Sabtu, 12 Jun 2021

Ulama Aceh Yang Telah Pergi Dalam 2 Tahun Ini (2020-2021)

Tgl. 10 Jan 2020 - Abu H. Hanafi bin Syubramah (Abu Matang Keh) Murid Abuya Muda Waly

Tgl. 13 Jan 2020 - Abu Najimuddin Abdullah (Abu Najib Lamlo)

Tgl. 25 Jan 2020 - Tgk. H. Azharuddin (Waled Idi Cut)

Tgl. 28 Jan 2020 - Abon H. M. Hasbi Nyak Diwa (Abon Kota Fajar) Murid Abuya Muda Waly

Tgl. 28 Jan 2020 - Tgk. H. Ridwan bin Jalil (Abon Takengon)

Tgl. 16 Mar 2020 - Abu H. Bukhari bin Abu Hasan (Ayah Leuge) Alumni Mudi Samalanga

Tgl. 17 Mar 2020 - Tgk. H. Abdul Wahab bin Ali (Abu Di Balee) Pimpinan Dayah Kampong Aree

Tgl. 17 Jan 2020 - Abuya H. Hamid Laduni

Tgl. 24 Agt 2020 - Abi Syarifuddin bin Tgk. Abdul Jalil (Abi Bidok) Alumni Dayah Lam Ateuk

Tgl. 05 Sep 2020 - Waled Nasir Buloh Blang Ara

Tgl. 11 Sep 2020 - Abon H. Marzuki bin Abu Abdullah (Anak Abu Tanoh Merah) 

Tgl. 23 Sep 2020 - Abi Masykur bin Tgk Abd. Rasyid (Alumni Darul Huda)

Tgl. 31 Okt 2020 - Abu H. Muhammad Abduh bin Hasan Shaleh (Abu Laga Baro) Alumni Mudi Samalanga

Tgl. 16 Des 2020 - Abu H. Mustafa bin Tgk. Ahmad (Abu Paloh Gadeng) Murid Abu Tumin Blang Blahdeh

Tgl. 22 Des 2020 - Abu H. Hamdan Mustafa (Abu Gurah) di Banda Aceh

Tgl. 18 Jan 2021 - Habib Muhammad bin Ahmad Alathas di Simpang Ulim Kab. Aceh Timur

Tgl. 12 Mar 2021 - Tgk. H. Subki bin Tgk Abdul Jalil (Guru Senior Dayah Kruet Lintang)

Tgl. 16 Mar 2021 - Abu H. Muhammad Daud bin Zamzami (Abu MPU Aceh) Murid Abuya Muda Waly 

Tgl. 16 Mar 2021 - Abu H. Ibrahim Gasni (Abu Nek Nagan Raya) Murid Abuya Muda Waly

Tgl. 2 Mei 2021 - Abati Syukri bin Tgk. Adam (Abati Mampre) Murid Abu Tumin Blang Blahdeh

Tgl. 5 Mei 2021 - Abu H. Abdullah bin Tgk. Abdul Rasyid (Abu Kruet Lintang) Murid Abu Sulaiman Lhoksukon

Tgl. 7 Mei 2021 - Abu H. Abdul Wahab bin Tgk. Hasan (Abu Matang Perlak) Murid Abuya Muda Waly 

Tgl. 7 Mei 2021 - Abu H. Ishaq Salam di Meulaboh Kab. Aceh Barat 

Tgl. 22 Mei 2021 - Waled H. Ibrahim Usman (Waled Ulee Titi) Pimpinan Dayah Putri Ulee Titi

Tgl. 23 Mei 2021 - Abu H. Mahdi Lam Ateuk, Pimpinan Dayah Istiqamatuddin Darussalam)

Tgl. 3 Juni 2021 - Abati H. Ramli Ben Cut (Abati Babah Buloh) Alumni Tanoh Mirah

Jumaat, 11 Jun 2021

Hubungan Aceh - Malaysia

Makam Sultan Kedah ke-16 berusia 330 tahun ditemui di Bukit Pinang

Barisan batu nisan dengan ukiran dari Acheh, Indonesia yang ditemui di Kampung Bukit Pinang pada 23 Mac lalu. Batu nisan ini dipercayai terletak di kawasan makam yang dipercayai milik Sultan Kedah ke-16, Sultan Ataullah Muhammad Syah II sejak berusia kira-kira 330 tahun. Terdapat sembilan buah kubur bersama batu nisan itu ditemui di tepi sungai kampung berkenaan yang kelihatan tersusun rapi dalam satu barisan oleh ahli Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Kedah Zamri Abd Wahab. 

Selepas penemuan makam Sultan Kedah ke-14, Sultan Muhyiddin Mansur Shah bulan lepas, Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Kedah (PSMCK) menemui pula satu lagi makam berusia 330 tahun, dipercayai makam Sultan Kedah ke-16, Sultan Ataullah Muhammad Syah II di Bukit Pinang, dekat sini.

Sembilan makam lain bersama makam itu ditemui ahli PSMCK, Zamri Abd Wahab, pada 23 Mac lepas dan ia terletak betul-betul di tepi sungai di Kampung Bukit Pinang dekat sini.

Credit by Bernama

Surat Ratu Victoria yang Tidak Sampai


Menarik perhatian persoalan di sekitar 
kedatangan sesuatu perutusan kepada pihak Aceh di saat saat Belanda hendak memulai melaku kan penyerangannya terhadap Kerajaan Aceh Darussalam

Bukan suatu kebetulan, bahwa dalam bulan Desember itu juga sudah berlabuh di Kuala Aceh sebuah kapal perang Inggris yang bernama "Thalia". 

Seorang kolonel Inggeris bernama Woolcombe yang dikabarkan sengaja diantarkan oleh kapal perang ;Belanda, bermaksud hendak menyampaikan sepucuk surat pribadi ratu Victoria dari Inggris untuk Sultan Aceh. 

Menurut yang diumumkan adapun kandungan surat tersebut adalah untuk "menginsafkan" Sultan Aceh agar jangan melawan Belanda dengan kekerasan, tapi sediakanlah diri untuk berdamai menurut kemauan Belanda. 

Ada beberapa lama kolonel Woolcombe masih terdiam di kapal.Suatu sumber mengatakan bahwa mendaratnya kolonel Woolcombe tidak dikehendaki oleh Belanda jika dalam sementara 
itu Belanda harus menghentikan penyerangannya. 

Dalam pada itu Woolcombe sendiri tidak yakin bahwa suratnya akan disampaikan oleh Belanda atau akan mencapai tujuannya (sebagai satu surat yang datangnya dari sebuah kerajaan yang non-combatant) jika surat itu dipercayakan saja kepada Belanda untuk menyampaikannya. 

Di lain pihak, Belanda dari pihaknya tidak dapat menjamin keselamatan jika kolonel Woolcombe sendiri atau seseorang pembesar Inggeris lainnya turun ke darat bersama sama dengan 
pembesar Belanda untuk menyampaikan surat itu. 

Demikianlah, hasilnya surat ratu Victoria tidak dapat disampaikan,dan kolonel Woolcombe pulang percuma ke negerinya. 

Keterangan lebih lanjut di sekitar perutusan ratu Victoria ini  tidak diperoleh.Tapi menghubungkannya dengan berita "tewasnya" Sumo Widikjo terbukalah jalan untuk percaya bahwa 
Belanda mencurigai kandungan perutusan kolonel Woolcombe dan 
isi surat ratu Victoria yang tidak diketahui oleh Belanda bagaimana sebetulnya isi seluruhnya. 

Lalu tiba-tiba terdengar berita bahwa 
seorang utusan Belanda, Sumo Widikjo telah terbunuh. Tidaklah mengherankan jika dengan peristiwa ini Belanda mengharapkan bahwa kolonel Woolcombe akan memilih lebih baik pulang saja daripada memaksakan diri pergi ke darat dengan dua risiko, per-
tama dari pihak Belanda dan kedua, dari pihak Aceh.ratu Viktoria

Credit Fb Adi Fa

Perjuangan Teuku Pakeh Dalam


Sejumlah lebih 1500 pejuang  dari Pidie lengkap dengan senjata  datang ke Aceh. Pasukan inilah yang sudah menghadapi pertempuran Lambue sehingga menghasilkan patahnya kekuatan Belanda itu di sana. 

Sumber Belanda mengatakan bahwa yang memimpin pertempuran di Lambue itu ialah Teuku Pakeh Dalam, uleebalang Pidie. Sumber Belanda ini berasal dari laporan sipione Belanda sendiri,Ali Bahanan,yang memberitahukan kepada Jenderal van Swieten. 

Teuku Pakeh Dalam memimpin perlawanan di Lambue.Teuku Pakeh Dalam juga yang mengusulkan kepada Sultan agar  utusan Belanda Mas Sumo dibunuh saja. 

Karena ini lah membuat Belanda  marah  dan gemas kepada Ule balang Pidie itu.

Belanda memutuskan mendatangkan satu eskader angkatan lautnya ke Pidie untuk menghancurkan negeri itu dengan pemboman,sebagai hukuman" kepada Teuku Pakeh Dalam yang sudah begitu 
gegabah  membakar jarinya sendiri untuk orang lain".ikut campur dalam utusan orang lain(urusan Belanda dan Aceh) 

Setelah sekian lama di bombardir oleh eskander Belanda dan benteng kuta hasan di rebut akhir nya Teuku pakeh Dalam angkat tangan kepada Belanda tanggal 28 februsari tahun 1876.

 
rakyat Pidie urut mengambil aktif dalam perang semesta menghadapi Belanda. Selain pergi ke Aceh Besar juga melakukan persiapan di Kuta Asan 

(Veltman "Nota over de geschiedenis van het Landschap Pidie)

Putra Pakeh Dalam di depan istana Pidie

Repost Fb Adi Fa

Khamis, 10 Jun 2021

Kalam Mutiara

Hal terindah datang dari pemikiran yang baik

 Seorang istri berkata :
 Aku belum pernah melihat orang yang lebih keji dari saudara-saudaramu
 Suami menjawab: Mengapa demikian ?
 Istri berkata: Saya melihat mereka, jika Anda kaya, mereka akan menjaga Anda, dan jika Anda miskin, mereka akan meninggalkan Anda
 Suami berkata: Demi Allah, ini adalah kemurahan hati mereka. Mereka datang kepada kami ketika kami mampu menghormati mereka, dan mereka meninggalkan kami ketika kami tidak mampu memenuhi hak-hak mereka.

Credit @HodaYarob

Rabu, 9 Jun 2021

Bireun Tidak Pernah Jadi Ibu Kota Hindia Belanda (Indonesia)

    Gambar. Soekarno berkunjung ke Pendopo pd 18 jun 1948

Bireuen bukan tempat yang penting di era kerajaan Aceh Darussalam dan Samudera Pase masih berjaya di era lampau. Bahkan asal-usul nama Bireuen pun masih diperdebatkan antara Birrun, Biruweung dan Biruan. Untuk kata terakhir memang memiliki catatan di sebuah nisan kuno di Meunasah Capa, Kecamatan Kota Juang.

Di era lampau wilayah Ule Balang Peusangan dan Samalanga justru memiliki peran yang lebih besar. Bireuen yang kini menjadi nama kabupaten dan ibukota, dulunya berada di bawah Nanggroe Peusangan. Dalam sebuah catatan disebut, Bireuen yang kemudian digunakan sebagai pusat militer Divisi X Gadjah Putih,Komandemen Sumatra Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef yang berkedudukan di Meuligoe Bupati yang sekarang, merupakan kawasan tempat menetapnya penjajah Belanda dengan nama awal Cot Hagu.

Hal yang menarik justru tentang kabar bahwa Bireuen pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Pengakuan ini pernah ikut disampaikan oleh Letnan Yusuf Ahmad, atau yang akrab disapa Usuh Tank. Lelaki bekas montir di Lhokseumawe ketika Jepang masih bercokol di Aceh itu, adalah orang yang sukses menghidupkan kembali rongsokan tank milik Jepang yang disimpan di Keude Dua, Juli.

“Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta Ibukota RI yang kedua, kembali dikuasai Belanda. Kebetulan Presiden Soekarno juga berada di sana saat itu,menjadi kalang kabut. Akhirnya Soekarno memutuskan mengasingkan diri ke Bireuen pada Juni 1948, dengan pesawat udara khusus Dakota, yang dipiloti Teuku Iskandar. Pesawat itu turun di lapangan Cot Gapu,” kisahnya kepada Tabloid Narit, koran milik Pemkab Bireuen yang kini tidak lagi diterbitkan.

Pengakuan yang sama juga pernah disampaikan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Menurut JK, Bireuen pernah menjadi ibu kota RI, ketika jatuhnya Yogyakarta pada 1948. Presiden Sukarno hijrah dari ibu kota kedua RI, yakni Yogyakarta ke Bireuen pada 18 Juni 1948.

“Bahkan Bireuen pernah menjadi Ibu Kota RI ketiga, ketika jatuhnya Yogyakarta tahun 1948. Presiden Sukarno hijrah dari Ibu Kota RI kedua, yakni Yogyakarta ke Bireuen pada 18 Juni 1948. Selama seminggu Bireuen menjadi tempat untuk mengendalikan Republik Indonesia yang saat itu dalam keadaan darurat,” kata JK dalam pidatonya yang berjudul “Perdamaian dan Pembangunan Nasional,” kata JK, Sabtu, 14 November 2015, seperti dilansir oleh situs Liputan6.com.

Tapi, pengakuan Usuh Tank dan JK tidak serta merta dapat dibenarkan. Kala sedang berkunjung ke Bireuen, dan tinggal selama satu minggu, keadaan Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta, tidak sedang dalam keadaan gawat darurat.

Menurut catatan sejarah, Kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak (bahasa Belanda: Operatie Kraai) terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.

Bila dilihat dari tanggal tersebut, artinya kunjungan Soekarno ke Bireuen beberapa bulan sebelum agresi militer Belanda.

Ketika Kota Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda, Presiden dan Wakil Presiden RI Soekarno dan Hatta, tetap berada di sana. Bujukan agar ia ikut bergerilya bersama tentara dan rakyat, ditolak dengan alasan mereka harus tetap berhubungan dengan Komisi Tiga Negara (KTN) yang sedang menjadi mediator kala itu.Akhirnya mereka ditangkap oleh Belanda.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatra, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.

Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatra, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Sementara itu, Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin Republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin Republik.

Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatra Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

Sumber:

1. Aceh Trend
2. Liputan6
3. Wikipedia
4. Operation KraAi (General Spoor) vs Surat Perintah no. 1 (General Sudirman), Gramedia Publisher-Indonesian Language.
5. Agresi Militer Belanda II

Selasa, 8 Jun 2021

Terori Darwin : Manusia Dari Kera


Saya sangat terpengaruh dengan teori evolusi yang mengatakan manusia berasal dari kera.

Terhitung setelah membaca sejumlah buku karya Charles Darwin, boleh dibilang, sejak itu saya mulai agak menaruh hormat pada primata berekor panjang itu dan tak pernah lagi memanggil mereka dengan "nyet!" Saya mulai membiasakan diri memanggil mereka dengan "kakek..."

Rupanya sikap saya yang penuh keisengan berstadium berat itu bukan tanpa risiko. Kemarin, hari Minggu, dari kota tinggal saya--seperti biasanya tiap dua pekan sekali--saya pulang ke kampung menjenguk Nenek.

Saat memasuki halaman rumah, ternyata Nenek sedang di dalam rumah dan Kakek sedang menikmati buah-buah pisang hasil kebunnya di selasar depan. Saya langsung menyeru beliau dengan kegirangan seorang cucu yang merindu.

Namun, tak seperti biasanya, beliau bukan malah bangun menyongsong untuk memeluk saya, tapi justru mendelik mata seraya menghardik, "Apa kamu bilang barusan!"

Ya, ampun. Saya baru sadar. Saya telah menyeru Kakek dengan panggilan yang salah.

Ya, memang. Ujung-ujungnya Kakek tetap memeluk saya, cucunya yang gemuk dan manis berkumis tipis. Namun saya tetap tidak bisa memaafkan diri sendiri dan Charles Darwin.

Pesan moral: jangan anggap enteng kitab dan buku-buku yang telah kita baca. Mereka diam-diam terus bekerja mengubah kita.

Penulis Asal Fb Musmarwan

Ahad, 6 Jun 2021

Makam Raja Aceh Yang Terakhir

Namanya beberapa kali disebut dalam beberapa arsip lama yang dimiliki oleh keluarga besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma (penulis kitab Al-Fatawi dan pejuang Jayakarta). Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan nama tersebut mengingat keterangan yang tertulis sangat singkat. Namun ketika saya mendapati beberapa artikel sejarah Atjeh mengenai keberadaan sepak terjang Sultan ini, tiba-tiba saya jadi terpana dan kaget, seolah tidak percaya, karena ternyata sosok yang satu ini adalah tokoh besar dan legendaris bagi masyarakat Atjeh. Selama ini dengan ketidak tahuan saya paling saya mengenal Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Laksamana Kumalahayati, Sultan Iskandar Muda, Fattahillah, dan beberapa lagi. Sedangkan nama Sultan Alaidin Muhammad  Daud Syah pernah saya dengar namun belum saya perdalam. Padahal kalau kita mau tahu, beliau ini justru pada masanya merupakan ujung tombak perlawanan Rakyat Atjeh terhadap kezaliman Penjajah Belanda. 

Perlawanannya yang heroik terhadap penjajah Belanda patut dikenang sebagai sebuah kisah yang menggetarkan. Dan perlu dicatat, pada masanya dan beberapa tahun sesudahnya, Atjeh adalah satu-satunya wilayah Islam yang cukup sulit ditundukkan Penjajah Belanda karena militansi rakyat dan penguasanya dengan dasar jihad fisabillah terhadap Penjajah Kafir Harbi Belanda. Begitu bingungnya Penjajah Belanda dalam menghadapi Pejuang-pejuang Atjeh, sampai-sampai mereka mengirimkan Snouck Horgronye untuk mencari tahu cara bagaimana menundukkan perlawanan bangsa Atjeh tanpa harus merugikan kas keuangan Kerajaan Belanda. Dan memang harus diakui setelah “kerja keras” Snouck yang licik tersebut, satu persatu perlawanan rakyat Atjeh mulai berkurang, apalagi Belanda selalu menggunakan politik ADU DOMBA dan juga melakukan pemisahan hubungan antara Rakyat, Bangsawan dan Ulama Atjeh. Salah satu yang dilakukan adalah kepada Sultan Atjeh, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini.

Dalam sejarahnya disebutkan secara singkat tentang Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini : 

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, adalah raja terakhir Atjeh, dari garis keturunan raja-raja Atjeh sebelumnya. Sultan Muhammad Daud Syah dilahirkan pada tahun 1871, dua tahun sebelum Belanda menyerang Atjeh pada  26 Maret 1873 M. Sejak berusia 7 tahun,  dia ditabalkan  sebagai Sultan Atjeh  di Masjid Indrapuri pada hari Kamis, 26 Desember 1878 M, menggantikan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874)  yang meninggal pada 28 Januari 1874, pukul 12.00 siang hari. Menurut catatan sejarah, Sultan Mahmudsyah  wafat karena wabah kolera dan dimakamkan di Cot Bada Samahani, Atjeh Besar. Wabah kolera ini dibawa oleh Belanda dan ini merupakan penggunaan senjata kimia pertama yang digunakan oleh penjajah dalam sejarah peradaban dunia.

Beliau dilantik sebagai raja dalam usia. 11 tahun di Mesjid Tuha Indrapuri dalam situasi perang antara Atjeh dan Belanda. Karena itu, mengingat usia Sultan Atjeh yang masih terlalu belia, dan untuk menjaga stabilitas pemerintahan, sempat dibentuk lembaga Wali Nanggroe pada tanggal 25 Januari 1874, dan diangkat secara resmi Teungku Chik di Tiro sebagai Wali Nanggroe pada tanggal 28 Januari 1874. Pemburuan terhadap Sultan terus dilakukan oleh pihak Belanda, mengingat dia menjadi salah satu icon berkobarnya perang Atjeh melawan Belanda.

Setelah pengangkatan Sultan Muhammad Daudsyah sebagai Sultan Atjeh, pembesar-pembesar Atjeh seperti Tuanku Hasyem Banta Muda,  Teuku Panglima Polem Muda Kuala, Teungku Syiek di Tanoh Abee terus  menyusun siasat baru untuk menyerang Belanda di Kuta Raja. Pada tahun 1880,  Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah bergabung dengan Sultan Muhammad Daudsyah dalam barisan pejuang dan diangkat sebagai menteri peperangan (amirul harb)  menentang Belanda. Peran Tgk Syik di Tiro Muhammad Saman dan keturunannya sangat besar dalam sejarah Atjeh. Belanda sendiri kemudian menganggap perang Atjeh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teungku Maat Syiek di Tiro syahid di gunung Halimun (Ismail Yakob: 1943).

Pada tanggal 26 November 1902, Belanda menawan Teungku Putroe Gambar Gadeng binti Tuanku Abdul Madjid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, di Gampong Glumpang Payong, Pidie. Penyanderaan ini, dilakukan agar Sultan Atjeh terakhir Muhammad Daud Syah, mau menyerahkan diri. Maka, pada tanggal 20 Januari 1903, Sultan Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Radha oleh penasihatnya (setelah melakukan musyawarah) menghadap Gubernur Atjeh-Jenderal Van Heutz untuk menandatangani surat damai dengan Belanda.

Pada awalnya, Sultan dijadikan tahanan kota (di Kuta Radja) oleh Belanda, dengan ragam vasilitas disediakan. Penahanan tersebut diharapkan pula oleh Belanda, agar Sultan mau membantu kepentingan Belanda di Atjeh. Namun, justru Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih untuk memberi sumbangan pada pejuang Atjeh, dari gajinya yang diberikan oleh Belanda 1.200 florin setiap bulan (Ibrahim Alfian, 1999 ; 141). Sikap Sultan ini, menyebabkan ia dipindahkan dari Atjeh ke Ambon dan selanjutnya ke Batavia, atas usulan Gubernur Militer Atjeh, Letnan Jenderal Van Daalen hingga Sultan wafat di Batavia. Dalam catatan lain, disebutkan Sultan Daud (sebagai Sultan terakhir Atjeh) dibuang dari Atjeh, karena dia tetap mengharapkan bantuan asing, serta menulis surat kepada konsul Jepang di Singapura (Reid, 1969 ; 281).

Beliau ditawan, lalu dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta).  Pada tahun 1907, Van Daalen mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar Sultan Atjeh, Daud diasingkan. Karena itu, dengan ketetapan tanggal 24 Desember 1907, Pemerintah Hindia Belanda, membuang, mengisolasikan Sultan, beserta Tuanku Husin bersama empat orang putranya, sekaligus juga turut diisolasi Teuku Johan Lampaseh, Pejabat Panglima Sagoe Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abbas (KV dalam Alfian, 141). Tidak berhenti di situ, seterusnya Belanda juga turut serta mengasingkan beberapa ulama penggerak perjuangan, yang turut ikut serta secara konsisten terus melakukan perlawanan terhadap Belanda, sekaligus menjadi penasehat perang yang dipimpin oleh Teungku Chik di Tiro.

Di Batavia, Sultan Muhammad Daud Syah terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang untuk membantu Kerajaan Atjeh guna melawan Belanda. Surat itu sekarang didokumentasikan dengan baik oleh cucunya, Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap ke hadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun. Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini.”

Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon. Pada tahun 1918, sultan dipindahkan kembali ke Rawamangun, Jakarta,  sampai beliau menghembuskan nafas terakhir pada 6 Februari 1939.  

Adapun Urutan Penguasa Kesultanan Atjeh Darussalam :

1.Sultan Alaidin Ali Mughayat Syahm 916 - 936 H (1511 – 1530 M)
2.Sultan Salahuddin 939 - 945 H (1530 – 1539 M)
3.Sultan Alaidin Riayat Syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar 945 – 979 H (1539 – 1571 M)
4.Sultan Husain Alaidin Riayat Syah III, 979 – 987 H (1571 – 1579 M)
5.Sultan Muda bin Husain Syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari
6.Sultan Mughal Seri Alam Pariaman Syah, 987 H (1579 M) selama 20 hari
7.Sultan Zainal Abidin, 987 – 988 H (1579 – 1580 M)
8.Sultan Aialidin Mansyur Syah, 989 - 995H (1581 -1587 M)
9.Sultan Mugyat Bujang, 995 – 997 H (1587 – 1589 M)
10.Sultan Alaidin Riayat Syah IV, 997 – 1011 H (1589 – 1604 M)
11.Sultan Muda Ali Riayat Syah V 1011 – 1015 H (1604 – 1607 M)
12.Sultan Iskandar Muda Dharma Wangsa Perkasa Alam Syah 1016 – 1045H (1607 – 1636 M)
13.Sultan Mughayat Syah Iskandar Sani, 1045 – 1050 H (1636 – 1641 M)
14.Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, 1050 - 1086H (1641 – 1671 M)
15.Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (anak angkat Safiatuddin), 1086 – 1088 H (1675-1678 M)
16.Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (putri dari Naqiatuddin) 1088 – 1098 H (1678 – 1688 M)
17.Sultanah Rri Ratu Kemalat Syah (anak angkat Safiatuddin) 1098 – 1109 H (1688 – 1699 M)
18.Sultan Badrul Alam SYARIF HASYIM JAMALULLAIL 1110 – 1113 H (1699 – 1702 M)
19.Sultan Perkasa Alam SYARIF LAMTOI BIN SYARIF IBRAHIM. 1113 – 1115 H (1702 -1703 M)
20.Sultan Jamalul Alam Badrul Munir bin SYARIF HASYIM 1115 – 1139 H (1703 – 1726 M)
21.Sultan Jauharul Alam Imaduddin, 1139 H (1729 M)
22.Sultan Syamsul Alam Wandi Teubeueng
23.Sultan Alaidin Maharaja Lila Ahmad Syah 1139 – 1147 H (1727 – 1735H)
24.Sultan Alaidin Johan Syah 1147 – 1174 H (1735-1760 M)
25.Sultan Alaidin Mahmud Syah 1174 - 1195 H (1760 – 1781 M)
26.Sultan Alaidin Muhammad Syah 1195 - 1209 H (1781 – 1795 M)
27.Sultan Husain Alaidin Jauharul Alamsyah, 1209 - 1238 H (1795-1823 M)
28.Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah 1238 – 1251 H (1823 – 1836 M)
29.Sultan Sulaiman Ali Alaidin Iskandar Syah 1251 - 1286 H (1836 – 1870 M)
30.Sultan Alaidin Mahmud Syah 1286 – 1290 H (1870 – 1874 M)
31.Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, 1290 -…..H (1884 -1903 M)

(Di kutip dari buku “Tawarikh Raja- Raja Kerajaan Atjeh”. oleh Tgk M Yunus Jamil). 

“Perhatikan Sultan Nomor 18, tentu ini sangat menarik bagi mereka yang mendalami nasab dan peran serta Kaum Alawiyyin atau Kaum Sayyid di negeri ini, namun untuk pembahasan ini agaknya akan ada tulisan yang lain...”

Setelah saya membaca secara mendalam artikel yang dituis oleh Muhajir Al Fairusy, S.Hum, MA (Anggota Bidang Pelestarian Pustaka/Pembinaan  Khazanah Adat pada MAA Provinsi Atjeh) dan juga M Adli Abdullah yang merupakan Pendiri Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah Meunasah Subung, Cot Meurak Samalanga dan Pemerhati Adat dan Sejarah Atjeh,  serta beberapa lagi yang lainnya, langsung saja saya segera membuka arsip-arsip lama Keluarga besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang selama ini telah saya kumpulkan. Ketemulah kembali nama beliau ini dalam catatan cucu beliau yang bernama Gunawan Mertakusuma (Arsip Pribadi), pada tanggal 15 Maret 1980 halaman 19 yang juga mengutif dari isi kitab Al-Fatawi.

Beberapa bulan yang lalu, sebenarnya saya sudah beberapa kali membaca tulisan tentang keberadaan sosok tersebut, dan sempat pula penasaran, namun karena informasi keberadaan dan jejak langkahnya sangat sedikit, akhirnya nama beliau untuk sementara terlupakan karena saya sedang fokus pada penelitian yang lain.

Literaratur yang saya baca dari beberapa artikel tentang sejarah perjuangan dari Jihadis Tangguh yang ditulis oleh dua orang Sejarawan dan Budayawan Atjeh itu selanjutnya saya bandingkan dengan catatan singkat dari KH Ahmad Syar’i, disitu saya menemukan sebuah kejutan yang luar biasa, karena ternyata Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah merupakan sosok yang berpengaruh dalam perjuangan jihad di Tanah Jakarta. 

Perjuangannya ternyata tidak berhenti. Salah satu andil besar beliau pada saat di Batavia (nama yang digunakan Pemerintah Belanda) adalah, ketika secara diam-diam beliau ini menjadi pemimpin dan otak di balik perlawanan “KI DALANG” yang terjadi pada tahun 1924 di Tangerang. Jangan dianggap perlawanan “KI Dalang” itu hanya skup Tangerang saja, karena buktinya Pemerintah Belanda pasca peristiwa tersebut, memberikan hukuman mati para tokoh-tokohnya, termasuk KH Ahmad Syar’i. Sekalipun Sultan Muhammad Daud Syah ini tidak terlibat di lapangan langsung karena berada dalam pengasingan dan pengawasan ketat Pemerintah Belanda di Jakarta, tapi kepiawaiannya dalam berkomunikasi tetap sulit untuk dideteksi. Pada waktu itu wilayah Tangerang belum terpecah dengan wilayah Jayakarta (Jakarta). Perlawanan “KI DALANG” yang salah satu motornya adalah KH Ahmad Syar’i mendapatkan spirit dan dukungan dari Sultan yang bersahaja ini. Dan jangan lupa dalam biografi KH Ahmad Syar’i tertulis kalau dia pernah belajar Ilmu Politik kepada beberapa tokoh di Rawa Mangun, ya sudah tentu termasuk kepada Sultan Muhammad Daud Syah ini. Dan KH Ahmad Syar’i sendiri adalah anggota Pitung dalam Bidang Strategi yang menggantikan kedudukan Dji’ih pasca syahidnya beliau. Sekalipun Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah berada dalam pengasingan di Batavia, tetapi dia mampu menjalin jaringan dengan pejuang-pejuang Jakarta.  Selain perlawanan “Ki Dalang” saya yakin beliau juga mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh besar politik lain seperti MH Thamrin, Yamin, dll, apalagi Jakarta saat itu merupakan pusat pemerintahan Belanda dan pusat kegiatan politik besar. Keterangan ini juga diperkuat dengan adanya hubungan yang akrab antara salah satu putra beliau dengan Bung Karno. Sayangnya kemudian keberadaan putra beliau terlupakan oleh Bung Karno pasca Bung Karno menjadi Presiden RI.

Hubungan antara KH Ahmad Syar’i Mertakusuma dan Sultan Muhammad Daud Syah  ini juga telah menjawab rasa penasaran saya, kenapa KH Ahmad Syar’i melakukan pelarian dari kejaran Pemerintah Belanda ke wilayah Atjeh. Apalagi beliau bisa berhasil masuk wilayah tersebut dalam kondisi peperangan, jelas ini adalah sebuah langkah yang cukup berani. Di Atjeh bahkan KH Ahmad Syar’i belajar tentang Strategi Perang dan Nilai-nilai Perjuangan Rakyat Atjeh, sekaligus beliau juga belajar Sejarah Atjeh. Belliau juga belajar agama dari beberapa tokoh disana. Ini tentu tidak lepas dari andil dari Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah mengingat beliau adalah orang yang cukup berpengaruh di tanah Atjeh. Yang juga semakin menguatkan hubungan mereka adalah, bahwa dalam catatan lama keluarga besar KH Ahmad Syar’i, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini tertulis menetap di dalam pengasingannya di wilayah KAYU PUTIH TANAH TINGGI (sekarang sudah hilang dan menjadi wilayah Pulo Mas). KAYU PUTIH TANAH TINGGI seperti yang pernah saya tulis sebelumnya adalah salah satu “Markas Besar” para pejuang Jayakarta. Disitu banyak dimakamkan para Syuhada (makam-makamnya sudah dipindah ke Kayu Putih Utara Masjid Al-Ghoni Jakarta Timur). Di wilayah Kayu Putih Tanah Tinggi juga terdapat seorang ulama Karismatik yang bernama Datuk Kidam dan juga cucunya yang juga tidak kalah karismatiknya yaitu Syekh Abdul Ghoni (Waliyullah Dan salah satu guru Habib Ali Kwitang). 

Keterangan ini juga sekaligus menambahkan data bahwa wilayah lokasi pengasingan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah Kayu Putih Tanah Tinggi, karena dalam beberapa catatan sejarah, Sultan Muhammad Daud Syah diasingkan di daerah Pisangan Lama. Secara geografis saya lebih cenderung setuju Sultan Muhammad Daud Syah berada di Kayu Putih Tanah Tinggi apalagi jarak Rawamangun dan Kayu Putih Tanah Tinggi (Pulo Mas) itu sangat dekat, mengingat pula Syekh Abdul Ghoni  adalah ulama yang dikenal mempunyai banyak jaringan yang luas termasuk dengan ulama-ulama Atjeh.

Berdasarkan keterangan artikel singkat diatas ditambah keterangan dari Keluarga Besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma inilah  maka akhirnya saya putuskan untuk mencari keberadaan makam beliau. Rasanya cukup aneh dan janggal kalau Orang sebesar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah tidak diketahui keberadaan makamnya oleh masyarakat Umum apalagi mereka yang mencintai Sejarah lebih khusus lagi warga Jakarta dan Sekitarnya. Dengan menemukan keberadaan makam beliau maka akan semakin memperjelaskan bagaimana posisi dan kedudukan beliau sebagai Sultan Terakhir Atjeh dan bagaimana pula hubungannya dengan Jakarta.

Ada sebuah kisah lucu dan unik dalam pencarian makam ini.

Yang saya peroleh dari keterangan tertulis dari Keluarga Besar KH Ahmad Syar’i, bahwa Sultan Muhammad Daud Syah dimakamkan di Pemakaman Utan Kayu Jakarta  Timur. Lha setahu saya daerah Utan Kayu tidak ada pemakaman,  lha wong itu sangat dekat kok dengan rumah saya, itulah  yang menyebabkan saya tempo hari merasa pesimis bisa menemukan makam tersebut. Kemudian saya mencoba browsing internet, ternyata ketemu ! Tapi  tetap saja masih ada ganjalan, karena nama tempat pemakamannya berbeda-beda, ada yang menyebutnya PEMAKAMAN KEMIRI, ada yang menyebutnya PEMAKAMAN UTAN KAYU. Yang membuat saya semakin penasaran, posisi makam ini disebut berada di samping UNJ Rawamangun ! Lho bukannya itu adalah tempat dimakamkan AYAH SAYA ! Tapi setahu saya TPU itu namanya TPU SUNAN GIRI deh dan anehnya rasa-rasanya saya tidak pernah mendengar ada nama tokoh besar Aceh yang dimakamkan disini. 

Tapi dari dari situ saya kemudian mencoba untuk mengingat-ngingat kembali, adakah makam orang-orang Aceh di pemakaman dekat makam ayah saya ini ? Dan ternyata seingat saya memang ada tiga dan inipun posisinya tidak jauh dari Pos Petugas Pemakaman yang berada dekat di jalan raya, tapi berdasarkan ingatan saya, itu bukanlah makam Sultan Muhammad Daud Syah yang dimaksud. Ah daripada pusing, lebih baik saya langsung ke TKP. 

Hari Kamis pagi tanggal 30 Juni 2016, saya akhirnya secara singkat mendatangi komplek pemakaman yang juga ada makam ayah saya di Rawamangun itu (hari itu saya cuma bertanya saja). Sambil berdebar-debar saya bertanya kepada beberapa orang yang jual kembang makam di pinggir jalan raya Rawa Mangun Jakarta Timur. Begitu saya bertanya dimana lokasi letak makam “KEMIRI” dijawab mereka, “Lha ini dia pak PEMAKAMAN KEMIRI.....”. Sontak saya kaget dan menjawab, “Lha, ini bukan pemakaman SUNAN GIRI Pak ?” mereka menjawab, “Ya Iya pak, ini juga disebut TPU SUNAN GIRI...”, terus saya bertanya lagi, “Lha kalau TPU UTAN KAYU, yang mana Pak ?”, mereka jawab...”Lha ini juga TPU UTAN KAYU Pak” dan pas saya lihat Plang nama TPU ini ternyata memang tertulis jelas “TPU UTAN KAYU”. Menurut mereka terkadang Komplek TPU ini sering disebut KEMIRI, karena dulunya disini banyak pohon Kemiri, dan kadang sering disebut TPU UTAN KAYU, karena secara administratif memang masih menjadi bagian wilayah Utan Kayu Jakarta Timur.

Berdasarkan informasi yang saya peroleh, Rawamangun ini ternyata dahulunya juga masuk wilayah Utan Kayu (bahkan plang penunjuk jalan di sekitar kampus UNJ bertuliskan UTAN KAYU RAWAMANGUN. Eh Ladalah........jadi makam Sultan Muhammad Daud Syah itu dekat dengan makam Ayah Saya toh ! Ya Salam.......Jakarta sempit amat nih, fikir saya....Sudah hampir 6 tahun ayah saya dimakamkan di komplek ini, baru tahu kalau ada makam Pejuang Besar plus juga para pengikutnya, dan lebih aneh lagi saya baru tahu kalau komplek pemakaman ini nama aslinya adalah TPU UTAN KAYU, hehehe “kurang piknik” kalau kata istilah teman saya. Yang juga dulu sempat membuat saya tanda tanya, sebelum meninggal Al-Marhum Ayah saya (Allah Yarham..) ingin sekali dimakamkan di Komplek ini, dia beralasan, Pemakaman Sunan Giri ini Nyaman dan Damai buat dirinya, dan beliau ingin dimakamkan yang dekat dengan Musholah. Pantas saja beliau ingin disini karena memang suasana pemakaman disini sangat terasa “damainya” dan memang setahu saya selain Sultan Muhammad Daud Syah, ada beberapa makam Ulama Tempo Dulu Betawi lagi yang mastur dan sering diziarahi banyak orang, beliau bernama KH Muhammad Sholeh (Mbah Sholeh ?) dan di dekat makam Sultan juga saya lihat ada makam seorang kyai yang berusia 99 tahun.  

Hari Jumat pukul 14.45 siang tanggal 1 Juli 2016, saya bersama istri akhirnya memutuskan datang ke pemakaman Sunan Giri atau TPU Utan Kayu atau TPU Kemiri ini. Sebelumnya sudah tentu saya terlebih dahulu berziarah ke makam ayah saya, setelah berziarah, saya langsung bertanya kepada penjaga yang biasa mengurus makam ayah saya yang sudah cukup akrab bernama Bapak Nimin (Pak Kopral). Pak Kopral kemudian menunjukkan dengan gamblang posisi makam Sultan Muhammad Daud Syah. Beliau juga mengatakan, kalau makam tersebut tergolong tua, dan disekitarnya banyak makam orang-orang Atjeh termasuk pengikut Sultan Muhammad Daud Syah.

Dari makam ayah saya, kemudian saya dan istri meluncur kearah belakang komplek pemakaman. Saya menuju makam Sultan Muhammad Daud Syah dengan mengambil jalan utama makam dengan patokan Pompa Dragon (pompa tangan) warna hijau. Jarak makam beliau ini cukup lumayanlah jika berjalan kaki. Apalagi jika dimulai dari pintu gerbang masuk. Kurang lebih sekitar 300 meter.  Setelah menemukan pompa dragon warna hijau itu, saya berhenti di pinggir jalan dan melihat posisi di sebelah kanan. Saya berhenti dan melihat beberapa makam, dan akhirnya bertemulah saya dengan makam SULTAN TERAKHIR DARI KESULTANAN ACEH DARUSSALAM INI !

Makamnya termasuk yang berbeda, karena cukup besar, namun tetap bersahaja. Saya cukup terharu menemukan makam ini. Seorang Sultan Besar yang telah mengorbankan jiwa dan raganya, makamnya begitu sangat sederhana dan tidak menunjukkan kelasnya sebagai seorang Sultan Besar yang pernah membuat nyali penjajah bergetar. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi makam tersebut 77 tahun yang lalu (beliau wafat tahun 1939 M). Tentu keberadaannya sangat sunyi dan berada tempat yang sangat jarang diketahui apalagi dikunjungi masyarakat, apalagi pada masa itu wilayah Rawamangun banyak kebun-kebun yang lebat dan sawah-sawah masyarakat Betawi, kalau orang Betawi bilang tempat ini termasuk “Tempat Jin Buang Anak” karena begitu sepinya. Sudah tentu jumlah makam yang ada pada waktu itu tidak terlalu banyak seperti yang sekarang ini. Belanda sepertinya ingin menghilangkan jejak kebesaran Sultan Terakhir Atjeh ini dengan “menyembunyikan” posisi makam beliau ini. Sepertinya mereka khawatir jika makam jihadis tangguh ini akan banyak diziarahi orang. Terbukti jika melihat posisi makam, sangat jauh sekali dari jalan raya dan pemukiman, ini kondisi sekarang, apalagi pada masa lalu, yang wilayahnya masih banyak terdapat kebun-kebun yang rapat dan lebat. Sedangkan pusat-pusat kegiatan kota Batavia lebih banyak berada di wilayah Lapangan Banteng, Tanah Abang, Senen, Harmoni, dll. Sampai tahun 1955 saja menurut ayah saya wilayah Pulo Mas apalagi Rawa Mangun itu masih lebat kebun-kebunnya, jalannya juga jarang dilewati kendaraan karena masih sebagian belum beraspal, paling yang sering dilewati wilayah-wilayah Jakarta Pusat.

Setelah berhadapan dengan makam beliau ini, saya kemudian berdoa untuk arwah beliau dan juga pengikutnya yang berada disamping kiri dan kanan. Dan Alhamdulillah, selama saya berziarah tidak ada orang-orang yang dalam beberapa tulisan datang untuk ini, untuk itulah....mereka para petugas makam, hanya melihat biasa saja ketika saya dan istri ziarah. Sekalipun orang-orang tersebut datang untuk “pura-pura” membersihkan makam, bagi saya itu biasa saja..toh memang rezeki mereka banyak terdapat disitu.

Ada nuansa aneh dalam ziarah ke makam beliau ini. Dari rumah saya ngotot sekali untuk memakai kopiah corak hijau dan juga memakai sorban. Padahal sebelumnya kalau saya ziarah, biasa-biasa saja, tapi untuk kali ini ada rasa keinginan besar memakai kopiah dan sorban (padahal saya bukan Ustadz..). Entahlah, saya merasa berpakaian seperti itu karena ingin “menghormati” jasa beliau sebagai pahlawan besar. Simbolisasi ini saya “berikan” karena beliau adalah seorang Sultan Besar dan Pejuang Agama Allah yang luar biasa. 

Demi perjuangan jihad fisabilllah Sultan Muhammad Daud Syah ini telah rela mengorbankan hartanya, dia rela keluar masuk hutan demi kebenaran, dia rela meninggalkan tanah airnya, dia rela terisolasi dari rakyatnya. Dia benar-benar keluar dari “zona aman” dalam hidupnya. Tidak banyak Sultan yang bisa bersikap seperti ini. Dia bisa saja menjadi Sultan yang dilantik dan dibawah kendali Belanda, namun itu tidak dia lakukan, karena baginya jika Seorang Sultan dilantik Belanda, itu sama saja dirinya menjadi “Budak Penjajah”. Dia lebih memilih menderita bersama rakyatnya. 

Sekalipun harta keluarga besar Kesultanannya dirampas Penjajah Belanda dan dia kemudian jatuh miskin, tapi penjajah rupanya lupa, Sultan Ini tidak pernah bisa terbeli hatinya sampai kapanpun. Sekalipun dia jatuh miskin, sekalipun ada fihak yang menghianatinya, perlawanannya itu tidak pernah berhenti. Terbukti dia mampu memberikan pengaruh terhadap pejuang-pejuang Jayakarta termasuk memberikan pengaruh kepada Kepada KH Ahmad Syar’i Mertakusuma. Artinya Sultan Muhammad Daud Syah adalah salah satu Guru dan Motivator KH Ahmad Syar’i. Ciri khas keduanya sama, sama-sama tidak pernah mau tunduk terhadap penjajahan, sama-sama ditekan penguasa, sama-sama berhadapan dengan “oknum” penjilat penjajah, sama-sama cinta terhadap jihad fisabillah, sama-sama harus hijrah ke negeri lain, dan sama-sama meninggal dalam kesunyian di negeri orang. 

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, adalah Jihadis Agung Bangsa Ini, dia tidak hanya milik orang Atjeh, dia juga milik orang Jakarta, dia juga milik kita semua. Demi perjuangan dia mungkin bisa saja “hilang” dalam “catatan” sejarah perjuangan bangsa ini, tapi bagi kita yang cinta terhadap perjuangan beliau untuk memperoleh keadilan dan kebenaran, maka sosok beliau ini bisa kita kenang dan patut kita contoh dalam kehidupan sekarang, Kegigihannya dalam mempertahankan prinsip, keuletannya dalam mempertahankan Aqidah adalah sebuah prinsip hidup yang cukup mengagumkan...

Semoga Pejuang Sejati Allah ini ditempatkan ke dalam tempat yang terbaik kelak di akhirat sana....Amin...

Al-Fatihah untuk Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah.....

Bersama As-Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan... Kang Suranagara Ahmad

Sumber tulisan Are Lando

Sabtu, 5 Jun 2021

Partai GABTHAT

Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasullulah . 

Gabthat kependekan dari Generasi Atjeh Beusaboh Tha'at dan Taqwa.

partai ini didirikan oleh Abi Lampisang. panggilan yang populer bagi Teungku Ahmad Tajuddin.Abi Lampisang lahir pada 15 September 1962 di desa Lampisang.

Ayahnya, Teungku Abdullah, seorang pemimpin dayah  Lampisang. Setelah sang ayah meninggal dunia, beliau lah yang melanjut kan kepemimpinan di dayah Lampisang.

Pada tahun 1998, pasca pemerintahan Soeharto dan pencabutan status Daerah Operasi Militer atau DOM di Aceh, beliau menggelar dakwah akbar yang dihadiri ribuan jamah di dayahnya.Abi lampisang pun jadi incaran militer Indonesia dituduh  sebagai pengajar dokrin pembebasan GAM

Abi lam pisang sempat tinggal berpindah pindah, karena keselamatannya terancam. Akibatnya, dayah Lampisang sempat terbengkalai.

Perjanjian damai antara pihak GAM dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, telah membuka lembaran baru bagi Aceh, termasuk bagi Abi lampisang. Perjanjian awal Undang-Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006 /UU PA. Undang-undang itu menyebutkan bahwa orang Aceh diberi keleluasaan dalam berserikat dengan membentuk partai lokal.

Abi pun dan beberapa rekan seperjuangannya , seperti Teungku Azhari, Teungku Hamdani Lampisang, dan Teungku Muhammad Samalanga, memanfaatkan peluang ini. Mereka sepakatmendirikan  partai yang kemudian dinamai Partai Gabthat.

Gabthat menjadi partai lokal kedua yang dideklarasikan di Aceh. Sebelumnya, pada 2 Maret 2006, Partai Rakyat Aceh atau PRA yang dikomandani para aktivis jadi partai lokal pertama yang di deklerasikan

Gabthah sudah berdiri pada 4 Desember 2005, tapi belum berbentuk partai, masih berstatus yayasan 

Pada tanggal 21 Maret 2007, deklarasi Gabthat sebagai partai dilaksanakan di makam Sultan Iskandar Muda. 

Partai Gabthat dalam strukturnya juga berpedoman pada struktur pemerintahan Aceh tempo dulu. Imeum Chik merupakan sebutan bagi pemimpin tertinggi partai ini.

Qanun adalah undang-undangan yang berdasarkan hukum agama. Reusam melambangkan tatanan protokoler atau adat-istiadat. Semua unsur ini mengacu pada satu asas, yaitu ” agama ngon adat, lagei zat ngon sifeut  .

Partai Gabthat yang memiliki lima asas, yaitu bertuhan dengan Allah SWT, bernabi dengan Nabi Muhammad SAW, berpedoman dengan Alquran dan hadist, berakidah dengan ahlus sunnah waljamaah dan bermahzhab Syafi'i.

Ahlus sunnah waljamaah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi dan sunnah sahabatnya radhiyallahu 'anhum

Gabthat punya cabang di 15 kabupaten dan kota, dan di 93 kecamatan yang terkenal di seluruh Aceh.

Sumber Tulisan Adi Fa

Utusan Sultan Ke Pulau Penang

    Panglima Teungku Sayed Tsafiuddin Ahmad Jamalulail.

Sultan Mansyur Syah berupaya semampunya kepada memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. 

Beliau berhasil menundukkan para raja/Ule balang penghasil lada agar menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak bisa diterapkan sultan terdahulu.

Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Admiral Tuanku Husen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini  meneguh kan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. 

Namun pada tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.

Sultan juga berupaya membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha kepada membendung serangan Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana pertolongan kepada Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan sebagian peralatan tempur kepada Aceh. 

Tak hanya dengan Turki, sultan juga berupaya membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.para duta besar Aceh merangkap panglima juga di kirem ke Penang guna mencari bantuan senjata dari Ingris sebelum Belanda benar benar menyerang Aceh pada tahun 1873

Salah satu nya yang di kirem adalah Panglima perang Teungku Sayed Tsafiuddin Ahmad Jamallulail,utusan ini di pimpin oleh Teuku Imum lueng Bata yang dikenal sebagai "cicem pala" Istana.turut serta juga panglima prang Tengku haji Saleh Garut.Teuku Kadli malikon Ade serta Habib Abdullah AlAttas dari Idi.mareka tiba di Penang pada tahunb1870.

Sumber tulisan Adi Fa

Daftar Irigasi Di Aceh Yang Di Bina oleh Belanda.

                   Foto Irigasi Kreung Peusangan

Keterangan keterangan lengkap mengenai pekerjaan irigasi dalam daerah Aceh,baik yang telah dikerjakan maupun yang diusulkan pelaksanaannya itu dapat dijumpai dalam nota 
yang ditulis oleh Ir.Berkhout berjudul “Het nut van irrigatie voor Atjeh” (kegunaan irigasi untuk daerah Aceh) yang telah disiapkan dalam Desember 1930.

dengan rencana pembuatan pekerjaan irigasi baru dan mau melaksanakan pekerjaan itu dengan menuruti petunjuk petunjuk kami dalam bentuk yang lebih banyak tidak dibayar.

Mengetahui hasil-hasil selanjutnya dipersilahkan memperhatikan daftar terlampir:

I. Pekerjaan irigasi pemerintah yang dikerjakan selama masa 1929-1932: 

1) Pembuatan bendungan baru di Krueng Idi Rayeuk dekat Jambo Reuhat (diotorisasi dengan Surat Keputusan 
Pemerintah Pusat tanggal 14 Mei 1928 Nomor 11, siap dikerjakan bulan Desember 1929 dengan biaya 
(dibulatkan) f108.395,00).

2) Perbaikan-perbaikan berat bendungan Krueng Bakongan (diotorisasi dengan Surat Keputusan Direktur Pekerjaan 
Umum tanggal 2 juli 1929 Nomor E 15/4/22, praktis selesai dikerjakan bulan Desember 1929).

3) Perbaikan pengaliran air Krueng Peusangan sebelah kiri (diotorisasi dengan Surat Keputusan Direktur Pekerjaan Umum tanggal 25 september 1930 Nomor E 15/5/12, siap dikerjakan bulan Desember 1931 dengan biaya 
(dibulatkan) f 41.665,00). 

4) Pembuatan pembagian air untuk mukim mukim Nicah dan Tanjong (diotorisasi dengan Surat Keputusan 
Direktur Pekerjaan Umum tanggal 9 November 1931 Nomor E 15/5/8-9, belum siap dikerjakan dengan biaya 
f3.000,00). 

II. Pekerjaan irigasi pemerintah yang telah diajukan rencana pelaksanaannya kepada Direktur Pekerjaan Umum selama tahun 1929-1932, akan tetapi belum diotorisasi berhubung dengan penghematan.

1) Bagian pertama untuk pengaliran detail Krueng Idi Rayeuk (dilanjutkan pada tanggal 20 Oktober 1930; 
rencana biaya f 85.700,00).

2) Perbaikan pemasukan dan pengeluaran air Paya Rubee (diajukan pada tanggal 14 Setember 1931; rencana biaya f 59.000,00).

III. Pekerjaan-pekerjaan irigasi yang sebagian besar sudah selesai dikerjakan, akan tetapi, berhubung dengan keadaan 
masanya, tidak diajukan.

1) Perbaikan pengaliran air Krueng Geupeu dekat Leupung (diusahakan agar sebagiannya dapat dikerjakan dengan 
pekerjaan rodi, sementara sebagiannya lagi dengan bantuan “dana-dana perawatan biasa”; kerajinan dan 
animo rakyat sangat berkurang,sehingga setelah dipertimbangkan masak masak oleh Imuem Teuku Mansur Leupung – telah diputuskan untuk dihentikan
seluruh pekerjaan itu). 

2) Perbaikan pembuangan air di dan sekeliling Kutaraja(Ketua Dana Kota Kutaraja mempertimbangkan untuk 
melaksanakan sebagian dari pekerjaan itu dengan biayabiaya dana tersebut).

3) Pembaruan akuaduk di Lueng Pangwa, wilayah Mereudu.

IV. Pekerjaan-pekerjaan irigasi yang selama masa 1929-1932 baik seluruhnya maupun sebagian besarnya 
dilaksanakan oleh penduduk sendiri tetapi dipimpin atau dengan bantuan Dinas Pekerjaan Umum.

1) Pembuatan bendungan kasur (=matrassendam) di Krueng Geupeu dekat Leupung, wilayah Lhok Nga.

2) Perluasan pengaliran air Krueng Jeulanga dan Krueng Kiran dekat Jangka Buya, wilayah Bireuen.

3) Perbaikan pengaliran air Paya Laot di Peudada, Kenegerian Samalanga, wilayah Bireuen.

4) Pembuatan tanggul penahan air asin dekat Alue Buya, wilayah Bireuen.
5) Perbaikan pengaliran air Paya Kareueng dekat Bireuen,wilayah Bireuen.

6) Perbaikan pengaliran air Alue Bobo sebelah kanan Krueng Peusangan,wilayah Bireuen.

7) Perbaikan pembuangan air Paya Seunudōn, wilayah Lhoksukōn.

V. Pekerjaan-pekerjaan irigasi yang selama masa 1929-1932dilaksanakan oleh penduduk, akan tetapi dengan 
mengikuti petunjuk petunjuk Dinas Pekerjaan Umum. 

1) Perluasan pengaliran air sebelah kanan Krueng Samalanga,wilayah Bireuen.

2) Perbaikan pengaliran air Krueng Leubu, wilayah Bireuen.

VI. Pekerjaan-pekerjaan irigasi yang telah diperiksa luasnya selama masa 1929-1932 akan tetapi belum selesai 
diperbuat rencananya:

1) Perluasan pengaliran air Krueng Langkareung, wilayah Seulimeum; tidak akan dilaksanakan.

2) Pelaksanaan pengaliran air Krueng Lam Panaih, wilayah Selimuem.

3) Pelaksanaan pengaliran air waduk Cot Amut, wilayah Sigli, yang akan dibuat lagi.

4) Pelaksanaan pengaliran air dari dua buah waduk dalam kenegerian Panteraja, wilayah Meuredu; tidak akan dilaksanakan.

5) Pelaksanaan pengaliran air Krueng Nalam, wilayah Bireuen .

6) Perbaikan pengaliran air Krueng Peudada, wilayah Bireuen.

7) Perbaikan pengaliran air waduk-waduk Sikamòh dan si 
Jaloh di Peudada, wilayah Bireuen.

8) Perbaikan pengaliran air Paya Geudubang dan Paya Jagat, 
dekat Bireuen.

9) Perbaikan pengaliran air Paya Minyeuk dan Paya Lipah serta perluasan pengaliran air Krueng Peusangan, wilayah Bireuen.

10) Pelaksanaan pengaliran air Krueng Leumut dan Krueng Tuan dalam kenegerian Sawang, wilayah Lhokseumawe.

11) Pelaksanaan pengaliran air yang baik dari Krueng Pase, wilayah Lhokseumawe dan Lhok Sukon.

12) Perbaikan pembuangan air areal sawah dekat Simpang Ulim, wilayah Idi.

13) Perluasan daerah pengaliran air krueng Julok Cut, wilayah Idi.

14) Pelaksanaan pengaliran air krueng Julok Rayeuk, wilayah Idi.

15) Pelaksanaan pengaliran air Krueng Idi Cut, wilayah Idi.

16) Pelaksanaan pengairan air Alue Buya, wilayah Langsa.
17) Perbaikan pengaliran air Krueng Bakongan, wilayah kenegerian bagian selatan Aceh.

18) Pelaksanaan pengaliran air Krueng Luas dalam kenegerian Bakongan, wilayah kenegerian kenegerian 
bagian selatan Aceh.

Perhatian: Dalam daftar ini tidak dicantumkan dua buah kelompok pekerjaan, yaitu:

1) Pekerjaan irigasi yang telah dilaksanakan oleh penduduk 
tanpa campur tangan Dinas Pekerjaan Umum atau sekurang-kurangnya dengan nasihat Dinas Pekerjaan Umum;

2) Pekerjaan-pekerjaan irigasi yang telah dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum kenegerian tanpa campur tangan Dinas Pekerjaan Umum atau sekurang-kurangnya dengan nasihat Dinas Pekerjaan Umum (terutama dalam daerah Kebupatian Aceh timur).

Sumber Tulisan Adi Fa

Ini Alasan Aceh Di Juluki Serambi Mekkah


Pada abad ke 15 M, Aceh pernah mendapat gelar yang sangat terhormat dari umat Islam nusantara. Negeri ini dijuluki “Serambi Mekkah” sebuah gelar yang penuh bernuansa keagamaan, keimanan, dan ketaqwaan. Menurut analisis pakar sejarawan, ada 5 sebab mengapa Aceh menyandang gelar mulia itu. 

Pertama, Aceh merupakan daerah perdana masuk Islam di Nusantara, tepatnya di kawasan pantai Timur, Peureulak, dan Pasai. Dari Aceh Islam berkembang sangat cepat ke seluruh nusantara sampai ke Philipina. Mubaligh-mubaligh Aceh meninggalkan kampung halaman untuk menyebarkan agama Allah kepada manusia. Beberapa orang di antara Wali Songo yang membawa Islam ke Jawa berasal dari Aceh, yakni Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ngampel, dan Syarif Hidayatullah.

Kedua, Daerah Aceh pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan di Nusantara dengan hadirnya Jami’ah Baiturrahman (Universitas Baiturrahman) lengkap dengan berbagai fakultas. Para mahasiswa yang menuntut ilmu di Aceh datang dari berbagai penjuru dunia, dariTurki, Palestina, India, Bangladesh, Pattani, Mindanau, Malaya, Brunei Darussalam, dan Makassar.

Ketiga, Kerajaan Aceh Darussalam pernah mendapat pengakuan dari Syarif Makkah atas nama Khalifah Islam di Turki bahwa Kerajaan Aceh adalah “pelindung” kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Karena itu seluruh sultan-sultan nusantara mengakui Sulatan Aceh sebagai “payung” mereka dalam menjalankan tugas kerajaan. 

Keempat, Daerah Aceh pernah menjadi pangkalan/pelabuhan Haji untuk seluruh nusantara. Orang-orang muslim nusantara yang naik haji ke Makkah dengankapal laut, sebelum mengarungi Samudra Hindia menghabiskan waktu sampai enam bulan di Bandar Aceh Darussalam. Kampung-kampung sekitar Pelanggahan sekarang menjadi tempat persinggahan jamaah haji dulunya.

Kelima, Banyak persamaan antara Aceh (saat itu) dengan Makkah, sama-sama Islam, bermazhab Syafi’i, berbudaya Islam, berpakaian Islam, berhiburan Islam, dan berhukum dengan hukum Islam. Seluruh penduduk Makkah beragama Islam dan seluruh penduduk Aceh juga Islam.

Orang Aceh masuk dalam agama Islam secara kaffah (totalitas), tidak ada campur aduk antara adat kebiasaan dengan ajaran Islam, tetapi kalau sekarang sudah mulai memudar.

Sumber fb Are Lando

HARI PENOBATAN SULTAN ISKANDAR MUDA


Pagi itu, Rabu, 16 Zulhijah 1015 Hijriah, bertepatan 10 Februari 1607 Masehi. Sejak subuh, seiring terbitnya sang fajar hingga matahari memancarkan sinarnya menerangi bumi. Di istana darud dunia kerajaan Aceh Darussalam telah dibunyikan 101 letusan meriam, sebagai pertanda hari itu adalah hari penobatan Sri Paduka Yang Mulia Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam sebagai Sultan kerajaan Aceh ke 20, dari 40 Sultan/Sultanah yg pernah memerintah kerajaan di kerajaan Aceh, terhitung dari Sultan Johan Syah (1205-1255 M) sebagai Sultan Aceh pertama, hingga Sultan Muhammad Daud Syah (1884-1907 M) sebagai Sultan Aceh terakhir.

Dalam pengobatan Iskandar Muda sebagai Sultan yg akan memimpin kerajaan Aceh ketika itu, Syekhul Islam atau lebih dikenal Qadhi Malikul Adil saat memberikan sumpah penobatan kepada Sultan Iskandar Muda mengatakan:

"Rakyat menyembah raja dlm Zahir, tapi raja juga harus menyembah rakyat dlm batin. Sebab karena adanya rakyat barulah adanya raja. Sebesar-besar dosa bagi raja bila memerintah tidak adil. Maka rajalah yg menanggung jawab di hadapan Tuhan kita Yang Esa pada hari kiamat nanti. Karena itu, pimpinlah rakyat dgn sempurna danadil, supaya tdk menyimpang ke garis yg salah. Pergunakan segala hukum dan ilmu yg telah diatur dlm kitabullah, dan ikuti segala petunjuk Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabatnya serta empat imamnya. Tunjukilah sekalian rakyat yg gelap atau bebal kepada jalan yg terang dan cerdas," kata Qadhi Malikul Adil ketika melantik Sultan Iskandar Muda di atas batu tabal (batu Kramat) sebagai Sultan kerajaan Aceh Darussalam.

Usai pemberian sumpah oleh Qadhi Malikul Adil, Sri Sultan Iskandar Muda dgn gagah dan penuh wibawa dlm usianya 18 tahun berpidato di atas batu tabal (patu penyumpahan) sebagai ikrar mahkota (pidato pertamanya) di depan para hadirin yg hadir dlm upacara penobatannya sebagai Sultan yg akan memimpin kerajaan Aceh Darussalam. Lalu Sultan Iskandar Muda memulai ikrar mahkota pidatonya:

"Ampun...! Ampun Tuhanku. Ya Tuhanku, aku akan mengikuti segala titah dan suruhan-Mu. Ampunilah segala dosa ku. Jauhkanlah diriku dari segala pekerjaan yg mungkar. Tunjukkanlah oleh-Mu akan daku segala jalan yg tepat dan benar, dan lindungilah daku dari segala marabahaya-Mu. Hari ini hamba-Mu sekalian telah menabalkan daku akan menjadi badak khalifah-Mu untuk menjalankan titah dan suruh Rasul-Mu Nabi Muhammad SAW. Berat terasa oleh ku beban ini yg dipikirkan atas pundak ku. Oleh sebab itu, karuniakanlah kemurahan-Mu kepada ku dgn jalan yg  memberikan daku badan yg sehat, pikiran yg segar dan nyaman, supaya daku akan dapat memimpin rakyatku dgn Ridha-Mu.

Ya Tuhanku, lindungilah sekalian rakyatku dari pada marabahaya-Mu. Berikanlah akan mereka itu tenaga yg sehat, serta pikiran yg nyaman, supaya rakyatku dapat berbuat bakti kepada-Mu.

Ya Tuhanku, lindungilah oleh-Mu akan segala para ulama sebagai pelita alam ini dari segala marabahaya-Mu. Terangkanlah hati mereka itu, supaya dpt menuntun segala ilmu-Mu, dan jernihkan pikiran mereka itu, supaya jelas penunjukannya bagi semua rakyatku di dunia dan di akhirat kelak.

Wahai...sekalian rakyatku, aku telah bersumpah pada Tuhan-ku akan mengikuti segala titah suruhan itu kepadamu. Aku telah menerima tabalanmu dgn hati yg gembira. Aku berterimakasih kpd sekalian akan keridhaan dan kepercayaan akan daku yg tulus dan ikhlas. Akan tetapi, oleh karena kekhawatiran akan diriku yg bermata dua, bertelinga dua,  bertangan dua, berkaki dua, dan sifat-sifat keadaan badanku seperti keadaan manusia lainnya juga. Maka aku jelaskan sifat tubuhku seperti mata aneuh geulunjong daruet (seperti mata bebas berparuh belalang) utk menyempurnakannya.

Aku perlu mempunyai bantuan dari para ulama dan orang-orang besar dlm  negeriku. Mereka itu akan menjadi mata telinga dan kaki tanganku. Seperti yg engkau lihat sekalian, di kananku berdiri seorang yg memegang Quran kitabullah, itulah yg memelihara segala hukum Tuhan kita, dan diriku orang yg memegang pedang, itulah yg memelihara segala adat dan negeri kita. Terutama sekali kpd pemangku-pemangkunya dan pengikut-pengikutnya aku serahkan kepercayaan ku utk dpt menjalankan titahku dgn sempurna.

Ikutilah segala perintahnya yg benar dan tegahkanlah pekerjaannya yg karut dimana perlunya (benar ta ikot karot tateugah). Aku akan melindungi engkau sekalian wahai rakyatku dari pada kezaliman orang-orang besar dan hulubalang-hulubalangku. Akan tetapi, engkau sekalian wahai rakyatku juga harus menghormati mereka seperti engkau sekalian menghormatiku.

Demikianlah ucapan dan pesanku kpd sekalian yg hadir, mudah-mudahan pesan ini dpt disampaikan pula kpd seluruh rakyatku yg tdk dapat hadir dlm penobatanku pd hari ini.

Wahai sekalian para ulama, para Wazir perdana, orang-orang besar dan para hulubalangku, pimpinlah rakyatku akan jalan kebijakan dan perintahkan mereka dgn sempurna dan adil.

Ya Tuhanku, lindungilah kami sekalian dari pekerjaan yg mungkar, dan dari segala marabahaya-Mu". "Amiiiiiiin....", sahut hadirin dan seluruh tamu undangan saat Sultan Iskandar Muda mengakhiri pidato ikrar mahkota penobatannya sebagai Sultan kerajaan Aceh Darussalam ketika itu.

Repost from Are Lando

Jumaat, 4 Jun 2021

Aceh Dan Mimpi Buruk Belanda


RUMAH itu dibangun usai Tsunami. Terletak di pesisir Aceh(Acheh) Besar, Lamnga terbilang padat penduduk. Desa ini berjarak lebih kurang 12 kilometer dari Kutaradja atau Bandar Aceh sekarang.

Ada tambak udang dan sungai kecil di sisi kanan. Sementara laut dan sungai besar di sisi kiri. Beberapa ladang sira atau garam yang ditinggal pekerja hingga ratusan kuburan tanpa nama yang bernisan khas Aceh tempo dulu. Konon di desa ini lah para pejuang lahir dan kemudian mencatat sejarah Aceh.

Saat para Teuku atau bangsawan lain merapat ke Belanda, Ulee Balang Lamnga menjawab dengan perang.

Di masa lalu, Desa Lamnga adalah tempat kedudukan Uleebalang. Mukim Lamnga termasuk XXVI Mukim Atjcheh Besar, yang pada zaman kerajaan Atjcheh merupakan daerah Bibeueh (Bebas Langsung) di bawah Sultan, yang wilayah mencakup mukim Ie Meule Sabang (Pulau Weh).

Mukim Lamnga berada di pesisir pantai laut pada persimpangan Selat Malaka dan Selat Benggala, dan merupakan perlalulintasan perjalanan kapal laut ke dari nusantara.

Ada Teuku Nyak Makam yang dikenal dengan Panglima Nyak Makam. Ia lahir di Desa Lamnga sekitar tahun 1838 M. Ayahnya bernama Teuku Abbas gelar Ujong Aron bin Teuku Chik Lambaro, bin Imam Mansur, bin Imam Manyak bin Teuku Chik Mesjid. Mereka secara turun temurun pada zamannya menjadi Ulee Balang dari mukim daerah Bibueh.

Ayahnya sendiri abang kandungnya Teuku Ibrahim Ujong Aron, dan saudara sepupunya Teuku Chik Ibrahim suami Cut Nyak Dien, dan Teuku Ajad turut gugur secara beruntun waktu dalam pertempuran.

Perlawanan Lamnga menjadi momok tersendiri bagi Belanda. Setiap upaya Belanda dan para cuak mencoba menyeberang, selalu dijawab dengan pedang dan rencong. Salah satu sudut di Lamnga kemudian diberi gelar Abah Darah atau mulut darah. Dimana para marsose serta serdadu Belanda menuai ajalnya di sana.

Nyak Makam sendiri dipancung lehernya pada 22 Juli 1896. Ia ditangkap dalam keadaan sakit. Namun tak pernah tunduk pada Belanda.

“Sebenarnya Nyak Makam hendak dilarikan oleh beberapa pengikutnya sebelum ditangkap Belanda, tapi ia tidak ingin menjadi beban. Karena ia yakin, sosoknya akan tergantikan dalam waktu singkat. Perang akan melahirkan pemimpin,” kisah tetua Desa Lamnga kepada beberapa waktu lalu.

Tak hanya Panglima Nyak Makam, Lamnga juga mengisah tentang Ibrahim atau dikenal dengan sebutan #Ibrahim_Lamnga. Ia lelaki yang saleh dan cerdas.

Waktu perang Atjcheh meletus pada tahun 1873, Cut Nyak Din telah menikah dengan Ibrahim Lamnga. Pernikahan itu bahkan sudah dilaksanakan secara kawin gantung pada 1862 sewaktu Cut Nyak Din masih berumur 12 tahun. Suami isteri baru berkumpul kemudian setelah sang isteri cukup umurnya. Waktu perang meletus, mereka sudah dikaruniai seorang anak.

Kesultanan Atjcheh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan. Sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873. J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Atjcheh.

Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada 24 Desember 1875. Suaminya, Ibrahim Lamnga, selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada 29 Juni 1878. Sejak itu Cut Nyak Din menjadi janda dengan seorang anak. Namun Ia tetap ikut berperang melawan Belanda. Baginya tidak ada damai dengan musuh. Musuh itu kaphe (kafir) mereka telah menyebabkan suaminya tewas.

“…Mengungsilah! Semoga Tuhan melindungimu! Tujuh puluh pengawal bersenjata aku tinggalkan untuk mengawanimu. Sekalian mereka itu adalah kawan-kawan terpilih yang setia. Sekiranya kita tidak bertemu, kawan yang tujuh puluh orang itulah yang akan bersamamu berjuang di jalan Allah…”

Itulah pesan akhir Ibrahim Lamnga pada isteri tercintanya, Cut Nyak Dien. Dan perjuangan Ibrahim mempertahankan tanah airnya, makin menambah rasa cinta isterinya Cut Nyak Dien. Serpihan sejarah kisah cinta dua pejuang sejati itu dikisahkan dalam buku M.H. Szekely-Lulofs, seorang puteri Lulofs, yang pernah bertugas di Sumatra Utara. Kisah cinta heroiik itu dapat dibaca dalam buku Tjoet Nya Din: Riwajat Hidup Seorang Puteri Atjcheh yang kemudian diterjemahkan A. Muis, setelah beberapa tahun Indonesia merdeka.

Kematian Ibrahim membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Ia mewarisi tekad Ibrahim. Ibrahim adalah guru dan cinta pertamanya. Pada Ibrahim ia belajar komitmen dan seni pedang. Ia bertekad hanya akan menikah lagi dengan lelaki yang bisa membalas kematian suaminya, Ibrahim Lamnga.

Komitmen ini terdengar hingga ke telinga Teuku Umar, sepupunya yang tinggal di Meulaboh. Umar pun datang untuk melamar Cut Nyak Dhien, tapi ditolak mentah-mentah. Bisa jadi karena saat itu, Umar telah beristri dua. Mereka adalah Nyak Malighai dan Nyak Sufiah.

Namun bukan Umar namanya jika mudah menyerah. Ia akhirnya berpura-pura terluka akibat serangan Belanda untuk merebut simpati dari Cut Nyak Dhien.

Alkisah di suatu hari, Teuku Umar ditandu hingga ke depan rumah Cut Nyak Dhien. Teuku Umar terlihat berdarah-darah.

“Pakon nyan?” tanya Cut Nyak Dhien penasaran.

“Lon keuneuk jak woe,” jawab Umar.

“Bek. Ta peu ubat dilee. Harus ta peu ubat. Bek putoh asa,” kata Cut Nyak Dhien.

“Bah mate mantong. Cut Nyak tulak (menolak lamaran-red) lon,” ujar Teungku Umar lagi.

Mendengar hal ini, Cut Nyak Dhien tereyuh. “Bek. Tapeu ubat nyoe dilee. Ban leuh nyan baroe ta peu ubat luka nyan (hati-red),” kata Cut Nyak Dhien.

“Hana peu. Cut Nyak jok ubat mantong bak lon,” ujar Teuku Umar lagi.

Siasat Teuku Umar berhasil. Pernikahan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pun kemudian berlangsung pada 1880 atau 2 tahun setelah Ibrahim meninggal. Suatu ketika, saat Teuku Umar mandi, Cut Nyak Dhien melihat badan Teuku Umar tak ada lagi bekas luka seperti saat ditandu beberapa waktu lalu.

“Teuku, pat luka,” tanya Cut Nyak Dhien. Teuku Umar tahu maksud Cut Nyak Dhien. Dia pun mengaku kalau luka itu hanyalah akal-akalannya agar Cut Nyak Dhien mau menikah dengan dirinya.

Keromantisan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien tak berlangsung lama. Harapan Cut Nyak Dhien agar Umar menjadi sosok pengganti Ibrahim hilang pada 1883 atau tiga tahun usai mereka menikah. Hati Cut Nyak Dhien semakin hancur, saat Umar membelot ke Belanda. Ia terlibat perang dengan para pejuang Aceh, menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh, salah satu unit pejuang Atjcheh yang terdiri dari pasukan perempuan.

Teungku Fakinah kemudian menemui Cut Nyak Dhien.

“Yu Jak beureujang Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee.”

Perkataan ini menusuk sanubari Cut Nyak Dhien, melalui Pang Karim, sosok yang dikenal dengan Teuku Meulaboh, panggilan Teuku Umar, Dhien menitip pesan ke suaminya itu yang berada di markas Belanda itu.

“Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran (Markas Sukey Fakinah). Sekarang, barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi, pria melawan wanita yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan: jangan- lah menyusu pada badak,” kata Cut Nyak Dhien dalam bahasa Atjcheh.

Pesan ini sampai ke telinga Teuku Umar dengan cepat. Teuku Umar gundah. Ia tidak ingin cintanya kembali tersakiti. Sekitar tahun 1884, Umar kembali membelot ke pejuang Atjcheh.

Namun September 1893, Teuku Umar kembali menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaradja bersama 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan.

Kemudian pada 30 Maret 1896, Teuku Umar kembali keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.  Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter.

Teuku Umar sendiri syahid l pada 1899, tertembak dalam gempuran pasukan Van Heutsz. Cut Nyak Dhien meneruskan perjuangan hingga dibuang ke Sumedang.

Sumber tulisan Are Lando

Keumala Ibu Kota Kedua Aceh


Nama Ibukota Aceh menimbulkan masalah yang agak khusus. Biasanya Ibukota disebut Aceh saja, atau Banda Aceh (kota Aceh), bila perlu dibedakan antara negara secara keseluruhan dan Ibukota. Namun, Belanda, setelah menundukkannya pada tahun 1874, apa yang disebutnya -dan ini salah- kraton Sultan, baru kemudian mengerti bahwa orang Aceh menyebut istana kerajaan itu “Kutaradja” (benteng raja). Istilah kraton merupakan upaya kolonial Belanda yang hendak menyamakannya dengan istana kerajaan di Jawa. Belanda karena itu menggunakan “Kutaradja” sebagai nama kota itu. Namun pada 1963 nama itu secara resmi diubah kembali menjadi Banda Aceh.

KEJATUHAN ibukota kerajaan Aceh, Kutaradja (sekarang Banda Aceh), dan Dalam (istana raja), ditandai dengan keberhasilan kolonial Belanda merebut Masjid Raya Baiturrahman pada ekspedisi keduanya. Penyerbuan ini membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh kolonial Belanda, setelah sebelumnya mengalami kegagalan memalukan pada ekspedisi pertama yang ikut menewaskan Jenderal J.H.R. Kohler pada 14 April 1873. Tepatnya di sebuah pohon besar yang kelak dinamakan Kohlerboom (pohon Kohler) –pohon itu ditebang setelah kolonial Belanda berhasil menduduki Kutaradja. Masjid Raya, yang dipertahankan mati-matian oleh Tuanku Hasyim Banta Muda, jatuh pada 6 Januari 1874. Ekspedisi kedua kolonial Belanda ini dipimpin oleh Jenderal Van Swieten.

Setelah kejatuhan Masjid Raya, tak lama kemudian, Sultan Mahmud Syah yang masih muda mangkat pada 26 Januari 1874 akibat wabah kolera yang mengganas pada waktu itu. Kolonial Belanda bahkan kehilangan sebanyak 1.400 serdadu sebelum Van Swieten meninggalkan Aceh, yang kebanyakan disebabkan oleh wabah kolera tersebut. 

Situasi darurat ini memaksa para pemegang kewenangan penting dalam kerajaan Aceh mengambil kebijakan dengan memindahkan ibukota kerajaan ke pedalaman Aceh pada akhir 1879, yang berada jauh di wilayah hulu sungai Pidie, yang bernama Keumala. Kekosongan kekuasaan pasca-mangkatnya Sultan Mahmud Syah segera digantikan oleh sultan muda berikutnya yang bernama Tuanku Muhammad Daud, yang kelak dikenal sebagai Sultan Muhammad Daud Syah. Ia dinobatkan sebagai Sultan Aceh di Masjid Indrapuri (yang berada di Aceh Besar), sekaligus merupakan Sultan Aceh yang terakhir (ke-35).

Tuanku Hasyim dan Sultan muda resmi bermarkas di Keumala. Mereka tidak lama kemudian didampingi oleh para pemimpin perlawanan yang paling penting –Teuku Paya, putra Nyak Hasan, Imam Lueng Bata, dan Teungku Sheikh Saman dari Tiro atau Teungku Tiro (Teungku Chik Di Tiro). Sebagai akibat dari semangat Hasyim dan kemampuannya mengatur segala sesuatunya, maka Keumala berangsur-angsur diterima sebagai ibukota kedua Aceh. Dan, dari sebuah kampung kecil, Keumala berkembang menjadi pusat pertanian dan perdagangan setempat yang cukup besar.

Pada tahun 1878, Teungku Tiro (1836-1891) menyusun kekuatan gerilya secara khusus dan mendirikan markas besar di Keumala. Bahkan, Teungku Tiro mendapatkan penghargaan istimewa dari Sultan Muhammad Daud dengan wewenang yang diberikan melalui Cap Sikureueng (Cap Sembilan) sebagai pemimpin agama tertinggi Kerajaan Aceh. Kegunaan Cap Sikureueng menegaskan kedudukan Teungku Tiro, serta berguna untuk melindunginya dari iri hati kaum uleebalang yang telah kehilangan pengaruh karena dia. Di antara kaum ulama, ada ulama yang memiliki pengikut setempat yang kuat, tetapi tidak ada yang dapat menandingi Teungku Tiro dalam perannya sebagai ahli teori dan ahli strategi perang suci. (Ibid, h. 272-273)

Sebagai ibukota kerajaan Aceh, Keumala menjadi saksi dalam kancah diplomasi terakhir kerajaan. Pada Juni 1888, Tuanku Hasyim mengirimkan undangan khusus bagi sisa anggota diplomat Aceh di Penang (sekarang masuk wilayah Malaysia), untuk memberikan masukan kepada para pemimpin Aceh. Di antaranya adalah Sheikh Kassim dan Nyak Abas. Orang yang disebut terakhir berhasil mencapai Keumala pada bulan September 1888.

Hasil satu-satunya yang penting dari misi ini adalah bangkitnya semangat pihak istana Aceh yang kembali mempertimbangkan untuk mendapat bantuan dari pihak luar. Kassim dan Abas sebelumnya telah menghubungi Sultan Abubakar dari Johor, dan menyampaikan kepada Keumala tawaran dari Abubakar untuk menyampaikan pandangannya dan menjadi penengah. Pada saat itu, Kerajaan Ottoman (Turki) menempatkan seseorang yang bernama Sayyid Muhammad al-Sagoff di Singapura, yang berperan mengurus berbagai kepentingan keuangan Sultan Turki.

Namun, bagi orang Aceh kontak ini memiliki makna yang khusus. Karena al-Sagoff pada waktu itu dianggap sebagai wakil tidak resmi Turki. Selain itu, penduduk Muslim di Singapura sedang bergembira, karena kunjungan Ertogroul, kapal perang Turki yang sedang menuju ke Jepang untuk menyampaikan sebuah tanda penghargaan kepada Kaisar Jepang. Kehadiran Ertogroul menyalakan semangat baru bagi Keumala. Pihak Aceh menganggap bahwa kapal Ertogroul merupakan bukti “unjuk kekuatan” Turki di Asia.

Al-Sagoff menanggapi keinginan pihak Aceh dengan mengirimkan utusan pribadinya, Sultan Ismail dari Selangor ke Keumala. Setelah beberapa kali tertunda, Ismail tinggal selama lima hari pada bulan Juli 1892 untuk mengadakan pembicaraan dengan pihak Istana Aceh. Abubakar juga ambil bagian dalam misi tersebut. Keduanya menyatakan bahwa mereka semata-mata bertujuan hendak mewujudkan perdamaian antara Belanda dan Aceh. Misi ini mengalami jalan buntu. Apalagi Kerajaan Ottoman masa itu sedang dalam kondisi “kritis”, keuangannya berada pada titik nadir dan instabilitas politik pun bergejolak hebat di Istanbul (ibukota Kerajaan Ottoman), jelang keruntuhannya pada abad ke-20. Pihak Turki tidak akan mampu lagi membantu Aceh, sebagaimana di masa lalu, dengan mengirimkan armada tempur dan peralatan perang tatkala Aceh menggempur Portugis di Malaka.
Pihak Aceh belum patah semangat dalam menghadapi realita tersebut. Karena tidak mendapatkan kabar yang diharapkan dari Ismail dan Abubakar, pihak Aceh kemudian mengirimkan surat permohonan bantuan yang ditujukan langsung ke Istanbul. Nahas, surat ini jatuh ke tangan kolonial Belanda, bukan kepada penerima semestinya, Turki. Ismail dari Selangor adalah utusan asing terakhir yang berkunjung ke Istana Aceh. (Ibid, h. 280)

Keumala terletak tidak jauh dari tempat kolonial Belanda mendirikan markasnya, Lameulo (sekarang Kota Bakti). Geografis Keumala yang dikelilingi hutan, berbukit-bukit dan memiliki sungai yang mampu menyediakan kebutuhan dasar pertanian untuk bercocok tanam, memenuhi kriterianya sebagai “perisai” untuk membendung laju gempuran serdadu kolonial Belanda –walau tidak untuk selamanya.

Perang Aceh tetap berlanjut. Tidak ada gencatan senjata, apalagi perdamaian, setelah kunjungan utusan asing dari Selangor, Ismail. Bagi kolonial Belanda, perang Aceh bukanlah perang yang mudah, alih-alih menguntungkan. Perang itu adalah perang paling mahal daripada semua perang kolonial di Asia Tenggara, yang menelan 14.000 jiwa serdadu kolonial Belanda dan paling tidak 100.000 jiwa orang Aceh dalam periode selama 40 tahun. Jumlah korban dari masing-masing pihak merupakan angka yang sangat “banyak” pada waktu itu, bila dibandingkan dengan populasi penduduk Aceh dan jumlah keseluruhan serdadu kolonial Belanda.

Sebagai Ibukota kedua Kerajaan Aceh pada akhir 1879, Keumala, tetaplah menjadi “saksi bisu” di masa berakhirnya salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara pada masa lampau. Tidak ada sisa artefak peninggalan Kerajaan Aceh yang dapat ditelusuri di Keumala. Kecuali, bukti dari catatan-catatan literatur masa silam. Perang Aceh-Belanda tidak memberikan “peluang” bagi pihak Kerajaan Aceh untuk membangun infrastruktur yang layak bagi Ibukota keduanya, Keumala. Walau demikian, tanpa ide memindahkan Ibukota Kerajaan Aceh ke Keumala, maka sudah lama Kerajaan mengalami keruntuhannya. Keumala-lah yang kemudian berperan penting bagi eksistensi Kerajaan Aceh, walau tidak untuk waktu yang lama.*

SUMBER : Fb Malikul Mubin

(I) Reid, Antony. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19.

Paraturan Kerajaan Aceh


Dalam Aturan Kerajaan Aceh (Qanun Syara' Al Asyi), untuk menjadi seorang Sultan harus memiliki dan mencukupi 23 Syarat. Dan, jika ia terpilih sebagai Sultan maka wajib menjalankan 10 Perkara yakni: 

1.Meninggikan agama Allah dan Syariat Nabi Muhammad

 2.Beramal dengan amal kebaikan yang memberi manfaat untuk dirinya, negara dan rakyat secara keseluruhan dunia-akhirat 

3.Memakmurkan negara, kampung, dusun dan bandar dengan perdagangan luar negara

4.Memerhati dan waspada terhadap seluruh pegawai Kerajaa baik besar maupun kecil 

5.Memeriksa apa yang ditangguhkan dalam jual beli, jika terlambat pembayarannya iatu Gubernur, nazir, syahbandar, dan semua saudagar agar tehindar dari hutang-piutang perdagangan luar negara Aceh 

6.Mengamati dan memerhati semua perkara yang membawa kepada dakwa-dakwi dan perbalahan sesama mereka, mendamaikan diantara mereka sesuai dengan Hukum Allah, Syariat Nabi dan Hukum Qanun Syara' Kerajaan Aceh

7.Mengira atau menghitung harta Waqaf dan mengeluarkan terhadap yang perlu dikeluarkan. Jangan menambil kesempatan atau merampas sedekah wajib, iaitu Zakat dan Fitrah yang ada dalam setiap kampung. Karena Zakat dan Fitrah ialah hak Fakir Miskin

8.Berani menghukum siapa yang bersalah, iaitu mereka yang melakukan perbuatan menyalahi Syara' Allah, Syara' Rasul dan Syara' Kerajaan

9.Memberhentikan dan memecat siapa yang bersalah dari jabatannya dan memilih yang lain sebagai pengganti

10.Meluluskan atau memaafkan pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan oleh pegawai-pegawai Kerajaan. 

Sepuluh perkara ini adalah indikator sifat adil seorang Sultan yang disyaratkan dalam aturan Kerajaan. Kriteria atau muasafat ini harus dimiliki oleh seorang calon Sultan demi mencapai keadilan dalam Kerajaan Aceh. 

Dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi juga disebutkan bahwa untuk menjadi seorang Sultan harus memenuhi 21 Syarat. Mungkin sebagai perbandingan dengan syarat yang disebutkan dalam Qanun Syara' Al Asyi maka kami tulis 21 Syarat yang ditulis dalam Qanun Meukuta Alam yaitu: 

(1) Islam (2) Merdeka (3) Laki-laki (4) Berakal Baligh (5) Berketurunan yang baik (6) Berani dan berlapang hati; Yakni tidak Khianat (7) Adil mengerjakan Hukum Allah dan Rasul (8) Memelihara sekalian perintah agama Islam (9) Memlihara Rakyat dengan insaf kasih sayang kepada orang yang teranianya (10) Memelihara Negeri (11) Melengkapi lasykar Sipa'i Khan Bahadur dengan senjata yang kuat (12)  Menjaga sekalian Menteri, Hulubalang, dan sekalian Saudagar agar tidak memahalkan barang makanan, pakaian, dan jangan menyembunyikan sekalian barang keperluan rakyat (13) Mengumpulkan Zakat Fitrah dan Zakat Harta yang di fardhukan Allah Ta'ala. Dan jaga betul supaya jangan ditipu oleh Ulama Jahiliyyah yang tamak memakan duri racun dan kalang anak Adam yang Islam (14) Memelihara sekalian harta Baitul Mal (15) Menghukumkan sekalian yang bersalah. Yaitu yang melangggar Hukum Allah dan Rasul dan Hukum negeri yang mufakat Ahlussunnah wal Jamaah (16) menyuruhkan shalat Jumat pada tiap-tiap mukim dan sembahyang berjamaah pada tiap-tiap Meunasah dan menyuruh sembahyang Hari Raya Fitrah dan Hari Raya Haji (17) Memutuskan dan mendamaikan perbantahan dakwa dakwi pada sekalian hamba Allah (18) Menerima Saksi apabila cukup sempurna sekalian syaratnya dan diatas jalan yang sebenarnya (19) Menikahkan Kanak-kanak laki-laki dan kanak-kanak perempuan yang tiada wali dan ahli warisnya (20) Membagikan harta Ghanimah kepada yang mustahak menerimanya (21) Mengadakan Tandil (Kepala/Pengawas) Siasat buat mengintip dan menulik sekalian pekerjaan negeri yang telah diserahkan kepada Wazir-wazir dan Menteri dan Hulubalang dan sekalian yang berjabatan dengan Qanun negeri. 

Sebenarnya, dua Qanun tersebut tidak terlalu berbeda dalam menetapkan Syarat bagi seorang Sultan Kerajaan Aceh. Intinya, siapapun menjadi Sultan Aceh harus memiliki Syarat yang telah ditetapkan. Dan, point penting yang juga harus digaris bawahi adalah pemahaman Fiqh dan Aqidah yang resmi dalam Kerajaan Aceh adalah Ahlussunnah wal Jamaah, bukan Syiah atau Wahhabi. 

Nah, jika syarat sebagai seorang Sultan sudah mencukupi, maka Sultan dipilih oleh 26 unsur perwakilan anggota pemilihan Sultan. Hal ini termaktub dalam Qanun Syara' Al Asyi Pasal Bab Kedua Belas. 26 Perwakilan tersebut adalah: 

1.Geuchik, Waki Geuchik (Imum Meunasah), Tuha Peut yang berjumlah tujuh orang pada tiap-tiap kampun di seluruh Aceh

2.Seluruh Imum Mukim 
3.Seluruh Hulubalang pada tiap-tiap daerah

4.Qadhi Malikul Adil
5.Syaikhul Islam, Imam Mufti Empat Mazhab

6.Qadhi Mua'zzam
7.Qadhi ditiap-tiap daerah
8.Mangkubumi empat orang 
9.Menteri Mizan empat orang 10.Perdana Menteri dua orang
11.Keurukôn Katibul Muluk
12.Laksamana Menteri Peperangan

13.Menteri Dalam Negara
14.Menteri Luar Negara
15.Menteri Keadilan sekalian Hakimnya

16.Menteri Darham (Keuangan)
17.Menteri Harta Waqaf
18.Menteri Binaan
19.Menteri Jual Beli Balé Furdhah

20.Menteri Rimba
21.Menteri Pertanaman
22.Menteri Purba
23.Hulubalang empat sekalian Majelis Mahkamah Balé Rungsari

24.Hulubalang delapan sekalian Majelis Anggota Balé Gadèng

25.Semua Anggota Balé Mahkamah Rakyat (Parlemen)

26.Semua Alim Ulama Syara' Ahlussunnah wal Jamaah dan cerdik pandai diseluruh Kerajaan Aceh. 

Hanya mereka yang memiliki suara dan berhak menentukan pilihan siapa yang layak menjadi Sultan Aceh dengan sistem suara terbanyak dari anggota pemilihan tersebut. Tentunya, semua bermufakat dan bermusyawarah lebih dulu dengan Ijma' alim ulama. Sesudah terpilih, lantas Sultan diangkat dan ditabalkan pada "Batu Tabal". 

Jika Sultan mangkat atau meninggal, maka Qadhi Malikul Adil yang menjabat sebagai Wakil Sementara Sultan ditabal berdasarkan Qanun Syara' Kerajaan Aceh "Sultan Alauddin" melalui Ijma' Mahkamah Qanun Syara'. Qadhi Malikul Adil dipercayakan pada posisi tersebut karena ia adalah Jaksa Agung Kerajaan yang berpegang teguh pada Hukum Syara' Allah dan Syariat Nabi berdasarkan syarat yang telah ditetapkan. 

Dalam Qanun Adat Aceh juga disebutkan bahwa seorang Sultan Aceh/Raja Aceh harus menjalankan dan memenuhi 31 Majelis atau Aturan. Hal ini, kami melihat lebih kepada Petunjuk Teknik (Juknis) atau Petunjuk Pelaksanaan (Juklak). Terlalu panjang jika kami menguraikan ketiga puluh satu Majelis tersebut disini. Menariknya, dalam Qanun Adat Aceh tersebut khususnya Bab "Perintah Segala Raja-Raja" disebutkan soal 5 Gelar yang dimiliki oleh seorang Sultan dan dihimpun dalam satu nama: Paduka, Maha, Seri, Raja dihimpun menjadi Paduka Seri Maharaja. 

Seseorang yang memiliki lima gelar tersebut atau berhimpun beberapa diantaranya itu, maka ia wajib memelihara martabat dan namanya yang mulia agar tidak binasa karunia Raja atas dirinya. 

Hal ini menegaskan, bahwa gelar dan jabatan tersebut bukan suatu yang diciptakan atau diwarisi. Tapi harus memenuhi standar dan persyaratan dari segi aturan maupun sikap. Dan, dalam Pasal Bab Kedua Belas Qanun Syara' Al Asyi juga disebutkan bahwa Kerajaan, Sultan dan Raja-Raja Aceh tidak boleh dipusakai (diwarisi) hal ini sesuai dengan pendapat Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah dalam Kerajaan Aceh. Keterangan ini juga menyertakan dalil Nash Al Quran Surat Al Imran ayat 26. 

Maka, kami melihat hari ini (mohon maaf) kawan-kawan yang memiliki gelar tersebut diatas juga merupakan dari bagian yang tidak bisa diwarisi (Apalagi ada orang yang mengaku diri sebagai Raja alias Raja Palsu).

Repost Dari Fb Are Lando