdk sempat dicetak, kerana tensilan naskahnya hilang saat rumahnya di landa banjir.

"Semua naskah "Tarikh Aceh dan Nusantara" jilid 2, yg sebenarnya sdh siap dicetak, saya yg ketik," jelas Husni anak H.M Zainuddin pada saya saat itu.

Sayang sekali memang, sekiranya naskah "Tarikh Aceh dan Nusantara" jilid 2 itu saat itu sempat dicetak, betapa sangat membatu referensi kita dlm memahami sebuah periodesasi sejarah perang Belanda di Aceh.

Karena, dlm "Tarikh Aceh dan Nusantara" jilid 2 itu, H.M Zainuddin mengupas periodesasi sejarah Aceh dari sejak Belanda menduduki Aceh, hingga masuknya Jepang sampai Indonesia Merdeka.

Tapi, terlepas dari itu, yg jelas buku "Aceh Sepanjang Abad" dan buku "Tarikh Aceh dan Nusantara" adalah dua buku penting yg harus dibaca oleh siapa saya yg hendak berbicara soal sejarah Aceh.

AKHIRNYA ISU KEBANGKITAN ISLAM KE II PUN REDUP DI INDONESIA

Di tulis oleh Nab Bahany

Kalau Anda pernah mengikuti isu kebangkitan Islam kedua di tahun-tahun 1990-an, yg saat itu diperkirakan Indonesia akan menjadi pelopor dari pusat kebangkitan Islam kedua mengawakili Asia Tenggara di dunia. 

Tentu Anda pasti tau, kenapa kemudian isu kebangkitan Islam kedua yang akan diperankan oleh umat Islam Indonesia ini jadi meredup, seiring dihembuskannya krisis moneter 1997, dan Indonesia saat itu menjadi negara terparah dari krisis moneter itu, hingga berujung pada jatuhnya Presiden Suharto.

Nah dalam tinjauan itulah, di tahun 1996-1997, saya menulis sebuah perjalanan sejarah pergumulan idiologi pembaharuan Islam di Indonesia. 

Karena utk sampai pada isu kebangkitan Islam kedua, yg diperkirakan saat itu umat Islam Indonesia akan menjadi pelopor dari kebangkitan Islam kedua ini, kita harus melihat lebihbdulu sejarah pembaharuan Islam yg terjadi di Indonesia.

Baik tokoh-tokoh dari gerakan pembaharuan Islam Indonesia, maupun pergumulan pemikiran permaharuan Islam yg pernah terjadi di Indonesia. Artinya, dgn melihat sejarah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia itu, apakah umat Islam Indonesia berkepampuan utk memimpin kebangkitan Islam kedua sebagaimana yg diisukan waktu itu.

Jawaban atas pertanyaan itu ada dalam tulisan ini. Meskipun tulisan ini saya buat di tahun 1996, namun tulisan ini baru saya publikasikan pd tahun 2012 di "Harian Aceh", yg dimuat dua hari berturut-turut secara bersambung satu halaman penuh setiap pemuatannya. 

Dan yg dimuat di Harian Aceh ini, telah saya sarikan dari kesuluruhan  naskah yg saya tulis sebanyak 68 halaman ketikan. Karena ini menyangkut sejarah pergumulan pemikiran idiologi  gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, insya Allah bila ada Rezki dan Allah mengizinkan, naskah ini akan saya cetak utk jadi buku.

MENGAPA HARUS REVOLUSI MENTAL ?

Di tulis Oleh Nab Bahany
Apa yang salah dengan mental bangsa ini? Sehingga, Presiden Jokowi pada awal periode pertama 2014  memimpin Indonesia, harus menyerukan revolusi mental bagi bangsa Indonesia. 

Apakah mental kita sebagai bangsa Indonesia sudah demikian bobrok? Kalau memang itu kenyataan dalam kita berbangsa dan bernegara, yang tak lagi taat pada aturan, tak lagi menjunjung tinggi nilai moral dan etika.

Maka, mungkin revolusi mental yang diserukan Presiden Jokowi di awal jilid pertama kepemimpinannya dulu, harus menjadi program dari pembangunan manusia Indonesia yang sudah lama sekali terabaikan.

Merevolusikan mental bangsa--bila dianggap sudah demikian bobrok--bukanlah sebuah slogan harapan kosong. Rakyat menunggu perubahan, untuk keluar dari kejunuhan dan sikap apatisnya terhadap penyelenggaraan negara yang solit dan berwibawa.

Maka revolusi mental bagi sebuah bangsa bukan retorika, tapi sebuah gerakan nyata yang memerlukan konsep dan strategi kebudayaan, yang mengarah pada penyadaran seluruh komponen bangsa, untuk kembali ke dasar tujuan berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini.

Demikian inti dari tulisan yang saya buat tahun 2015, dalam mengkritisi "program revolusi mental" bangsa, yang diserukan Presiden Jokowi di awal jilid pertama kepemimpinannya dulu. Lalu apakah gerakan revolusi mental yang diserukan presiden Jokowi saat itu sudah berhasil atau tidak, semua itu terpulang kepada publik untuk menilainya.
--------------------------

Dan tulisan ini telah disiarkan di Mingguan "Pikiran Merdeka", edisi 99, 23-29 Novemver 2015.

INMEMORIAM DR. MUHAMMAD GADE ISMAIL, MA

Di tulis oleh Nab Bahany

(Biarlah Rahasia Sejarah Aceh Saya Bawa Mati)

Sebelum meriwayatkan kenangan lebih jauh dgn Dr. M. Gada Ismail semasa hidupnya, lebih dulu saya menyampaikan Alfatihah 3 x kepada almarhum, semoga almarhum menjadi tamu Allah yang agung di alam sana.

Dr. M. Gade Ismail adalah guru saya, mitra kerja,  dan teman diskusi ilmu sejarah yg sangat teguh pada keilmuannya. 

Suatu hari, usai Salat Subuh di tahun 2000, sebuah rumah di Gampong Pineung, Banda Aceh, rumah itu tiba-tiba dideringkan oleh suara panggilan telepon. Sang pemilik rumah langsung mengangangkatnya. Dalam pembicaraan telepon itu, sang penelpon meminta agar yg menerima telepon, dimohon bersedia utk menduduki jabatan Asisten Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia di Jakarta.

Rumah yg ditelepon itu tak lain adalah rumah Dr. Muhammad Gade Ismail, MA, seorang sejarawan Aceh yang dikenal kritis. Ia Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala. Doto Gade--panggilan akrap utk sejarawan ini--punya kebiasaan suka menceritakan pengalamannya pada orang yg dianggap layak diceritakan.

Termasuk cerita saat Doto Gade menerima telepon dari Jakarta, yg memintanya utk bersedia menjadi Asisten Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia tahun 2000.

Saat itu, Dr. Gade mengatakan, bila ia menerima tawaran utk jadi Asisten Menteri, secara finansial mungkin tak ada masalah lagi. Paling tidak, mobil mewah, rumah dinas mewah, gaji besar sebagai Asisten Menteri sdh disediakan bagi dirinya di Jakarta.

"Tapi masalahnya, kalau tawaran itu saya terima, dan saya sdh jadi Asisten Menteri, sudah pasti saya tak lagi akan menjadi 'si Muhammad Gade' seperti ini. Maksudnya, bila Dr. Gade menerima jabatan jadi Asisten Menteri, ia khawatir sudah pasti tak bisa lagi berfikir sebagai sejarawan dan ilmuan sejati.

"Itu sebabnya, saya sudah putuskan utk menolak jadi Asisten Menteri. Biarlah saya menjadi diri saya sendiri, menjadi Doto Gade seperti yang dikenal masyarakat saat ini", kata Dr. Ilmu sejarah lulusan Leden Univercity Belanda.

Pesan Tgk. Daud Beureueh

Ketika hendak meneruskan sekolah S-3 ke negeri Belanda, M. Gade Ismail diajak oleh seseorang utk menemui Tgk. Muhammad Daud Beureueh di Beureunun, Pidie. Orang yg mempertemukan Dr. Gade dgn Abu Daud Beureueh memperkenalkan Doto Gade pada Abu Beureueh: "Nyoe Muhammad Gade geutanyoe Abu, dari Unsyiah. Gop nyan geuneuk Jak sikula program Doktor u Beulanda". 

Saat itu Abu Daud Beureueh hanya memberikan nasehat singkat pada Dr. Gade (saat itu belum Doktor). "Nyoe lon peugah bak gata Aneuk. Tajak sikula beurangkaho jeuet. U nanggroe kafe sekalipun hana masalah. Nyang peunteung, pue nyang tameureunoe sideh, meunye puteh dipeugah sideh, atee tawoe keu noe puteh tapeugah, meunan syit meunye itam dipegah sideh, atee tawoe keunoe  u Aceh itam tapegah, nyan kejujuran 'eleumee", kata Daud Beureueh pada Dr. Muhammad Gade.

Ternyata, nasehat Abu Daud Beureueh benar menjadi pegangan bagi Dr. Gade dlm mengamalkan keilmuannya  semasa hidupnya. Saya termasuk salah seorang yg pernah belajar banyak pada Dr. M. Gade Ismail dlm memahami ilmu sejarah kritis. 

Suatu ketika, Dr. Gade menceritakan pada saya, bahwa selama delapan tahun ia di Belanda, tiap harinya ia mempelajari dokumen-dokumen sejarah Aceh yg tersimpan di perpustakaan Leden. Banyak sekali rahasia-rahasia sejarah Aceh yg ia temukan di sana.

Akan tetapi, rahasia sejarah Aceh ini, kata Dr. Gade, belum bisa ia ungkapkan secara transparan. Mengingat situasi Aceh saat itu (di era-era 1990-an) sedang dlm situasi konflik yg sangat parah dan sangat riskan membicarakan sejarah Aceh.

"Saya khawatir, bila semua rahasia sejarah Aceh saya ungkapkan dlm situasi konflik saat ini, suasana Aceh akan bertambah panas. Dan bila rahasia sejarah Aceh ini kita buka secara transparan, mungkin semua orang Aceh akan kembali mengasah parang utk berperang", kata Dr. Gade Ismail.

Tapi pada saatnya, kata Dr. Gade, ia akan ungkapkan semua rahasia sejarah Aceh ini, biar semuanya tahu apa sebenarnya yg sedang terjadi di Aceh. "Kalau pun saya tidak sempat mengungkapkan rahasia sejarah Aceh itu, biarlah semua rahasia sejarah Aceh ini akan saya bawa mati", kata Dr. Gade semasa hidupnya. 

Tentu saja, kita bertanya-tanya. Rahasia apa sebenarnya tentang sejarah Aceh yg hendak diungkapkan Dr. M. Gade Ismail ini. Tidak ada lagi tempat kita bertanya, karena beliau telah lebih dulu menghadapNya di tahun 2000. Beliau pergi utk selamanya dgn membawa rahasia sejarah Aceh yg belum sempat beluau ungkapkan kepada kita semasa hidupnya.

Inging Menghadiahkan Sebuah Kamera

Suatu hari di tahun 2000, setelah kami ngopi di warung Solong Uleekareng, Dr. Gade mengajak saya ke rumahnya di Gampong Pineung Banda Aceh. Setibanya di rumah, Dr. Gade mengajak saya untuk melihat perpustakaannya di lantai 2. Masya Allah, perpustakaan yg sangat besar dan lengkap utk sebuah perpustakaan pribadi seorang ilmuan.

Setelah itu kami kembali ke lantai dasar. Dan ngobrol soal perpustakaan yg sudah disiapkan. "Setelah saya nanti tdk sibuk lagi mengajar, saya akan habiskan usia saya diperputakaan itu utk saya menulis", kata Dr. Gade.

Namun di tengah kami ngobrol santai hari itu, datanglah beberapa tamu ke rumahnya. Hingga obrolan saya dgn pak Gade itu terhenti, melayani pembicaraannya dgn tamu.
Dan beberapa tamu itu adalah orang dari Unsyiah yg sedang bekerja mempromosikan Dr. M. Gade Ismail sebagai calon kuat dlm pemilihan dekan FKIP Unsyiah saat itu.

Karena hari itu saya ada kepentingan lain, maka setelah satu jam lebih saya ikut nimbrung dlm pembicaraan itu, akhirnya saya minta pamit lebih dulu sama  Dr. Gade bersama tamu di rumahnya. "Baik, nanti sore habis asar kita jumpa lagi di warung Solong", kata Dr. Gade pada saya.

Sesuai pesan, habis asar saya sdh ada di warung solong Uleekareng. Sebentar kemudian Dr. Gade datang bersama dua rekannya, kami duduk satu meja. Begitu Dr. Gade duduk langsung mengatakan kepada saya:

"Lon pakat gata bunoe urumoh, lon neuk jok kamera saboh keugata, kamera lagak that ata lon puwoe di Belanda, ngat tapakek-pakek le gata, karena ilon hana lon pih pakek", kata Dr. Gade pada saya.

Atau meunoe Mantong, kata Dr. Gade lagi, singeh kameranyan lon peuduek lam moto, atee meurumpok gata inoe lon jok. "Jeut pak, terimakasih", saya mengiyakan. 

Dua hari kemudian, Banda Aceh terus diguyur hujan, hingga jadwal ngopi ke Solong Uleekareng pun sempat terhenti, hingga Banda Aceh pada tahun 2000 itu terjadi banjir yg sangat besar. 

Hingga saya pun tdk sempat lagi bertemu dgn Dr. Muhammad Gade Ismail. Sampai beliau jatuh sakit dan dibawa berobat ke Medan sampai ajal menjemputnya. Beliau meninggal tahun 2000, di saat masyarakat Aceh masih sangat membutuhkan sosok sejarawan dan ilmuan sejati, seperti Dr. Muhammad Gade Ismail, MA ini.

Kesan lain yang saya temukan sosok tokoh sejarawan sejati ini, adalah kejenakaan beliau dlm menjelaskan sesuatu yg sangat serius, tapi sarat makna filosofisnya. 

Beliau kaya dgn perbandingan dan perumpamaan-perumpamaan dlm menjelaskan sesuatu pada kita, sehingga apa yg beliau jelaskan meski terkadang agak jenaka, dpt membuat kita lebih mudah mengerti apa yg beliau maksudkan. 

Nah, disini Dr. Gade mengari kita bagaimana menggunakan logika berfikir dlm menjelaskan sesuatu utk mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat.

Sekali lagi, Alfatihah kepada kepada almarhum Dr. Muhammad Gade Ismail. Semoga almalhum dilapangkan kuburnya dan menjadi tamu Allah yg istimewa di alam sana. Amin.

Aksara Brucong atau Rencong.

Di bawah ini di sebut-sebut aksara rencong oleh beberap pengkaji, sebagian darinya oleh Nab Bahany.


Di dalamnya ada syair syaikh Hamzah Fansuri, Yang di tulis dalam aksara brucong acheh.

Cuplikan komen Pembaca :

Hermansyah mengatakan "
Nab Bahany membalas :
Arya Purbaya membalas :

Adi Fa mengatakan "
Njan ban, semoga bermanfaat.

Ahad, 15 Ogos 2021

16 Tahun Perdamaian Aceh

Selamat  16 Tahun Hari Damai Aceh, 15 Agustus 2005 - 15 Agustus 2021.

Hari ini enam belas tahun yang lalu, setelah 30 tahun lebih Aceh berkonflik politik dan bersenjata dgn Republik Indonesia.

Entah berapa ribu nyawa menjadi syuhada. Kita ingat peristiwa demi peristiwa. Bagaimana sungai Arakundoe berubah merah dgn daerah, Simpang KKA nembabi buta, rumah gedung Arun juga tak pernah lupa, desa Cet Keng  Bandardua menjadi desa janda. Bantaqiah Beutong Ateuh disiram dgn senjata.

Kenapa kita mudah lupa. Seakan hari ini tak pernah tejadi apa-apa. Sehingga terkesan berfoya-foya di atas darah syuhada. Semestinya di hari damai tiap 15 Agustus sejak 2005, adalah hari berlangsungkawa bagi syuhada-syuhada yg telah tiada.

Benar, pejuangan selalu menuntut pengorbanan. Dan mereka telah memberikannya. Bukan hanya cinta, tangis, dan air mata. Nyawa telah dikorbankan utk masa depan anak negeri. Namun harapan cinta rangkaian janji, tangis dan air mata berubah jadi hampa.

Duhai Aceh, enam belas tahun hari ini engkau berdamai, kenapa engkau termiskin di Sumatera? Padahal sudah 60 triliun  dana Otsus dari Jakarta engkau kelola. Siapa yg berfoya-foya tega mengalih pembangunan rumah dhu'afa.

Aceh, hari ini 16 tahun sudah engkau ikrarkan damai, membangun anak negeri, yatim piatu dan perempuan-perempuan janda di gampong-gampong dan desa-desa, yang ayah-suaminya telah syuhada. Saat jam malam mendera, saat DOM membabi buta, engkau tak bedaya membela sesama saudara.

Maka biarlah semua luka nestapa itu tercatat dalam sejarah. Siapa yang benar dan salah dalam setiap perjuangan akan  terbukti di kemudian hari.

Di Tulis Oleh Nab Bahany

Jumaat, 13 Ogos 2021

Kerajaan Islam Aceh Nyaris Jadi Negara Yang Di Akui Oleh Lembaga Negara-Negara(UN)

”Abu Krueng Kalèe nyaris membuat Kerajaan Acheh menjadi sebuah negara yang di akui oleh lembaga global yang lahir setelah 1945, yang jauh lebih tua dari lahirnya kerajaan islam aceh. Berkat usaha Mr. Soekarnoe, maka terkandaslah aceh bersaing di peringkat global setelah perang dunia ke dua. Dan pada masa yang sama, kerajaan islam yang pernah berkuasa ini pun dapat dikuasa dan di atur oleh negara yang baru lahir yaitu indonesia. Pun tak lupa, dengan ini maka belanda dan musuh² kerajaan acheh yang pernah di kalahkan pada perang dunia kedua dapat terseyum lebar karena sekarang kerajaan islam ini tidak lagi berkuasa, sebab telah di kuasai oleh negara baru lahir yaitu indonesia, yang uga negara di bentuk oleh musuh kerajaan islam aceh(belanda).

Tgk. Muhammad Hasan bin Tgk H. Syeh Muhammad Hanafiah (Abu Hasan Krueng Kalee). Dan Ir. Soekarnoe
FOTO : Istimewa

TEUNGKU MUHAMMAD HASAN bin Tgk H. Syeh Muhammad Hanafiah bin Tgk. Syeh Abbas bin Tgk Syeh Muhammad fadhil bin Syeh Abdurrahman bin Faisal bin Ramah bin Al La’badah bin Al Hauraani Ibnu as sab’ah yang berkebangsaan Arab datang ke Aceh sekitar tahun 1564 adalah salah seorang ulama Aceh lahir pada tahun 1886 di Krueng Kalee Banda Aceh dan wafat tahun 1973 M.Abu Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Tgk. H. Muhammad Hanafi dengan Nyakti Hafsah binti Syeh Isma’il. Tgk Syeikh Abbas yang dikenal dengan sebutan Tgk H Muda Krueng Kalee yang juga ulama besar. Ayahnya tersebut pernah menjabat Qadhi kerajaan untuk wilayah XXVI Mukim.

Hampir semua masyarakat Aceh pernah mendengar nama Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, seorang ulama besar Aceh yang lahir di Gampong Langgoe Meunasah Keutumbu, Pidie pada 13 Ra’jab 1303 H bertepatan dengan tanggal 18 April 1886 M.

Dalam dunia pendidikannya, Ibunda Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee yang bernama Nyakti Hafsah binti Tgk Syeikh Ismail Krueng Kalee adalah guru pertamanya. Selain untuk diri Hasan, ibunya juga untuk mengajar mengaji untuk anak anak seusianya selama di pengungsian akibat agresi Belanda di Gampong Langgoe Muenasah Keutumbu, Pidie. Dan akhirnya setelah masa pengungsian usai, keluarga Tgk Muhammad Hasan  kembali ke Krueng Kalee.

Sejak kecil Tgk Muhammad Hasan mulai belajar ilmu dasar agama Islam, seperti fiqh, nahu, sharaf, tarikh Islam, hadits, tafsir dan ilmu lainnya pada Tgk Chik di Keuboek Siem, Aceh Besar yang juga kerabatnya. Kemudian dia juga berguru pada Tgk Chik di Lamnyong.Tgk Hasan juga dikenal dengan nama Abu Di Yan, nama tersebut mengacu pada daerah Yan, Keudah Malaysia sebagai tempat ia menuntut ilmu selanjutnya. 

BACA JUGA: Suatu Ketika Hasan Tiro Pernah Memberi Amanah, 'Siapa yang Akan Memimpin Setelah Dirinya Tiada'

Di lembaga pendidikan  bernama Madrasah Al Irsyadiyah al-Diniyah di Kampung Acheh Yan, Keudah. Lembaga pendidikan tersebut didirikan pada tahun 1902 oleh Tgk Muhammad Arshad ie Leubeu yang akrab di kenal dengan Tgk Di Bale’. Di lembaga pendidikan Islam tersebut Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee tergolong murid generasi pertama.

Setelah belajar di Malaysia, diusia 23 tahun Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee berangkat ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji serta bermaksud melanjutkan pendidikan tingginya di Masjidil Haram. Sebelum berangkat ke Mekkah, Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee pulang ke Aceh untuk berpamitan dengan keluarga dan mengajak adik kandungnya Tgk Abdul Wahab belajar disana. Enam bulan di Arab Saudi, Tgk Abdul Wahab meninggal dunia dan Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee tetap bertahan melanjutkan pendidikannya hingga usai.

Itulah sedikit dari banyak kisah yang ada dalam buku Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee yang ditulis oleh tiga alumnus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar  Raniry, yakni Mutiara Fahmi Razali, Muhammad Faisal Sanusi dan Qusaiyen Aly As Su’udi. Buku tersebut dicetak pada tahun 2010 lalu.

Selain tentang pendidikan, Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee dalam buku tersebut sarat dengan informasi lain seputar kehidupan ulama besar Aceh ini, antara lain seputar rumah tangganya, penghargaan yang pernah ia peroleh, kiprahnya dalam politik dan pendidikan di Aceh. Disana juga berkisah tentang arah perjuangan dan nilai-nilai keteladanannya selama Tgk Hasan Krueng Kalee hidup.

Muhammad Faisal Sanusi  seorang penulis yang dijumpai langsung AtjehLINK pada Sabtu (23/03/2013) di Dayah Darul Ihsan mengatakan bahwa awalnya tidak ada niat untuk menulis buku, namun hanya sekedar ingin mengetahui tentang Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee saja.Dalam perjalanannya, Faisal Sanusi dan dua rekan lainnya merasa harus mengumpulkan seluruh informasi tentang Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee karena banyak dari tulisan beliau yang menjadi referensi penulis sudah mulai tidak terawat.

Melihat kondisi ini, penulis merasa perlu merangkum semua tentang kisah perjalanan seorang ulama besar Aceh yang sudah berjasa dalam membangun dan berkarya untuk Aceh. Sejak itulah niat menulis buku dimulai. Sumber bahan penulisan mulai dari orang-orang yang pernah mengetahui dan dekat dengan Tgk Muhammad Hasan semasa hidupnya, begitu juga dengan referensi lain yang pernah ditulis oleh Tgk Hasan sendiri atau orang lain.

Faisal menambahkan, selama ini sudah bayak buku biografi Tgk.Muhammad Hasan Krueng Kalee karangannya yang dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan dan untuk masyarakat yang ingin mempunyai buku tentang Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee dapat berkunjung langsung ke Dayah Darul Ihsan Siem, Kecamatan Darussalam, buku tersebut akan diberikan secara cuma-cuma. (zamroe)

Siapa Teungku Hasan?

Syaikh Teungku Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh 'Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli. Yang lebih dikenali sebagai Syaikh Hasan Krueng Kaleeatau Abu Krueng Kalee adalah salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama`ah kelahiran Aceh.Untuk pengetahuan, "teungku" adalah gelaran hormat masyarakat Aceh yang diberi kepada ulama, sebagaimana "teuku" pula diberikan kepada bangsawan atau pemimpin.

Beliau lahir pada tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie, Aceh. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.

Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di Krueng Kalee. Di sanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri.Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Yan Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk. 

Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh yang turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.

Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah semangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.

Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyie Al-Falaky.”
Sekembalinya dari Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian dijodhkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.

Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan Desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.Di tempat terakhir ini, Abu Krueng Kalee mulai menbgabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh, Di antara murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah :

1.     Teungku Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
2.    Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Bireuen. 
3.    Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh, 
4.    Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang 
5.    Tgk. Haji Adnan Bakongan 
6.    Teungku Hasan Keubok, ulama dan qadhi Aceh Rayeuk. 
7.    Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh. 
8.    Teungku Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara. 
9.    Teungku Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara. 
10.  Teungku Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timue. 
11.  Teungku Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timue. 
12.  Teungku Haji Muda Waly Labuhan Haji, pendiri Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan. 
13.  Tgk. H. Idris Lamreng (Ayah Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Rektor IAIN Ar-Raniry) 
14.  Teungku Syaikh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri Dayah Blang Pidie, Aceh Barat Daya 
15.  Syaikh Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara. 
16.  Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timue. 
17.  Teungku Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah Ulee Titie.

Pada tahun 2007, senin 7 Mei, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H. Sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah. 

Keempat ulamanya yaitu; Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Syaikh Hamzah Fansuri, Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee dan Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy ( Tgk H Muda Waly )
2
   Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan RI yang ketika itu baru seumur jagung.

Kiprah dalam Politik dan Organisasi Islam

Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafi dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.

Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama. 

Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.

Pada tanggal 1-2 Oktober 1932 ketika diadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar, Tgk.Haji Hasan Kruengkalee terlibat didalamnya. Pada kegiatan ini membicarakan masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan Islam. 

Ulama-ulama terkemuka hadir menjadi peserta pada kegiatan tersebut, diantaranya adalah Tgk H.Hasballah Indrapuri, Tgk H.Abdul Wahab Seulimum, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Tgk M.Hasbi Ash-Shiddiqy, Tgk Haji Hasan Kruengkalee, Tgk. H.Trienggadeng dan lain-lain sebagainya. Keputusan-keputusan yang diambil dari musyawarah pendidikan Islam tersebut adalah:

Tiada sekali-kali terlarang dalam agama islam kita mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan dengan syariat, malah wajib dan tidak layak ditinggalkan buat mempelajarinya.
Memasukkan pelajaran-pelajaran umum itu ke sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu.
Orang perempuan berguru kepada orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara.

Setelah proklamasi 17 agustus 1945, Tgk H.Hasan Krueng Kalee menandatangi sebuah pernyataan bersama mengenai perang kemerdekaan. Bersama tiga orang ulama besar yaitu Teungku haji Jakfar Siddiq Lamjabat, Teungku Haji Hasballah indrapuri dan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pernyataan itu menegaskan bahwa :

”Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut perang sabil.Maka percayalah wahai bangsaku bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh almarhum Teungku chik Ditiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. 

Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu, mengangkat langkah menuju ke muka untuk mengikut jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk keselamatan tanah air agama dan bangsa.”

Pernyataan tersebut tertanggal 15 Oktober 1945. untuk menggerakkan orang-orang dewasa dan orang-orang tua agar berjihat dalam satu barisan teratur, barisan sabil atau barisan mujahidin. Pada tanggal 25 Oktober Tgk Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting. Seruan ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim kepada para pemimpin dan ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan penting itu tersiar luas, maka berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahidin Devisi Teungku Chik Ditiro.

Pada masa itu Tgk Haji Hasan Krueng Kalee merupakan salah seorang penasehat Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), yaitu salah satu organisasi yang bertujuan untuk mendidik masyarakat melalui organisasi tersebut guna meningkatkannya menjadi wadah pendidikan yang lebih berdaya guna. Tetapi pada masa hangt-hangatnya perjuangan membela tanah air, organisasi ini menjadi pelopor dalam menggerakkan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, seperti yang dikemukakan oleh Prof. A. Hasjmy dalam salah satu tulisannya.

Pada awal tahun 1942 Pusa (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan Perti ( Persatuan Tarbiyah Islamiyah) menggerakkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Aceh, adalh hal yang logis karena para pemuda yang aktif dalam pemberontakan tersebut sebagian besar mereka yang telah ditempa iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah, yang sistem pendidikan dan kurikulumnya telah diperbaharui.Dapat diketahui bahwa hanya dua organisasi Islam yang tampil sebagai pelopor yang menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap penjajahan Belanda, meskipun banyak juga organisasi-organisasi lain yang mulai tumbuh di Aceh.

Dengan demikian para ulama tergabung dalam organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah maupun Perasatuan Ulama Seluruh Aceh, juga para pemuda yang telah ikut aktif dalam pemberontkan terhadap Belanda. Melalui wadah organisasi ini pula bersama-sama dengan ulama-ulama lain seperti disebutkan diatas Tgk Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa tentang perlunya seluruh rakyat berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan jalan jihad fi sabilillah, hal ini terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945.

Almarhum Tgk Haji Hasan Krueng Kalee juga telah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Tgk Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Haji Muhammad Daud Beureueh, Teungku Ja’far Lamjabat alias Teungku Syik Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri (Teungku Indrapuri).Dari uraian diatas jelas bahwa Tgk Haji Hasan Krueng Kalee, pada awal tahun proklamasi Republik Indonesia, beliau pernah mengeluarkan fatwa Aceh, tentang seruan jihad fisabilillah melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Indonesia merdeka bersama-sama ulama Aceh lainnya. 

Meskipun pada masa setelah kemerdekaan, mulai muncul organisasi islam yang lain, namun Tgk Haji Hasan Krueng Kalee tetap menyalurkan aktifitasnya melalui organisasi Perti.Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan masyarakat tampil kemedan perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. 

Mereka umumnya tergabung dibawah organisasi misalnya Pusa, pemuda Pusa, kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah, Perti, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya.Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan Uleeblang Aceh pimpinan Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Pada dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini. 

Abu Krueng Kalee salah seorang di antaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh dipenghujung tahun 1945 tersebut.

Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun dengungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di Serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Wallahu’alam. (DIPOSTING OLEH YASIRMASTER).

Abu Hasan Krueng Kalee adalah Ahli Falakiyah Aceh

Diantara guru-gurunya selama berada di Mekkah adalah syeh said Alyamani Umar bin Fadhil, Syeh khalifah, Syeh said Ahmad bin said Abibakar al Syattar addimyati, Syeh Abdullah Isma’il, Syeh Hasan Zamzami, Syeh Abdul Maniem dan Syeh Yusuf Annabhany. Abu hasan Krueng Kalee menetap di Mekkah selama tujuh tahun yaitu dari tahun 1909-1916 M. 

Disamping menguasai berbagai disiplin ilmu agama yang lazim dipelajari oleh ulama lain, Ia juga menguasai Handasatul Mutsallastaat (ilmu ukur sudut) dan ilmu falak (Astronomi). Dalam mempelajari ilmu falakiyah, beliau memiliki Rubu’al Mujayyab, suatu alat ukur yang sederhana dalam ilmu falakiyah, belia belajar ilmu ini  pada pensiunan Jenderal Turki Usmani yang telah bermukim di Mekkah diketika itu. 

Yang beminat menukuni ilmu falak dari nusantara waktu itu cuma abu Hasan Krueng Kalee dan Syeh Jamil Jaho dari Padang. Sehingga nama abu hasan Krueng Kalee dikenal dengan sebutan Syeh Muhammad Hasan Al Asyie al Falaky.

Dalam ilmu falak beliau menganut faham rukyatul hilal dan kriteria bulan bisa dilhat 6 derajat di atas ufuk mar’i. untuk menghindari komplik dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan wal Syawal, setiap tahun beliau mengeluarkan imsakiyah pribadi sebagai rujukan umat islam Aceh dengan standar jam kreta api waktu itu. 

Bahkan hasil hisabnya diakui pemerintah Belanda sebagai penentuan resmi awal puasa di Aceh pada masa penjajahan.Suatu ketika, seorang konteler (ahli ukur sudut ) Belanda yang ingin menguji kehebatan Abu Hasan Krueng Kalee dalam Ilmu Falakiyahnya dan ukur sudut datang menjumpai Abu di dayah menasah blang sambil minum air kelapa, kolonel itu bertanya berapa tinggi gunung yang terlihat jelas dari dayah,,? Setelah Abu memikir sejenak beliau langsung menjawab dengan benar dan diakui oleh kolonel Belanda tersebut. (sumber: media dakwah santi dayah edisi 10 / 2011 dengan penambahan dan pengurangan seperlunya).(OLEH: TGK. ISMAIL, S.Sy)

Sepak Terjang Abu Krueng Kalee
”Abu Krueng Kalee nyaris membuat Aceh menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri. Namun semuanya buyar setelah usulan itu tak diterima Daud Beureueh yang pada akhirnya ia sendiri tertipu janji palsu soekarno.

Sapaan akrab Abu Krueng Kalee jika bertandang ke Gampong Siem, Aceh Besar, mungkin tak asing lagi bagi masyarakat di sana. Tgk H Muhammad Hasan Krueng Kalee itulah nama aslinya yang kini telah bersemat megah di sebuah pondok pesantren: Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee. Pesantren itu juga dikenal dengan sebutan “Dayah Manyang”.Abu Krueng Kalee merupakan salah satu ulama kharismatik Aceh. 

Ia lahir pada 13 Rajab 1304 H/18 April 1886 M di Gampong Langgoe Meunasah Keutumbu, Mukim Sangeue, Kabupaten Pidie. Abu, begitu ia disapa, selain piawai dalam mengajarkan ilmu agama dan pendidikan, juga menjadi sosok ulama yang begitu peduli dengan keadaan politik dan sosial Aceh pada masa-masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Melihat sepak terjang Abu dan sejarah hidupnya memang sangat mengagumkan, khususnya bagi generasi Aceh yang ingin tahu banyak tentang kisah hidup ulama-ulama Aceh yang berjaya pada masanya.Abu Krueng Kalee menjadi ulama bukan karena diagungkan oleh masyarakat Aceh pada waktu itu, melainkan pengorbanannya pada Aceh yang begitu besar, sehingga ia diberi gelar “Ma’rifaullah” atau “al A’rif billah”. Gelar itu ia terima pada sebuah forum tingkat tinggi ulama se-Aceh, 5 Mei 2007, di Masjid Raya Baiturrahman.

Pada pertemuan itu para ulama Aceh telah sepakat, selain Abu Krueng Kalee, ada tiga ulama lainnya yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah. Dua di antaranya ulama terkemuka masa silam, yakni Syeikh Abdurrauf as Singkily dan Syeikh Hamzah al Fansuri dan Tgk H Muhammad Waly Al-Khalidy atau lebih dikenal dengan Tgk H Muda Waly—pendiri salah satu pesantren terkemuka di Labuhan Haji, Aceh Selatan.
  
Pandangan Politik Abu

Berbicara masalah politik (siyasah) bukan barang langka bagi Abu, terlebih setelah Indonesia merdeka. 

Abu piawai dalam mengambil berbagai keputusan politik di Aceh, karena didasari pada penguasaannya terhadap pelbagai ilmu sejarah, baik sejarah Islam (tarikh al Islamy) maupun dunia.Dari itu, Abu mampu mengkaji elemen-elemen sosial dan politik dalam menghadapi berbagai persoalan dan peristiwa yang muncul saat itu.Dalam biografi singkat “Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (1886-1973): Ulama Besar dan Guru Umat” yang diterbitkan Yayasan Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee disebutkan, pada hakikatnya seseorang yang ingin mendalami kandungan Alquran dengan baik dan benar, mutlak harus mengetahui Sirah Nabawiyah sebagai upaya mengambil suatu hukum dan i’tibar serta memahami dengan benar ilmu fiqh sirah.

Hal itulah yang dipraktikkan Abu dalam menghadapi berbagai peristiwa politik yang terjadi di Aceh dan nusantara semasa hidupnya.Perannya sebagai seorang ulama salafi dan sufi terkemuka, tidak membuatnya jauh dari berbagai persoalan-persoalan umat. Kiprahnya selalu hadir mengiringi setiap peristiwa yang muncul di sekelilingnya.Salah satu hal yang masih membekas pada rakyat Aceh adalah lahirnya “Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh” pada 15 Oktober 1945. 

Maklumat itu dicetak dalam bentuk selebaran dan dibagikan ke seluruh Aceh dan wilayah Sumatera.

Maklumat itu dikeluarkan di Kutaradja (Banda Aceh). Diprakarsai oleh empat tokoh ulama yang mewakili seluruh ulama Aceh, yakni Tgk H M Hasan Krueng Kalee, Tgk M Daud Beureueh, Tgk H Dja’far Siddik Lamjabat dan Tgk Ahmad Hasballah Indrapuri. Maklumat itu merupakan wujud dukungan ulama Aceh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan Presiden Soekarno.

Inti muatannya, maklumat berisi keyakinan para ulama yang bernilai fatwa: perjuangan mempertahakan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang sabil (jihad fi sabilillah) meneruskan perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Tgk Chik di Tiro dan pahlawan kebangsaan lainnya.

Legitimasi maklumat mewakili rakyat Aceh ini juga mendapat dukungan penuh dengan dicantumkannya atau diketahui oleh Teuku Nyak Arif selaku Residen Aceh dan disetujui oleh Tuwanku Mahmud (keturunan Sultan Aceh) selaku Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh (KNIDA).Tak lama setelah keluarnya Maklumat Bersama itu, Abu mengeluarkan seruan/maklumat tersendiri. Seruan yang sangat penting atas nama pribadinya pada 25 Oktober 1945. Isinya tak jauh beda dengan maklumat bersama.Seruan yang ditulis dalam bahasa Arab Jawi itu dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia).

Disertai surat pengantar yang ditandatangani Ketua Umum PRI, Ali Hasjmy, 8 November 1945 dengan Nomor 116/1945. Maklumat itu kemudian dikirim ke seluruh pimpinan dan ulama Aceh.

Adanya maklumat itu berdampak positif bagi pemerintahan RI. Berbagai dukungan fisik dan materil rakyat Aceh untuk membiayai perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak terbendung, sehingga saat kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Aceh, Juni 1948, dengan lantang Soekarno menyatakan bahwa Aceh dan segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.

Aceh Nyaris Berdiri Sendiri

Di Blang Padang, Banda Aceh, ada sebuah bangunan tua bekas pusat pemerintahan Belanda. Kini telah berubah wujud. Dijadikan SMA Negeri 1 Banda Aceh.Di ‘gedung setan’, sebutan rakyat Aceh waktu itu terhadap kantor Belanda (SMAN 1 Banda Aceh kini), menjadi saksi bisu fakta sejarah tanggal 20 Maret 1949. 

Di gedung itulah pertemuan penting para tokoh-tokoh di Aceh berlangsung, salah satunya Abu Krueng Kalee.

Pertemuan itu membahas isi sebuah surat tertanggal 17 Maret 1949 yang dikirim Wali Negara Sumatera Timur, DR Teungku Mansur ke Aceh. Saat itu Aceh merupakan provinsi yang dipimpin seorang Gubernur Militer dan Sipil yang membawahi wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dan surat itu berisi undangan kepada Tgk M Daud Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh untuk menghadiri rapat yang diberi nama “Muktamar Sumatera” untuk membahas pembentukan “Negara Republik Federasi Sumatera”.

Padahal, Muktamar Sumatera itu merupakan gagasan terselubung dari politiknya Gubernur Hindia Belanda Van Mook untuk memecah-belah wilayah Indonesia yang sudah memproklamirkan kemederkaannya bisa bubar. Van Mook melakukan itu karena seluruh wilayah di Indonesia saat itu telah berhasil diduduki Belanda pascaagresi militer ke II tahun 1948.Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah kepemimpinan Syahruddin Prawiranegara yang dibentuk atas perintah Soekarno, akhirnya harus pindah-pindah, yakni ke Yogyakarta, Bukit Tinggi, dan Aceh, karena kala itu ibukota RI di Jakarta telah diduduki Belanda serta sejumlah tokoh nasional dan termasuk Soekarno telah berhasil ditawan Belanda.

Hanya Aceh, satu-satunya yang sepanjang perang revolusi fisik (1945-1949) tidak berhasil diduduki Belanda, sehingga gagasan yang ditawarkan oleh Van Mook untuk bergabung dalam Negara Republik Federasi Sumatera (NRFS) akan membuat Indonesia pada akhirnya tak lagi berwujud.

Kepentingan Belanda untuk Aceh agar bergabung bersama NRFS sangat besar. Aceh dianggap Belanda telah menjadi daerah modal RI dan tak lagi memberi dukungan dan perjuangan untuk rakyat Indonesia ke wilayah lain.Suasana ‘gedung setan’ pun hari itu berlangsung panas. Terjadi perdebatan sejak jam 10 pagi sampai jelang jam 11 malam. Hasilnya berupa tiga pilihan: sebagian menerima ajakan Van Mook bergabung bersama NRFS; sebagian ingin memproklamasikan Aceh sebagai negara sendiri; dan sebagian tetap setia mempertahankan negara Republik Indonesia.

Dari tiga pilihan itu, hanya Abu yang mengusulkan Aceh untuk berdiri sendiri. Berbagai pertimbangan Abu uraikan. Menurutnya, roda pemerintahan Republik Indonesia sudah lumpuh. Secara defacto, wilayah RI sudah kembali diduduki Belanda, kecuali Aceh.

Selain itu, Aceh telah memiliki sejarah dan kemampuan secara militer untuk berdiri sendiri lewat salah satu komando Tgk Daud Beureueh yang menjabat Gubernur Militer dan Sipil untuk Aceh, Langkat, dan, Tanah Karo, sehingga berbagai alat persenjataan berat peninggalan Jepang yang berhasil dikuasai pejuang Aceh bisa menjadi salah satu modal kemampuan Abu dan para ulama lain untuk menggalang kekuatan rakyat dalam mendukung gagasan tersebut.

Namun saat berbagai gagasan dan uraian disampaikan Abu, Tgk Daud Beureueh juga meminta pendapat peserta rapat atas tawaran Van Mook, tetapi tidak ada satupun dari mereka memberikan tanggapan.

Menurut Tgk Ishak Ibrahim, salah satu anggota TNI yang pernah bertugas di Makassar dan pada masa DI/TII menjabat sebagai komandan Batalion DI/TII wilayah Darussalam, malam itu Tgk Daud Beureueh akhirnya menanyakan tanggapan ke Abu tentang tawaran Van Mook.

Abu dengan tegas menjawab,
“Kalau mau senang, lepaskan Aceh dari RI. Ambil yang baik meskipun itu keluar dari mulut rimueng (harimau).”

Tgk Daud Beureueh menentang keras jawaban Abu. Padahal sosok Abu di mata Daud Beureueh adalah seorang guree (guru). Daud Beureueh pun kembali mempertegas: kesetiaan rakyat Aceh terhadap RI bukan dibuat-buat, melainkan kesetian yang tulus dan ikhlas dengan hati nurani yang penuh perhitungan dan perkiraan.

Dalam pidatonya, Tgk Daud Beureueh mengatakan;

“…sebab itu, kita tidak bermaksud untuk membentuk suatu Aceh Raya, karena kita di sini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan dari Wali Negara Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itu tidak kita balas.”

Penolakan Tgk Daud Beureueh juga didasari atas keyakinannya bahwa Soekarno akan menepati janji-janji yang telah disampaikan dengan linangan air mata kepadanya dalam kunjungan ke Aceh tahun 1948. Pada Tgk Daud Beureueh, Soekarno berjanji akan memberikan izin bagi Aceh untuk mengurus daerahnya sendiri dan menjalankan syariat Islam.Akhirnya, usulan Abu tak mendapat dukungan penuh dari peserta rapat. Ia kalah oleh pandangan mayoritas yang ingin tetap bergabung dengan RI. 
Hasil akhir pun memutuskan untuk menolak ajakan DR Teungku Mansur dan gejolak membentuk NRFS berakhir dengan sendirinya.Akan tetapi semangat Abu Krueng Kalee belum surut. Ia didampingi muridnya Tgk Idrid Lamnyong di kediamannya di Banda Aceh, kembali mengajak Tgk Daud Beureueh mendirikan Pemerintahan Aceh. 
Ajakan itu diungkapkannya sehari menjelang penyerahaan kekuasaan Belanda kepada Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) di Den Haag, 27 Desember 1949.Namun jawaban Daud Beureueh juga tak berubah. Perdebatan sengit pun kembali terjadi,  hingga akhirnya Abu mengatakan;
“Mulai jinoe, bek ka peugah sapeu le bak lon, kah hana ka teupeu… (mulai sekarang jangan katakan apapun lagi pada saya, kamu tidak tahu—apa yang saya ketahui—)….”

 Ketika Peristiwa DI/TII Meletus di Aceh

Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh, seorang utusan Daud Beureueh datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur; “terbangkanlah layang-layang ketika angin kencang Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan membuahkan hasil, Namun justru akan menyengsarakan rakyat.

Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah seorang ulama besar Ahlusunnah wal jama’ah yang menganut Thariqat Haddadiyah, yakni thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Ala Hadad. Meski demikian beliau bukanlah seorang ulama yang tradisional (kolot). Salah seorang murid Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah ; Tgk Muhammad Daud Beureueh.

Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama. 

Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.

Logika Agama dan Ilmu Hakikah

Menelaah secara logika, apa yang disampaikan Tgk Daud Beureueh lewat pandangannya bersama tokoh-tokoh lain untuk mendukung Aceh tetap bergabung dengan Republik Indonesia memang tidak dapat disalahkan.Pandangan tersebut terlihat dari motivasi dan prinsip mashalah yang lebih besar, karena demi memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia yang pada saat itu mati suri. 

Apalagi janji-janji Soekarno masih begitu terpatri dalam setiap ingatan rakyat Aceh, sehingga sulit dipercaya jika janji itu akan dikhianati dikemudian hari. Bak seorang negarawan sejati tentu akan mengambil kesimpulan yang sama dengan Daud Beureueh.

Abu sendiri dalam menilai persoalan ini tetap merujuk pada logika agama. Namun di sisi lain Abu juga melihat dengan ilmu hakikah atau disebut ilmu firasat (laduni). Salah satu ilmu yang diberikan Allah SWT kepada para walinya yang telah mencapai maqam ma’rifah, sehingga sulit bagi awam untuk mengerti pada awalnya.

Jelas sekali padangan Abu sangat bertolak belakang jika merujuk apa yang terjadi pada Maklumat Ulama sebelumnya. Namun bagi orang yang paham sikap dan pola pikir Abu dalam mengambil suatu keputusan, tentu akan menjadi jelas dan mudah mengerti.

Melihat kondisi awal kemerdekaan, menjadi alasan bahwa mengharamkan umat Islam keluar dari ketaatan pemimpin jika sudah terpilih atau diakui secara mayoritas, walaupun pemimpin itu fasiq atau jahat, selama ia tidak mengharamkan umat untuk mengerjakan salat dan farzu lainnya. Maka menurut pemahaman sunni, pemimpin itu harus tetap ditaati, walau boleh dibenci.

Lain halnya saat Indonesia pascaagresi militer, di mana Pemerintah RI sudah lumpuh dan tak bisa lagi berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian situasi di Bukit Tinggi tak lagi aman. Bahkan Daud Beureueh meminta Presiden PDRI waktu itu Syafruddin Prawinegara hijrah ke Aceh, sehingga pemerintahan RI masih dapat dipertahankan.

Oleh karena itu, secara hukum agama, Aceh sudah memiliki momentum yang tepat dan boleh untuk mengumumkan negaranya sendiri demi menghindari kevakuman pemimpin dan pemerintahan, di mana kehilangan pemimpin menurut ajaran agama dan keyakinan Abu sangat dilarang dalam agama, seperti dalam salah satu riwayat ulama fiqih mengatakan:

“Enam puluh tahun di bawah pemerintahan imam yang jahat lebih baik dari semalam tanpa pemimpin.”

Jadi, bisa dikatakan, tak ada kontradiksi antara kedua pandangan Abu dalam hal ini. Sebab pandangan tersebut berada dalam situasi dan kondisi negara yang sangat berbeda. Berbagai sikap politik Abu untuk mendukung dan lepas dari RI juga berpijak atas dasar agama dan dalil-dalil seperti ayat Alquran dan Hadis, Ijma serta kajian terhadap ilmu Fiqh Siyasah. Kini Abu telah tiada, manusia yang hanya bisa berencana namun takdir Allah untuk menentukan apa yang berlaku. Wallahua’lam. (Oleh Aulia Fitri, Penulis, salah satu pendiri dan penggiat di Komunitas Aceh Blogger.Kutipan dari Sosok Abu Krueng Kalee di kancah Nusantara,  Rubrik Fokus Harian Aceh.)

Sumber: FB Melawan Lupa